"Huh, dasar merepotkan! Tubuhnya kering kerontang tapi berat berat sekali sih kamu ini, Amira." Kesalnya sembari membaringkan tubuh Amira di ranjang. "Harusnya kamu tu lihat kebaikan ku ini, bukannya terus berfikiran buruk dan marah - marah ga jelas. Dasar galak! Untung saja kamu ini cantik. Coba kalau wajah mu kurang beruntung kayak si Inem, pasti tidak ada satu pun laki - laki yang mau mendekati mu."
Umpatan demi umpatan terus saja mengalir dari bibir kokoh akan tetapi tidak dengan empatinya.
Refleks dia langung membenarkan posisi tidurnya supaya Amira merasa lebih nyaman.
Diusapnya puncak kepala Amira dengan penuh kasih sayang. "good night future wife pretend Have a good night and have a nice dream. Dream of me."
(selamat malam calon istri pura - pura. Selamat tidur dan mimpi indah ya. Mimpiin aku).
Setelah itu mulai beranjak dari ranjang akan tetapi karena terbelit kaki sendiri dia pun terjatuh dengan menimpa tubuh Amira. Pergerakan yang tanpa sengaja inipun telah mengantarkan gejolak tersendiri. Ingin rasanya mengecup singkat bibir ranum namun jeritan dari dalam hati meneriakkan kata jangan.
Ya, memang seharusnya seperti itu. Tidak seharusnya seorang lelaki tampan seperti Louis Leigh Osbert memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan.
Hembusan nafas berat mengiringi pergerakannya dengan mendudukkan kembali bokongnya pada sisi ranjang. Tidak tahan disuguhi wajah cantik yang terlihat damai dalam tidurnya, dia pun menjulurkan tangannya hendak mengusap pipi. Akan tetapi niatnya tersebut terurungkan. Satu hal yang tertanam kuat didalam benaknya bahwa dia tidak boleh menjadi lelaki jahat terlebih kepada putri Tanzel.
Entah sudah berapa lama bermanjakan wajah cantik hingga tidak menyadari kehadiran Tanzel yang menyandar pada pintu. Tidak mau mengganggu sepasang calon suami istri, dia pun melangkah mundur meninggalkan kamar cucu kesayangan.
Apakah Tanzel tidak khawatir jika Louis berbuat hal yang tidak terhormat pada Amira? Tidak! Dia percaya bahwa Louis lelaki yang baik dan bertanggung jawab. Louis tidak akan berani melecehkan kehormatan seorang wanita apalagi di kediaman Tanzel. Satu hal inilah yang sangat dia yakini. Meskipun menganut pada prinsip kuno namun Tanzel tidak pernah kaku pada cucu kesayangan terlebih pada Louis.
Baginya Louis pria yang sangat baik, bertanggung jawab, dan yang menjadi poin penting bahwa calon suami dari cucu kesayangannya ini sangat bisa menjaga kehormatan putri Tanzel.
"Loh, Tuan kok ndek sini to. Lha terus si Non karo si babang bule ngono?" Tanya Inem.
Mengabaikan pertanyaan si Inem, Tanzel tampak mendudukkan bokongnya pada sofa bermanjakan acara televisi.
Si Inem mencibir. "Ditanya diem wae. Yo wes lah." Sembari melebarkan langkah meninggalkan Tuan besar.
Rasanya kurang asik jika menonton acara televisi tanpa cemilan dan juga kopi. Dia pun langsung memanggil si Inem.
Tak ayal Inem pun mengumpat kesal. Opo maneh seh Tuan besar sitok iki. Tadi ketemu meneng wae, lah sak iki nimbali. Wes tuwo ngrepoti sisan. Kapan seh Non Amira iki pindah nang omahe dewe. Huh, kesel karo Tuan besar sitok iki. Sabar Nem sabar. Sembari mengelus dadanya sendiri sembari melebarkan langkah menuju ruangan dimana Tuannya berada.
"Inem!" Panggilnya lagi.
"Haduh, iyo iyo sek to sabar. Isek mlaku iki loh." Gerutu Inem. Tak mau memancing kemarahan Tuan besar dia pun memilih berlari.
"Inem!"
"Yes, Sir." Nafas Inem terengah - engah hingga Tanzel mengernyit. "Dari mana saja kamu ngos - ngosan kayak gitu?"
