Gamal
Nadira Azzahra: Kamu hari ini latihan sampe malem?
Gamaliel Handoko: Nggak Nad. Kenapa? Mau telepon?
Nadira Azzahra: Boleh, kalo kamu nanti udah sampe di rumah aja.
Gamaliel Handoko: Nanti aku kabarin kalo udah sampe.
Gamaliel Handoko: Kamu mandi sama shalat dulu gih.
"Ingetin aja terus anak orang buat shalat... Sendirinya mah doa aja boro-boro kalo mau makan sama tidur. Mal, Mal... mau lu apaan sih?" komentar Oliver, sambil membereskan bola-bola basket yang sudah selesai anak-anak kelas XII pakai latihan tadi.
Gue cuma senyum kecil sebagai jawaban. Kalo ditanya gimana guesama Nadira emang jadi hal yang paling susah buat dijelasin. Bahkan, rumus fisika yang njelimet aja masih lebih gampang dijabarin dan ditemuin jawabannya sama gue ketimbang soal Nadira. Bukan, bukan karena gue nggak tahu gimana perasaan gue. Justru karena gue tahu soal perasaan gue, dan nggak mau bikin Nadira sakit hati.
"Putus dari Vala tahun lalu masih bikin lo susah move on apa gimana?" sambung Oliver sambil mendorong keranjang bola basket. "Gue jamin seratus persen, kalo Dinda udah ngata-ngatain lo pake 1001 ocehannya yang emang nggak ngedukung lo buat jadian sama Nadira."
Gue emang suka sama Nadira. Suka banget malahan.
Coba gini deh, buat kalian yang merasa kaum Adam. Ada cewek cantik, pinter, dan nyambung diajak ngomong sama lo. Even though, Nadira nggak nyambung kalo udah soal main basket sih. Tapi selama gue nyaman... Ya bisa apa?
Dinda selama ini selalu ngeluhin kalo dia nggak pernah dapet pacar, nggak ada yang suka sama dia. Tapi, dia sendiri nggak liat kalo sebenernya ada banyak banget cowok yang suka dia. Dia nggak jelek-jelek amat, cuma nggak ngurus diri aja. Makanya dia kalah jelas kalo dibandingin cewek-cewek lainnya.
Gue ini cowok normal, dan gue juga tahu mana cewek yang mukanya lumayan. Dinda, sebenernya lebih dari lumayan. Saking aja, mulutnya suka kayak kebon binatang kalo ngomong.
Kalo harus jujur, Nadira sama Dinda ya cantikkan Dinda. Beneran.
"Yakin nggak mau bareng aja Mar? Kita searah juga kok rumahnya," tawar Dinda yang sudah dibelakang kemudi mobilnya. Setelah skors dua bulan, dia boleh nyetir mobil lagi akhirnya. "Gue cuma sama Gamal doang soalnya."
"Nggak usah. Gue bisa balik sendiri juga," balas Marco.
Sebenernya itu sih cuma alibinya aja biar nggak usah lama-lama sama Dinda. Udah jadi rahasia umum buat anak-anak seangkatan, kalo Dinda emang suka sama Marco dan Marco nggak suka banget sama Dinda.
Gue mendekat ke mobil Dinda, sebelum gue masuk ke dalam dan duduk di sebelah kursi sopir, gue melihat Marco sebentar. "Masuk aja kali Mar, lumayan hemat ongkos juga."
Guess what? Marco masuk juga akhirnya.
"Din, gue ingetin tadi pagi lo hampir kena tilang lagi ya."
"Iya Bawel banget sih jadi orang? Gue juga tahu kali," balasnya sewot. "Mar, mau drive-thru McD nggak? Tadi gue sempet denger krucuk-krucuk gitu perut lo?"
"Nggak usah. Nyokap gue masak di rumah," jawabnya.
Dasar modusan basi. Nggak pernah deketin cowok, mau ngajakin makan segala. Dasar Dinda.
"Lo mau nggak Mal? Nyokap lu kan nggak masak di rumah. Habis basketan juga kan?"
