Gamal
"Mamal, Mamal, main yuuuk~"
Nada mengayunnya Dinda yang berdengung di depan pintu rumah gue terus terdengar sejak lima menit lalu.
"Gagam, Gagam, main yuuuk~"
Gue bukannya nggak denger, tapi pura-pura nggak mau denger aja. Menolak dengar tepatnya.
"Mamal, Mamal, main yuuuk~"
Ketokan pintunya makin lama makin nggak masuk akal. Dari yang awalnya pelan, sampai akhirnya seperti menggedor-gedor.
Gue nyerah juga akhirnya, dan membukakan pintu itu. "Apaan sih, Din?!"
"Mal, main yuk!" Serunya dengan wajah riang gembira. "Gue tahu lo lagi mellow, gelow abis putus, tapi jangan ngurung diri kayak Rapunzel juga keles..."
Dinda emang cewek paling lebay yang pernah gue kenal seumur hidup gue. Entah dari cara dia menggambar sesuatu, atau mengabstraksikan suatu hal. Semuanya berlebihan.
Gue juga heran kenapa gue bisa berakhir akrab sama dia.
Boleh dibilang, gue sama dia udah sahabatan dari oroklah. Dia lahir tepat dua minggu setelah gue lahir. Gue tanggal 7 September, dan dia tanggal 21 September. Karena nyokap dan bokap gue selalu sibuk, akhirnya gue sering dititipin ke tetangga sebelah. Iya, kalian betul, keluarganya Dinda.
"Gue sibuk," tolakku.
"Halah... Mana ada lo sibuk? Bersih-bersih rumah? Kan udah ada Mbak Tik. Gimana sih?"
"Gue–"
"Sibuk ngelupain Valak? Eh, maksud gur Vala?"
Sialan juga ini anak, masa pacar gue–maksudnya mantan pacar gue–dikatain Valak. Sama dia aja, masih lebih cantik Vala kali.
"Muka lo yang kayak Valak. Idung kok mancung ke dalem."
"Nah ini nih... Mulai kan serang fisik. Lo ngaca dong, sipit juga lo," balasnya. "Pokoknya lo mandi, ganti baju sekarang. Abis itu kita jalan!"
Gue mengernyitkan dahi. "Mau jalan pake apaan? Motor lagi dipake Gabriel." Kakak gue memang baru pulang dari Bandung. Terus motor di rumah dipake sama dia.
"Bawel amat sih jadi cowok. Nurut aja napa?!"
Baiklah, gue nurut.
Beruntung aja hari Sabtu ini gue lagi nggak ada latihan basket. Kalo nggak udah gue tempeleng ini anak pake bola basket biar suara cemprengnya lenyap.
Setengah jam kemudian cewek bersuara cempreng yang mengganggu hari gue hari ini kembali datang di depan rumah. Tapi kali ini dia nggak sendirian.
"Kenapa ada Epin?" Tanya gue dengan nada meninggi.
Epin.
Namanya Josephine sebenernya. Tapi karena susah, dia memanggil dirinya sendiri Epin. Umurnya baru tiga tahun minggu lalu.
"Gue disuruh jagain Epin hari ini," jawab Dinda dengan cengiran kudanya yang lebar, memamerkan gigi sekaligus behelnya yang karetnya berwarna kuning. Dia menggendong Epin di posisi kanan. "Jadi, karena gue nggak mau sendirian, makanya gue berbagi kebahagiaan gue buat jagain Epin bersama jomblo baru di komplek!"
Sejak kapan nungguin anak kecil itu anugerah?
"Lo pasti ngira ini musibah kan?" Balasnya sambil mencubit pipi kananku dengan tangannya yang bebas. "Kalo sendirian emang musibah. Tapi kalo berdua jadinya nggak musibah lagi! Makanya ayo!!"
"Lo bisa berhenti cubit pipi gue dulu nggak Din?" Dinda pun melepaskan cubitannya dari pipiku. "Gue nggak ngerti kenapa lo gangguin gue."
"Biar lo nggak galau terus." Dinda menghampiriku. Gue kira dia mau ngapain, tahunya dia memberikan adiknya kepadaku. "Nih, gendong Epin dulu. Gue keluarin mobil sebentar!"
Buat ukuran anak SMA, Dinda memang bisa dikatakan memiliki hampir segalanya.
Dia punya banyak teman.
Keluarganya seru. Baik ibunya, ayahnya ataupun kakaknya. Adiknya juga pasti seru kalau sudah besar nanti.
Dia diperbolehkan mengendarai mobil, punya kartu kredit, dan lainnya.
Terus kurangnya apa?
Dia nggak punya pacar, dan otaknya yang minus.
-----
"Nih, lo makan sepuasnya deh... Makan es krim sampe gumoh juga nggak papa. Asal lo nggak galau lagi nanti waktu pulang," ujarnya.
