Malam ini Bali kembali hujan. Rintik-rintik air mulai turun dengan intensitas kecil sejak pukul 6 sore, yang membuat Jasmina dan Devon mengurungkan niat mereka untuk makan malam romantis di tepi pantai. Mereka memutuskan untuk kembali ke hotel setelah seharian beraktifitas wisata alam.
Devon memandangi kulit tangannya yang masih merah karena terbakar matahari. Waktu 30 menit yang ia habiskan untuk berendam di bak mandi sepertinya belum bisa mengimbangi sensasi terbakar di kulitnya. Tapi setidaknya sekarang kulitnya sudah bersih, wangi dan kenyal.
Waktu sudah menunjukkan pukul 8 malam, dan di meja makan hanya tersisa 2 piring dan 1 gelas milkshake coklat kosong. Jasmina dan Devon sudah menghabiskan makan sore mereka, sepiring pizza dan sepiring pasta. Devon tengah berjuang menghabiskan milkshake coklatnya. Setelah beraktifitas seharian di terik matahari, segar sekali rasanya menikmati minuman dingin.
Suara gemericik air di kamar mandi menyadarkan lamunan Devon. Ia segera berdiri untuk merapikan koper-koper yang berisi baju-baju serta oleh-oleh untuk keluarga mereka. Devon benar-benar tidak percaya kalau bulan madu mereka akan segera berakhir. Andai ia bisa memutar kembali waktu, sehingga mereka bisa berlibur berminggu-minggu ketika mereka masih sekolah.
Devon mencoba menganalisa usahanya hari ini terhadap Jasmina. Ia bersyukur telah di ajarkan mbah google untuk menjadi lelaki yang lebih baik hari ini. Selama ini Devon menyangka hubungannya dengan Jasmina akan berjalan begitu natural, begitu organik, dan mulus tanpa cela. Ya, itu terjadi karena mereka berjarak, sehingga meminimalisir friksi atau gesekan.
Setiap mereka bertemu, mereka akan berusaha untuk saling menyenangkan, saling mengerti, dan saling memendam emosi demi menghabiskan waktu yang berkualitas. Padahal dalam sebuah hubungan, pertengkaran, pembahasan hal-hal penting, gesekan merupakan salah satu dari proses menuju kedewasaan sebuah hubungan. Ya, hubungannya dengan Jasmina akhirnya kembali lagi ke masa ketika mereka lulus SMA. Mereka harus mulai lagi.
Hari ini, mereka menghabiskan waktu untuk membahas hal-hal yang tidak pernah mereka bahas sebelumnya. Jasmina untuk pertama kali membahas perasaan sedihnya karena Devon tidak kunjung menyatakan perasaannya sejak mereka SMA sampai mereka kuliah. Devon juga untuk pertama kalinya menunjukkan betapa ia membenci Jasmina ketika gadis itu plin plan antara Miko dan Bagas, sehingga tidak ada ruang untuknya. Mereka menghabiskan siang ke sore untuk membuang masa lalu yang negatif, dan mengingatkan kembali apa yang membuat mereka jatuh hati untuk pertama kali. Sesuatu yang harus selalu mereka simpan di hati, untuk masa-masa sulit nantinya.
Suara pengering rambut terdengar dari dalam kamar mandi. Devon memperhatikan, saat ini Jasmina mandi dengan pencahayaan yang lebih terang. Ya semoga saja apa saja yang sudah di bahas mereka hari ini, telah membuat hati Jasmina lebih tenang. Devon ingin Jasmina tidak hanya menjadi cantik, tapi juga merasa cantik. Terutama cantik di hadapannya. Devon sekarang mengerti, kalau rasa percaya diri Jasmina hancur lebur justru di hadapan sang suami. Ada rasa kuatir berlebihan kalau orang yang akan menghabiskan waktu selamanya dengan kita, ternyata tidak menyukai kita apa adanya. Konyol sekali.
Tapi saat ini, justru Devon yang merasa kuatir berlebihan. Jasmina melangkahkan kaki jenjangnya keluar dari kamar mandi dengan sebuah gaun tidur yang begitu indah, hasil pilihan Rania. Tiba-tiba Devon merasa tenggorokannya begitu kering, sehingga ia susah menelan segumpal ludah yang sedang berkumpul di mulutnya. Devon menggosok-gosokkan telapak tangannya yang terasa basah, padahal tidak ada air atau keringat menempel di situ. Ia ingin melangkah, tapi tidak tahu akan melangkap ke depan, atau mundur ke belakang. Yang jelas ia tidak ingin berkedip dari sosok Jasmina.
