Ciuman posesif itu mulai melembut, seiring dengan mendaratnya telapak tangan Devon di pinggul mulus istrinya. Kulit mulus itu terasa lembab dan hangat, dan tersibak wangi sabun mandi aroma mawar. Tepat disitu, Devon dapat merasakan pakaian dalam yang terbuat dari sutra lembut yang membungkus pertahanan terakhir istrinya. Jasmina yang sudah kehabisan nafas karena ciuman suaminya, mulai bergetar ketika kulitnya disentuh seperti itu. Seumur hidupnya, belum pernah ada yang menyentuhnya disitu! Jasmina merasa tidak nyaman, namun ia akui kalau tubuhnya terasa bergelora.
"Jangan sentuh aku disitu Devon, disitu banyak strectmark dan selulit", batin Jasmina berteriak. Ia memang berhasil menurunkan berat badannya, tapi banyak peninggalan yang belum selesai di berbagai permukaan kulitnya. Ia merasa sangat insecure dan tidak percaya diri. Jasmina mencengkeram kedua pergelangan tangan Devon, berharap suaminya itu melepaskan pinggulnya.
Namun Devon Justu semakin kuat mencengkeram pinggul itu. Sesungguhnya ia begitu grogi sehingga kedua tangannya bergetar hebat. Ia menyembunyikan tremor itu dengan meremas pinggul Jasmina. Seumur hidup, Devon belum pernah menyentuh wanita seperti itu. Hal terjauh yang pernah ia lalui bersama perempuan adalah, mencium Jasmina di parkiran kantornya. Walau saat itu rasanya Devon ingin melumat habis Jasmina, ia masih berfikiran waras dan sabar.
"Devon....",pekik pelan Jasmina setelah ia melepaskan ciuman mereka dengan paksa. Jasmina mengambil nafas terengah-engah, karena sepertinya Devon telah menghisap habis seluruh oksigen yang terdapat di paru-parunya. Torso Jasmina naik turun tidak karuan, seakan-akan ia sedang menyimpan cadangan oksigen kembali ke tubuhnya, berjaga-jaga bilamana Devon akan menyerangnya lagi.
Devon melap bibirnya yang memerah dan basah, dimana nafasnya juga sama-sama terengah tidak beraturan. Mata mereka saling bertubrukan, saling menatap sambil mencari arti dari tatapan mereka. Seakan-akan mereka sedang membicarakan sesuatu, saling bertanya, saling menjawab. Mereka berdiri terpaku dan kaku, sementara tangan Devon masih berada di posisi bahaya itu. Jubah mandi Jasmina semakin terkuak, sehingga tubuh bagian depan Jasmina mulai terlihat jelas.
Devon tidak kuasa untuk menahan dirinya melilik ke arah pemandangan baru itu. Ketika wajahnya mulai menyusurinya, Jasmina kontan dengan cepat menarik ujung-ujung jubah itu dan menutupi bagian depan tubuhnya, padahal tangan Devon masih di dalamnya. Dengan sigap Devon mengibaskan jubah mandi itu sehingga sekarang jubah itu benar-benar tersingkap lebih luas lagi! Tega benar Jasmina menghalangi pemandangan terindah yang pernah Devon lihat di dunia?
"Devonnnnnn...", pekik Jasmina sambil mengkerutkan bahunya ke arah depan, seakan-akan tindakannya mampu menutupi seluruh tubuhnya. Alih-alih menutupi, Devon semakin melepaskan jubah itu seluruhnya dengan kasar, sehingga benda itu sudah terkulai di lantai. Jasmina menutup matanya dan menyilangkan kedua tangannya di bagian depan tubuhnya, seakan-akan tangan langsing itu bisa menutupi seluruh permukaan indahnya.
