"G-gue mau pulang kak." Ujar Audy terbata.
"Terus lo mau gue anter lo pulang?"
Dengan polos tentunya Audy mengangguk. "Pulang aja kalau lo mau orang tua lo lihat kaki anaknya pincang."
Benar juga. Tapi masa iya, ia harus menginap di apartemen cowok yang baru ia kenal? Berdua saja? Ah, Audy lupa kalau Vallen sudah membantunya mengirimkan keadaannya ke Mamanya seakan-akan ia sedang menginap di rumah Vallen.
"K-kalau gitu.. anter gue ke rumah temen gue dong kak, Vallen." Ujar Audy pelan.
Dirga hanya berdecak dan mengalihkan pandangannya ke televisi yang masih setia menampilkan berita-berita malam. "Gue gak mau kalau nanti dikira gue pacaran sama lo." Ujarnya berubah menjadi ketus.
"Gak gitu... kan bisa dijelasin ntar gue juga mau curhat tentang keadaan gue yang abis dibu---" Audy hampir keceplosan. Ia langsung melipat bibirnya ke dalam dan merutuki dirinya sendiri.
"Abis dibu apa?" Tanya Dirga penuh selidik dan menyipitkan matanya menajam ke arah Audy.
"Gak.. gak apa. Pokoknya minta tolong anterin ke rumah Vallen." Ujarnya merengek seperti anak kecil.
"Gak."
"Lah.. plis kak, gue gak bakal cerita siapa-siapa kok kalau gue ditolongin kakak."
"Gak."
Audy cemberut ketika mendengar satu kata yang sama untuk kedua kalinya sebagai jawaban dari Dirga. "Vallen yang nutupin keadaan gue ke nyokap gue dan dia yang pamitin gue ke nyokap gue kalau gue nginep di rumahnya. Seenggaknya ntar gue gak bohong."
"Gak. Gak ya gak."
"Terus? Kakak mau gue nginep di sini?"
"Iya."
"Berdua?"
"Iya."
"Tidur bareng?"
"Iya. WHAT??? Gila lo. Ya gak lah. Ada kamar adek gue noh di deket ruang tamu. Lagian kalau lo gak mau tidur di kamar ya udah tidur lagi aja di ruang tamu." Ujar Dirga yang sebenarnya keadaan jantungnya sudah seperti ritme disko. Jedug jedug jedug.
Audy jadi terkekeh karena reaksi Dirga yang jadi kaget secara berlebihan.
"Ketawa juga akhirnya lo." Ujar Dirga.
"Kak plis.. seriusan gue gak boleh minta anter ke Vallen?"
"Gak."
"Kenapa? Harusnya kakak dengan senang hati dong gue gak ngerepotin di sini lagi."
"Seragam lo belum kering. Ada di ruang cuci belakang dapur." Ujar Dirga menjelaskan.
"Ah, itu.. kalau besok belum kering juga gimana yah?" Tanya Audy yang malah mengkhawatirkan seragamnya.
"Mana gue tahu."
Audy hanya mendengus kecil mendengar reaksi Dirga yang singkat.
"Lo dibully ya tadi?" Tanya Dirga yang sebenarnya sudah menahan pertanyaan ini untuk keluar sejak Audy tersadar tadi.
Tenggorokan Audy rasanya tercekat, lidahnya kelu. Pergerakan matanya juga ke kanan dan ke kiri seolah bingung mencari sebuah alasan.
"Gu---"
"Gak usah nyangkal. Kalau lo tadi renang, udah gak mungkin. Gedungnya beda dan jauh dari kelas lo. Lo ulang tahun? Gak mungkin. Orang ulang tahun kalau dikerjain gak bakal pulang dalam keadaan sendirian dan ada luka. Siapa?"
"Hah?"
"Siapa pelakunya?" Tanya Dirga yang menuntut jawaban.
Ada beberapa menit Audy masih diam, namun ketika ingin menjawab. Dirga dengan tegas malah mencegah Audy bicara.
"Gak usah lo sebut, kalau lo belum berani sebut. Gue anter ke kamar. Lo harus istirahat." Ujar Dirga yang beranjak dari duduknya.
Tentu saja dalam diam Audy hanya mengekor di belakang Dirga sambil menggenggam ponselnya.
Klek!
Dirga membukakan pintu kamar untuk Audy. Dapat Audy lihat kamar tersebut warnanya serba soft pink. Dari cat tembok hingga semua perabotan. Soft pink yang dipadu dengan warna putih. Bersih sekali kalau dipandang.
