"Peringatkan aku untuk selalu tersenyum."
»»»»»«««««
Peraduan antara benda berbahan stainless dengan yang berbahan kaca itu berdenting halus. Sarapan pagi di rumah Audy kini lengkap empat orang. Ditambah lagi yang memasak adalah Vera mamanya. Mereka keluarga kecil yang harmonis, hanya saja masalah pekerjaan yang selalu membuntuti kedua orang tua Audy, sehingga waktu khusus keluarga hampir tidak pernah dilakukan.
Sarapan pagi ini sangat tenang setelah Farhan memimpin doa. Tapi, Vera memecah keheningan tersebut dengan kata-kata lembutnya. "Tante Sarah cerita semua ke mama Dy."
Audy yang mendengar itu mengernyitkan dahi tanda tak paham. "Maksud mama? Emang tante Sarah cerita apa ma?" Tanyanya.
"Waktu kamu nginep satu malam di rumah om Abimanyu itu, tante Sarah paginya telpon mama tentang curhatan kamu ke tante Sarah waktu malam." Ucap Vera masih tenang.
"Hah? Ma-maksudnya tante Sarah kasih tau mama apa aja yang Audy bicarakan ke tante Sarah?" Tanya Audy tercengang. Vera mengangguk mengiyakan.
"Tte-terus? Mama marah ya?" Tanya Audy gugup dan ragu.
Vera menggeleng pelan dan meletakkan sendok dan garpu perlahan di piringnya, kemudian meminum air untuk mulai bicara dengan putrinya. "Mama nggak marah sayang.. mama ngerasa bersalah sama kalian berdua. Ini karna perusahaan papa kalian yang melemah minggu lalu. Jadi mama turun tangan untuk membantu papa kalian. Dan untungnya kontrak kerjasama dengan Dubes Aussie sukses membuat perusahaan papa bangkit lagi. Selain itu papa kalian juga sudah menjadi Bos seutuhnya kembali." Jelas Vera.
"Terus apa hubungannya sama pembicaraan mama dan tante Sarah? Dan apa hubungannya mama ngerasa bersalah?" Tanya Bita dingin.
"Maafin mama dan papa ya Ta, Dy.. kita jarang atau bahkan hampir nggak pernah quality time. Tante Sarah cerita ke mama tentang curhatan kamu mengenai perhatian kita yang kurang pada kalian. Mama ngerti kalian pasti masih ngerasa gak nyaman. Tapi mama janji mulai sekarang mama ingin jadi seorang Mama seutuhnya." Ucap Vera dengan nada lembut pada kedua putrinya.
Farhan ikut bicara. "Iya Ta, Dy.. maafin mama dan papa ya kalau selama ini kurang mencurahkan kasih sayang pada kalian.." ujar Farhan memohon.
"Ma.. Pa.. Audy gak pernah marah kok. Cuman Audy kangen di mana masa-masa keluarga kita yang hangat dulu sebelum aku dan kakak tinggal di rumah nenek sampai kita duduk di bangku SMP. Itu lama Pa.. Ma.. nggak sebentar. Dan hal itu yang ngebuat keadaan keluarga kita sekarang jadi dingin." Jelas Audy yang berakhir dengan isakan kecil.
"Yang Audy bilang betul Pa.. Ma.. kita gak pernah marah karena semua fasilitas buat kita selalu kalian penuhi dan itu gak bisa buat kita nuntut untuk marah ke kalian. Karena papa sama mama kan kerja buat memperbaiki kembali perusahaan papa." Ucap Bita pelan.
"Sudah sudah.. kalian jangan jadi sedih seperti ini.. ayo Ma.. kasih tau kabar baiknya." Ucap Farhan.
"Ehm.. jadi begini mulai sekarang dan selanjutnya mama bakal jadi Mama seutuhnya di rumah. Dan bisa bersama kalian setiap hari." Vera berbicara mantap dan tersenyum.
"Hah? Betul ma? Jadi mama nggak ikut papa kerja lagi?" Tanya Audy girang.
"Iya sayang.. karna sekarang perusahaan papa kalian seutuhnya milik papa.."
"Bita ikut senang Ma.. Pa.. enak dong ya Audy. Sementara Bita musti kuliah dan tinggal di apartemen lagi." Ucap Bita dengan mimik wajah cemberut. Kemudian mereka saling meyakinkan satu sama lain. Dan selingi canda tawa yang hangat.