Devon berdehem. Tenggorokannya sekering gurun sahara dan ia sempat lupa cara bernafas. JASMINA BEGITU INDAH. Tangannya semakin bergetar dan ia berusaha menyembunyikannya. Dengan satu tangan ia membelai rambut Jasmina, sementara satu tangan ia gunakan untuk mencengkeram satu pundak Jasmina. Entahlah, ia berharap dapat menopang tubuh besarnya yang mulai oleng oleh perasaan aneh. Perasaan yang datang bersamaan dengan detak jantungnya yang seperti dikejar setan, dan perutnya yang dipenuhi ribuan kupu-kupu terbang. Setiap inchi tubuhnya serasa ingin meledak!
Sementara Jasmina menahan malu yang luar biasa. Tidak ada dalam agenda malam ini adegan buka-bukaan seperti ini, sehingga lampu-lampu di kamar mereka belum di redupkan. Jasmina benar-benar menyesal memilih pakaian dalam yang salah malam ini. Renda-renda hitam yang halus, menempel indah di tubuh putih bersih Jasmina. Tidak hanya Devon, mungkin saja para satpam yang berjaga di luar mampu melihat tubuh Jasmina!
"Devon lampunya...", tutur Jasmina gugup. Devon sejenak tersadar akan situasi. Ia tidak menyangka suasana akan membawa mereka ke titik ini. Tapi pada saat yang sama, ia senang karena Jasmina sepertinya menginginkan hal yang sama dengan dirinya. Hanya saja ia ingin suasana lebih redup. Begitu kan?
Devon melepaskan Jasmina dan mulai berjalan ke arah stop kontak dan mematikan semua lampu yang ada di kamar mereka. Satu-satunya cahaya yang menerangi kamar mereka, adalah dari lampu-lampu balkon yang justru menambah suasana romantis. Hujan rintik-rintik kecil menambah suasana menjadi temaram. Jasmina kontan langsung melompat ke dalam selimut dan membungkus dirinya seperti kepompong.
Devon tersenyum melihat ulah kikuk istrinya. Ia berjalan selambat mungkin menuju tempat tidur mereka. Dengan tubuhnya yang tinggi dan kekar, ia terlihat seperti seorang dewa perang berkat cahaya temaram balkon. Menakutkan sekaligus menggairahkan. Hati Jasmina semakin mengkerut ketika dalam perjalanan menuju tempat tidur, suaminya itu meloloskan kaus yang baru ia kenakan 10 menit yang lalu! Bayangan otot-otot lengannya yang berkontraksi ketika melepaskan kaos itu melemaskan lutut Jasmina, apalagi ketika otot-otot bagian depan tubuh Devon mulai terlihat.
Jasmina dapat merasakan tempat tidur mereka mulai bergoyang ketika lutut suaminya itu sudah menyentuh peraduan mereka. Ia bisa merasakan suaminya mulai merangkak menuju titiknya, dan mulai menyingkap selimut Jasmina dengan pelan. Devon memasuki kepompong Jasmina, pertahanan pertamanya.
Devon kembali berdehem. Jasmina menjadi semakin grogi dan tidak nyaman. Ia mengkerutkan seluruh permukaan tubuhnya kembali, sementara tangannya mencengkeram selimut hotel yang begitu tebal. Matanya memancarkan cahaya takut, ragu, malu dan bingung. Jasmina bisa terlihat seperti seorang wanita percaya diri di luar, namun saat ini ia terlihat seperti kucing yang kebingungan. Hal itu malah membuat Devon gemas.
Devon mulai mengelus pipi Jasmina, namun tidak ada kata yang meluncur dari bibir yang masih merah itu. Ini merupakan pengalaman pertama bagi Devon, tentu saja. Dan pasti, ia juga merasakan takut, kuatir dan bingung seperti Jasmina. Hanya saja, saat ini ada gejolak luar biasa yang harus dituntaskan! Matanya mulai menggelap!
Ia ingat momen ketika 2 hari selesai wisuda di Bandung. Teman-teman satu genk ingin mengadakan pesta bujangan untuk Devon. Sesungguhnya Devon tidak bisa menebak kira-kira pesta bujangan apa yang bisa di selenggarakan oleh teman-temannya yang lugu dan lucu-lucu itu. Apakah mereka akan menyewa seorang sinden, berkaraoke semalam suntuk, atau malah pergi ke club sampai pagi? Ternyata pesta bujangan yang mereka persiapkan, jauh sekali dari itu semua.
