Malam telah datang, pekatnya langit terbawa ke dalam kamar hotel dengan sepasang kekasih di dalamnya. Kejadian di kamar mandi, saat dimana Yudistira mengatakan bahwa dia cemburu membuat suasana menjadi canggung.
Tak ada yang salah pada Adeeva, gadis itu bertingkah seperti biasanya. Tetapi, berbeda dengan Yudistira. Dia memilih terus berada di balkon kamar dan menghisap nikotin yang menjadi candunya.
Adeeva tidak peduli. Dia sedang sibuk melalukan perawatan wajah dengan beberapa produk yang dibelikan oleh Yudistira. Entah kebetulan atau disengaja, tetapi semua produk yang dibelikan pria itu sama persis seperti yang Adeeva gunakan sehari-hari.
Gadis itu tak bisa menyembunyikan senyuman di wajahnya saat mengingat ucapan Yudistira tadi. Katanya, pria itu cemburu. Meskipun dia tahu bahwa artinya Yudistira membuka privasinya, tetapi Adeeva tetap tidak bisa menutup mata bahwa dia bahagia.
Gadis itu memutuskan untuk berbaring di atas ranjang, menarik selimut hingga ke dada kemudian memiringkan tubuhnya dam memejamkan matanya. Hari ini adalah hari yang cukup lelah. Matanya terus terpejam, perlahan namun pasti dirinya mulai terlelap dan memasuki alam mimpi.
Sesaat sebelum gadis itu benar-benar terlelap, dia merasakan lengan hangat melingkar di perutnya bersamaan dengan bibir basah yang berbisik di telinganya.
"Good night love."
***
Matanya terus memperhatikan setiap detail tindakan dari seorang gadis cantik berambut merah. Celana jeans berwarna hitam yang melekat, membentuk kaki jenjanhnya yang indah, kemudian kemeja putih dengan dua kancing atas yang terbuka, membuat gadis itu tampak sempurna. Dia cantik, sexy, dan... tentunya sangat menarik bagi pria bermata elang tersebut.
Hari ini, sebelum kembali ke Indonesia, Yudistira menyempatkan diri untuk bermain bersama pistol-pistol simpanannya. Yudistira memiliki koleksi senjata api dengan jumlah yang cukup banyak. Dia tidak melakukannya untuk hal buruk. Dia memiliki senjata api tersebut untuk berjaga-jaga dan kesenangan semata.
"Bagaimana cara menggunakannya?" Gadis itu sibuk berkutik dengan pistol Desert Eagle Mark XIX yang mematikan. Itu salah satu kesayangan Yudistira.
Senjata buatan Israel ini sudah memiliki pamor yang mendunia akan kemampuan mematikannya. Kalau biasanya pistol lain hanya seperti menusuk saja, Desert Eagle mampu membuat obyeknya tertusuk dan meledak. Daya hancurnya memang gila dengan sematan peluru 325 gram-nya.
Tampilannya memang sangat klasik, tetapi pistol ini sangat ikonik dan keren. Desert Eagle yang sering disebut Deagle ini hanya memuat 7 peluru saja, padahal sebuah pistol biasanya mampu memuat 15 bahkan 20. Alasannya karena peluru untuk Deagle ini besar-besar. Lagi pula, satu peluru Deagle dampaknya sama seperti 3-4 peluru biasa.
Itu alasan yang cukup mengapa Yudistira menyayangi senjatanya yang satu ini. Pria itu berjalan perlahan mendekati Adeeva, dia mengambil alih pistol kesayangannya dari tangan cantik gadis itu. Tadi pagi, saat Yudistira ijin untuk pergi latihan menembak, Adeeva dengan antusias meminta ikut. Katanya, dia sangat ingin belajar menembak.
Yudistira mengeluarkan tempat peluru atau magazine, kemudian mengisinya. "Kau harus mengisi pistolnya dengan peluru terlebih dahulu." Katanya. Adeeva memperhatikan Yudistira dengan seksama, matanya berbinar penuh rasa kagum saat melihat pria tersebut mahir dengan pistol di tangannya.
Setelah Yudistira mengisi magazine dengan beberapa peluru, dia kembali memasangnya ke pistol kemudian menarik slide sehingga peluru yang ada di dalam magazine didorong keatas oleh spring magazine.
Kemudian, dia mengangkat pistolnya, mengambil dua langkah kebelakang dan mengarahkannya tepat ke kepala Adeeva. Yudistira membidik gadis itu.
"Sir?" Adeeva terdiam saat menyadari dirinya dalam bahaya. Pasalnya, peluru yang Yudistira pasang adalah peluru sungguhan. Hanya tinggal menarik trigger, maka dia akan mati dengan kepala yang pecah.
Sayangnya, ekspetasi Yudistira untuk melihat Adeeva ketakutan hingga keringat dingin harus luntur seketika. Gadis itu tetap tenang meskipun sempat terkejut selama beberapa saat. "Kau tidak takut?" Tanya Yudistira. Tangan Yudistira masih fokus dengan pistolnya. Sedangkan matanya, terus mengunci manik madu milik gadis di depannya.
Adeeva menggeleng santai kemudian tersenyum. "Tidak, yang kutakutkan bukan kematian. Melainkan, rasa sakit." Jawabnya.
Yudistira terdiam beberapa saat. Dia ingin melihat Adeeva ketakutan hingga memohon ampunan padanya. Gadis itu seperti tidak memiliki kelemahan, Yudistira tidak menyukainya.
"Seberapa besar rasa sakit yang kau terima di masa lalu hingga kau lebih takut padanya dibandingkan dengan kematian?" Tanya Yudistira. Matanya masih setajam elang, bibirnya menyeringai tipis.
"Satu tarikan bisa menghancurkan hidupmu." Lanjut Yudistira sembari mengarahkan matanya ke arah trigger yang siap dia tekan.
"Aku percaya kau tidak akan melakukannya." Adeeva masih terlihat santai. Dia bahkan melipat tangannya kebelakang, seakan menegaskan bahwa dia sedang tidak dalam posisi bahaya.
"Mengapa kau sangat percaya kepadaku?" Tanya Yudistira lagi.
Adeeva tersenyum tipis, kemudian melangkah maju tanpa rasa takut. "Karena kau mencintaiku." Jawabnya.
"Kau terlalu percaya diri, Adeav." Mood Yudistira sedang sangat baik jika sudah memanggil Adeeva dengan sebutan itu.
Tetapi, ternyata Adeeva salah. Yudistira tetap menekan triggernya hingga...
Dor!