"Ini kamar adek gue. Lo boleh ganti baju tidur lagi kalau lo ngerasa yang lo pakek udah gak nyaman."
"Ah, iya. Makasih kak."
"Oke." Ujar Dirga singkat dan membalikkan badannya hendak menuju ke ruang santai untuk mematikan televisi.
Namun, ujung belakang jaket kulit hitamnya itu dipegangi oleh Audy. Lelaki itu dengan tampang heran kembali membalikkan badannya menatap Audy.
"Apa? Tenang aja. Gue gak bakal ada rencana jahatin lo. Kunci aja kamarnya kalau lo gak percaya. Gue juga gak punya kunci serep ntuh kamar." Ujar Dirga yang salah paham.
"Hah? B-bukan itu kak."
"Terus?"
"Pinjem charger boleh?"
Ya. Tentu saja Dirga merasa kalau dirinya salah sangka dan agak malu. Kenapa di sini jadi dirinya yang takut? Harusnya Audy yang takut dan berpikir bahwa dirinya bisa saja bertindak buruk pada gadis itu.
"Oh. Tunggu aja di dalem. Gue ambilin di kamar."
Mendengar itu Audy mengangguk kecil dan melepaskan pegangannya ada ujung jaket kulit yang masih Dirga kenakan sejak tadi.
Saat berbalik dan ingin melangkah untuk mengambilkan apa yang Audy minta, Dirga masih sempat mengamati apa yang dilakukan Audy dengan duduk di pinggir kasur. Dilihatnya Audy sedang menyibakkan kain celana kanannya dan dengan jelas terpampang lebam yang sudah membiru. Dirga yang menatap itu langsung membalikkan badannya dan mengambilkan sesuatu untuk Audy.
*
"Nih chargernya." Ujar Dirga santai. Padahal ia sudah memergoki tingkah Audy yang dengan kelabakan kembali menurunkan kain celana untuk menutupi lebam di betisnya.
"Ah iya. Thanks ya kak."
"Hm." Dirga hanya bergumam sebagai jawaban. Namun lelaki itu langsung berjongkok di depan Audy dan mengeluarkan kemasan salep yang berada di genggaman tangan kirinya.
Audy tentu saja dibuat terkejut dengan tingkah Dirga yang tiba-tiba. "Ng-ngapain kak?" Tanyanya gugup.
Tidak menjawab pertanyaan Audy, dengan pelan Dirga mengangkat kaki kanan Audy untuk bertumpu di salah satu pahanya. Kemudian menyibakkan kain celana baju tidur tersebut sampai ke lutut. Tentu saja Audy jadi tidak enak dan lumayan sungkan.Tapi bersamaan dengan rasa sungkannya, jantungnya berdegup kencang.
"Sshhh Aw.. Aw.." ringis Audy pelan.
Dirga berdecak. "Kan nggak luka luar. Apa sakit?" Tanyanya perhatian.
"Iya. Kalau disentuh sakit."
"Maklum lah. Ini kan lebam membiru."
Nah itu tahu, terus kenapa tadi sempat melayangkan pertanyaan kenapa sakit? Rasanya Audy ingin mengomelinya saja namun tentu saja tidak berani.
Selesai mengoleskan salep tersebut, Dirga dengan pelan mengangkat kaki Audy lagi dan dikembalikan dengan pelan. "Jangan ditutupi apapun kalau bisa. Biar salepnya sampai meresap dan kering. Kalau nggak, gak sembuh-sembuh ntar."
"Ah, i-iya kak. Makasih."
"Oke. Gue tutup pintunya ya.."
Audy mengangguk sebagai jawaban. Namun lagi-lagi ia dibuat terharu akan sikap Dirga yang memang perhatian. Lelaki itu memindahkan kunci kamar yang semula tergantung di depan, jadi dipindahkan ke dalam. Biar nanti kalau Audy merasa khawatir bisa mengunci kamar dari dalam. Ah, andai saja Audy memiliki seorang kakak lelaki. Pasti ia juga akan diberlakukan seperti princess.
Apa dayanya yang hanya memiliki Bita sebagai kakak perempuannya dan mereka hanya dua bersaudara. Mungkin saat ini Bita juga tidak mengingat dirinya sama sekali. Ah, Bita pasti sibuk dengan tugas kuliahnya sendiri di apartemen gadis itu.
***