Sang baskara nampak sudah kelelahan. Tertanda dari sinarnya yang berubah memerah. Suasana langit juga masih sangat meriah. Tak ada awan kelam yang menutupinya. Seseorang pernah berkata kepadaku "Jika hatimu sedang kacau, maka tataplah langit. Mereka sedang berusaha untuk menghiburmu." Aku tersenyum ketika mengingat kalimat itu. Suara khas nya begitu aku rindukan. Ya! Kerinduan yang tak akan berujung apapun.
Aku menatap sebuah rumah megah di hadapanku. Kenangan manis pahit beradu tersimpan pada tempat itu. Suasana disini memang sudah sangat berbeda. Sejak satu tahun yang lalu rumah ini hanya menjadi ruang hampa dengan segala kebencian yang tersimpan.
Daun-daun kering berguguran memenuhi halaman. Bahkan beberapa lembar dedaunan kering tampak menghalangi kemilau granit berwarna cream itu. Aksen ukiran pada setiap sudut rumah bertembok kuning keemasan ini membuatnya terlihat mewah. Tak lupa lampu-lampu kecil yang menghiasi tiap sudut-sudut ruangan bagian depan, menambah kesan gemerlap disini.
Kedua kakiku mulai melangkah bersama desiran ketakutan seperti biasanya. Ku buka sepasang pintu kupu tarung mewah itu dengan perasaan tak karuan. Tak lupa mengucapkan salam yang aku pun tau tak akan dijawab oleh mereka.
Aku lantas bergegas memasuki kamarku. Tak lama setelah itu, adzan maghrib berkumandang dengan merdu nya. Bahkan aku belum sempat mandi ataupun mengganti pakaian.
"Habis ganti baju, langsung sholat deh," gumamku. Aku kemudian mengambil setelan piyama tie die dan segera mengenakannya.
"Segera dimakan ya, adik cantik! Biar kamu cepet gedhe," ujar seseorang yang dapat ku dengar dari balik pintu kamar.
"Ihhh kan adik sudah besar, kak!" ucap gadis kelas 10 SMA itu dengan nada manja andalannya.
Aku tersenyum nanar mendengarnya. Tanganku mulai bergetar. Seperti biasanya, air mataku tak dapat dicegah. Tubuhku mulai terasa lunglai dan langsung membenamkan wajahku diantara dua lututku.
Allah, kuatkan hambamu ini!
Pinta ku pada-Nya.
Derai air mataku macam tak dapat berhenti mengalir. Melihat keakraban kakak beradik itu semakin membuat jiwa ku tersiksa. Pikiranku kalang kabut mengingat semuanya.
Dering notifikasi circle menyapa telingaku. Pertanda ada sebuah pesan yang masuk dalam gawai itu. Aku lantas membukanya. Oh, ternyata Anna.
'sudah sholat, Za?'
Astaghfirullah... Aku mengucapkan istighfar dalam hati. Ampuni hamba, Ya Allah... Emosi dalam dada ku telah membuatku lalai terhadap-Mu.
Aku segera menarik engsel pintu itu. Bersamaan dengan tarikan hembusan napas panjang yang mungkin akan menimbulkan ketenangan. Kakak beradik itu memandang tajam ke arahku. Bukan! Pandangan mereka berbeda! Sang kakak memandangku seolah dendam dalam hatinya masih terasa panas. Sedangkan adiknya menyeringai menatapku dengan penuh kepuasan.
Aku kembali menarik panjang napasku. Air mataku kembali menetes. Arrrghhhh!! Aku membenci keadaan ini. Keadaan dimana aku dengan mau tak mau harus terlihat lemah dihadapan mereka. Air mata ini memaksaku untuk menunjukkan sakitnya perasaanku.
"Lo berhasil bikin mood gue turun seketika. Lo pikir gue bakal iba ngeliat Lo nangis disitu?" Byarrrrr!!! Bagaikan gemuruh dahsyat yang menyambar dadaku. Hati ini seakan terbelah menjadi serpihan-serpihan tak berbentuk. Aku tetap berusaha tegar dan berdiri dengan kokohnya.
"Maaf kak, mau ngambil air wudhu," ujarku dengan masih berdiri di sana. Oh, bodohnya aku. Mengapa aku tak segera pergi? Ah, bahkan rasanya kaki ku seperti telah membeku seketika.
"Gue nggak peduli." ujarnya seraya berlalu menuju kamarnya. Sedangkan adiknya masih memicingkan kedua bola matanya. Seringainya penuh kepuasan. Aku tak mengerti apa yang sedang ia lakukan.