"Kamu…udah abisin milkshake-nya?", tanya Jasmina dengan santai dan sangat percaya diri. Ia maju selangkah demi selangkah dengan pelan, sehingga jubah gaun tidur yang terbuat dari satin pink itu berkibar-kibar seperti awan yang bergerak. Devon dapat melihat dengan jelas seluruh fitur tubuh Jasmina yang terceplak sempurna.
"Ternyata capek juga ya wisata alam. Tidur yuk", ajak Jasmina sambil mengibaskan rambutnya yang telah di blow-dry. Aroma shampoo stroberi langsung menguar ke penciuman Devon, wangi yang sangat familiar dan menggoda. Rambut Jasmina jatuh sempurna seperti sutera yang membelai leher jenjangnya.
"Cca…ca…capek ya? Mau aku panggilin tukang pijat?", tanya Devon grogi. Ia menunjuk telfon hotel. Ia maju selangkah dan menangkap salah satu lengan Jasmina dengan kikuk. Mata mereka bertemu, dan sebuah keheningan menyiksa tercipta selama 30 detik. Kemudian Jasmina tersenyum manis.
"Untuk apa panggil tukang pijat, kalau kita punya suami?", tanya Jasmina dengan mimik yang anggun. Padahal, secara tersurat, ia menyampaikan sebuah undangan yang berbahaya kepada sang suami. Devon akhirnya berhasil menelan ludahnya dengan susah payah, yang menimbulkan gerakan yang luar biasa pada jakun di lehernya. Jasmina memperhatikannya. Ternyata seru juga menggoda Devon!
Jasmina mundur selangkah, lebih tepatnya mulai berjalan mundur ke arah ranjang mereka. Dengan gerakan lembat, Jasmina menarik pita dari jubah gaun tidurnya, sehingga jubah itu menyikap gaun tidurnya yang memiliki bahan dan warna yang sama. Jubah itu dengan cepat dan indah, merosot melalui pundak Jasmina dan jatuh ke lantai.
Jasmina berdiri tegak dan berusaha untuk tegar dan percaya diri, padahal ia gemetar. Selama 30 menit di kamar mandi, ia berusaha untuk meyakinkan dirinya bahwa ia cantik, ia indah, dan ia berhak memiliki Devon. Selain itu, ia juga memiliki kewajiban terhadap suaminya, dan ia harus mencintai dan dimiliki Devon secara utuh. Jasmina harus siap.
"Jasmina…", Devon memanggil pelan. Ia maju selangkah ke arah ranjang. Jasmina kontan mengambil gerakan cepat dan masuk ke dalam selimut. Ia menggulung-gulung selimut itu dan membungkus dirinya seperti kepompong. Devon tersenyum mengikik melihatnya. Kirain Jasmina sudah banyak berubah hari ini, ternyata masih pemalu juga.
Devon berjalan pelan kearah ranjang, dan dengan gerakan cepat ia meloloskan kaos yang baru ia kenakan 35 menit yang lalu. Ia tidak mau membuang-buang kesempatan yang ada, mumpung Jasmina mengundangnya. Ia memasuki ke sisa-sisa selimut, dan menempelkan kakinya ke kaki Jasmina.
"Boleh aku ikut disini?", tanyanya sambil berbisik ke telinga Jasmina. Istrinya itu menatap wajah Devon. Ia tidak kuasa tersenyum. Mereka berdua seperti sepasang anak kecil yang sedang bermain, berbisik, bercanda, seakan-akan dunia ini benar-benar hanya milik mereka berdua.
Devon membelai rambut halus Jasmina. Rambut itu mungkin telah berubah warna belasan kali sejak pertama kali mereka kenal, tapi ia selalu memiliki wangi yang sama. Kadang, Devon suka mencuri-curi kesempatan untuk menghirup wangi kulit kepala Jasmina seperti seorang psikopat. Ada sensasi memabukkan yang terjadi di kepala Devon ketika ia melakukannya. Benar-benar candu.
"Kamu wangi Sekali Jaz…" kata Devon lebih lembut ke telinga Jasmina. Istrinya itu merinding dan membuat tubuh bagian atasnya bergetar. Kenapa justru suara pelan Devon mampu menggugahnya? Jasmina dapat merasakan denyut jantunya mulai berdetak lebih kencang.
