Chereads / Pacaran Paksa (Dengan Ketua OSIS) / Chapter 113 - BAB 29: Kesepakatan Dalam Pernikahan

Chapter 113 - BAB 29: Kesepakatan Dalam Pernikahan

Suara burung-burung yang hinggap di rel balkon berdecit-decit dengan merdu, seakan menyapa sang pagi. Suasana pukul 7 pagi di kota Bali masih terlalu lembab akibat hujan yang cukup awet hingga dini hari. Wangi pepohonan lembab berpadu dengan angin yang terbawa oleh laut, membuat suasana begitu segar. Matahari kehilangan cahaya kuatnya ketika menerobos pintu balkon kamar Jasmina dan Devon. Walau tirai sudah terbuka, justru cahaya lembut yang menyinari punggung indah Jasmina.

Jasmina mencoba sekuat tenaga membuka mata beratnya yang mungkin baru ia pejamkan 3 sampai 4 jam saja. Seluruh badannya seakan remuk-redam, berpadu dengan perih di berbagai tempat yang cukup vital. Tapi ia harus akui, kepalanya terasa begitu ringan, seakan-akan beban hidup yang sudah ia rasakan selama kurang lebih 24 tahun menguap begitu saja. Ia merasa bahagia seutuhnya.

"Sudah bangun, tuan putri?", tanya Devon persis ketika Jasmina membuka matanya. Ia hampir tersedak ketika melihat wajah sang suami yang sudah segar bugar, terletak tidak kurang dari sejengkal dari wajahnya. Apakah selama ini Devon memandang wajah tidurnya? Pastilah bukan sebuah pemandangan yang menyenangkan, apalagi ia tertidur setelah habis dari kerja keras, gumam Jasmina dalam hati.

"Aku nungguin kamu bangun dari tadi, lama amat sih...", tutur Devon dengan suara merdu, seakan-akan ingin bersaing dengan burung-burung yang hinggap di balkon. Jasmina refleks menutup mulutnya dengan selimut. Apapun yang akan ia katakan kepada Devon, ini waktu yang tidak tepat. Ia belum menyikat giginya. Jasmina hanya mengangguk-angguk. Bagaimana sih perkawinan orang-orang di luar sana? Bagaimana mereka menyapa para pasangannya ketika pagi datang dengan mulut yang belum disikat? Bukankah itu jauh dari kesan romantis?

"Kamu capek gak? Apa masih terasa... ehmm.... sakit?", tanya Devon dengan mimik yang sangat menggemaskan. Bola mata suaminya itu berpetualang dari bola mata Jasmina, hingga melorot ke bagian tubuh Jasmina yang lain. Kontan Jasmina dengan refleks mencengkeram lebih banyak selimut untuk ia peluk. Sungguh sebuat pertanyaan yang membuat canggung. Jasmina menggeleng pelan.

"Beneran udah gak sakit? Tapi...ehm pegel ya? Mau aku pijetin?", tanya Devon dengan wajah yang lebih mencurigakan. Jasmina menggeleng dengan tegas. Tidak, bila ia memberikan gesture yang salah, kemungkinan besar Devon akan menerkamnya lagi. Jasmina tidak dapat menghitung berapa kali mereka melakukannya sepanjang malam.

Devon yang tenang, sok cool dan berwibawa dalam sekejab berubah menjadi sebuah beruang yang kehausan dan kelaparan. Untuk pertama kalinya Jasmina melihat ekspresi lain dari sang Devon, sebuah mimik yang tidak bisa ia gambarkan. Dan yang lebih aneh lagi adalah, Jasmina sangat menikmati melihat ekspresi suaminya seperti itu. Ia bertanya-tanya, bagaimana ekspresinya di mata sang suami tadi malam? Ia benar-benar tidak dapat mengontrol wajahnya!

"Sssttt... kok kamu tiba-tiba berubah menjadi pemalu gini sih", tutur Devon lagi ketika melihat Jasmina sekarang resmi menenggelamkan seluruh tubuhnya dibawah selimut tebal. Pada saat itu Jasmina baru menyadari bahwa ia tidak mengenakan apapun. Sepertinya ia terlalu lelah sehingga benar-benar pingsan entah di jam yang keberapa. Jasmina panik!

