"Tidak tau penyebab pasti dari sakit kepala yang di alami oleh Yudistira. Mungkin efek kecelakaan saat itu, atau efek penyakit amnesia yang dia miliki." Zion duduk sambil menyesap kopi yang Adeeva buatkan. Coffe latte menjadi teman yang cukup enak untuk teman mengobrol. Gadis itu pernah bekerja paruh waktu di sebuah coffe shop terkenal, sehingga mampu membuat beragam olahan kopi.
Adeeva menunduk, memilin jari jemari lentik miliknya. "Adeeva?" Suara lembut Zion menginterupsi, seakan memberi titah untuk mendongak.
Zion menarik nafasnya berat, mungkin ini kesempatan yang baik untuk mengobrol dengan Adeeva. Lagipula Yudistira tidak akan pernah bisa menjelaskan kondisinya kepada Adeeva, bagaimana hancurnya hidup Yudistira setelah kecelakaan itu berlangsung.
"Kau tau? Yudistira tidak baik-baik saja setelah hari itu. Dia hancur lebur," ucap Zion.
Adeeva masih tertunduk dengan rasa bersalah yang semakin bersarang dalam dirinya.
"Dia terkena insomnia parah yang mengharuskannya untuk selalu minum obat agar dapat tertidur..." Adeeva sekarang menyadari mengapa Yudistira terkejut pada hari dimana Adeeva tidur di dalam dekapan Yudistira, itu karena Yudistira dapat tidur tanpa meminum obat.
"Dia selalu merasa kosong, hampa, seperti lembaran kertas putih tanpa coretan. Jiwa Yudistira seakan hilang, Adeeva..." Zion memperhatikan gadis di depannya yang masih menunduk, kini dia seperti melihat Adeeva di masa lalu. Sosok gadis yang menderita depresi. Gadis murung yang selalu menyembunyikan rasa sakitnya.
"Apa dia tidak mencoba untuk menyembuhkan penyakitnya?" Tanya Adeeva. Yudistira sulit percaya dengan orang lain, bahkan dia sulit percaya pada dokter.
"Kau mengenal dia dengan baik, Adeeva. Yudistira tidak pernah mempercayai orang lain. Tetapi meski begitu dia melakukannya, mungkin keinginan untuk sembuh sangat besar. Tapi... itu dulu, dia tidak melanjutkan pengobatan itu karena tak ada perkembangan sedikitpun. Yudistira benar-benar mati di dalam, dia sekarang pasrah terhadap keadaan." Adeeva tak berniat untuk mengangkat kepalanya, dia terlalu malu kepada Zion. Bagaimanapun juga, Yudistira mengalami semua ini karena menolong dirinya. Jika saja hari itu Adeeva tidak menghubungi Yudistira, maka pria itu tidak akan hilang ingatan. Dan Yudistira tidak akan memiliki penyakit mental seperti ini.
"Aku penyebabnya, Zion. Aku yang telah membuatnya seperti itu," lirih Adeeva. Dia tidak menangis, Adeeva terlalu lelah dengan air mata. Hatinya memang sakit, namun air mata nya terasa kering tak dapat keluar. Karena sesungguhnya Adeeva juga mengalami hal yang lebih parah.
"Iya, kau penyebabnya Adeeva. Janji yang dia berikan kepadamu membuat Yudistira merasa kosong. Jiwa Yudistira ada pada dirimu, sembuhkan dia Adeeva. Kembalikan ingatan Yudistira, biarkan dia melunasi janjinya dan hidup dengan tenang." Zion berpindah, kini dia duduk di samping Adeeva sambil mengelus punggung gadis itu. Dia psikolog, sehari-hari menangani orang yang tak baik-baik saja. Dan Zion bisa melihat itu pada diri Adeeva. Hanya saja gadis itu lebih kuat.
"Dia akan membenciku saat ingatannya kembali, aku hampir membunuhnya." Cicit Adeeva. Dia tidak tau harus apa, pikirannya terasa rumit.
"Dan kau akan membiarkannya seperti ini terus?" Adeeva menggeleng cepat, dia tidak mungkin tega melihat Yudistira yang terus tersiksa secara batin.
"Biarkan cinta yang berbicara, Adeeva. Buat Yudistira kembali jatuh cinta padamu, dan buat dia tak akan bisa melepaskanmu, bahkan saat ingatan itu kembali."
***
Tidurnya terusik saat alarm ponsel berlogo apel tergigit terdengar sangat nyaring. Tangan kekar dengan otot yang mengitari segera meraih dan mematikannya. Dia perlahan membuka mata, menyambut hari dengan rasa terkejut ketika menemukan seorang gadis sedang terbaring di sampingnya.