"Jadi kalau aku gak wangi, kamu gak mau dekat-dekat heh?", tanya Jasmina sambil menatap Devon tajam. Suaminya itu tertawa.
"Kalo kamu suka aku yang wangi, jadi jangan harap aku mau dekat-dekat sama kamu kalo aku belon mandi, bau dan keringetan. Paham? Jadi mulai sekarang kamu harus tau, aku Cuma mau deket-deket sama kamu, kalau aku udah mandi dan wangi. AKu gak pede nih jadinya deket-deket ama kamu kalo…"
"Nanti juga kita bakal penuh keringat kok…", potong Devon. Jasmina hanya bisa menyerngit tidak paham atas kata-kata Devon. Suaminya itu semangkin gemas dengan tingkah Jasmina yang terlalu polos.
Devon membelai lembut pundah Jasmina dan meloloskan gaun tidurnya. Diciptakan begitu elastis, tali gaun tidur itu begitu gampang berlalu begitu saja, sehingga hampir setengah dada Jasmina tersingkap. Mata Devon membulat menyaksikan pemandangan itu. Istrinya itu langsung menggunakan sisa gaun yang menempel untuk menutupi dadanya.
"Mungkin bentuk dan ukurannya…"
"Pas banget Jas, kamu indah… semuanya indah…",potong Devon sambil menyentuh tangan Jasmina. Tangan mereka seakan-akan bersama-sama menutupi dada itu. Devon melayangkan ciuman yang begitu lembut di bibir Jasmina. Ketika Devon sudah merasa Jasmina nyaman, ia membiarkan istrinya itu yang memimpin ciuman itu. Jasmina bernafas pelan-pelan, dengan maksud ikut menata jantungnya yang mulai berdegup menggila.
Ketika Devon merasakan Jasmina mempercepat dan memperdalam ciumannya, Devon mulai membelai leher Jasmina, dan dengan lembut dan menuntut, turun ke bagian dada istrinya. Dengan pintar, Devon menyingkirkan tangan Jasmina dari wilayah itu, sehingga Devon bisa dengan tenang mengenalnya lebih intens. Tubuh Jasmina bergetar hebat ketika kulit sensitifnya itu di sentuh Devon. Suaminya itu membenamkan lebih dalam ciumannya agar Jasmina sedikit mabuk dan melupakan gerakan tiba-tiba itu.
"Hhhhh…hhh….hh… Devon…", Jasmina melepaskan ciuman mereka. Sepertinya oksigen sudah habis di paru-paru Jasmina. Devon tersenyum dan kemudian memeluk istrinya dengan posesif.
"Maafin aku Jasmina, you're so beautiful (kamu begitu cantik)", bisik Devon dengan lembut. Sebenarnya Jasmina ingin memukul suaminya itu dan mengatakan betapa gombal kata-katanya. Tapi Jasmina tidak sanggup, ia masih terlalu shok dan bergetar karena sentuhan Devon.
Tangan Devon turun membelai paha Jasmina. Istrinya itu bergetar dan refleks menjauhkan tangan Devon dari pahanya.
"Jangan! Permukaannya gak halus. Ada banyak stretchmark disitu!", jujur Jasmina. Akhirnya ia memiliki keberanian untuk mengatakannya. Devon melepaskan pelukannya dan menatap Jasmina lembut.
"Mana, aku mau lihat", kata Devon dengan mata berbinar.
"Tidak perlu!", kata Jasmina sambil menggulung selimut untuk membungkus pahanya. Secepat kilat Devon duduk di atas ranjang dan mencampakkan selimut itu sehingga paha mulus Jasmina tersingkap!
"Devon jangan!", teriak Jasmina.
"Jasmina, kita sudah menikah. Berapa lama kamu berencana menyembunyikannya dari aku?", tanya Devon sambil berkacak pinggang memandang paha Jasmina.
"Sekitar 45 tahun", jawab Jasmina. Ia berusaha membetulkan posisi gaun tidurnya agar mampu menutupi dada dan pahanya sekaligus, padahal talinya sudah melorot sampat ketiaknya.
"Maksudnya kamu Cuma mau menikah dengan aku selama 45 tahun?", tanya Devon heran.
