Audy terbangun karena merasakan haus pada tenggorokannya. Rasanya kering sekali karena ia merasakan tadi tidurnya dengan mulut sedikit terbuka. Ditambah hembusan AC kamar yang AC nya diletakkan menghadap kasurnya, menjadikan tenggorokannya terasa lebih kering lagi.
Diraihnya ponsel yang ada di atas nakas. Untuk memgintip jam berapa. Ternyata pasti pukul 02.14 dini hari. Audy terduduk agak lemas, matanya masih mengerjap beberapa kali untuk menyesuaikan pandangan.
Audy juga jadi sedikit berpikir tentang keberadaan kulkas di rumah ini. Tadi waktu ia naik ke lantai dua di mana kamarnya berada, ia tidak melihat adanya kulkas lain di lantai dua. Artinya, kulkas di rumah ini hanya satu dan terletak di dapur.
Gadis itu sebenarnya penakut, tapi ia sangat haus. Rumah Alan memang besar dan luas namun kalau semua sudah tidur, lampu memang dimatikan semua. Kecuali lampu dapur dan ruang tamu. Itu pun yanh dinyalakan bukan lampu yang letaknya menempel di plafon. Tapi lampu remang-remang yang menempel di tembok. Ah, lebih tepatnya seperti lampu tidur.
Kalau di rumahnya sendiri, Audy memang terbiasa terbangun saat dini hari karena haus juga. Tapi rumahnya selalu terang, karena Bita juga penakut seperti dirinya.
Audy sudah keluar dari kamarnya. Gelap. Lantai dua sangat gelap. Ia berjalan pelan menggunakan sandal berbulu empuk yang tadi sempat dipinjamkan Arel.
Menuju tangga, Audy agak merinding rupanya. Entah mengapa ia jadi merasa sedikit seram ketika melihat ke bawah. Pikirannya sudah aneh-aneh saja dan liar. Tahu apa yang Audy pikirkan? Yaitu, ketika ia berjalan turun ia akan diikuti sesuatu dari belakang. Dan gadis itu masih celingukan seperti maling.
Berusaha mengusir pikiran buruknya, Audy menuruni anak tangga dengan santai. Kalau tegang malah apa yang ada di pikirannya bisa datang secara nyata dan disebut halusinasi.
Audy berhasil sampai ke dapur. Segera mencari sebuah gelas. Namun ia agak bingung gelasnya berada di mana. Kalau di rumahnya, semua gelas dan piring berada di sebuah rak. Tapi di dapur ini tidak ada rak. Hanya ada rak piring stainles di sebelah wastafel yang gunakanya mengeringkan semua alat makan setelah dicuci. Ah, mungkin seperti gaya orang luar. Piring dan gelas ditata di dalam laci-laci dapur yang tertempel pada tembok.
Ternyata benar, Audy agak berjinjit ketika membuka laci dapur itu. Tatanannya sangat rapi. Piring di laci tertentu, gelas juga begitu. Intinya semua alat makan disendirikan dan tidak dicampur.
Audy langsung menuju ke dispenser air minum, ia tidak berminat minum air botolan di dalam kulkas. Rasanya akan seperti air es dan itu terlalu dingin bagi Audy. Tuh kan, Audy labil. Padahal tadi yang ia cari adalah di mana letak kulkas. Ah, lagi pula di lantai atas juga tidak ada dispenser air. Sama saja membutuhkan tenaga untuk turun ke lantai satu.
Agak horor rasanya ketika mendengar bunyi gelembung dari galon air. Apalagi suasana sangat hening dan sepi, bahkan Audy bisa mendengar napasnya sendiri.
Selesai minum, Audy meletakkan gelasnya di pinggir wastafel. Nanti ia akan membantu Sarah pagi-pagi di dapur. Audy agak termenung sebentar sebelum berniat kembali ke kamarnya. Walaupun begini, tapi suasana rumah Alan sangat berbeda dengan rumahnya. Ayah dan Ibu Alan selalu ada. Beda dengan dirinya yang sudah terbiasa sendiri di rumah. Karena biasanya Bita juga tidak ada di rumah, namun di apartemen yang dekat dengan kampus perempuan itu. Kadang Audy ingin ikut Bita saja, namun jarak apartemen Bita sangat jauh dengan sekolahnya. Meskipun bisa naik taksi, tapi Audy yakin pasti akan banyak macetnya.