Aku bergegas menuju tempat wudhu di dalam rumah ini. Sebenarnya di dalam setiap kamar, terdapat kamar mandi. Terkecuali kamar tamu. Sudah pasti kalian mengerti, kan? Aku ditempatkan di kamar tamu olehnya. Benar! Dia yang sekarang mengambil alih aturan rumah ini. Tapi aku tak mengapa. Aku tetap bersyukur, setidaknya aku masih memiliki rumah. Walaupun katanya rumah yang diisi oleh orang-orang yang memusuhimu bukanlah rumah. Melainkan sebuah tenda pertempuran. Setidaknya aku memiliki tempat pulang, beristirahat, dan berteduh. Meskipun semua itu tak semudah kelihatannya.
***
Malam ini sang angkasa masih bersuka ria. Terdapat banyaknya bintang-bintang yang menghiasi angkasa. Tak lupa sebuah bulan purnama terang yang memanjakan mata. Mereka pasti sedang menghiburku!
'Ah, hari ini cukup melelahkan.'
Bahkan rasanya tiap hari aku selalu mengucapkan kalimat itu.
Aku menghempaskan tubuhku keatas kasur berukuran 90×200 itu. Dengan sprei berwarna dusty pink, membuatku sedikit merasa nyaman. Ku buka gawai yang sedari tadi berisi pesan dari Anna dan kemudian membalasnya.
Tak lama setelah itu jantungku kembali berdetak kencang. Teringat masa lalu yang sangat tentram bersama keluarga lengkapku di rumah ini. Aku memejamkan mataku. Berusaha menikmati peristiwa demi peristiwa yang sangat menyiksa batin ku. Tapi entahlah. Aku tetap berusaha menikmati nya. Hingga aku terlelap ke dalam mimpi yang mungkin lebih indah daripada kenyataannya.
***
Bahana Walking on Sunshine membangunkan ku dari lelapnya tidur. Aku menatap layar gawai itu yang menunjukkan pukul 04.10 Waktu Indonesia bagian Barat. Adzan Subuh baru saja berkumandang. Ah entahlah, aku merasa sangat lelah sehingga melewatkan sepertiga malam yang istimewa.
Aku bergegas mengambil air wudhu untuk segera melaksanakan sholat subuh. Anna selalu berpesan padaku untuk senantiasa sholat tepat waktu. Awalnya memang sulit bagiku. Namun, memaksa diri adalah suatu alternatif terbaik untuk memecahkan kesulitan itu. Lebih baik terpaksa menuju surga daripada senang hati berjalan ke neraka, bukan?
***
Pukul 09.30 Waktu Indonesia Barat. Aku bersiap untuk pergi membeli es krim bersama Anna. Tampaknya ini akan menjadi waktu-waktu yang menyenangkan. Semoga saja tak ada aral melintang yang akan mengganggu kebahagiaan ku.
Merah muda. Adalah warna yang telah ku senangi sejak lama. Sama sepertinya yang juga menyukai pink. Ia yang sudah pergi jauh ke alam baka, menjadi penyebab masalah tak berujung ini. Sebenarnya ia tak pantas disebut penyebab. Bahkan siapapun juga tak pantas disalahkan. Kematian adalah sebuah takdir yang sudah digariskan. Apakah mereka masih tak mengerti?
Sebuah cardigan rajut polos telah usai ku kenakan. Cardigan berwarna pink belacan itu benar-benar ku sukai. Aku memadukannya dengan rok panjang berwarna soft grey agar terlihat kalem. Tak lupa kerudung berwarna senada yang menutupi dada. Aku mematut pada cermin besar dihadapan ku. Sedikit olesan lip balm mungkin akan membuat wajahku sedikit berwarna. Setelah ku rasa semuanya lengkap, aku segera mencari angkutan umum untuk menemui Anna dan bersuka ria bersamanya.
***
"Udah lama disini, Na?" Sapa ku menghampiri Anna yang sedang mengotak-atik gawai nya. Ia terlihat duduk sendirian di bangku dekat Locarasa.
"Kamu bikin aku kaget, Za! Kan bisa ngasih salam dulu," ujarnya dengan mengerucutkan bibirnya.
"Hahaha, okeeee maafin Aza, ya Anna yang cantik jelita," ucapku.
"Assalamualaikum, Anna cantik," salam ku padanya.
"Waalaikumussalam, Nah gitu dong!" Seru nya seraya mengajakku duduk dihadapannya.
Kami memang senang kesini. Untuk sekadar merelaksasi pikiran dari segala macam kelelahan. Locarasa ini memang sudah sangat terkenal. Sebuah kedai es krim dengan tempat yang menarik, tentunya akan membawa banyak pelanggan.
"Itu Almira, kan?" tanyanya.
degg...