"Aaa...aku...lapar…", kata Jasmina pelan. Ia membuka sedikit selimutnya untuk mengintip reaksi Devon. Suaminya itu setengah duduk dengan bertumpu dengan satu lenganya menghadap Jasmina. Selimut tersingkap dari dada Devon yang meloloskan pemandangan torso depan suaminya itu. Lengan berotot tempat Jasmina berpegangan tadi malam tampak sangat mengundang. Jasmina dalam melihat sekilas dada bidang dan pundak Devon yang dihiasi cakaran-cakaran kecil oleh Jasmina. Darah mengalir cepat dari paru-paru Jasmina ke arah kaki, dan kembali ke Jantung dalam kecepatan cahaya. Jejak perjalanan darah itu menimbulkan reaksi panas meletup-letup di sekujur tubuh Jasmina. Bayangan yang terjadi tadi malam membuatnya sesak nafas.

Devon serta merta beranjak dari ranjang mereka dan berdiri. Jasmina tidak berani melihat situasi, kuatir kondisi Devon juga sama dengannya. Melihat otot di lengannya saja sudah membuat Jasmina dag dig dug. Bagaimana bila ia berjalan di kamar tanpa mengenakan apapun? Seketika Jasmina merasa berada di dekat Devon saja sudah sangat berbahaya. Jasmina kembali menenggelamkan seluruh tubuhnya di balik selimut.

"Sarapan untuk tuan putri", seru Devon yang membuat Jasmina menyingkap selimut dari wajahnya. Ia melihat Devon mengenakan jubah mandi, sambil membawa sebuah meja kecil berisi sarapan mereka. Dua piring kue wafel dengan siraman madu, gula pasir halus dan beberapa buah stroberi. Aroma dari 2 cangkir teh benar-benar cocok di udara yang lembab, seakan membangkitkan kesegaran dan ketenangan di kepala Jamina. Seketika itu juga ia merasa sangat kelaparan.

"Aku yakin kamu pasti laper banget setelah...ehemm...tadi malam...", kata Devon malu-malu sambil menatap sarapan yang masih ia pegang itu. Jasmina dapat merasakan pipinya menghangat. Ia mencengkeram selimutnya dan berusaha menutupi tubuhnya. Bukankah ia harusnya mandi dan berpakaian dulu? Sepertinya Devon sangat menikmati melihat Jasmina yang tersiksa karena serba salah seperti ini.

"Duduk", perintah Devon. Jasmina kemudian berusaha duduk sambil mencengkeram selimut dan memastikan seluruh tubuhnya tertutup, minimal ia jadikan selimut itu seperti kemben di torsonya. Devon kemudian meletakkan meja kecil itu sehingga mengurung paha Jasmina. Ia kemudian naik ke ranjang dan duduk persis di samping Jasmina.

"Selamat pagi sayang... I love you...", bisik Devon ke telinga Jasmina dengan lembut. Kata-kata itu seperti musik yang indah di telinganya, kata-kata yang hampir tidak pernah cowok itu ucapkan sebelumnya. Jasmina merinding sampai-sampai ia menutup matanya, berusaha untuk menikmati setiap sensasi yang terjadi saat ini. Ketika beberapa detik kemudian ia membuka matanya, ia menatap Devon dengan penuh pertanyaan. Sebut saja, kenapa tiba-tiba ngomong "I love you..."...

"Aku gak tau apa yang terjadi sama aku hari ini, tapi ketika aku buka mata, yang pertama ingin aku lakukan ya, bilang I love you sama istriku tercinta. Aku langsung pengen meluk kamu, tapi aku takut kamu kebangun, kamu terganggu. Jadi gak tau deh berapa jam aku cuma natap kamu aja sayang... aku jadi nyesel... selama enam tahun terakhir ini, kok aku bisa sih tahan gak liat wajah kamu... sekarang aku mau puas-puasin natap kamu...", tutur Devon lagi sambil membelai rambut-rambut Jasmina yang jatuh berantakan di pundak indahnya. Devon merapikannya dan mengesampingkannya. Ia sempatkan mengecup ujung pundak Jasmina. Jasmina kaget dan berusaha menahan pekikannya. Ia tersenyum manis.

"Ngomong sesuatu donkkkk", pinta Devon setengah merengek sambil mendekatkan wajahnya ke wajah Jasmina. Istrinya itu menggeleng-geleng sambil mendorong tubuh Devon menjauh. Devon bingung dengan sikap Jasmina dan memberikan wajah herannya. Jasmina mendekatkan salah satu tangannya ke bibirnya dan mempraktekkan kegiatan menyikat gigi. Devon akhirnya paham, ia tertawa mengikik.