"Inem kan lagi di ruangan belakang, Tuan. Si Tuan seh ga sabaran, teriak - teriak terus yo Inem lari - larian to. Makanya to Tuan kalau bangun rumah tu jangan besar - besar." Ucapnya berpadukan bibir ditekuk.
"Lancang!"
"Loh, yo jangan marah. Kan Inem bicara sesuai fakta. Lah ini rumah Tuan Besar udah kayak hotel aja."
Geram, itulah yang Tanzel rasakan. Pembantunya yang satu ini selalu saja membuatnya terhimpit diantara emosi hingga darahnya mendidih. Disuguhi wajah Tuan besar yang sudah memerah Inem pun langsung memohon maaf ala orang zaman dahulu dengan mengucap kata (sendiko dawuh gusti).
"Kamu pikir ini didalam kerajaan, hah?" Bentak Tanzel berpadukan senyum geli.
"Nah, gitu dunk senyum. Kan cakep. Ya wes Tuan manggil Inem tu disuruh ngopo? Tuan besar minta disiapin opo to sama Inem?"
"Bawakan saya cemilan dan kopi pahit."
"Siap, Sir." Inem membungkuk lalu memberikan salam hormatnya ala hormat pada sang saka merah putih.
"Cepat, Nem!"
"Iyo, sabar to Tuan." Akan tetapi baru beberapa langkah dia pun kembali. "Tadi Tuan besr minta dibuatin opo?"
"Kopi pahit sama cemilan, Inem!" Geram Tanzel.
"Eits, wes umur ga boleh makan gorengan! No no no!"
Bola mata Tanzel langsung melotot hingga mau keluar dari pemiliknya. "LANCANG! KAMU BERANI MEMBANTAH PERINTAH SAYA, HAH?!"
"Yang dikatakan oleh Inem ini sangat tepat sekali, Pa. Seharusnya di usia Papa sekarang ini lebih banyak makan makanan sehat seperti sayur dan buah." Lalu, tatapan Yoza beralih pada Inem. "Bawakan Tuan besar buah - buahan!"
"Ga usah! Ga anak, ga pembantu, sama saja sama - sama menyebalkan!" Geram Louis bersamaan dengan itu melenggang menuju ruang makan. Namun, baru beberapa langkah memberi perintah pada Inem untuk segera memanggilkan Louis. "Dan kau, Yoz. Bergabunglah dengan kami."
Ingin rasanya Yoza menolak karena dia sudah makan malam dengan Farez akan tetapi tatapan tajam penuh perintah tak terbantahkan membuatnya mengurungkan niatnya tersebut. Meskipun dengan berat hati langkah kaki tetap saja mengekori sang ayah tercinta. "Tumben sekali Papa mengundang Louis, memangnya ada acara apa, Pa?"
"Tidak ada acara apa - apa. Papa sengaja mengundangnya supaya keluarga kita semakin akrab."
Sebelum memulai acara makan malam keduanya terlibat ke dalam perbincangan sembari menunggu anggota baru yang sebentar lagi menjadi bagian penting dari keluarga besar Tanzel.
"Seharusnya Papa tidak sesering ini mengundang Louis untuk makan malam!"
Tatapan Tanzel menajam. "Tidak ada salahnya mengundang seorang tamu untuk makan malam, terlebih Louis adalah calon suami Amira."
"Tapi Pa ... "
"Tidak ada protes. Tidak ada bantahan. Lebih baik kamu diam dan kita tunggu saja, Louis."
"Bukankah Louis sudah datang?"
"Hm, dia ada di kamar Amira."
Yoza tersentak hingga menegakkan duduknya. Satu hal yang sangat dia tidak percaya bahwa Tanzel berubah menjadi orang yang hilang kewarasan. "Bagaimana bisa Papa membiarkan Amira dan Louis berada dalam satu kamar?!"
"Sudahlah, Yoz. Akan lebih baik kalau kamu ini diam!" Telinga ku ini bertambah sakit mendengar ocehan mu. Lanjutnya dalam hati.
Ingin rasanya Yoza mendebat akan tetapi tatapan Tanzel mengintimidasi berpadukan perintah mutlak. Kalau sudah seperti ini Yoza bisa apa selain hanya diam dan pasrah. Hembusan nafas lelah mengiringi deru nafas Yoza. Menggambarkan betapa lelahnya seorang Yoza Tanzel dalam menghadapi sikap sang ayah yang penuh dengan diktator dan arogansi.
...
Next chapter💕