"Iya, aku gak ada rencana hidup lebih lama dari 45 tahun lagi. Aku pasti jadi jelek dan penuh dengan keriput setelah itu!", kata Jasmina dengan senyum jahilnya. Devon menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Jasmina yang benar sajaaaaa!',pekik Devon. Kali ini sang suami menyingkap gaun tidur Jasmina sehingga paha itu terbuka kembali. Devon menciumnya dengan cepat. Jasmina meronta-ronta.
"Perlu kamu ingat, kamu yang mulai. Siapa yang suruh kamu keluar dari kamar mandi dengan pakaian kayak gini hah! Ini sama saja dengan melemparkan steak segar ke mulut buaya", tutur Devon dengan mata berkilat-kilat. Jasmina masih saja menggesek-gesek kakinya agar Devon enyah dari pahanya.
"Kalo kamu masih terus meronta begini, akan aku…akan aku…", Devon berusaha mengancamnya dengan kata-kata mesum, tapi ia tidak sanggup melakukannya. Ia mencengkeram paha Jasmina. Dadanya bergetar hebat, ia kuatir kata-kata nakal berikutnya akan menyulut semangatnya berkobar. Ia tidak yakin akan membiarkan proses ini begitu sabar.
Jasmina menyadari ancaman Devon walau tanpa kata-kata. Ia berusaha untuk tenang, walau ia begitu grogi karena tubuh bagian bawahnya terekspos begitu menantang di hadapan suaminya. Devon tidak ingin menakuti Jasmina. Ia kembali merangkak ke wajah Jasmina, dan mengecup bibirnya pelan.
"Jasmina aku seorang dokter, aku bisa mengobati guratan apapun yang mengganggu pikiran kamu. Walau menurutku, tiap guratan di tibuh kamu itu indah Jaz…seperti lukisan yang menggairahkan…", puji Devon.
"Ah gombal! Awas aja kalo nanti kamu silau liat-liat kulit mulus perempuan lain disana!", ancam Jasmina sambil menjauhkan dada Devon dari dadanya. Devon tertawa pelan.
"Serius Jaz, yang kamu liat-liat di majalah atau IG itu pasti udah di edit atau di dempul-dempul sama make-up. Tidak ada yang sempurna sayang…", bisik Devon. Ia kembali mengelus lembut paha Jasmina, yang sepertinya mulai di terima dengan baik oleh istrinya itu.
Kali ini Devon menaikkan tangannya dan mengelus perut Jasmina.
"Ahhh Devon jangaaann aku maluuu! Perutku gak berotot kayak punya kamu!", protes Jasmina. Devon mendekatkan bibirnya ke telinga Jasmina.
"Mau sentuh perutku? Boleh kok", bisik Devon yang sukses membuat Jasmina tersipu malu. Entar sudah ribuan kali Jasmina berhasrat ingin menyentuhnya setiap kali mereka bertemu. Keinginan yang sakit! Setidaknya begitulah pemikiran Jasmina. Devon mengambil tangan Jasmina dan menempelkannya di perutnya. Sebenarnya Devon hanya ingin menggoda Jasmina, tapi justru perbuatannya itu menimbulkan sengatan listrik yang luar biasa bagi Devon sendiri. Ia akhirnya lupa cara bernafas, yang berakhir dengan menatap mata istrinya dengan intens.
Jasmina melihat perubahan pada mimik Devon yang menjadi gugup, dan dia menyukainya! Jasmina melancarkan aksinya dengan mengelus-elus pelan perut dan dada bidang Devon dengan lembut. Tangannya bergetar, tapi ia tidak menyurutkan rasa keingintahunanya. Devon memejamkan matanya dan menikmati sensasi baru dalam hidupnya.
"Devon, kalau nanti aku jadi gendut dan jelek, kamu tetap akan ada disisiku kan?", tanya Jasmina yang sukses menghentikan kesenangan Devon. Ia membuka matanya dan kembali mengecup lembut bibir istrinya. Ia kembali mengelus perut Jasmina.
"Perut ini sangat indah Jasmina. Dan bila suatu hari nanti, akan ada kehidupan di dalam sini, perut ini akan menggelembung begitu besar. Ketika itu terjadi, akan banyak guratan-guratan baru di sekeliling ini", jelas Devon sambil memutar-mutar tangannya di sekitar perut Jasmina.
"Apakah semua begitu? Aku gak mau ada guratan lagi…", protes Jasmina.
"Semua begitu sayang…", kata Devon.
"Dari mana kamu tahu? Kamu pernah lihat?", tanya Jasmina. Devon terdiam membeku. Tentu saja dia pernah melihat. Sudah tidak terhitung berapa kali ia membantu proses melahirkandi rumah sakit.