"Oalah tuan putri ternyata insecure ya karena belum sikat gigi. Ya udah nih makan aja dulu. Dalam dunia kedokteran, ternyata air liur ketika kita bangun tidur, baik untuk pencernaan. Jadi sebelum sikat gigi di pagi hari, sebaiknya sarapan dulu. Nih, aku suapin ya", kata Devon sambil memasukkan buah stroberi ke dalam mulut Jasmina. Ia memotong-motong kue wafel dan menyuapi Jasmina dan dirinya secara bergantian. Ia juga memaksa Jasmina untuk minum teh dan makan dengan cepat.

"Devonnnn nyuapinnya jangan cepet-cepet donk. Ini aku ngunyahnya ampe pegel", protes Jasmina sambil memegang rahangnya. Devon tertawa terpingkal-pingkal.

"Biar cepet abis nonnnn", jelasnya.

"Emang pesawat kita hari ini jam berapa sih?", tanya Jasmina.

"Ehmmm...kayaknya kita harus jalan dari hotel jam 12 gitu deh", jawab Devon serius.

"Lah kan masih banyak waktu. Kenapa kita harus buru-buru? Santai aja donk makannya", protes Jasmina lagi. Devon menatap Jasmina dengan lembut, kemudian menggosokkan ujung hidungnya ke ujung pundak Jasmina.

"Aku mau lagi...", tuturnya pelan. Walau pelan, Jasmina dapat mendengarnya jelas, dan dapat mengerti maksudnya. Ia kontan menjewer telinga suaminya itu pelan.

"Ya ampun Devvvv kamu gak puas-puas apa?", protes Jasmina lagi. Devon hanya bisa tersenyum dan kemudian memeluk istrinya itu dengan lembut.

"Ahahah sorry Jasmina. Aku gak tau ternyata pernikahan bisa seindah ini. Kalau tau begini, kenapa kita gak nikah aja dari dulu ya?", tanya Devon sambil melepaskan pelukannya dengan lembut. Jasmina kembali menjewer telinga suaminya. Devon hanya membalasnya dengan senyuman. Ia kembali menyuapi Jasmina dan dirinya.

"Jasmina...setelah tadi malam...erhmmm... mungkin tadi pagi sih, aku banyak berfikir, dan membuat sebuah keputusan. Sebuah keputusan yang harus kamu taati...", kata Devon dengan serius. Jasmina memandang malas wajah suaminya, karena ia punya firasat apa yang akan dikatakannya akan sangat absurb.

"Heemmmm...", jawab Jasmina.

"Mulai hari ini, kamu tidak boleh lagi berpakaian terbuka dalam kondisi apapun. Bahkan baju renang pun tidak boleh terbuka", kata Devon sambil mengangguk-angguk menatap Jasmina.

"Whatttt", pekik Jasmina bingung.

"Tidak ada rok mini, tidak ada baju dengan potongan dada rendah, gak boleh pake baju tanpa lengan, gak boleh baju ngepas, gak bole...

"Hahhhhhhh, maksudnya apaan sih Dev?", potong Jasmina sambil setengah tertawa. Untuk pertama kalinya Jasmina melihat Devon begitu absurd! Selama bertahun-tahun ia dekat denganny, bahkan ketika mereka resmi berpacaran, Devon tidak pernah seposesif ini!

"Gak boleh ngobrol akrab sama cowok sembarangan, apalagi cowok cakep. Gak boleh berduaan sama Bayu atau Jason di kantor atau siapapun, mau klien, mau OB, mau...

"Devon stop stop stop. Kok kamu jadi gini sih. Baru juga nih beberapa hari", protes Jasmina sambil melipat tangannya dan menatap Devon dengan tajam. Devon balik menatap Jasmina dengan wajah memelas.

"Sorry Jasmina tapi aku cuma ngerasa selama ini kita selalu jauh-jauhan, dan aku banyak rugi, mereka banyak untung.", jawab Devon. Jasmina meletakkan punggung tangannya di dahi Devon, hanya untuk mengecek apa suaminya itu sedang demam atau sudah gila.

"Mereka untungnya apa ya by the way…?", tanya Jasmina heran sambil dengan elegan mendekatkan cangkir the ke hidungnya. Ia mengharapkan kedamaian dan ketenangan di aroma teh itu, demi menetralisir kegilaan Devon di pagi ini.