Gadis itu menguap, tanda bahwa ia kembali mengantuk lagi. Namun ketika ia membalikkan badannya, sesosok tinggi dan jangkung kini sedang menatapnya.
"Astaga!!!!" Pekik Audy kaget. Itu Alan rupanya. "A-alan??? Astaga.. maaf aku kaget." Ujarnya tergagap.
Alan diam saja dan masih berada di hadapannya. Audy jadi curiga dan sangat takut. Karena biasanya kalau di film-film horor, hantu bisa menyerupai manusia dan kalau diajak bicara tidak pernah menyahut dan diam saja. Apakah sekarang yang ada di hadapannya ini bukan Alan? Tubuh Audy serasa kaku dan lemas rasanya.
Alan mendekat, hingga ujung jari kaki lelaki itu bertemu dengan ujung jari kaki Audy. Lelaki itu tak perlu berjinjit, tangannya mengambil sebuah gelas dari laci atas. Tubuh Audy sudah seperti dikurung oleh Alan.
Tubuh Audy masih kaku, namun ia lega ternyata Alan memang Alan. Bukan hantu. Yang membuatnya kaku adalah posisi Alan. Yang bahkan tidak menyuruhnya pergi atau menyingkir dari situ.
Area dapur di sekitar wastafel itu sangat remang-remang sekali. Bahkan bisa dibilang gelap karena lampu kecil yang ada di ujung pintu dapur itu penerangannya tidak meluas.
Wajah Alan maju mendekati wajah Audy. Tentu saja wajah Audy jadi mundur. Posisi mereka sangat intim bahkan bisa dibilang seperti pasangan yang ingin berciuman. Audy tak bisa berbuat apa-apa, pinggangnya sudah menempel pada ujung wastafel dan Alan tidak segera beranjak dari hadapannya.
Audy kehilangan tumpuannya, dan otomatis kedua tangannya memegangi bahu Alan. Tangan kiri Alan juga otomatis menahan bagian belakang pinggangnya agar Audy tidak terlalu ke belakang.
Hembusan napas Alan dapat Audy rasanya di pipinya. Alan sedang apa? Audy hanya bisa memejamkan matanya. Namun, ia malah mendengar sebuah peringatan.
"Kalau mau maling, jangan di rumah ini." Ujar Alan sarkas dan menjauhkan tubuh Audy ke samping. Seperti membuang barang saja.
Tentu saja Audy kaget bukan main. "A-apa?? Apa kata kamu?" Tanya Audy yang sedikit tersulut. Bagaimana tidak? Siapa juga yang suka dikira sebagai maling? Lagi pula kalau dirinya mau maling, buat apa ia menuju dapur dan hanya minum?
"Balik sana." Suruh Alan.
Audy memberengutkan bibirnya. "Siapa juga yang mau maling. Maling gelas buat minum itu iya!!" Kesal Audy sambil bersedekap dada.
"Lo gak bisa apa bedain candaan?!" Kali ini Alan yang kesal.
Audy mengangakan mulutnya. Yang benar saja tadi itu candaan, bahkan orang umum saja pasti juga tidak akan mengira bahwa tadi Alan bercanda.
"Kamu tuh dingin banget ya Al.. Mau bercanda atau mau bicara biasa aja nadanya tetep sama. Dingin." Ujar Audy lalu berbalik dan berjalan cepat meninggalkan Alan yang masih terdiam sambil menunggu gelasnya penuh dengan air.
Alan terdiam dan meminum sedikit air dalam gelasnya. Ia hanya bisa bertanya dalam hatinya sendiri. Menurutnya, memangnya bercanda iti nadanya harus bagaimana dan seperti apa? Apakah berbeda dengan nada bicara?
"Dasar! Manusia gak bisa senyum dan gak bisa ketawa ya gitu. Kaku aja tuh mulutnya. Masih mendingan si Joker daripada Alan. Joker bisa ketawa, Alan nggak bisa." Gerutu Audy.