"Kamu pernah lihat pasien begitu? Apa mereka cantik?", tanya Jasmina. Devon kembali membeku.
"Aku gak liat wajahnya", Devon mengangkat pundaknya dan menjawab asal-asalan.
"Hahhhhhh jadi apa yang kamu lihat kalo gitu?", tanya Jasmina penuh selidik. Devon menutup matanya dan mengutuk dirinya sendiri. Harusnya dia tau ini hanya pertanyaan jebakan.
"Ya ya ya …itu…bayinya. Kan membantu proses lahiran atau ketika meriksa pasien. Jadi perutnya dikasi gel gitu, trus kita pantau pakai alat USG gitu… jadi ya yang aku liat ya guratan-guratan itu", jelas Devon tergagap. Jasmina hanya bisa terkikik melihat suaminya.
"Intinya Jezz, kamu gak perlu malu donk sama aku. Pasrah aja. Semua yang kamu punya, semua yang kamu gak punya, semua yang ada disini, semua yang akan ada disini, sudah aku terima apa adanya, sayang", tutur Devon lembut sambil mengelus pucuk kepala Jasmina.
"Kita akan selalu bersama Jaz, kita akan glowing bersama, tua bersama, keriput bersama, karena cinta kita sudah melewati hal-hal fisik seperti itu nanti", jelas Devon.
"Nanti?", tanya Jasmina.
"Iya nanti, tapi sekarang, kita harus melalui hal fisik dulu…", tutur Devon sambil berbisik ke telinga Jasmina. Ketika selesai mengatakannya, ia mengecup cuping telinga Jasmina. Hal tersebut sukses membuat Jasmina kembali merinding, suasana hati mereka kembali panas menggelora.
Devon kembali melancarkan ciumannya, dari yang lembut sampai mulai posesif. Sesekali Devon melepaskan ciumannya dari bibir istrinya, dan beralih ke leher Jasmina. Jasmina meronta-ronta pelan, tapi justu semakin membakar semangat mereka berdua. Begitu terus sampai akhirnya Jasmina memberanikan diri mengecup pundak Devon. Suaminya itu terkejut sampai ia menghentikan kegiatannya. Ia menatap Jasmina dengan nafas sedikit tersengal.
Devon mengurung Jasmina dalam posisi plank, dan masing-masing tangan Devon mencari tangan Jasmina. Ia menggenggamnya erat dan membenamkan tangan Jasmina ke ranjang, seakan-akan mematri istrinya agar tidak pergi kemana-mana. Hal itu membuat suasana semakin panas, bahkan Jasmina merasakan sensasi panas di seluruh tubuhnya.
"Jasmina, percaya sama aku ya… biarkan aku memimpin kali ini. Biarkan aku…memilikimu…", pinta Devon dengan suara yang mulai parau. Ada rasa meminta, putus asa, dan semangat yang berkobar di nada suaranya. Suara yang semakin menggetarkan hati Jasmina. Bila kemaren ia takut, malu dan minder dihadapan Devon, kali ini Jasmina mencoba untuk pasrah. Ia juga merasa kali ini Devon sungguh mantap dan percaya diri.
Devon kembali melancarkan ciuman mautnya kepada Jasmina, tapi kali ini di posisi leher dan dada tengahnya. Ketika ciuman itu berubah menjadi lebih rakus dan menyasar ke bagian-bagian sensitif di dadanya, Jasmina tidak tahan untuk tidak bereaksi. Tubuhnya bergejolak dan ia mulai meracau tidak menentu.
"Devon…Devon…", Jasmina terus memanggil nama Devon. Devon semakin mempercepat tempo permainannya, sambil melepaskan kedua tangannya dari tangan Jasmina. Jasmina langsung menggapai bantal yang sedang ia tiduri untuk berpegang, yang membuat dadanya semakin membusung sempurna. Tentu saja hal tersebut membuat Devon kehilangan akal. Dengan kasar, Devon meloloskan semua pakaian yang melekat di tubuh Jasmina dan di tubuhnya.
"Jasmina… percaya sama aku ya…", pintanya lagi sambil terus mencumbu bagian tengkuk, telinga dan leher Jasmina. Bagai di cekoki begitu banyak candu, Jasmina tidak mampu berkata-kata. Tubuhnya terus bergejolak meminta lebih dan lebih. Devon melihatnya sebagai sebuah reaksi positif dari Jasmina.