"Bilang aja sih, elu yang lagi pengen jajan McD soalnya bosen sama makanan di rumah lu yang gitu-gitu aja kan?" Tebak gue. Cengiran kuda khas Dinda dengan nada kekehan 'hehe'-nya itu terdengar. "Dasar. Kan lu bisa makan sendiri juga sih."
"Anyep bener gue makan sendirian?"
Gue tahu dia jaim pake banget sekarang soalnya ada Marco di dalam mobilnya.
Hening di dalam mobil cukup lama sampai tembang galau yang menjadi playlist wajibnya Dinda berganti menjadi lagu oldies, yang juga menjadi favoritnya Dinda.
"Marc, lo tahu nggak Dinda naksir sama lu?"
"Mal!" Seru Dinda jengkel.
"Loh kenapa? Gue mau make sure doang kalo Marco tahu lo naksir dia."
"Tap-"
"Gue tahu kok," jawab Marco dengan senyum simpul yang bisa gue liat dari spion tengah mobil. "Gue tahu juga, kalo Valentine kemaren lo kasih gue coklat green tea."
"Lo makan?" Tanya Dinda spontan dengan mata bak anak kucing yang penuh harap.
Eh buset dah ini anak. Tadi katanya nggak mau diungkit. Giliran dilemapar umpan kecil sama Marco malah disahutin. Bener-bener emang.
"Nggak."
Nah kan... Mukanya langsung manyun gitu. Dasar baperan.
"Dimakan adek gue," sambungnya. "Berhenti di halte depan aja. Dari sini gue tinggal jalan kaki kok, ribet kalo lo bawa mobil ke dalem rumah gue nanti."
Gue masih nggak ngerti kenapa Dinda bisa suka sama cowok kulkas modelan Marco gitu. Ganteng sih iya ganteng. Tapi gue sendiri nggak abis pikir sama cara interaksinya dia ke orang lain. Asli, kacau parah.
-----
Malemnya gue makan McD yang dibeliin Dinda tadi lewat drive-thru. Dinda emang bener, nggak ada makanan yang dimasak Mama malam ini. Sebenernya, tiap malem sih.
Sibuk.
Itu yang Mama bilang kalo Mama harus pulang malem. Papa jarang juga ada di rumah, kerja off-shore emang bikin waktunya abis di laut. Kakak gue? Kuliah di Bandung. Entah apa sebenenernya yang orangtua gue pikirin. Buat apa juga mereka kerja sampe lembur-lembur di luar tanpa mikirin anaknya?
Drrt... Drrrt...
Gue melihat caller ID yang ada di layar ponsel. Nama Oliver adalah yang nongol di situ.
"Mal, gawat Mal..."
"Gawat apaan?"
"Ini lo tahu enggak? Syarat buat tandi basket di Garuda Cup ganti, anjir! Kampret banget dah. Susah lagi!"
"Apa sih susahnya? Paling-paling harus ada pendamping, manager tim? Apa sih?"
"Nggak, bukan itu."
"Terus apaan dong?"
"Cheerleader minimal lima belas orang."
Cheerleader?
Maksudnya itu segerombolan cewek-cewek yang sorak-sorak dari pinggir lapangan, neriakin nama-nama yang umumunya nama kapten basketnya keras-keras itu? Bagi sekolah lain sih, pastinya seru ada cheerleader. Tapi selama ini... Sekolah gue nggak pernag punya sejarah buat tim cheerleader.
Ini sih bukan masalah, tapi malapetaka. Dimana gue bisa ngumpulin cewek-cewek buat dijadiin cheerleader?
-----
Dinda
Aku melatih jari-jariku di atas piano setelah mandi.
Sudah hampir dua bulan aku latihan dengan Marco di kelas tiap pulang sekolah. Walaupun udah hampir dua bulan, tapi rasanya masih seperti mimpi yang nggak pernah aku bayangin bisa terwujud.
Kalo tahu aku bisa deket sama Marco dari dulu karena main piano, harusnya aku upload video-video yang pernah ku rekam aja di instagram. Mana tahu kan, Marco yang nggak suka gue tiba-tiba jadi berubah?
