Audy menitikkan air matanya ketika mobil Vallen menepi depan trotoar taman kota. Rasanya menghindari Alan adalah hal terburuk yang pernah ia lakukan. Sejak tadi Audy ingin sekali menjerit pada Alan kalau ia mau diantarkan pulang dan saling bicara lagi. Audy juga ingin membeberkan semua yang ia alami pada Alan. Namun tentu saja ia tidak berani dengan Bianca.
"Dy, lo kenapa? Cerita dong.." pinta Vallen dengan menatap sedih sahabatnya. Gadis blasteran Jerman-Indonesia itu mengelus pelan lengan Audy.
"Gue harus menghindari Alan.. gimana dong?" Tanya Audy dengan suara yang serak khas orang menangis.
"Emang kenapa kok harus menghindari Alan?"
Audy dengan gugup memainkan kuku-kuku jemarinya dan menggigit bibir bawahnya. Kedua matanya semakin memanas, dia bingung harus menceritakan pada Vallen atau tidak.
"Len.. gue lagi mengalami masa sulit. Cukup lo ada di samping gue, gue udah tenang kok. Untuk cerita apa dan kenapanya, sepertinya gue belum bisa cerita." Jawab Audy dengan menunduk.
Vallen mengelus tangan kanan Audy yang ia genggam. Berusaha menyalurkan kekuatan semangat untuk sahabatnya. "Oke deh jika itu keputusan lo. Yang terpenting, apapun hal itu jika lo udah merasa sangat berat untuk dipendam sendiri, gue sama Steffani ada di samping lo. Akan selalu ada. Valdi juga ada yang siap jagain lo kapanpun kan.."
Audy mengangguk, lantas memeluk Vallen dengan sangat erat. Setidaknya Audy masih memiliki sahabat yang mampu ada di dekatnya dan mampu mengerti dirinya.
***
BUGH! BUGH!! BUGH!!!
Samsak berwarna hitam dengan garis-garis merah di bagian ujung atas dan bawah itu menjadi sasaran empuk dari Dirga. Keringat memenuhi seluruh kulit tubuh Dirga. Persis seperti mandi air.
Di bagian dahi dekat rambut juga mengalir tetes-tetes keringat. Membuat setiap tetes keringat itu turun ke dagu dan menetes terus menerus. Napasnya memburu dan kedua matanya memandang tajam sebuah samsak yang menjadi sasaran tinjunya. Seolah sedang membayang wajah seseorang yang membuatnya semakim beringas meninju dan meninju.
"Udahan. Nanti lo sakit Ga.." ucap seorang gadis cantik berambut pirang kecoklatan. Tubuhnya ramping dengan memakai setelan baju olahraga.
"Bodo." Sahut Dirga tak peduli.
"Ck. Lo tuh baru pulang sekolah. Lagian sok banget sih maksain ninju mulu dari tadi. Kalau lo kesel sama orang, jangan ngebut tubuh lo sakit juga. Lampiasin pake cara lain." Omel gadis tadi sambil membuka tutup botol air mineralnya.
Dirga menghentikan aktivitas meninju samsaknya. Memang dirinya hanya seperti itu sejak tiga jam yang lalu. Tidak berhenti sama sekali bahkan tidak minum atau mengatur napas sejenak. Lelaki itu meraih handuk yang sudah tersedia, yang digantung di pegangan Treadmill.
"Lo gak akan paham apa yang gue rasain, Vi." Ucap Dirga, kemudian meneguk air mineralnya juga sampai habis.
"Gue tahu. Kan gue tahu semua tentang lo. Lo juga tahu semua tentang gue. Bukannya kita sahabat?"
"Viviane Drizella. Gue tahu kita sahabat, tapi kenapa baru sekarang lo ke apartemen gue lagi? Udah amnesia sama gue?" Tanya Dirga dengan tampang yang agak kesal.
Ya. Gadis itu bernama Viviane Drizella. Sekolah juga di SMA yang sama dengan Dirga, ia juga berada di jurusan IPS. Namun Viviane berada di kelas 12 IPS 3, beda kelas dengan Dirga. Viviane sahabat Dirga sejak mereka masih di dalam kandungan ibu mereka. Karena Ibu mereka juga bersahabat sejak SMA. Viviane dan Dirga memang tinggal di tower apartemen yang sama dan bertetangga.
