Chereads / Rayyan / Chapter 2 - Awal

Chapter 2 - Awal

Hufftttt... Satu tahun sudah semenjak tragedi itu terjadi. Cacian dan makian sudah seperti makananku sehari-hari. Bahkan sampai detik ini pun aku masih tak mengerti. Hikmah apa yang akan ku dapatkan setelah ini.

Mental ku belum baik-baik saja. Sudah kuduga bahwa ini akan menjadi masalah yang berkepanjangan.

Kini aku disini. Menikmati lalu lalang para siswa yang berlarian. Juga menikmati tatapan membunuh dari orang-orang. Aku merasakan hijab putihku bergerak tertiup semilirnya angin. Hmmm... Kejadian besar itu memberiku perubahan sekaligus pelajaran yang besar. Saat itu aku memilih langkah bodoh dengan menyalahkan Tuhan. Padahal yang sebenarnya terjadi adalah, Tuhanlah sang maha penolong disaat tak ada satupun manusia yang mampu memberi pertolongan.

Berawal dari sana, Alhamdulillah aku dapat sedikit bangkit dari keterpurukan ku, meskipun mengembalikan mentalku membutuhkan proses yang panjang. Aku juga memilih menutup auratku sebagai sebuah bentuk taat kepada-Nya.

"Dorrrr!!" Teriak seseorang mengejutkan ku.

Gadis manis itu tampak memperlihatkan rentetan gigi nya yang terlihat rapi. Kulitnya yang sawo matang sama sekali tak menghilangkan pesona cantiknya. Dua pasang alis itu terukir dengan indahnya. Bahkan kedua bola matanya sangat teduh untuk dipandang.

"Kamu ini datang bukannya memberi salam malah mengejutkanku," ujarku padanya. Gadis itu tersenyum seraya merapikan hijabnya yang terlihat sedikit miring.

"hahaha maafin aku, Za. Lagian kenapa kamu melamun sih?" Tanyanya padaku. Gadis manis itu memang sangat perhatian. Ia tampak memiliki rasa peka yang tinggi.

"Aku nggak melamun, Na. Aku cuma nungguin kamu disini," jawabku diselingi gelak tawa diantara kami. Aku memang sedang menunggunya kembali dari kantin untuk membeli air minum.

Gadis itu nampak melangkahkan kakinya menuju samping tubuhku. Dari gemerisik tubuhnya dapat ku artikan bahwa ia meminta tempat duduk tepat di sebelahku. Lantas aku menggeser sedikit posisiku untuk memberi sedikit ruang baginya.

"Kamu jangan nangis lagi, Za," ujarnya dengan penuh ketulusan.

Bergeming. Hanya itu yang bisa kulakukan. Aku menatap nanar para siswa yang masih berlalu lalang menikmati waktu istirahat mereka. Kilasan tragedi itu kembali menyakiti pikiranku. Aku masih termenung.

Tiba-tiba tangan lembut gadis itu meraih pundakku. Aku merasakan tubuhku dibawa bersandar pada pundaknya. Butiran air mata itu kembali menetes. Mereka seakan tak betah berada di dalam mataku sehingga memilih keluar dengan sendirinya.

"Jadi orang baik itu nggak gampang, Na. Ingin berhijrah dalam keadaan seperti ini kelihatannya sangat sulit buatku," jawabku padanya seraya menahan isakan.

Kurasakan tubuhku dirangkul semakin erat olehnya. Ia tampak mengerti segala duka ku. Ia ingin sekali menguatkan ku. Bahkan tanpanya aku tak tahu akan menjadi seperti apa.

"Setiap orang memiliki cobaannya sendiri-sendiri ketika mereka menentukan akan berhijrah. Tapi kamu jangan pernah melupakan suatu hal. Bahwa Allah tidak akan menguji hamba-Nya melebihi batas kemampuan mereka." ujarnya. Kata-katanya itu terasa menyejukkan bagiku. Tampaknya memang benar. Bahwa sebaik-baik teman itu ialah yang menunjukkan kamu kepada kebaikan.

Aku melepaskan tubuhku dari pelukannya. Butiran sisa air mata, ku usap dengan kasar. Aku mengepalkan kedua tanganku dengan melafalkan 'Aku kuat!'. Gadis itu tampak tersenyum lega setelah melihatku.

"Uhmmm... Besok kita libur, kan? mau makan es krim nggak?" tawar ku.

"Eh es krim diminum apa dimakan, sih hahahha," tanyanya diiringi gelak tawa.

"Entah deh, ihhh mau nggak?" tawarku sekali lagi dengan sedikit rengekan kecil.