Kedalaman hati seseorang kan nggak ada yang tahu selain dia sendiri.
"Kak Dindong!!!"
Epin tiba-tiba mengagetkanku dengan suara cemprengnya saat aku sedang melamunkan senyuman Marco.
"Kenapa Sayang?" Tanyaku pada Epin, "Kangen Papi ya?"
"Makan ayo kak!!"
Aku tersenyum dan mengangkatnya dari lantai tempat dia berdiri. "Dasar kamu. Ada maunya aja baru ke Kakak. Yuk makan."
Sebenernya aku udah makan McD yang tadi ku beli waktu pulang sekolah. Tapi kalau aku nggak makan, yang ada adikku juga nggak makan malem. Nasiblah...
Papi masih ada simposium di Makassar, Mami harus ngurusin Ledwin yang lagi sakit typus di... Tunggu dulu, aku lupa dimana kakakku kuliah. Di Sa.. Salatiga. Papi sama Mami sering emang ngajak aku dan Ledwin ke sana dulu waktu kami kecil. Katanya sih, di sana Mami sama Papi ketemu.
Well karena semua orang pergi, nggak mungkin juga aku pergi dan ninggalin Epin sendirian sama Mbak Asih. Kadang aku heran juga, kenapa Mami sama Papi ini bisa sampe bikin Epin? Katanya sih anak bonusan.
"Kak Malko?" Celetuk Epin saat aku sedang menyuapinya.
"Malko? Malko siapa?"
"Itu.. Hapenya Kak Dindin nyala-nyala tulisanya Malko..."
Hapeku?
Aku melirik ponselku yang tengah bergetar di sebelah kananku.
Marco Ecclesiastes
Beneran Marco yang telepon?!
"Bentar ya Epin," kataku. "Mbak Asih, tolong suapin Epin sebentar dong Mbak..." Aku beranjak dari tempat dudukku, untuk ke kolam ikan belakang di bagian belakang rumahku. Aku biarkan kakiku masuk di dalam kolam itu dan ikan-ikan kecil itu menggigiti kakiku.
Setelah ku rasa aku mampu mengatur ritme jantungku yang nggak karuan karena ditelepon Marco, akhirnya aku angkat juga teleponya.
"Halo?" Kataku sesaat setelah ku angkat.
"Halo," jawabnya. "Gue ngeganggu lo nggak?"
"Ng.. Nggak kok. Cuma lagi nyuapin adek gue doang kok." Kenapa aku jadi salah tingkah begini waktu mau jawab Marco?
"Udah selesain suapinnya?"
"Belom sih... Tapi ini lagi disuapin sama Mbak Asih dulu. Kenapa emangnya Mar?"
"Gue rasa kita kurang maksimal kalo cuma latihan di sekolah tiap pulang sekolah. Kalo misalnya kita latihan di luar sekolah gimana?"
"Boleh tuh... Di gereja gue ada dua piano di satu ruangan. Mau latihan di sana?"
"Di gereja lo?"
"Iya. Kebetulan pendetanya tetangga gue, jadi gue bisa minta izin buat pake pianonya sampe kita selesai lomba. Gimana, Mar? Oke nggak?" Pikiran polosku langsung mengarah kepada piano gereja yang ada di lantai dua.
"Boleh, kalo emang bisa."
"Oke... Gue jemput hari Sabtu halte bus tadi ya?"
"Oke. Soal cokelat yang lo kasih itu, adek gue yang makan. Soalnya dia kira itu cokelat yang dia beli di hari itu. Ternyata, dia salah makan dan akhirnya gue enggak sempat makan." Marco menjelaskan perkara soal cokelat green tea yang ku berikan padanya Februari lalu. "Gue enggak ngerti kenala lo mau kasih cokelat itu ke gue, tapi thank you buat cokelatnya. Sampai hari Sabtu ya."
Mungkin benar apa kata Gamal.
Aku memang baperan dan lemah kalau sudah berurusan sama cowok yang aku taksir. Tapi, bukannya orang lain juga selemah itu kalau dihadapkan dengan orang yang dia sukai?
Shall I call it a date with him then?