"Kamu lebih sering menghabiskan waktu sama cowok-cowok teman kantor kamu itu dari pada aku kan selama enam tahun terakhir ini. Aku entah kenapa tiba-tiba ngerasa gak rela.", jawab Devon.

"Ya jelas aja lahh Dev, aku kan kuliah, kerja. Kamu juga di Bandung kuliah kok, bukan sengaja menghindari aku kan? Jadi ya kita jauh-jauhan konsekuensi dari pilihan kita aja. Toh kita sekarang kan udah sama-sama, jadi kenapa..."

"Nah justru ituuuu, aku sekarang gak mau menyia-nyiakan kamu lagi. Pokoknya aku gak rela kalo kamu dimiliki orang lain, kamu cuma untuk aku Jas. Jadi ini semua gak boleh dikasih liat ke siapa-siapa", potong Devon sambil meraba-raba tubuh Jasmina. Ia kesal karena entah kenapa Devon berubah menjadi begitu posesif. Jasmina justru tertawa terpingkal-pingkal karena gerakan itu justru membuat tubuhnya geliiiii!

"Devon ih kamu mendadak banget deh. Aku ini sekaran milik kamu kok, dan kamu itu milikku. Bukan berarti kita bisa langsung larang ini itu Devonnnnn. Mau aku pakai baju gimanapun, mau aku ngomong ama siapapun di kantor, itu profesional kok. Aku tetap milik kamu. Kalo kamu memang keberatan, sekalian aja noh kurung aku dirumah.", jawab Jasmina setengah marah tapi setengah geli.

"Ok kalau begitu, kamu dirumah aja ya", jawab Devon serius.

"Suami gilak", protes Jasmina sambil mencubit perut suaminya. Devon mengaduh. Sepertinya cubitan Jasmina cukup serius kali ini.

"Devon, ada kalanya aku juga pengen ngurung kamu dirumah aja agar gak digilai banyak orang. Liat aja tuh, suster, dokter, pasien. Ada kok rasa kuatir, rasa takut kalau suatu hari ada yang berusaha ngambil kamu dari aku. Tapi bagaimanapun aku harus percaya sama kamu. Percaya sama kita. Bener gak?", tanya Jasmina. Selama ini Jasmina yang sepertinya selalu kuatir dan cemburu karena Devon begitu banyak fans. Melihat suaminya seperti ini, ia kesal tapi sekaligus gemas. Ingin rasanya ia ikut meraba-raba tubuh Devon untuk membalas ilustrasi ia sebelumnya, tapi ia masih ragu dan malu. Akhirnya tangan Jasmina hanya melayang canggung di antara tubuh mereka.

Devon kembali memeluk tubuh istrinya dengan lembut.

"Janji kamu gak akan selingkuh dari aku?", tanya Devon lembut. Pelukannya sungguh mendominasi, yang hampir saja menggulingkan meja sarapan kecil itu.

"Devon gilak, ngapain aku selingkuh?", tanya Jasmina sambil tertawa mengikik. Jasmine memegang meja sarapan itu dengan erat.

"Aku tau kalo aku yang pertama...ehhhmmm...memiliki kamu. Tapi janji gak akan ada seperti tadi malam dengan orang lain kan?", tanya Devon hati-hati. Jasmina terkejut, tapi ia tertawa terpingkal-pingkal lagi.

"Ya enggak lahhhhh Devvv...", jawab Jasmina sambil membalas pelukan suaminya.

"Kalau kamu gimana? Tahan sama godaan perempuan-perempuan yang mau memiliki...kamuu...?", tanya Jasmina sambil akhirnya berani meraba leher dan dada Devon yang tidak tertutupi jubah mandi. Suaminya itu bereaksi. Devon kaget dengan inisiatif dan kreatifitas baru sang istri. Ia tersenyum puas.

"Kegiatan itu hanya bermakna bila dilakukan dengan orang yang kita cintai Jas..."

"Orang-orang bisa selingkuh Dev, ada sebuah tantangan disitu", jelas Jasmina.

"Mungkin itu cuma andrenalin Jas, tapi jelas bukan cinta. Yang akan mereka dapatkan hanyalah kepuasan karena menaklukkan andrenalin, dan penyesalan yang panjang...", jelas Devon.

