Chapter 11 - Terpaksa

"Amira ... Amira ... " lirihnya berpadukan tatapan yang masih saja mengunci hingga tubuh ramping tertelan diantara pintu lift yang membawa Amira naik pada ruangan kebesarannya.

Hari Menyebalkan!|

***

Seharusnya dimalam seperti ini Amira bersantai dirumah bermanjakan berbagai acara televisi atau membaca novel religi yang biasa dia lakukan demi membunuh waktu hingga waktu sholat malam tiba.

Namun, sayang sekali hal itu sama sekali tidak berlaku bagi Amira. Dia masih saja disini disebuah tempat yang menjadi ruangan kebesarannya. Ruangan dengan aura mencekam bagi para petinggi setiap kali dipanggil kesini.

Disandarkannya kepalanya pada sandaran sofa dengan menengadah ke atas menatap langit - langit ruangan.

Meskipun sendirian dia tidak pernah merasa takut. Baginya tidak ada yang perlu ditakuti di Dunia ini selain ketakutannya pada Yang Maha Kuasa. Entah sudah berapa lama tenggelam ke dalam lamunan yang jelas ingatannya berpusat pada mendiang sang Mama.

Tanda dapat ditahan lagi air matanya mengalir deras ketika lembaran demi lembaran kejadian tragis itu kembali mengisi memory nya, kembali berputar - putar bagai kaset rusak. "Ma, Amira kangen sama Mama." Lirihnya berpadukan laju air mata.

Berkali - kali diusapnya bulir - bulir air mata bodoh itu yang terus saja mengaliri pipi mulus menuju muaranya yang tidak pernah mengering. Tidak ada cara lain untuk mengikis kesedihannya akhirnya Amira menenggelamkan diri ke dalam pekerjaan.

Fokusnya kini hanya pada laporan didepannya yang ternyata sudah diperiksa oleh sang ayah. Tanda tangan Tanzel menjadi bukti nyata bahwa semua pekerjaannya yang tadi tertunda sudah terselesaikan.

Terima kasih, Pa. Ucap Amira dalam hati.

Tidak ada lagi yang harus dikerjakan dia memutuskan bersantai lebih dulu sebelum memutuskan untuk kembali ke rumah. Tanpa sengaja ekor matanya menajam pada salah satu map yang menarik perhatiannya.

"Apa Papa terlewat mengecek laporan ini ya?" Tanyanya entah pada siapa karena nyatanya dia sedang sendirian. Dengan segera diraihnya map biru tersebut. Iris hitamnya membeliak sempurna. Oh, iya ini kan proyek yang mau ku bahas dengan Papa. Batin Amira sembari memasukkan map tersebut ke dalam tas kesayangan.

Tak ingin langsung pulang dia pun melenggang menuju ruangan pribadi namun langkah kakinya terhenti dengan suara bariton yang sudah tidak asing dipendengarannya. Amira mengumpat kesal. Shiiittt, untuk apalagi sih dia kesini? Dasar menyebalkan!

"Ada apalagi, hah?" Tanyanya sembari memutar tubuhnya. Akibat gerakan yang secara tiba - tiba dan kurangnya hati - hati membuat salah satu kakinya terbelit kaki satunya. Beruntung, Louis langsung bergegas menopang. Terlambat satu detik saja maka tubuh Amira langsung menyatu dengan dinginnya lantai.

"Hati - hati, Amira!'

"Lepas!" Bersamaan dengan itu mendorong dada bidang. "Jangan coba - coba cari kesempatan dalam kesempitan ya!"

Hembusan nafas lelah mengiringi deru nafas Louis menandakan bahwa sang pemilik benar - benar merasa lelah dengan sikap yang Amira tunjukkan.

"Dengar ya, Amira. Tidak ada yang mengambil keuntungan dari kejadian ini. harusnya kamu berterima kasih bukan malah memaki seperti ini. Apa ini yang diajarkan oleh keluarga mu, hah?"

"Jaga cara bicara kamu, Louis! Jangan melampaui batasan kamu! Jangan sekali - kali menghina keluarga Tanzel!"

"Hai, Nona Tanzel. Saya bicara sesuai fakta. Dan ya, kedatangan saya kesini atas permintaan langsung dari Tuan Tanzel untuk menjemput Anda."

"OMONG KOSONG!"

Louis menggeram. Namun, dia harus bersabar. Demi seorang Amira Anindita Tanzel, dia rela menekan egonya. "Jika kamu tidak percaya lebih baik kamu hubungi saja langsung, Tuan Tanzel."

Amira bergeming. Baginya apapun yang Louis katakan sama sekali tidak ada pengaruhnya. Satu hal yang dia percayai bahwa Opa nya tidak mungkin melakukan hal itu. Opa nya itu terkenal super perfect jadi sangat tidak mungkin mengadakan acara makan malam tanpa adanya persiapan matang.

