"LO DI MANA??? ASTAGA LO KENAPA? LO BAIK-BAIK AJA KAN?" Tanya Vallen yang suaranya nyaring sekali. Sampai Audy meringis kecil mendengarkannya.
"Astaga Len.. gak usah teriak. Gue baik-baik aja kok.. makasih ya udah bantuin kasih tau Mama gue."
"Iya. Tapi ceritain dulu lo di mana?" Tanya Vallen yang masih panik.
Belum sempat Audy menjawab, suara lelaki yang berada di belakangnya itu menginterupsi dirinya.
"Lo udah bangun rupanya?"
Sontak saja Audy benar-benar kaget dan berjengkit sambil mengelus dadanya. Gadis itu membalikkan badannya dan memberanikan diri menatap Dirga yang baru datang.
"Halo Dy?" Tanya Vallen yang menunggu sahutan Audy.
"L-len.. nanti gue telpon lagi yah." Ujar Audy agak gugup dan mematikan sambungan telponnya dengan cepat.
"Ah, i-iya kak." Ujarnya singkat sebagai jawaban dari pertanyaan Dirga tadi.
Dirga yang menenteng helm hitamnya itu lantas segera menaruh helm itu di atas lemari bufet. "Mau makan?" Tawar Dirga ramah sambil memperlihatkan dua bungkus sate ayam dalam sebuah kantong plastik putih.
Audy mengangguk pelan dan membuntuti Dirga yang menuju ke arah ruang makan. Lelaki itu berpakaian serba hitam. Celana jeans hitam, jaket hitam, bahkan dalamnya pun juga kaos polos warna hitam. Kulit Dirga itu putih bersih, jadi Audy rasanya seperti melihat seorang vampire saja di hadapannya.
Dengan telaten, Dirga menyiapkan dua piring dan membukakan satu porsi sate untuk Audy. Lelaki itu mendorong piring yang sudah berisi sepuluh tusuk sate ayam dengan banyak bumbu ke hadapan Audy yang sudah duduk dengan anteng di kursi dan menghadap meja makan.
"Enak kok satenya. Beli di sate Mang Mamat yang ada di pojokan perempatan jalan." Ujar Dirga padahal Audy tidak bertanya.
Sebenarnya Audy sudah kenyang makan bubur ayam setengah mangkuk, namun melihat Dirga yang sudah melahap sate ayam dua tusuk itu membuat dirinya ngiler juga. Dirga juga menambahkan irisan lontong pada piringnya.
Melihat Audy yang diam saja, Dirga mengangkat satu alisnya. "Mau lontong juga?" Tanyanya.
Audy menggelengkan kepalanya sebagai jawaban.
"Lo kenapa? Masih sakit? Kok gak mau ngomong? Gue anak baik kok. Gak bakal ngapa-ngapain lo. Gak tertarik." Ujar Dirga yang sengaja memancing Audy untuk bisa bicara padanya.
Mendengar itu Audy lantas mendengus sebal. "Bukannya di apartemen ini di lantai bawah disediakan cafe dan restoran? Kenapa kakak beli jauh-jauh?"
"Gue gak terlalu suka masakan cepat saji. Lagian kenyangan beli di pedagang biasa. Harga lebih murah." Jelas Dirga.
Audy menganggukkan kepalanya paham. "Oh.. lagi hemat."
"Akhirnya lo bicara juga." Ujar Dirga lega.
Audy mengambil satu tusuk sate ayam dan memandanginya saja. Ia belum mrmakannya satu tusuk pun. Sementara Dirga sudah memakan 6 tusuk.
"Makasih kak." Ujar Audy memberanikan diri untuk mengucapkan terima kasih namun masih enggan menatap Dirga secara bebas.
"Ah, iya sama-sama. Lo inget kejadian tadi?"
Ditanya begitu Audy menelan ludahnya sulit dan menyelipkan rambutnya ke belakang telinga. Terlihat sedikit gugup.
"Maksud gue, lo inget kalau lo pingsan?"
Lega. Ternyata pertanyaan Dirga untuk dirinya itu tentang kejadian ia pingsan. "Oh iya kak. Di belakang gedung basket."
"Syukur deh kalau lo inget. Tadi yang beresin badan lo itu pembantu gue. Namanya Bi Rahmi. Biasanya dia pulang jam 4 sore, tapi tadi karena ada lo dan gue harus keluar bentar akhirnya gue suruh dia nemenin lo sampai bangun."