"Penyesalan yang akan mereka lakukan lagi dan lagi dan lagi. Laki-laki biasa begitu Dev. Sekali bilang khilaf, dua kali bilang ada kesempatan, seterusnya akhirnya menyalahkan pasangan karena tidak sanggup memenuhi egonya", jelas Jasmina.

"Aku gak akan pernah begitu...", Devon menegaskan, sambil kembali memeluk tubuh Jasmina dengan lembut. Ia mendaratkan dagunya di pundak Jasmina dengan manja. Ia tidak menyangka pundah langsing Jasmina mampu menahan rahang kokohnya, dan rasanya sungguh luar biasa nyaman!

"Semua cowok selingkuh juga awalnya bilang begitu Dev, mereka bisa mengurutkan alasan dan pembenaran sebuah perselingkuhan..."

"Termasuk kamu..?", tanya Devon menjebak.

"Termasuk ak...ehh...gak donkkkkk. Aku gak ada rencana untuk selingkuh. Ih kamu bisa aja deh", Jasmina menyikut pinggan Devon. Bisa juga Devon berusaha menjebaknya. Ia menghabiskan tegukan terakhir tehnya dan meletakkannya dengan tegas sehingga menyebabkan bunyi "ting" kencang ketika cangkir dan piring itu menyatu. Mereka saling bertatapan sambil melotot, sekaan ingin mencari pemenang di antara perang otot mata itu. Devon mengalah.

"Entah lah Jas, setelah tadi malam, aku hanya merasa kalau ternyata aku memiliki sebuah kebutuhan baru, dan gak menyangkan kalau ia bisa seseru dan seadiktif ini. Aku Cuma merasa tercurangi. Kok bisa ya? Aneh memang. It was crazy…", jelas Devon sambil kembali membenamkan wajahnya di pundak Jasmina lagi.

"Woi, kamu tuh dokter. Belajarrr kannn masalah begini?", tanya Jasmina retorik.

"Iya sih, tapi beda donk kalau udah praktek", jawabnya sambil tersenyum nakal.

"Nah awas aja ya jangan sampai praktek sama orang lain. Ya kayak makan aja Dev. Selama ini kamu hepi dan puas kan sama makanan-makanan yang ada di Jakarta. Ketika kamu pindah ke Bandung, kamu merasa tetap lapar, dan merasa harus makan. Akhirnya kamu beralih kan mencari makan di Bandung. Makanan di Bandung akhirnya bisa mengisi kekosongan dan kelaparan kamu. Masalah selesai. Nah jangan sampai nih misalnya karena satu dan lain hal kamu tidak bisa mendapatkan keinginan kamu, eh kamu jadi praktek deh sama orang lain...", jelas Jasmina.

"Jangan sampe donk. Aku udah puas banget ama kamu...kamu juga jangan begitu ya", pinta Devon.

"Nah makanya kita harus punya kesepakatan dalam pernikahan Dev. Kita harus saling percaya, tapi memberi kebebasan dalam bekerja, belajar dan karir, tapi kita tidak mentolerir perselingkuhan. Paham?", tanya Jasmina. Devon mengangguk.

"Iya ini harus jadi kesepakatan kita. Kita juga harus bisa memenuhi ego pasangan kita, agar kita bisa menghindari perselingkuhan juga donk. Setuju kan?", tanya Devon. Jasmina tidak begitu paham. Ia menyerngitkan dahinya dan menatap sang suami.

"Jadi bagaimana Jas? Tiga kali cukup kan?", tanya Devon sambil membisikkannya di telinga Jasmina. Ia sengaja menempelkan bibirnya di telinga istrinya untuk efek yang lebih dramatis. Jasmina akhirnya paham apa maksud sang suami.

"Tiga kali seminggu...?", tanya Jasmina pelan sambil menelan ludahnya. Bibir Devon masih di telinga sang istri.

"No. Tiga kali semalam...", jawabnya. Jasmina meremas selimut yang menutupi torsonya. Ia tidak bisa membayangkan ternyata ego sang suami seluas itu. Devon segera menyingkirkan meja sarapan yang telah kosong dan menurunkannya di samping ranjang. Ia kembali menatap sang istri yang masih syok dengan "tiga kali semalam". Devon menarik pinggang Jasmina dan mulai mengulangi apa yang mereka lakukan tadi malam.

Tepat saat itu juga, sebuah telfon masuk ke HP milik Devon. Di layar tertulis Helena's mom.