Iris matanya berputar malas setelah mengetahui identitas dari gadis tersebut yang tak lain adalah Adeeva, sekretarisnya. Mendadak rasa bersalah bersarang dalam diri, dia membentak Adeeva terlalu keras semalam.
Gadis itu menggeliat, kemudian mulai membuka matanya. Bibirnya segera melengkung ke atas saat menemukan sorot mata tajam dari Yudistira. Matanya menyipit seiring dengan senyum yang semakin lebar.
"Aku ketiduran saat merawat dirimu semalam, Sir." Lirih Adeeva sambil meregangkan tubuhnya.
Sebelum Yudistira sempat menjawab, suara ketukan pintu membuat Yudistira memilih untuk turun dan membukanya.
"Selamat pagi, Yudis. Eh—" Evan, seseorang yang sedang membawa dua kotak berisi pakaian terkejut saat melihat seorang gadis sedang tersenyum sambil duduk di atas ranjang milik Tuannya. Evan mengerjapkan mata, berusaha melihat lebih jelas bahwa itu nyata.
"Kau membiarkan seseorang menyentuh ranjang mu?" Tanya Evan dengan mata yang masih memperhatikan Adeeva.
"Dia gadis gila yang sangat merepotkan," Yudistira mengambil alih kotak di tangan Evan, kemudian berniat menutup pintu.
"Apa itu Adeeva?" Tanya Evan dengan lirih sebelum pintu kamar Yudistira benar-benar tertutup.
"Iya." Jawab Yudistira datar. Pintu tertutup rapat menyisakan Evan yang menganga tak percaya.
***
Yudistira melemparkan salah satu kotak di tangannya ke atas ranjang. Adeeva mengerutkan keningnya, tidak mengerti maksud dari Yudistira.
"Mandi dan pakailah, kau memiliki tiga puluh menit untuk bersiap." Yudistira berlalu begitu saja meninggalkan Adeeva yang hanya dapat pasrah dengan keadaan. Semoga takdir sedang baik kepadanya.
Gadis itu meraih kotak tersebut kemudian membukanya perlahan. Dia bisa melihat sebuah dress berwarna mocca dan sepatu berwarna gold. Dua warna yang baginya sangat cocok untuk dipadukan. Adeeva tidak tau bahwa selera Yudistira sebagus ini.
Adeeva memilih untuk mandi di kamar mandi luar, kini dia sedang bersiap di kamar Yudistira. Pria itu sudah siap sejak tadi, dia sedang menghisap rokoknya di balkon kamar.
Adeeva memoles make up pada wajahnya, dia memilih riasan yang cukup tebal untuk menutupi identitasnya. Bahkan dia memilih lipstik berwarna merah tua. Penyamarannya kali ini harus terlihat sempurna. Kemudian gadis itu mulai membenahi rambutnya, menariknya jadi satu kemudian menguncirnya dengan jenis pony tail.
"Sudah siap?" Suara berat dan serak Yudistira terdengar. Adeeva mempercepat urusannya. Namun tangannya terhenti saat tangan seseorang melingkar di perutnya, Yudistira memeluknya dari belakang membuat nafas Adeeva tercekat. Gadis itu bahkan bisa merasakan tonjolan keras di pantatnya, apa Yudistira sedang ereksi?
"Jangan menguncir rambutmu, Adeav. Kau hanya menemaniku sebagai sekretaris, bukan sebagai pasanganku." Desis Yudistira di telinga Adeeva. Gadis itu segera melepaskan tangannya, dan rambutnya merah miliknya jatuh tergerai dengan teratur.
Yudistira segera meraih kunci mobil, bertepatan dengan Evan yang memasuki kamar mereka.
"Pakai mobil ini aja," Yudistira melemparkan kunci mobil di tangannya pada Evan, kemudian memberi isyarat pada Adeeva untuk mengukuti langkahnya.
Rolls royce dawn terparkir di depan Adeeva. Evan yang baru hendak masuk ke dalam kursi kemudi segera di tepis oleh Yudistira. "Aku dan dia berangkat sendiri, kau bisa menggunakan mobil yang satunya." Kata Yudistira sambil memasuki bangku kemudi.
Adeeva hanya mengikut, duduk di bangku penumpang sambil mencoba menutupi pahanya yang terekspos. Dressnya cukup ketat, pantatnya jadi terlihat sangat besar.
"Apa aku cantik menggunakan ini, Sir?" Tanya Adeeva. Gadis itu mengedipkan matanya, menggoda Yudistira.
"Cantik, seperti pelacur."