"Oke deh... Besok hari Sabtu, Tsaqifa Anna Azkiya dan Nayla Amanda Azaleya akan pergi membeli es krim bersama hahaha!" ujarnya menyebut nama lengkap kami.

Bel sekolah SMA Athena berdentang nyaring. Pertanda waktu istirahat telah usai. Seluruh siswa kembali memasuki kelas masing-masing untuk kembali bertempur.

Aku dan Anna beranjak dari tempat duduk kami. Seketika semua pandangan tertuju pada kami. Inilah yang membuatku selalu rapuh. Pandangan-pandangan jahat itu selalu menusukku secara dalam. Aku tak memiliki teman baik selain Anna. Mereka membenciku atas tuduhan itu. Bukankah aneh jika seseorang bisa membenci hanya karena perkataan orang lain?

"Udah nggak usah dimasukin hati," ujar Anna kembali menguatkan ku.

Argghhh... Aku hanya diam. Jika bisa aku tak akan memasukkan hal itu ke dalam hatiku. Mereka hanya menghakimi tanpa ingin mengerti yang sebenarnya.

Anna meraih telapak tanganku. Kami segera memasuki kelas. Aku langsung duduk diam di samping Anna. Bu Ririn pun memasuki kelas dan memulai pembelajarannya. Aku juga harus tetap belajar dan mengikuti pembelajaran terakhir ini. Walaupun bisik-bisik mereka sangat menggangguku.

***

Bel sekolah SMA Athena kembali berdentang nyaring. Aku menghembuskan sebuah napas lega. Sebenarnya apa yang harus membuatku lega? Pulang ke rumah pun terasa seperti... neraka?

"Aduh! Gue denger-denger sih dia kerjaannya ngabisin duit kakaknya doang, nggak merasa bersalah banget. Dasar perempuan nggak tau malu. Gaya nya doang berhijab, tapi kelakuannya busuk,"

"Wah parah sih, gue rasa dia berhijab buat nutupin kedoknya sebagai pembunuh, hahaha,"

Percakapan nyaring itu langsung berhasil membuat telingaku terbakar. Aku menahan diri. Apapun yang akan ku jelaskan tak akan mereka percayai. Apapun perbuatan baikku tak akan ada artinya bagi mereka. Yang mereka inginkan hanyalah aku harus mengakuinya. Ya! Mengakui hal yang tidak pernah ku lakukan.

Anna memicingkan matanya. Raut mukanya tampak sangat geram. Kedua telapak tangannya mengepal. Seluruh tubuhnya tampak bergetar penuh kemarahan. Gadis itu dengan langkah pasti menghampiri mereka yang sedari tadi bergunjing.

"HEH!! AKU PERINGATKAN YA!! KETIKA KALIAN MEMILIH UNTUK MEMBICARAKAN AIB SESEORANG, MAKA SAMA DENGAN KALIAN MEMAKAN BANGKAI ORANG ITU!!" bentak Anna di depan hadapan mereka.

"Upssss... Ada yang marah nih," ujar salah seorang dari mereka. Aku tau ini akan rumit. Mereka merasa benar dan menganggap ku sebagai... Penjahat?

"Apa tadi? Hijab sebagai penutup kedok?" kata Anna.

"Wow!! jelas dong!! Mending kek kita-kita yang nggak berhijab tapi hati nya tulus daripada dia yang sok berhijab tapi busuk hahaha," Perkataannya begitu menyakiti hatiku. Usaha ku untuk berhijrah ternyata dipandang buruk oleh mereka.

"Berhijab itu sebuah kewajib-"

Aku menarik pergelangan tangan Anna dan memberikan tas berisi buku-buku pelajaran itu. Kami berjalan keluar dengan air mataku yang tak berhenti menetes.

"Apa sih, Za!! Mereka nggak seharusnya bergunjing seperti itu, Kan?" Ujarnya seraya menghempaskan tanganku secara kasar.

"Kita nggak perlu menjelaskan apapun kepada mereka, Na. Mereka nggak butuh dan nggak peduli. Lebih baik diam dan nikmati saja, waktu yang akan berbicara," jelasku dengan nada naik satu oktaf.

Anna diam. Tampaknya ia sedang mencerna kata per kata dari apa yang barusan ku ucapkan. Anna memelukku. Kini ia yang menangis.

"Maafin aku, Za. Aku gamau kamu digituin sama mereka hiks..." isak nya.

"Sudah, sekarang ayo pulang. Aku capek pengen rebahan," kata ku. Walau sebenarnya aku tak akan rebahan dengan tenang di rumah itu.