Puluhan senyuman menyenangkan menghiasi tempat itu. Suara gemericik rinai hujan sama sekali tak mengganggu mereka. Bahkan senyuman-senyuman itu saling memancarkan energi positif yang kuat satu sama lain. Benar saja jika bahagia memang sesederhana ini.
Sore itu mungkin akan menjadi hari yang bersejarah bagi mereka. Dimana masa itu adalah peresmian geng Regalion, yang tentunya membuat para pasukannya merasa senang . Aku terus menatap seorang pemuda yang tanpa hentinya mengukir senyuman. Dengan mengenakan pakaian serba hitam, ia nampak sangat tampan dan casual.
"Gue Aditya Alvandra berjanji akan menjadi pemimpin yang baik untuk Regalion," ujar pemuda itu seraya menyunggingkan senyuman manisnya.
"SATU NYALI, SATU TUJUAN, BEDA RAGA, SATU JIWA!!" Begitulah mereka menyerukannya secara bersamaan. Sedangkan aku hanya memandangi mereka dengan kesenangan yang sama.
Masa itu aku tak sedikitpun mengalihkan pandanganku darinya. Yang tak lain adalah Aditya Alvandra yang merupakan kakak kandungku. Ah, ia tampak sangat tampan. Andaikan aku bukan adiknya, aku pasti akan menyukainya.
Berbicara tentang Aditya Alvandra memang tampak mengasyikkan. Pemuda yang 2 tahun lebih tua dariku itu memiliki suatu hal yang berbeda. Bahkan dibalik ketampanannya yang menghanyutkan, terdapat sebuah kejutan yang tak dapat disangka.
Seorang gadis jelita perlahan mendekati kak Vandra. Ia tampak mengenakan kaus dusty pink oversized dengan paduan jeans berwarna hitam pekat. Terlihat jua sebuah necklace kupu-kupu yang bergelantung indah dilehernya. Tak lupa sepasang anting berlian yang terlihat gemerlap. Rambut panjangnya tetap tergerai indah walau sudah terkena butiran-butiran hujan. Ditambah sepasang sneakers berwarna soft pink yang membuat penampilannya terkesan feminim.
Sedangkan lelaki itu tak henti menatap sang gadis dengan tatapan penuh kagum. Sorot matanya begitu terpancar. Begitu juga kami yang ada disini tampak menikmati pemandangan romantis itu.
Tangan kekar kak Vandra terlihat meraih tangan lembut gadis itu. Ia sedikit menariknya mendekat dengan tubuhnya. Gadis itu dengan sebuah senyuman tulus di bibirnya tampak mengizinkan jemari lembutnya digenggam.
"Cinta pertamaku," bisik Kak Vandra seraya mengacak rambut sang gadis.
"Cieeeeeeeee!!" semuanya berseru. Mereka juga tampak menikmati pemandangan itu. Kak Vandra dan gadisnya memang tampak serasi. Saling mencintai dengan melengkapi satu sama lain. Gadis itu tampak memiliki aura ketenangan sehingga membuat singa kelaparan itu berubah menjadi Aditya Alvandra.
***
1 Tahun Kemudian
Seorang pemuda dengan penuh amarahnya berjalan mendekatiku. Raut mukanya tampak sangat mengerikan. Melihat dari tatapannya saja aku sudah merasa seperti ditusuk. Pemuda itu terus menatapku dengan seringaian dahsyatnya. Aku takut. Aku merasa terancam. Siapapun tolonglah aku.
"Apapun di dunia ini yang paling gue benci adalah Lo, Za!! Gue bahkan jijik buat nyebut nama Lo!" Kata demi kata itu berhasil menusuk jantungku yang sedang berusaha kokoh. Berhasil pula meluncurkan air mataku dengan mudahnya. Tangisku tertahan. Hanya ada airmata deras yang membanjiri.
'Dan apapun di dunia ini yang paling aku benci adalah, Papa!' batinku dalam hati.
Kilasan tragedi ini terlalu tak masuk akal untukku. Bagaimana aku yang disalahkan? Kenapa semesta bertindak seperti ini? Ketidakadilan macam apa yang sedang kualami?
"Lo udah berhasil buat gue kehilangan segalanya! Semua orang yang gue sayang udah pergi! Gue benci sama Lo!" Teriaknya seraya mengacak rambutnya sendiri.
Sejahat itukah aku? Apa dia pikir aku tak merasa kehilangan? Pemikiran macam apa itu?
Aku menangis sekencang mungkin. Berusaha mengeluarkan segala emosi dalam jiwaku yang selama ini tertahan. Rasa hancur, rapuh, dan ketidaknyamanan lainnya beradu hebat. Segala perasaan itu bahkan berhasil mengacaukan pikiranku.