Gue, Dina dan Epin ada di restoran Italia dekat supermall. Restorannya ada di downtown, jadi nggak perlu masuk area mall buat makan di sini.
Dinda memang penggemar makanan Italia. Yang paling disukainya adalah farfalle dengan saus alfredo. Dari sekian banyak bentuk pasta, dia pasti akan memilih farfalle kalau ada.
'Soalnya lucu, Mal. Bentuknya kayak pita gitu. Tipis juga. Jadi gue demen aja.'
Itu jawabannya kalau gue tanya kenapa dia lebih suka farfalle daripada pasta lainnya.
"Pin, suapin Koko Gamal coba. Biar dia nggak cemberut terus tuh..." Bisik Dinda pada Epin, tapi gue bisa denger.
Epin yang lagi makan bruschetta pun langsung menyodorkannya ke gue, padahal dia barusan gigit bruschetta yang disodorkannya. Untung Epin. Kalo Dinda udah gue tempeleng.
Dinda pun tertawa lepas saat melihat kelakuan Epin itu.
"Mampus. Lo paling nggak demen makanan bekaskan? Makan tuh bruschetta bekas Epin!" Tawa renyahnya saat melihat ekspresiku langsung pecah. Restoran Italia nan sepi ini langsung berisik karena suaranya.
Gue mengembuskan napas berat, sambil memakan bruschetta yang disodorkan Epin.
"Enakkan bekas liur adek gue?" Ledek Dinda.
"Motif lo apaan sih Din ganggu hari Sabtu gue?"
Dinda mengembuskan napas panjang, sambil menyandarkan punggungnya. "Gue chat Marco tapi nggak dibales dong! Kapan hari gue kan ngintip ke kelasnya. Eh pas ada dia."
"Lalu?"
"Dia bilang nggak suka cewek bego kayak gue," gumam Dinda. "Kok dia tahu sih gue bego? Dari mana coba?"
Gue geleng-geleng kepala. "Din, pas masuk ke sekolah ada tes kan? Lo inget nama lo ada di kertas ke berapa?"
"Terakhir."
"Ya udah. Itu lo tahu. Terima aja nasib lo."
"Terus? Gue cuma bisa mandang Marco tanpa bisa memiliki gitu?"
"Saran gue, lupain aja. Marco nggak bakalan suka sama lo."
Dinda memandangku sinis. "Lo jawab gitu bukan karena masih galau karena putus dari Valak? Eh, maksudnya Vala."
Dari dulu anak jnj emang sukanya ngeledek namanya Vala.
"Ya enggaklah."
"Cepet amat move-onnya. Gile!!"
"Move-on mata lo somplak!" Seruku jengah. "Gue cuma udah ikhlas. Kalo lo pikir move-on dari orang yang selalu nonton pertandingan basket gue dan bersorak nama gue paling kenceng pas lagi tanding segampang itu, gue udah jadi playboy dari dulh kali, Sha."
"Terus kok lo ikhlas-ikhlas aja?"
"Toh, nantinya gue pasti putus sama Vala. Kita masih muda, masih jauh dari kata serius kali. Makanya gue harus ikhlas."
Gue nggak paham sama diri gue sendiri yang bisa ngomong gitu di depan Dinda. Tapi, sebenarnya pas gue keluar rumah tadi gue masih belom ikhlas.
Setelah gue menghabiskan waktu keluar dan nemenin Dinda buat jagain Epin, gue jadi merasa kalau gue udah ikhlasin perasaan sakit hati gue yang tiba-tiba diputusin sama Vala.
Setiap gue denger Dinda cerita tentang cowok-cowok yang dia suka, gue selalu merasa lebih baik. Entah karena Dinda cuma bisa ceritain cowok-cowok itu aja, atau karena dia memilih gue buat jadi tempat curhatnya.
Nggak.
Gue nggak pernah suka sama Dinda. Dia udah gue anggep kayak adek sendiri.
-----
Dinda
Aku emang nggak pernah pacaran.
Pernah punya pacar, punya gebetan, dan dikejar lawan jenis adalah kelebihan yang dimiliki Gamal.
Apalagi, setelah aku cerita kalo aku suka sama Marco.
Aku coba buat kubur perasaanku dalem-dalem buat Marco supaya nggak diledekin mulu sama Gamal. Sampai akhirnya aku deket sama Aswin, anak kelas XI.
Aswin udah sering diledekin sama aku pas lagi rapat OSIS juga. Tapi, entah kenapa dia nggak pernah ajak aku jalan keluar. Kita memang chattingan. Tapi udah, cuma sebatas itu aja. Nggak ada pergerakan lebih.
Aku yang nggak kuat, akhirnya cerita sama Firly--temanku di OSIS. Aku cerita kalau aku emang suka sama Aswin. Tapi sialnya malah di satu malam Aswinnya cerita kalau dia suka sama Firly.
Akhir ceritanya?