"Assalamu'alaikum." Suara salam dari seseorang yang Audy kenal itu terdengar sampai ruang makan. Tentu saja Farhan langsung membalas salam tersebut dan beranjak menyambut seseorang yang datang.
"Audy ke sini cepat ini Alan sudah jemput kamu." Teriak Farhan. Audy yang mendengar itu bangkit dan merapikan seragamnya dan menjinjing tas ransel biru mudanya.
"Widihhh yang dijemput doi aja semangat gitu. Udah cantik lahhh sono sono pergi ntar doi capek nungguin." Ejek Bita jahil.
"Ish kakak paan sih. Udah deh jangan bikin aku blushing." Ucap Audy memegangi kedua pipinya yang menghangat. Kemudian menyalami mama dan kakaknya lalu ngibrit keluar menghampiri Farhan dan Alan.
"Nah itu Audy om." Ucap Alan menunjuk ke arah Audy yang berjalan menghampiri.
"Ya sudah kalian segera berangkat nanti telat." Audy dan Alan segera menyalami Farhan dan masuk ke mobil Alan yang terparkir manis di teras rumah Farhan.
~~~~~
Di mobil, Audy selalu tersenyum senang. Alan yang sesekali melirik ke arah Audy merasa aneh.
"Lo kenapa? Lagi seneng ya senyum-senyum gitu?" Tanya Alan dengan nada yang tentu saja dingin atau judes.
"Emm.. mama sama papa udah kasih kabar baik Al." Jawab Audy dengan senyum lima jari.
"Apa?" Tanya Alan lagi penasaran.
"Perusahaan papa udah seutuhnya milik papa. Jadi papa udah jadi Bos utama lagi. Dan mama bakal jadi ibu rumah tangga seutuhnya." Ucap Audy senang.
"Oh ya? Gue ikut seneng dengernya." Ucap Alan yang tentu saja nadanya datar.
"Makasih Al." Audy kembali tersenyum tenang.
"Lo kalo lagi senyum terus kek gitu bikin adem." Audy yang mendengar perkataan Alan malah tersenyum lebih lebar lagi seperti Miss Indonesia yang selalu tersenyum.
"Hahaha ya tapi jangan senyum terus ntar gue diabetes jadinya." Ucap Alan geli.
"Hah?" Audy menautkan alisnya. Merasa aneh ketika melihat Alan bisa tertawa, namun raut muka masih datar. Lebih mirip psikopat.
"Maksud gue itu gue bakal diabetes kalau lo senyum terus. Lo kalau senyum itu lumayan manis." Ucap Alan.
Blush!! Tuh kan pasti Audy lagi nahan senyumnya.
"Lo lucu kalau lagi blushing." Alan tertawa renyah karna itu. Seketika hati Audy menghangat karena suasana ramah yang tercipta. Audy tidak peduli dengan tingkah Alan yang super duper langka kali ini.
Mobil Alan berhenti mulus diparkiran sekolah. Kali ini Alan selalu parkir di area parkiran sekolah agar dekat saat ingin menuju mobil.
"Nanti gue ada reorganisasi basket sebentar. Lo nunggu di mobil gapapa kan?" Tanya Alan sambil memencet tombol kunci mobilnya.
"Iya gapapa Al. Gak lama kan?"
"Enggak kok. Yang jadi ketua basket kan Dirga temen gue.. gue mah anggota aja."
"Iya deh gapapa."
"Nih langsung masuk aja kalau lo gak mau kepanasan." Kata Alan sambil menyodorkan kunci mobilnya.
"Hah? Ini aku yang bawa?" Tanya Audy gelagapan.
"Iyalah daripada lo nunggu di tempat lain mending langsung masuk mobil aja. Gue duluan." Setelah mengucapkan itu Alan berlalu pergi menuju lantai dua di mana kelasnya berada.
Audy yang menggenggam kunci mobil Alan masih mematung di tempat. Seraya hatinya berkata 'apa ini kode ya kalau Alan mulai respon perasaan gue?' Batinnya. Maybe. Maybe not. Entahlah seperti apa hubungannya dan Alan kedepannya. Eh? Belum jalin hubungan yak mereka. Hihi.
~~~~~
"Wah gila.. jelas aja lo dari tadi senyam senyum gitu Dy." Komentar Steffani setelah mendengar cerita dari Audy tentang kembalinya kehangatan keluarganya dan tentang pulang-pergi sekolah bersama Alan.
"Idih mentang-mentang seneng ya senyum mulu dari tadi. Iya iya gue pahan lo seneng." Vallen ikut menyahut. Keadaan kelas sedikit ramai hari ini karna jam kosong, disebabkan para guru berkutat penuh di kelas duabelas.