Viviane terkekeh. "Lo kangen sama gue? Gue sengaja kayak gitu. Pengen nge-tes aja lo hubungin gue apa enggak. Ternyata enggak. Yaahhh kayaknya gue nih yang dicampakkan." Ucapnya dengan tertawa kecil.
Dirga mendengus. "Emang lo suka gue? Kayak apa aja lo bilang gue campakkin lo." Omelnya.
Tanpa Dirga tahu, Viviane jadi menunduk. Memandangi jari kakinya sendiri dengan dilingkupi perasaan yang sedikit gugup. "Lo kayak gak kenal gue aja. Gue kan bercanda Ga.."
"Iya iya.. gue paham. Sering sering lah ke sini lagi. Ini ruangan gym gue kalau gak lo pake rasanya terbengkalai. Kan biasanya lo rajin nge gym."
Mendengar Dirga bicara begitu, hati Viviane menghangat. Setidaknya ia masih diharapkan Dirga untuk datang main ke apartemen cowok itu. "Iya deh.."
Di apartemen Dirga memang ada satu ruangan khusus yang pintunya berbahan kayu dan cara membukanya digeser. Ruangan itu ruangan khusus gym. Hanya ada empat peralatan, yaitu Treadmill, Exercise Bike, Brench Press, dan tentu saja samsak dan sarung tinju yang sering Dirga gunakan.
Viviane sebelumnya memang sering sekali pulang sekolah datang ke sini. Gadis blasteran Indo-Amerika itu menyukai alat Exercise Bike, di mana alat tersebut fungsinya menyerupai aktivitas bersepeda. Yang populer juga dengan sebutan sepeda statis.
"Bi Rahmi udah pulang yah.. dia pulangnya jam berapa sekarang?" Tanya Viviane ketika membuntuti Dirga keluar dari ruangan gym.
Dirga mengangguk sambil menyeka sisa keringatnya di leher dan pelipis dengan handuk. "Iya. Pulangnya sekarang jam satu siang. Bahkan di jam itu gue belum pulang sekolah. Ketemu dia pas pagi aja jarang, karena gue duluan yang berangkat sekolah."
"Tapi beliau juga masih cekatan bersihin apartemen yang terbilang luas ini."
"Iyalah. Udah bertahun-tahun Bi Rahmi ikut keluarga gue."
Viviane tersenyum tipis. "Ya udah gue balik ke apart gue yah Ga.. ada tugas soalnya."
Dirga mengangguk saja sebagai jawaban, dan membiarkan Viviane pergi sendiri menuju pintu apartemen dan keluar dari sana.
Setelah Viviane tidak ada, langkah kaki Dirga yang seharusnya menuju kamarnya malah terhenti di ruang tamu. Kepalanya menoleh ke kanan, di mana kamar Diana memang ia biarkan pintunya terbuka sejak kemarin.
Cowok itu masuk ke dalam kamar adiknya. Memang tidak ada satu foto Diana pun di dalam sana. Dirga duduk di pinggir kasur sebelah kiri, di mana ia menghadap ke lemari baju. Bau parfum Audy masih tercium dengan jelas. Membuat Dirga mau tak mau mengingat Audy secara tiba-tiba.
Ingat malam di mana Dirga mengompres kaki Audy? Ya, saat itu ketika Audy tertidur di bahunya, Dirga menggendong Audy ala bridal style dan ia tidurkan di atas kasur di kamar Diana. Setelah melepas kompres es batu di kaki Audy, saat itu Dirga sempat memandangi wajah Audy yang terlelap seperti bayi.
Pandangan Dirga kemudian menyisir ruangan kamar Diana yang rapi dan bersih. Suasana apartemen menjadi sangat hening ketika tidak ada Audy lagi. Sebenarnya saat mencegah Audy pulang kemarin dan harus menunggunya pulang sekolah, Dirga punya maksud lain. Yaitu agar apartemennya tidak sepi. Dan Dirga merasa hatinya kembali terisi penuh, ketika kamar Diana ada yang menghuni. Dirga merindukan Diana.
***