Chereads / Something Wonderful / Chapter 2 - 01

Chapter 2 - 01

Dinda

"Din, kita berangkat sekarang," ujar Ledwin seraya menuruni anak tangga sambil meraih selembar roti tawar yang ada di atas meja makan.

"Tapi Led.."

"Gak pake tapi-tapi. Gue telat ini!!"

"Mamiii!!" Seruku sebagai protes kepada ibuku, "Ledwin nyuruh buru-buru lagi dong Mam!"

Ledwin segera mengambil kunci motornya. "Ikut gue apa mau naik ojek? Pilih sendiri deh lo."

"Led, adeknya masih makan. Buru-buru amat sih. Emangnya mau ngapain sih?!" Keluh Mami, "Nyontek PR ke temen?"

Ledwin langsung menyeringai lebar, dan menjentikkan jarinya, "Exactly, Mam! Kok ngerti banget sih anak lakinya ini kayak gimana. Din, cepet lo pake sepatu sekarang kalo mau ikut."

Aku pun menyerah sambil menyuap beberapa sendok terakhir yang bisa ku masukkan ke dalam mulutku. Lalu menghampiri rak sepatu dan mengekori Ledwin keluar rumah.

"Loh, loh, kok udah berangkat aja sih anak Papi?" Tanya Papi, yang baru selesai memanasi mobilnya. "Led, Papi udah berapa kali bilang sih kalo pagi-pagi sarapan dulu. Bukan dateng pagi sarapan PR semalem!"

"Kepepet Pap," balas Ledwin.

Aku memberengut kesal.

Ledwin menyalakan motornya, aku pun naik di belakangnya.

"Jangan ngebut," pesan Papi sebelum kita berangkat.

"Iya Pap. Dadah!"

Selalu begitu.

Kakakku memang nggak ada pengertiannya sama adiknya ini. Lagian sok-sokan masuk IPA sih, udah tau otak pas-pasan. Jelaslah, kudu liat PR temennya mulu.

Aku heran, dia bakal kuliah apaan nanti. Lagian jadi anak nggak pernah becus sih ngerjain tugas. Lucunya lagi, kok dia bisa bertahan sampai tahun ketiga di SMA?!

---

Aku menguap selebar-lebarnya di mata pelajaran fisika yang nggak pernah ada menarik-menariknya di dalam kamusku. Ya, setelah pagiku yang berantakan karena kakakku ngotot dateng pagi ke sekolah.

"Hap!"

Krenyes!

Aku mengunyah basreng yang dimasukkan Gigi. Kurang asem ini anak emang, sukanya main asal masukin makanan ke mulutku kalau lagi nguap.

"Kerjain kali Din, bukan di nguapin mulu itu soal."

"Kalo otak gue udah seencer Marco sih nggak papa yah?"

"Nah kan.. Marco lagi, Marco lagi. Lo bisa nggak sih sehariii aja nggak usah sebut nama cowo sombong itu?" Keluh Gigi kesal. "Mending lo omongin Dimi aja?"

"Dimi? Dimitri yang kelas XI itu maksud lo? Itukan freak."

"Yeh... Ada juga elo tuh yang freak. Udah jelas Marco nggak suka sama lo, masih aja dikejer-kejer. Belom aja nanti lo disantet ama dia."

"Anjirlah. Tae juga lo, Gi!"

"Your welcome, dear! Hahah!"

Gigi, Edgina Lianis. Teman pertamaku sejak masuk sekolah, teman sebangku dari awal juga. Dia orang yang paling tahu betapa aku menyukai Marco, yang tidak menyukaiku balik.

Sejak pertama kali aku masuk sekolah imi, dari hari pertama juga aku sudah memerhatikan Marco. Dia punya tatapan teduh di balik mata tajamnya, dia punya senyuman manis apa lagi saat gigi gingsulnya dipeelihatkan. Hidungnya mancung, dan tentunya dia tinggi semampai.

Ah Marco, susah banget sih masuk kriteria ceweknya dia?

Cletak!

"Din, lo disuruh maju itu," kata Gigi.

"Eh? Maju? Ngerjain soal?"

"Adinda Anastasia!" Seru Bu Emil, guru paling tidak favorit sekaligus wali kelasku.

"Ya Bu!" Seruku balik.

"Coba kamu ke TU sebentar, di sana ada latihan soal yang sudah difotokopi. Kamu bawa ke sini."

Lah?

Kan ada ketua kelas, kenapa malah aku yang disuruh ambil di TU?

Yah...

Berhubung kalau di kelas nggak konsen juga sama soal yang njelimet setengah mati ini, mending keluar ya kan?

Aku beranjak dari tempat dudukku, dan sengaja memutari lantai dua gedung sekolahku sebelum ke ruang TU di bawah. Sampai aku berhenti melangkah ketika berada di depan kelas X.4, kelasnya Marco tentunya kalau kalian tanya.

Sayup-sayup aku mengintip dari jendela yang tidak tertutup gorden. Kelas ini memang terkenal pintar. Jujur saja, walaupun aku kelas X.2, angka tidak mencerminkan kualitas otaknya kok.

Contohnya?

Pake ditanya. Ya jelas kelasnya Marco itu udah bukti nyatanya.

"Lo ngapain ngintip-ngintipin kelas orang lain?" Tanya sebuah suara berat yang akrab di telingaku.

Aku menoleh ke kanan dimana sumber suara itu datang. Aku berani jamin, mukaku saat ini penuh dengan tampang kebodohan.

Seratus persen.

Seribu persen malah mungkin.

"Bukannya lo mau ambil latihan soal di ruang TU ya?" Tanyanya. "Nih."

Dia malah langsung menyodorkan fotokopian yang seharusnya ku ambil kepadaku.