Lokasi pesta itu hanyalah salah satu kamar kost mereka, dengan konsumsi 5 bungkus pecel lele dengan teh botol dingin. Ketika Devon memasuki kamar itu, mereka mendudukkan Devon pada sebuah kursi makan dan menutup matanya dengan sebuah sapu tangan. Devon tiba-tiba membayangkan ada sebuah kejutan istimewa atau bahkan mengerikan menantinya.
Alih-alih begitu, tiba-tiba saja Devon telah diikat di kursi oleh teman-temannya! Bukan saja mengikat kedua tangannya, tapi benar-benar melilitnya seperti mumi di kursi demi memastikan Devon tidak bisa melarikan diri dengan cara apapun! Devon meronta-ronta. Walaupun tubuhnya terbesar dan terkekar di antara 4 temannya, tapi dengan tubuh terikat seperti itu, ia tidak mungkin lolos!
Selanjutnya, hal yang tidak terduga terjadi. Ketika tutup mata Devon terbuka, ia dihadapkan pada sebuah layar televisi, dan keempat temannya yang sudah mulai membuka konsumi pecel lele mereka.
"Kita nonton film dulu ya Dev. Kamu makannya belakangan aja. Kami duluan", seru mereka.
"Kenapa aku harus diikat?!", tanya Devon marah. Mereka hanya bisa menyengir, sambil salah satu mulai menghidupkan TV dan memutar DVD. Semua mata melotot ke arah TV yang ternyata memutar film tentang edukasi bagi pasangan pengantin baru!
"Dev, kita tau kamu tuh gak punya pengalaman apa-apa tentang cara buat bayi. Nah makanya nih kita ajarin. Kita juga gak tau sih, makanya kita belajar sama-sama yah", tutur mereka! Devon benar-benar tidak percaya.
"Lepassiiinnn. Ok aku akan nonton. Tapi lepasiiinnnn!!!",teriak Devon. Tapi keempat temannya tidak mengindahkannya. Mereka terus saja memakan nasi pecel lele mereka sambil terus membahas adegan demi adegan yang ada di film biru itu. Ada yang membahas dari segi kebidanan, ada yang membahas dari segi saraf, ada yang membahas dari segi kejiwaan dan estetika! Total ada 5 video yang harus Devon tonton dengan paksa. Dari mulai menutup mata, berteriak-teriak sampai akhirnya Devon pasrah dan menontonnya dengan malas. Menonton film biru seperti itu bersama teman-teman saja sudah aneh, tapi membahasnya secara ilmiah bahkan lebih aneh lagi!
Tapi ia tidak menutupi kenyataan bila dadanya berdegub kencang menyaksikan cuplikan demi cuplikan. Ia menyadari bahwa sebagai seorang lelaki yang sehat dan kuat, ada sebuah hasrat yang menggelora. Hubungan jarak jauh yang ia jalani bersama Jasmina benar-benar menantang kesabarannya. Adegan demi adegan di film itu membuat ia berimajinasi sangat jauh bersama Jasmina. Hanya Jasmina.
Dan disinilah ia, gelora yang sudah ia pupuk begitu lama, dengan perempuan impiannya. Tangan Devon mulai merapikan rambut-rambut Jasmina yang berantakan di wajah dan pundaknya. Ia meloloskan rambut halus itu agar tergerai ke punggung Jasmina, sehingga pundak indahnya bisa terlihat dengan jelas, bersama dengan garis leher yang indah.
Jasmina kembali bergetar. Ingin rasanya ia menutupi seluruh permukaan tubuh atasnya yang hanya ditutupi pakaian dalam berwarna hitam, pertahanan keduanya yang merupakan pilihan Rania. Tapi tentu saja sudah cukup terlambat dan kikuk untuk melakukannya. Ia menopang badannya dengan kaku dengan bantuan 2 buah bantal.
