"Apa masuk akal seorang penderita insomnia akut tidur nyenyak tanpa meminum obat?" Tanya Yudistira dengan menggebu.
Pria dengan balutan kemeja hitam dan celana bahan senada tengah duduk di kursi kebesaran milik psikiater yang tengah panas dibicarakan akhir-akhir ini. Zanipolo Vegard, atau biasa dipanggil dengan Zion. Psikiater berbakat yang handal menghadapi segala permasalan, kecuali masalah cinta. Hidupnya selama ini tidak pernah dipenuhi cinta seorang gadis. Dalam kata lainnya, Zion jomblo sejak lahir. Banyak pemberitaan tidak enak yang tersebar, salah satunya mengatakan bahwa dia adalah seorang gay.
Zion duduk di kursi pasien sambil menghela nafasnya berat. Pasiennya kali ini sangat kurang ajar sampai duduk di kursi dokternya.
"Itu masuk akal. Bisa saja lo kecapean atau mungkin lo lagi dalam keadaan yang relax." Jawab Zion. Dia membaringkan punggung penuh otot pada sandaran kursi.
Yudistira sedikit berpikir. Faktor lelah yang Zion ucapkan tentu jauh dari Yudistira. Pasalnya, semua pekerjaan dia limpahkan kepada Adeeva. Dia sengaja membuat sekretarisnya kewalahan, Yudistira ingin membuat Adeeva tidak betah dan memutuskan untuk resign. Sekarang otaknya beralih pada faktor lain yang Ziok katakan. Keadaan relax? Yudistira tertawa sinis. Dia bahkan sangat tertekan bersama dengan Adeeva dalam satu ruangan.
"Gue gak kecapean atau relax sama sekali." Balas Yudistira.
Zion kembali memikirkan faktor lain yang bisa menjadi kemungkinan dalam kasus Yudistira. Dia tidak pernah gagal dalam mengatasi seseorang yang terkena insomnia. Hampir seluruh pasien yang dia tangani sembuh total dari gangguan tidur yang bertahun-tahun di derita. Tetapi, sialnya Zion gagal mengobati sahabatnya sendiri.
Yudistira Adyatama, seorang Chief Executive Officer dengan segala kesibukan yang dimiliki. Pria yang menginjak usia 26 tahun ini mengidap insomnia akut sejak terbangun di rumah sakit setelah kecelakaan maut yang hampir menewaskannya. Hidupnya dirundung rasa gelisah dan tidak tenang, seakan ada yang mengancam dirinya.
Segala alternatif pengobatan sudah Yudistira coba untuk mengatasi hal tersebut. Dari mulai tradisional hingga modern. Bahkan Yudistira pernah sengaja bekerja selama tiga hari berturut-turut tanpa tidur berharap setelahnya bisa tidur nyenyak tanpa harus meminum obat. Tetapi hasilnya nihil. Yudistira tetap membutuhkan obat tidur dalam keadaan apapun. Sekarang, dia menyerah. Mulai membiasakan diri dengan penyakitnya yang tak memiliki titik terang. Dia selalu membawa kemanapun obat tidur yang telah Zion resepkan untuknya.
Yudistira menarik nafas berat. Seharusnya dia merasa senang karena bisa tidur nyenyak tanpa harus meminum obat setelah bertahun-tahun lamanya. Tetapi jika harus mengingat bahwa kemungkinan terbesar dari penyebab sembuhnya penyakit Yudistira adalah Adeeva, dia tidak senang. Dirinya menolak mati-matian dan berusaha menyangkal hal tersebut.
"Jujur sama gue, lo ngelakuin apa sampai bisa sembuh?" Suara Zion membuat Yudistira tersadar. Pria dengan balutan kemeja hitam dan celana bahan senada itu menoleh, kemudian mengendikkan bahunya tidak peduli.
"Oke kalau lo gak mau ngasih tau. Tapi, lo harus memastikan hal itu. Coba lo lakuin lagi," ucap Zion.
Yudistira tertawa sinis. Mencoba lagi bagaimana maksud Zion? Apa dia harus tidur dengan Adeeva lagi untuk memastikan bahwa gadis itu adalah obat untuknya? Memikirkannya saja membuat Yudistira merasa takut.
Yudistira melirik jam tangan Jacob & Co. Billionaire Watch yang melingkar pada pergelangan tangannya. Jam tangan berisi 260 karat berlian yang dipotong menjadi 167 komponen dengan bagian gelang arloji terbuat dari emas putih 18K menunjukkan angka sebelas. Waktu konsultasinya sudah habis. Yudistira harus segera kembali untuk menghadiri rapat peresmian Hotel Vashesa cabang New York yang akan dilaksanakan bulan depan.