"Kamu cantik Jasmina, tidak ada yang boleh melihat kamu begini ya sayang! Cukup aku aja…Ya Tuhaaannn kamu begitu indah…", Devon mulai meracau ketika tubuh mereka mulai bersentuhan dan saling menyapa. Jasmina tidak mampu menjawab, namun tangannya mulai sibuk memeluk pinggang ramping Devon. Pemanasan yang diberikan Devon sukses membuat tubuhnya panas dan mulai mengeluarkan keringat.
Devon kembali mencium bibir Jasmina dengan posesif, dan menunggu istrinya itu membalas dengan level yang sama. Ketika akhirya itu terjadi, Devon mulai mendaratkan pinggulnya ke pinggul istrinya, dan mencoba hal yang tertunda. Jasmina terkejut, namun ia tidak melepaskan ciumannya. Ia hanya mencengkeram lengan Devon, tanda ia takut tapi mulai lebih pasrah dan ikhlas. Devon menghargainya.
"Aku mulai ya sayang…", pinta Devon. Jasmina hanya terdiam dan menatap Devon dengan ekspresi yang tidak bisa diartikan. Devon melayangkan ciumannya lagi di leher Jasmina, yang membuat Jasmina kembali melayang. Tepat saat itu, Devon berusaha untuk meruntuhkan dinding terakhir Jasmina dengan lembut. Jasmina sudah tidak perduli dengan rasa perih dan sakit, ketika stimuli Devon lebih intens. "Ya, fokus pada Devon…fokus pada Devon…", pikir Jasmina berulang-ulang.
Ketika akhirnya mereka bersatu, Devon menghentikan gerakannya dan menatap mata istrinya dengan mata sayunya. Nafas Devon tercekat, begitu juga dengan Jasmina. Ia mengecek bila perbuatannya telah menyakiti istrinya. Tapi Jasmina hanya tersenyum lemah menatapnya…
"Aku tau kamu baik, aku tau kamu ngebuat aku merasa aman dan nyaman. Tapi aku baru tahu….kalau…kamu bisa ngebuat aku gila seperti ini Jas…kamu wanita yang berbahayaaaaa….", pekik Devon tertahan. Jasmina tidak mampu menjawabnya. Ada sensasi aneh yang ia rasakan di bagian bawah tubuhnya. Sensasi itu dengan cepat menjalar ke seluruh tubuhnya, yang memuncak di kepalanya. Ada dorongan agar tubuhnya bergerak dengan ritme.
"Devon, miliki aku…sekaraaaannnggg…", pinta Jasmina dengan suara paraunya. Suara yang membuat Devon menggila, karena detik berikutnya Devon memberanikan diri untuk bergerak memompa hasrat mereka. Sensasi baru yang mereka alami, membuat mereka berdua kaget karena mereka baru menyadari ada dorongan dan hasrat yang begitu besar. Dimana mereka kubur hasrat tersebut selama ini?
Jasmina dan Devon terus bergerak meneliti hasrat baru ini, seakan-akan ada kehausan dan kelaparan yang begitu besar disitu. Devon sesekali memeriksa apakah istrinya baik-baik saja, dan Jasmina tanpa sadar ikut menyulut hasrat Devon dengan gerakan-gerakannya. Keduanya seakan-akan ingin menuntaskan rasa kerinduan bertahun-tahun akan sentuhan dan kasih sayang.
Ketika akhirnya mereka menuntaskannya, Jasmina terkejut ketika ia tidak mampu mengontrol tubuhnya sendiri. Ia memekik menyebut nama Devon sambil terus memeluk suaminya. Rasa malu, rasa gengsi, rasa minder yang ia rasakan sebelumnya, melebur begitu saja. Selama beberapa menit, tidak ada yang memulai pembicaraan. Mereka terlalu sibuk mengatur nafas mereka yang hampir habis.
"Devon…what was that…(apa itu tadi?)", tanya Jasmina dengan nafas tersengal-sengal. Ia tidak menyadari kalau baru saja ia merasakan sebuah sensasi baru dalam hidupnya, mencapai pelepasan. Devon ikut memeluk tubuh Jasmina dengan posesif. Mereka saling dapat mendengar detak jantung menderu satu sama lain. Kaki-kaki mereka masih bergetar…
"Aku …aku…gak tau Jas. Tapi aku mau lagi…", jawab Devon dengan mata berkilat-kilat.