Aku nggak kuat dong kalau Aswin terus-terusan curhat soal Firly, sementara aku curhatin Aswin ke Firly. Akhirnya aku bilang ke Aswin terus terang.
"Selama ini gue curhat ke temen gue kalau gue suka sama lo. Gue tahan, karena gue nggak mau ganggu kinerja gue di OSIS sama lo. Tapi... Kalau gini terus gue nggak kuat juga. Jadi intinya gue suka sama lo, Win."
Tentunya aku nggak ngomong langsung. Aku ngomong lewat telpon. Aswin nutup telponnya setelah jawab, "Oh oke, Din. Thanks ya."
'Oke,' batinku dalam hati mengulang ucapannya Aswin. Oke matanya somplak? Kalau memang setelah ku telepon hubungan kami baik-baik aja sih bukan masalah. Tapi, cerita berikutnya itu tidak menunjukkan ke-oke-an di dalam ucapannya saat aku telepon.
Pasti kalian bingung, kenapa bisa begitu?
Dua hari setelah pernyataan cinta konyolku--yang karena aku nggak kuat buat tahan lagi--ke Aswin. Ruang OSIS penuh dengan ucapan selamat buat Aswin dan Firly.
Iya.
Kalian bener.
Mereka berdua jadian.
Sementara aku mematung karena shock dengan berita mereka jadian itu, aku sok kuat aja. Selesai rapat OSIS hari itu, Firly nyamperin aku dan bilang.
"Sha, sebenernya Aswin sukanya sama lo awalnya. Tapi, karena dia ngerasa lo nggak tertarik sama dia, makanya dia nggak berani deketin lo lebih."
Lah? Lah? Lah???
Salah aku dimana?
Malam itu, setelah sampai di rumah, aku nggak berhenti-hentinya menangis. Menangisi diriku sendiri yang rasanya bodoh banget karena nggak sadar kalau Aswin suka aku.
Entah gimana ceritanya juga, Gamal nyamperin aku malem itu ke kamarku yang ada di lantai tiga rumahku. Dia bawa Baskin Robin, dan dua sendok. Sambil ngajak aku makan, dia ngejek aku yang malah cerita sama Firly dan bukan dia atau Gigi.
"Emangnya lo seberapa deket sih sama Firly dibanding gue sama Gigi? Makanya, laen kali jangan kualat sama gue," katanya sambil tertawa puas di atas tempat tidurku. "Elo sih, sok-sokan nyari tempat lain buat curhat. Kena sendiri kan lo... Ditikung!"
"Ya udah sih Mal... Gue udah lagi nyesek gini masih aja lo ledekin?!"
"Biar lo sadar. Kalo ikut OSIS, jangan lupain temen-temen deket lo sendiri. Malah asyik sama dunianya sendiri. Lo nggak tahu kan kalau gue lagi deket sama Nadira?"
Aku menoleh ke arahnya.
"Pasti kagak tahu."
Aku mengernyitkan dahiku. "Lo udah jadian sama Nadira?"
Gamal menggeleng. "Entah kapan jadiannya. Tapi gue bilang aja ke elo, kalo gue deket sama Nadira. Biar lo nggak kaget aja."
Ku kira aku ketinggalan banyak banget cerita dari Gamal. "Lo jadi masuk IPA, Mal?"
Kini Gamal mengangguk.
"Yah, jauh deh. Kelas gue IPS kayak Gigi nanti," gumamku, "Gue balik suka ajalah sama Marco lagi. Biar nggak sakit hati."
"Kok jadi Marco lagi?"
"Yaa... Karena dia menariklah. Masih menarik buat gue sampe sekarang," jelasku, "Makanya gue suka sama Marco."
Gamal mengeleng-gelengkan kepalanya lagi. "Terserah lo aja deh, Din. Tapi kalo lo sampe galau lagi gara-gara cowok, gue nggak bakal nemenin lo makan es krim sampe gumoh lagi!" Gamal berdiri dan membawa pergi Baskin Robinnya.
"Mal, kok Baskin Robinnya dibawa juga?!"
"Rugi gue beliin Baskin Robin buat lo dari uang jajan gue!!"
Aku pun merengek karena bete. "Gamal pelit dasarr!!!"
Dan begitulah akhir cerita kelas sepuluhku. Aku sengaja ikut OSIS biar dilihat Marco memang awalnya. Tapi karena ambil perhatiannya susah, akhirnya aku lupain dan naksir Aswin yang berujung pada kesedihan.
Kayaknya memang aku nggak seharusnya lupain Marco.
Aku memang masih suka Marco.
Iya, suka banget.
Tapi Marco nggak bakalan pernah suka aku. Apalagi semenjak aku masuk jurusan IPS. Rasa ketidaksukaannya kepadaku pun semakin nyata.
Harapan agar Marco suka kepadaku pun...
Nyaris nol.
Atau mungkin sudah minus dua.