"Tuh cowok kayaknya tetep gak peka sama perasaan lo Dy." Ucap Valdi sarkastik.
"Yeee sewot lo Val. Yang penting sekarang gue deket sama Alan." Serga Audy cepat.
"Biasa aja gitu. Yang lo panggil 'Val' siapa?" Tanya Valdi mengejek.
"Lo tuh yang gak peka. Gue panggil lo pakek 'Val' kalo gue panggil Vallen pakek 'Len' dasar." Cibir Audy kesal.
"Lo napa sih Val judes mulu dari kemarin. Nih hari masih hari Selasa ya jangan sewot mulu lo." Cibir Vallen cepat. Sedangkan Steffani hanya bertopang dagu asyik memperhatikan obrolan sahabatnya.
"Gue tanya nih Val. Menurut lo Alan kayak gimana sih? Lo kan juga ikut eskul basket." Tanya Audy pada Valdi.
"Kalau menurut gue dia di eskul cukup sportif. Dia selalu jadi pemain handal selain kak Dirga ketua basket." Valdi sengaja memuji Alan didepan Audy agar gadis itu lega mendengarnya. "Tapi tetep gantengan gue." Sambungnya dengan cengiran kuda andalannya.
"Yeeee pede lo gantengan Alan tau daripada lo." Cibir Vallen dan menjitak dahi Valdi. Valdi mengaduh dan mengusap dahi yang menjadi sasaran Vallen tadi.
Audy dan Steffani terkekeh melihatnya. Dua sahabatnya itu yang sebangku selalu seperti anak kecil yang tak pernah ada yang mengalah.
"Eh Dy lo kalau panggil Alan kenapa gak pernah pakek embel-embel 'kak' sih?" Tanya Steffani.
"Iya Dy. Kita kan jadi ikutan panggil nama doang." Sahut Vallen.
"Gue dari dulu terbiasa panggil gitu jadi Alan gak pernah menyinggung itu. Dia terlihat biasa aja tuh." Jelas Audy. "Ya kalian kalau ketemu jangan ikutan panggil nama doang. Kasih embel-embel 'kak' gitu biar kesannya kalian gak ikutin gue." Sambungnya.
"Pencitraan lo." Cibir Valdi.
"Paan sih sewot mulu'." Tukas Audy.
"Tau ah mending gue ke belakang kelas." Ucap Valdi dan pergi menuju teman lelakinya di belakang kelas yang sedang membagi canda tawa.
"Tuh anak gak pernah sehat kalau lagi ngomongin Alan." Vallen angkat bicara.
"Biarin deh ya gue no comment." Ucap Audy.
"Seperti biasa gue gak paham soal perasaan." Ungkap Steffani nyengir dan menunjukkan jarinya membentuk huruf 'V'.
~~~~~
Sekarang Audy sudah berada di dalam mobil Alan. Menunggu cowok bernama Alan yang namanya itu terukir dihati Audy untuk pulang bersama. Tak lama ketukan jendela sebelah kanan menyadarkan Audy untuk membuka tombol kuncinya dan Alan pun masuk serta mulai menalankan mobilnya keluar dari gedung sekolah.
"Lama?" Tanya Alan.
"Nggak lama Al. Gimana reorganisasinya? Temen aku yang namanya Valdi jadi apa dia?" Tanya Audy dengan rentetan pertanyaan keponya.
"Valdi? Oh yang tampangnya rapi itu ya?" Audy menggangguk. "Oh dia termasuk pemain handal kayaknya nerusin generasi gue. Tuh anak emang rapi gitu ya tampilannya?" Sambung Alan.
"Ya gitu dia emang rapi dalam segala hal." Alan mengangguk mengiyakan.
Tak lama mobil Alan berhenti di depan rumah Audy. Audy pun turun sesudah Alan berbicara "Besok gue jemput jam 6 kayak tadi jangan telat. Gue duluan. Jangan lupa keep smile." Ujar Alan datar.
Setelah itu Audy melambaikan tangan dan terus memperhatikan mobil Alan yang menjauh.
Audy terus memikirkan perkataan Alan hari ini. Cowok itu selalu menyuruh Audy tersenyum seakan tak ingin Audy kehilangan senyumnya. 'Apa Alan udah respect ke gue ya?' Pikirnya. Lalu masuk ke dalam rumah dengan senyum yang masih mengembang. Ia akan selalu menanti hati esok untuk satu mobil dengan Alan.
***