"PAPAAAAAAAAA!!" Teriakku dengan histeris sehingga memenuhi seisi rumah bak istana itu. Hatiku benar-benar sakit. Semua kejadian ini seperti fitnah dahsyat yang sedang menimpaku. Tak ada siapapun yang menolongku sedang aku membutuhkan pertolongan. Mentalku sedang tidak baik-baik saja. Bahkan mereka yang seharusnya menguatkanku malah menuduhku sebagai dalang dibalik semuanya.
Runyam. Air mata rasa sakit kian tak terbendung. Jantungku sedang berpacu dengan kerasnya. Pikiran aneh bahkan meracau tak menentu. Menyalahkan takdir yang sedang mempermainkanku. Menyalahkan semesta yang membuatku dilema. Bahkan menyalahkan Tuhan atas semua ini.
Aku benar-benar merasa berada dititik paling sulit dalam hidupku. Diusiaku yang masih se belia ini, umumnya aku menikmatinya dengan segala bumbu percintaan. Tapi apa yang kudapatkan? Semesta memang sejahat itu.
Aku tak tahu jalan mana yang akan membuatku menapakkan kaki ini. Semua arah terasa gelap dan berujung pada sudut sempit. Tampak tak ada jalan keluar atas tragedi hebat yang sedang menimpaku. Keluargaku sedang berada pada ombang-ambing yang siap menjatuhkan kami pada kehancuran. papa, mama, kak Vandra, bahkan adikku sudah terpecah belah. Tak ada seorangpun disini yang dapat menguatkanku. Hidupku sendiri. Ya. Benar-benar sendirian.
Aku membenamkan kepalaku diantara dua lutut. Berusaha meresapi segalanya yang mungkin memang salahku. Entah apa yang terjadi, kepalaku tiba-tiba terasa berat. Pandanganku mulai remang-remang. Tragedi itu berputar-putar hebat dikepalaku. Batinku ingin berteriak lagi. Mengeluarkan sebuah suara histeris yang melegakan. Namun, bibir ini tak mampu mengucap sepatah katapun. Bahkan tubuhku terasa sangat lemas dan kehilangan kendali. Pandanganku berlanjut mulai kecoklatan dan menghitam. Lalu...
***
Aku mengerjapkan mata beberapa kali. Sinar dari lentera putih itu membuat mataku sulit menyesuaikan cahayanya. Aku terkejut ketika menyadari sedang berada di dalam sebuah ruangan. Kurasakan tubuhku terbaring diatas ranjang berukuran 60 × 180 itu. Suasana dingin sangat menusuk sehingga membuat tulang-tulangku terasa nyeri.
Sebelumnya, keluargaku memang membangun ruangan kesehatan di dalam rumah ini. Sebuah bangunan bak istana yang berdiri kokoh dengan penuh kemegahan. Bahkan tak akan ada yang menyangka bahwa rumah megah ini akan berubah menjadi tenda pertempuran keluargaku sendiri.
Ah memikirkan hal itu lagi membuat kepalaku terasa semakin berat. Oh tunggu. Aku baru menyadari suatu hal. Siapa yang membawaku ke ruangan ini?
"Sudah sadar, Kak?" Sebuah suara familiar mulai masuk ke telingaku. Sosok gadis cantik itu menatapku secara intensif. Bau parfumnya yang sangat khas pun dapat ku kenali.
"Kenapa kamu melakukan ini, Almira?" Rintihku pada gadis itu seraya meneteskan bulir bening itu lagi.
"Kenapa? Nggak suka?" Tanyanya seraya mengangkat sebelah alisnya.
deg...
Jantungku terasa berhenti berdetak. Aku bergeming menatapnya dengan penuh keheranan. Apa yang dia inginkan? Apa maksudnya menimpakan diriku dengan fitnah besar seperti ini? Semua pertanyaan tak masuk akal terus ku pikirkan disaat itu juga. Sedangkan gadis dihadapanku itu menatapku dengan tatapan yang tak dapat ku artikan.
"T-t-tapii-" Entah apa yang ingin ku katakan. Detik itu juga aku merasa seperti kehilangan seluruh kosakata yang telah ku hafal. Segala hal yang ingin ku pertanyakan mendadak membuatku kebingungan. Aku macam tak mengerti hal apa yang sedang ia rencanakan.
"Hahaha... aku nggak akan membiarkan kamu menguasai segalanya," ujarnya dengan menyeringai licik.
Tunggu...
Apa katanya?
Menguasai apa?
***