Devon kembali menyingkap kepompong itu dan merapatkan tubuhnya lebih dekat dengan Jasmina. Kali ini tubuh mereka sudah hampir menempel, tanpa ada selimut yang membatasi mereka. Badan Jasmina menegang ketika permukaan paha Devon menyentuh permukaan pahanya sendiri. Suhu tubuh mereka yang berbeda, kini mulai menyamakan posisi.
Devon kembali berdehem sambil memindahkan tangannya dari singkapan selimut menuju pinggang ramping Jasmina. Ia ragu antara hanya meletakkan tangannya disitu, atau mengelusnya. Jiwa menggelora Devon ditambah dengan rasa grogi luar biasanya justru membuatnya meremas pinggang itu! "sialan! Kontrol dirimu Devon! Yang bener donk! Tunjukkin kalau kamu bisa memimpin ini!", batin Devon dalam hati.
"Devon…", lirih Jasmina. Sungguh ia benar-benar tidak nyaman. Jasmina bertanya pada dirinya, apakah pinggang itu sudah cukup ramping? Dapatkan Devon melihat lemak atau kulit yang sedikit bergelambir di dekat ketiaknya? Dapatkan Devon merasa permukaan kulitnya yang tidak rata karena selulit? Seketika ia menyesal karena tidak menuruti saran Kak Tyas untuk melalukan terapi pengencangan kulit sebelumnya. "Harusnya aku mandi lebih lama tadi…", Jasmina mulai berkecamuk dalam hati.
Devon kembali berdehem ketika melihat bayangan wajah Jasmina yang di terpa cahaya seadanya dari Balkon. Istrinya itu cantik dan indah luar biasa, walau saat ini ia sedang tidak tersenyum. Pipi Jasmina panas dan memerah, Matanya yang bergetar justru terlihat begitu menantang. Jasmina seakan-akan ingin berkata…sekarang kita mau ngapain?
Devon lepas kendali. Ia langsung mencengkeram tubuh istrinya ke pelukannya dan melayangkan ciuman yang lebih posesif! Ia gunakan tangan kirinya untuk memeluk leher Jasmina, sementara tangan kanannya dengan kuat memeluk tubuh istrinya, memastikan agar ia tidak bisa meloloskan diri dengan cara apapun!
Jasmina terkejut luar biasa! Tubuhnya menegang karena panik, namun kemudian memanas karena ciuman bergairah Devon. Ia belum pernah berada di posisi ini, sedekat ini, seintim ini, sepanas ini dengan siapapun! Ia bisa merasakan pori-pori tubuhnya bereaksi aneh, seakan-akan membuat bulu-bulu di sekitar pundak dan lengannya berdiri. Jasmina ikut beraksi dan membalas ciuman-ciuman Devon.
Ciuman Devon panas, lama dan intens. Sesekali ia lepaskan untuk membiarkan Jasmina bernafas, namun ia lanjutkan kembali dengan lebih posesif. Jasmina yang mulai terkulai, berusaha untuk mencengkeram punggung Devon agar bisa bertahan. Namun hal itu justru membakar gejolak Devon, sesuatu yang tidak diantisipasi Jasmina.
Devon melepaskan ciuman mereka, tepat ketika Jasmina sudah mulai terbakar. Devon menatap dua detik mata Jasmina, namun kemudian ia melayangkan ciuman yang lebih dasyat pada ceruk leher istrinya. Jasmina terpekik karena kaget.
"Devon….stoppppp", suara pelan Jasmina memohon. Namun justru intonasi suaranya seakan-akan berkata sebaliknya. Jasmina kehilangan akalnya. Benar, ia tidak ingin Devon menghentikannya! Sensasi demi sensasi baru, membuat akal sehat Jasmina terbang. Ia akui, ia menyukainya. Sangat!