Aku mengernyitkan dahiku, "Kok lo bisa tahu sih Mal?" Tanyaku kini, "Lo cenayang yah? Atau lo jangan-jangan nguntit gue? Mal, horor bang–ADAUWW!" Tanpa pemberitahuan dia sudah menyentil dahiku dengan jari-jari kukuhnya. "Gila lo yah?!"

"Yang ada elo yang gila. Pikiran lo liar bener, Din," balasnya, "Masa semua-semuanya lo kira pake kuasa kegelapan? Gue emang jarang gereja, tapi gue nggak main dukun juga kali!"

Aku mendengus sebal, "Gamaliel Handoko, makasih ya udah kasih fotokopiannya. Gue saaaangat menghargainya kok." Aku memberikan senyuman terbaikku kepadanya sebelum balik ke kelasku.

"Din," panggilnya sebelum aku berbelok ke arah kelasku. Sebagaimana namaku di panggil, aku pun berbalik melihatnya. "Gue putus sama Vala."

---

Gamal

Gue semaleman nggak bisa tidur karena video call nggak diangkat sama sekali oleh Vala. Gue coba stay cool aja sebenernya dari semalem. Tapi namanya juga nggak tenang, akhirnya gue coba chat dia.

Gamaliel Handoko: Val? Kenapa vidcall nggak diangkat?

Gamaliel Handoko: Kamu sibuk?

Gamaliel Handoko: Capek latihan cheers?

Gamaliel Handoko: Val? Bales ya, aku tunggu.

Semalaman suntuk gue tungguin sampe Vala bales chat gue, tapi hasilnya nihil. Gue pun ketiduran sambil megangin ponsel gue, siapa tau dia baleskan?

Gue kebelet pipis tengah malem aja masih gue pantengin ponsel gue, kalau-kalau dia bales.

Tapi apa?

Nggak ada saudara-saudara.

Pagi ini, gue melek dan masih nggak ada balesan dari Vala. Gue mandi, dan siap-siap jugalah akhirnya buat ke sekolah. Setelah gue selesai mandi, ada satu notifikasi di ponsel gue, dan pop up screen message-nya memunculkan satu nama yang dari semalam ku coba hubungi tapi nggak bisa.

Firdanisa Orvala: Mal, maaf aku cuma ngomong lewat chat.

Firdanisa Orvala: Tapi aku rasa semuanya udah jelas.

Firdanisa Orvala: Kita udahan aja ya.

Firdanisa Orvala: Nggak baik juga kalau begini terus.

Firdanisa Orvala: Berat di aku, berat di kamu. Kita putus ya.

Rasanya separuh hati gue runtuh begitu aja setelah membaca chat yang dikirim Vala.

Galau lo Mal?

Bullshit rasanya kalau gue bilang gue baik-baik aja. Buktinya gue malah kacau balau sekarang.

Gue mau curhat ke siapa lagi dong?

Jaman SMP dulu kalo gue galau ada kakak gue yang nemenin guelah minimal kalau nggak ada orang di rumah.

Terbersitlah dalam benak gue untuk curhat sama teman berantem dari masih orok dulu. Well, walaupun curhat sama dia nggak bener-bener bisa membuahkan hasil, tapi seenggaknya gue bisa ngobrol lah. Dari pada gue pendem sendiri.

Setelah tadi siang gue bilang putus sama Vala ke Dinda, responnya dia cuma mengangkat satu sudut bibirnya dan berkata, "Fix, lo ngutang roti bakar buat curhat nanti! Tahan sampe sore!! Gue balik ke kelas dulu. Dah Gamal!"

Dan di sinilah gue sama bocah yang otaknya lurus nggak, tapi korslet juga nggak terlalu banyak sih.

"Gue putus, Din."

"Iya lo udah ngomong itu, Mal. Gue udah tahu."

"Dia bilang nggak baik kalo gini terus. Gini terus yang nggak baik di sebelah mananya coba? Orang dia yang putusin tiba-tiba."

"Eits... Santai aja kali Mal, nggak usah digas juga kali," balas Dinda, sambil mengunyah roti bakar yang dipesannya. "Kalo gue jadi dia, dalam posisi gini mungkin gue juga putusin lo kok."

Gue menaikkan satu alisku, seolah bertanya, 'Really?!'

"Ya iyalah. Sekarang nih ya, lo sama dia pacaran dari SMP karena lo berdua sama-sama anak hits, dia ketua cheers dan lo ketua basket. Anjirlah, basi amat ceritanya kayak di novel-novel remaja! Hahaha!"

Bangke ini anak. Udah gue traktir biar denger cerita gue, malah gue yang diketawain balik.

"Sekarang lo berdua baru SMA. Dia sekolah di luar kota sekarang karena orang tuanya pindah dinas. Nah, pertanyaan ke lo sekarang, kalau nggak sekarang diputusin, kapan dong putusnya?" Tanya Dinda padaku tanpa kedip. Dia langsung menatap ke dalam mataku dengan mata bulat dan iris hitam pekatnya.

"Tapi Din–"

"Sukur-sukur sampe kalian long last, tau-tau putusnya karena beda agama. Itu lebih konyol lagi. Gue nggak kenal sama lo Mal."

"Lo sendiri kan belom pernah pacaran, kenapa jadi nge-judge gue?"

"Ya emang belom pernah. Tapi lo kan yang mau curhat, sekalian aja deh gue ceramahin biar elo sadar, Mal. Cewek bukan cuma Vala. Dunia bukan milik lo doang, tapi ada gue sama Marco juga."

Tunggu dulu.

Kenapa ada Marco segala?

"Lo tuh halu mulu. Marco aja terus. Sampe mampus."

"Nanti juga dia yang bakal suka gue kok Mal, tunggu aja..."

Gue mendengus sebal, "Karep lo aja Din."