Siluet hitamnya menyilau tajam pada manik biru sebelum melenggang pada ruangannya akan tetapi baru beberapa menit didalam sana dia sudah keluar dengan wajah gusar.

Louis tidak bertanya. Dia memilih menutup rapat bibirnya dengan berpura - pura fokus pada layar ponselnya. Namun jangan salah, karena ekor matanya terus saja curi - curi pandang pada wajah cantik.

"Ayo, kita pulang!" Ajak Amira berpadukan nada sinis.

Louis mencibir beriringan dengan sudut bibir yang terangkat ke atas. "Kita?"

Seharusnya kata kita yang Louis ucapkan dengan lirih tidak membuat Amira tersinggung. Namun, sial. Apapun yang Louis ucapkan, apapaun yang Louis lakukan selalu saja salah di mata Amira.

"Jangan menyalahartikan dengan kata kita, Louis." Penuh penekanan pada kata kita.

"Oh, Amira jangan salah paham. Kau ini ya selalu berfikiran buruk dan juga emosian. Dengar ya Amira, wanita yang suka marah - marah bakal jauh jodoh."

"Kau!" Geram Amira.

"Eits, tidak boleh marah. Marah berarti jauh jodoh!"

"Dasar bule gila!" Maki Amira beriringan dengan langkah kaki melenggang pada lift yang akan membawanya turun ke lobby. Melihat langkah kaki Amira semakin menjauh Louis pun bergegas melebarkan langkah hingga kini mereka berdua berjalan bersisian. "Tunggu dunk calon istri pura - pura."

Fix, Louis menyebalkan, memuakkan, dan aku sudah sangat menyesal telah memintanya menjadi calon suami pura - pura! Kesal Amira.

"Dengar ya, Amira-"

"DIAM!" Potong Amira berpadukan tatapan nyalang. Dan hanya ditatap seperti itu membuat Louis meremang. Entah sudah berapa lama bermanjakan tubuh ramping yang semakin menjauh, yang jelas tubuh Amira sudah tenggelam diantara badan mobil.

"Jalan sekarang atau menunggu Tuan Louis, Non?" Tanya Mirza.

"Jalan, Pak. Ga perlu nungguin dia. Ga penting juga."

"Tapi, Non ... "

"Apalagi?" Tanya Amira dengan suara meninggi hingga Mirza tersentak.

Mirza langsung menjelaskan bahwa Tuan Tanzel memintanya untuk memastikan secara langsung bahwa cucu kesayangan dan juga calon suaminya pulang bersama. Muak, geram, itulah dua kata yang paling tepat untuk menggambarkan perasaan Amira saat ini.

"Jadi, bagaimana Non?"

"Ya sudah tunggu saja!"

"Baik, Non. Oh, itu Non. Tuan Louis datang."

"Suruh segera masuk!"

"Baik, Non."

Entah habis mimpi apa yang jelas hari ini dipenuhi dengan kesialan. Terlebih dengan saat ini, lelaki yang paling Amira benci inipun duduk disebelahnya, sangat dekat hingga Amira mendorongnya menjauh. "Kita bukan muhrim. Sana pindah depan!"

Louis mengerling. "Belum, Amira. Kita belum muhrim. Tidak seperti yang barusan kau bilang bahwa kita ini bukan muhrim." Bersamaan dengan itu langsung pindah ke depan dengan duduk disisi kursi kemudi.

Sementara Mirza mengulum senyum geli bermanjakan tingkah lucu kedua majikannnya ini, bersamaan dengan itu dilajukannya mobil dengan kecepatan tinggi membelah pusat kota Bali menuju bangunan dengan pagar menjulang tinggi.

Baik Mirza maupun Louis tersentak disuguhi dengan pemadangan yang membuat keduanya terbelalak. Amira tertidur dalam posisi yang sama sekali tidak nyaman. Wajar jika dia tertidur karena hari ini aktifitasnya sangat padat sehingga dia kelelahan.

"Dasar tukang tidur. Sudah galak merepotkan lagi!" Umpat Louis sembari mengangkat tubuh Amira menuju kamarnya. Tak ayal Inem pun langsung membuat kehebohan dengan memanggil Tuan Tanzel bahwa Nona Amira pingsan.

Belum juga pulih dari rasa kesal kini kekesalan Louis semakin bertambah berkali - kali lipat hingga tanpa sadar membentak Inem. Tak ayal Inem pun langsung beringsut menjauh hingga keluar kamar meninggalkan Nona nya hanya berduaan saja dengan calon suami nya.

...

Next chapterđź’•