Setelah berpamitan dengan Zion, Yudistira keluar ruangan. Adeeva yang melihat tuannya segera mengekor dibelakang. Cukup lama dia menunggu Yudistira, entah apa yang sedang dilakukan pria itu di dalam dengan Zion sahabatnya.
"Adeav?" Panggil Yudistira.
Adeeva hanya terdiam, dia tidak merasa terpanggil karena nama yang Yudistira sebutkan jauh dari namanya. Tiba-tiba Yudistira menghentikan langkahnya membuat wajah Adeeva menabrak punggung keras milik Yudistira.
"Kau melamun?" Tanya Yudistira tanpa menatap Adeeva yang sedang meringis kesakitan. Dahinya serasa terkena dinding. Mendadak Adeeva merasa beruntung karena keras kepala yang dimilikinya.
"Tidak, Sir!" Jawab Adeeva dengan lantang.
"Mengapa tidak menjawab?" Tanya Yudistira yang saat ini sudah menghadap Adeeva. Gadis itu masih sibuk dengan dahinya hingga tidak menyadari Yudistira yang sudah menatap tajam ke arahnya.
"Memangnya kau memanggilku, Sir?" Adeeva mendongak, mendapati wajah Yudistira yang sangat dekat dengannya. Pupil mata Adeeva melebar, dia bahkan sampai menelan ludahnya dengan kasar karena mengingat ciuman panas yang semalam Yudistira berikan. Astaga, kenapa dia lagi-lagi jadi mesum begini?!
"Adeav, nama panggilan untukmu. Entah mengapa namamu terdengar tidak asing untukku. Itu membuatku tidak nyaman," Yudistira menarik wajahnya, membuat jatak antara mereka. Akhirnya Adeeva bisa kembali bernafas setelah menahannya beberapa saat.
"Apa itu panggilan sayang untukku, Sir?" Tanya Adeeva dengan mata berbinar.
Yudistira berdecak kesal, dia tidak menjawab dan kembali melanjutkan langkah kakinya menuju basement rumah sakit yang dipenuhi banyak mobil-mobil mewah dengan harga fantastis. Dia bisa menebak bahwa salah satu orang berpengaruh di Indonesia pasti sedang dirawat di sini.
"Adeav?" Panggil Yudistira lagi.
Adeeva yang sudah mengerti segera menjawab, "Yes, Sir?!"
"Ambilkan pakaianku di penthouse, waktumu lima belas menit sebelum rapat dimulai!" belum sempat Adeeva memprotes, Yudistira sudah masuk ke dalam mobilnya dan berjalan meninggalkan Adeeva begitu saja.
"Sialan! Dasar CEO gila!" Gerutu Adeeva.
***
Suara heels mendominasi, ketukannya terdengar keras dan melengking tanpa bida dibendung. Suara yang terdengar dengan ritme cepat terhenti kala memasuki sebuah lift khusus yang dapat di gunakan oleh orang-orang dengan jabatan tinggi. Adeeva pengecualian di sini, dia tidak ada pilihan lain lagi. Tidak mungkin dia menunggu lift lainnya, itu hanya akan memakan waktunya. Adeeva dikejar waktu. Hanya kurang dari lima menit lagi tersisa untuk membawa pakaian milik Yudistira ke ruangannya.
Pintu lift terbuka, untungnya dia sendirian selama di dalam lift tersebut. Adeeva merasa tuhan sedang berpihak padanya. Gadis itu sedikit celingukan memastikan sekitarnya benar-benar sepi sebelum keluar dari dalam lift. Langkah kakinya membawa Adeeva ke ruangan milik Yudistira.
"Dasar Bos Gila!" Segala umpatan dan sumpah serapah sudah Adeeva lontarkan untuk Yudistira.
Pintu ruangan Yudistira sekarang berada di depannya. Adeeva membenahi dirinya yang acak-acakan terlebih dahulu sebelum membuka pintu tersebut. Tangannya mendorong pintu tersebut, membuat ruang kedap suara itu terlihat.
"Sir, ini pak—" suara Adeeva tertahan di pangkal tenggorokan saat melihat Yudistira yang tengah mencumbu seorang wanita di depannya.
Hatinya sakit. Pupil matanya melebar, jantungnya terasa berdenyut nyeri. Kaki dan tangannya sudah lemas bersamaan dengan bibirnya yang tak bisa ia buka. Lidahnya kebas, tak bisa bersuara.