Ruangan itu terasa semakin panas, padahal hujan masih terus mengguyur kota Bali. Jasmina hanya berharap suara hujan dapat terdengar lebih gemuruh, agar dapat menyembunyikan suara bibir Devon yang memburu Jasmina, begitu juga dengan suara desahan Jasmina yang berusaha ia tahan mati-matian. Suara-suara yang seperti bensin pada bara api. Ia semakin membakar gejolak di tubuh mereka.
Devon mulai bergerilya menurunkan fokusnya ke bagian depan tubuh Jasmina dengan perlahan. Jasmina dapat mengetahui arah pergerakan itu, dan membuat tubuhnya bergerak tidak karuan. "Dimana Devon mempelajari semua ini? Bagaimana ia tahu cara membuat tubuhku tidak terkontrol seperti ini?", batin Jasmina.
Devon menyingkap salah satu tali yang bertengger di pundak Jasmina, seiring ciuman itu turun dari leher depan menuju dada bagian tengahnya. Jasmina menarik nafas dengan cepat dan mengkerutkan dadanya, namun ia tidak menolak kita akhirnya kain itu lolos begitu saja. Ketika akhirnya tubuh bagian depannya benar-benar terekspos, Devon tidak menyia-nyiakan kesempatan itu dan mencumbunya.
"Devonnnnnnn…", Jasmina mulai berteriak pelan. Kedua kakinya mulai meronta-ronta pelan, sementara kedua tangannya mulai mencakar-cakar dan meremas-remas seprei secara bergantian. Namun tubuh Jasmina tidak bisa berbohong. Ia justru secara refleks mencondongkan dirinya kewajah suaminya. "Dasar perempuan gak tau diri!", pekik Jasmina dalam hati. Bisa-bisanya menyodorkan diri seperti begini. Apa Devon akan merasa aku cewek murahan? Pikiran Jasmina berkecamuk tidak karuan.
Devon mulai kehilangan kendali. Terkadang ia lupa bernafas karena terlalu fokus dengan pengalaman barunya. Suara Jasmina yang meronta, mendesah, meminta, memohon untuk berhenti, justru seperti musik yang indah di telinganya. Lebih tepatnya, musik yang menggairahkan! Devon menginginkan lebih, lebih dan lebih!
Devon akhirnya mencengkeram selimut yang masih membelit tubuh mereka secara awut-awutan, dan Ia melemparkan benda itu sehingga mendarat sempurna di lantai, persis di samping jubah mandi Jasmina. Toh suhu tubuh mereka sudah meningkat drastis berkat hasrat yang terbakar, Siapa yang butuh selimut?
"Devonnnn!!!", pekik Jasmina sambil berusaha menutup bagian atas tubuhnya dengan satu telapak tangan, dan menutup bagian bawah tubuhnya dengan telapak tangan yang lain. Tinggal satu lagi pertahanan terakhirnya yang masih tersisa. Kedua kaki Jasmina menggesek-gesek seprei, seakan mengambil aba-aba untuk lari dari tempat itu.
Mata Devon gelap menyaksikan pemandangan yang sempurna… bahkan dalam imajinasinya yang paling liar tentang Jasmina, tidak pernah ia membayangkan melihatnya dalam kondisi seperti ini. Seperti mimpi rasanya. Melihat Jasmina dengan seragam putih abu-abunya, melihatnya dengan gaun-gaun pesta yang indah, dengan pakaian kerja profesionalnya, tentu saja semua indah. Tapi ini…
"Jasmina… ehem….", tutur Devon pelan. Akhirnya, ia bersuara juga, pikir Jasmina. Ia kembali merangkak menuju Jasmina, dan kali ini mengurung istrinya itu dibawah tubuhnya. Ia masih memberikan jarak diantara tubuh mereka dengan posisi plank.