"Ini baju siapa?" Tanya Audy.
"Baju adek gue. Badannya sama kayak lo tapi dia masih SMP."
"Ah..gitu.."
"Makan." Ujar Dirga dengan santai.
Mendengar itu rasanya seperti perintah bagi Audy. Dengan pelan gadis itu akhirnya ikut memakan sate ayam yang Dirga belikan. Makan dengan pelan dan menikmati bumbu sate ayam yang menurutnya sangat enak.
"Gak pakek lontong? Enak loh. Lontongnya juga empuk. Gak bikin seret." Tawar Dirga sambil memberikan satu lontong yang tinggal setengah.
Audy menerima pemberian itu sekaligus sebuah pisau kecil untuk mengiris lontong yang masih terbalut daun pisang. Kemudian ikut memakan lontong yang dicampur dengan sate ayamnya. Enak.
Menyerah. Audy tidak bisa menghabiskan sepuluh tusuk. Gadis itu hanya kuat sampai tujuh tusuk saja dan masih tersisa tiga tusuk. Sedari tadi Dirga hanya mengamati cara makan Audy yang super pelan dan lambat. Lelaki itu hanya diam tanpa bicara dan bersedekap dada.
"Habisin." Perintah Dirga.
"Gak kuat kak. Udah kenyang." Ujar Audy jujur sambil mengusap perutnya yang sedikit membuncit karena terlalu banyak isi di sana.
"Makan tuh harus dihabisin. Mubazir." Ujar Dirga yang malah menyeret piring Audy ke hadapannya dan ia memakan tiga tusuk sate ayam itu.
Audy melongo. Baru kali ini ia tahu ada orang asing dalam hidupnya dan bersedia menghabiskan sisa makanannya. "T-tapi i-itu kan--"
"Bukan makanan sisa. Ini karena lo yang gak bisa habisin. Gue paling gak bisa lihat orang buang-buang makanan. Di luar masih banyak yang bahkan gak bisa makan." Ujar Dirga tanpa peduli Audy yang masih melongo keheranan.
"M-maaf.."
Dirga mendongak, menatap Audy dengan polosnya malah meminta maaf. "Gue gak marah. Ngapain minta maaf?"
"Iya itu kak, gue gak bisa habisin makanannya."
"Gapapa, santai aja. Udah biasa juga kalau adek gue gak habis makanannya, pasti gue yang abisin."
"Tapi gue kan bukan adek lo. Gue orang lain."
"Tapi lo kayak adek gue." Ujar Dirga cuek.
*
Selesai makan, Audy tetap mengekori Dirga yang menuju ke ruang santai. Lelaki itu menyalakan televisi yang salurannya sedang menayangkan berita-berita. Tidak untuk ditonton, Dirga malah asyik bermain game di ponselnya. Sedangkan Audy dengan nyali yang sedikit ciut itu hanya bisa diam dan duduk di samping Dirga. Sudah seperti pasutri yang baru kenal saja.
Baru ada sepuluh menit Dirga memainkan gamenya, lelaki itu jadi agak aneh kalau ada seorang gadis yang duduk di sampingnya. Apalagi diam saja dan tidak melakukan apapun selain hanya menatap televisi. Dirga mengalah, mengeluarkan gamenya dan mengunci ponselnya begitu saja.
"Udah baikan badannya?" Tanya Dirga.
Audy mengangguk sebagai jawaban. "Emm kak.. kakak itu kak Dirga ya?"
Dirga terkekeh. "Jadi sedari tadi lo baru menyadari kalau gue adalah Dirga ketua basket angkatan kelas 12?"
Dengan polos Audy mengangguk pelan.
"Astaga, lo gak kenal gue?"
"Enggak. Baru tahu tadi sore pas kakak nongkrong di taman sama teman-teman kakak dan temen gue ngasih tahu kalau dia ngefans sama kak Dirga."
"Haha.. gue juga baru tahu kalau ada yang gak ngerti gue siapa sejauh ini. Nama lo Audy kan? Kelas 11 jurusan IPA."
"Kok kak Dirga tahu?"
"Ya kan gue cari tahu."
"G-gue mau pulang kak." Ujar Audy terbata.
"Terus lo mau gue anter lo pulang?"
Dengan polos tentunya Audy mengangguk. "Pulang aja kalau lo mau orang tua lo lihat kaki anaknya pincang."
Benar juga. Tapi masa iya, ia harus menginap di apartemen cowok yang baru ia kenal? Berdua saja?