"Jasmina…bo…bolehkah?", tanyanya pelan nyaris tak terdengar. Pertanyaan sepotong itu sebenarnya tidak jelas. Boleh kah apa? Menciumnya? Memeluknya? Namun sorot mata Devon mengatakan jelas tujuannya. Jasmina seakan dapat mendengar suara rintihan permohonan yang begitu lirih. Seperti seorang musafir di padang pasir yang akhirnya menemukan air, seperti seorang pendaki yang akhirnya menemukan puncak, seperti seorang pasien yang membutuhkan pertolongan terakhir…
Bolehkah aku memilikimu seutuhnya? Sebuah pertanyaan yang tersirat…
Jasmina terkecat menatap sang suami yang persis berada di atasnya, seakan melayang di topang oleh dua lengan kekarnya. Di satu sisi Jasmina sangat tergoda menyentuh perut berotot milik Devon, sebuah obsesi yang sudah lama ia pendam. Namun di satu sisi, Jasmina terlalu malu sampai tangannya sekarang bergetar. Ia berusaha menyembunyikannya dengan kembali mencengkeram seprei.
Devon masih terus dalam posisi plank sambil menunggu persetujuan istrinya. Bukankah mereka saling mencintai? Bukankah mereka sekarang sudah menikah? Salahkah Devon bila meminta haknya? Jasmina balas menatap Devon sambil menelan ludahnya dan mencoba untuk menarik nafas. Ia berniat untuk mengangguk, memberikan tanda persetujuan kepada Devon.
Devon tidak menyia-nyiakan kesempatan ketika sebuah senyum kecil tersungging di wajah Jasmina. Ia kembali mencium Jasmina dan mengunci kedua telapak tangan istrinya dengan telapak tangannya sendiri. Penyatuan telapak tangan mereka saja, sudah seperti setrum yang memacu seluruh saraf di tubuh!
Ciuman Devon begitu meminta, sedikit kasar dan menderu-deru. Seperti sebelumnya, Devon memindahkan fokusnya ke leher Jasmina, bergeser ke pundak indahnya dan mulai turun kembali kebagian tengah dadanya. Jasmina kembali melenguh tidak terkendali, kepalanya menggeleng pelan dan ia menggigit bibirnya sendiri yang basah. "Jangan berhenti Devon…", pintanya dalam hati, walau ia sebenarnya sungguh malu. Jasmina tahu bila sekarang pipinya pasti sudah bersemu merah merekah.
Telapak tangan Devon mulai bergerilya memindai setiap inchi Jasmina, yang baginya begitu memabukkan. Namun sebaliknya, Jasmina yang tadi sungguh terlena, sekarang merasa tersadar dan tidak nyaman. Rasa tidak aman dan tidak percaya diri mulai menderanya. Bagaimana bila Devon melihat dirinya yang tidak indah? Selama ini ia bisa dengan sukses menutupinya dengan baju-baju yang indah, namun saat ini ia merasa terekspos begitu gamblang. Jasmina merasa begitu insecure.
"Devon jangan…", kata Jasmina pelan sambil memegang pergelangan tangan Devon. Tentu saja cowok itu tidak mengindahkannya. Pergerakan tangannya sudah tidak terkendali, seakan-akan hormon di otaknya sudah membutakan akal sehatnya. Ia kehausan. Kehausan akan Jasmina seutuhnya. Devon berusaha untuk melepaskan pertahanan terakhir Jasmina. Istrinya itu kembali bergetar hebat ketika Devon berusaha menyingkapnya.
"Jangan di tahan Jas, give it to me (berikan kepadaku)", tutur Devon parau dan ia kembali berdehem. Jasmina perlu pengalihan. Akhirnya Kedua tangan Devon meraba lembut kedua permukaan kulit paling sensitif di bagian depan tubuh Jasmina, berharap istrinya itu menyerah. Sesekali ia mengecup salah satu dan meraba yang lainnya. Benar saja, Jasmina kembali bergerak tanpa terkendali. Devon merasa yakin ini saat yang tepat untuk maju ke pertahanan berikutnya.
Namun ketika telapak tangan Devon mulai meraba perut Jasmina, seakan sebuah tamparan menyadarkan Jasmina.
"Devon STOPPPPP!", teriak Jasmina.