"Ya, di hari kita tunangan. Orangtua Helena ngajak ketemuan untuk ngebahas CV dan, yaaaa intinya masa depanku lah. Sumpah, aku berniat banget untuk ngenalin kamu sama mereka pas kita ketemu di restoran itu. Tapi entah kenapa, aku pikir ntar aja. Aku pengen ngasih kamu kejutan sebenarnya. Setelah aku diterima, baru deh aku ngasi tau kamu...", jelas Devon hati-hati. Jasmina mendengus kesal.
"Alesan aja! Segitu pentingnya kah kerja di rumah sakit orangtuanya sampe kamu harus kucing-kucingan kayak gitu Dev?", tanya Jasmina. Devon tertunduk lesu.
"Jasmina, aku baru aja lulus jadi dokter, sedangkan kamu udah mulai kerja dan menghasilkan uang bahkan selagi kamu kuliah. Sekarang kamu bahkan udah asisten manager dengan gaji yang besar. Gaji yang ditawarkan orangtua Helena, bisa...mengangkat harga diriku Jas...", kata Devon lirih. Ia tidak berani menatap wajah Jasmina. Jasmina tidak habis pikir. Harga diri apa?
"Mungkin bagi kamu itu gak masalah. Tapi itu masalah untukku Jas, aku gak akan sanggup berdampingan dengan kamu bila aku...gak sejajar. Aku ini laki-laki!", jelas Devon.
"Ya ampun Devon, kamu tuhhhhh....kamu tuhhhh. Dokter gitu loh!", bentak Jasmina. Ada-ada aja sih.
"Iya, bener. Tapi bukan berarti aku bisa langsung menghasilkan uang untuk menghidupi kamu, kita, dan mungkin anak kita kelak Jas. Bayangin aja, aku harus mikirin spesialisasi lagi. Kamu tau kan aku pengen jadi dokter anak. Nah itu semua perlu biaya Jas. Gak mungkin kan biaya itu dari kamu? Walau mama dan papa udah nawarin untuk membiayai kuliahku sampe kapanpun, tapi aku ogah! Aku ini laki-laki Jas...", suara Devon tertahan. Kali ini Jasmina yakin, kalau unge-uneg ini memang muncul dari hati Devon yang paling dalam. Sebuah diskusi yang tidak pernah mereka bicarakan sebelumnya...
"Kamu gak pernah cerita...", kata Jasmina pelan. Kali ini, Jasmina mulai menunjukkan simpatinya...
"Walau kita udah lama bersama, tapi aku gak nyaman aja sih... kalo kamu liat sisi aku yang ini. Aku tetep pengen kamu ngeliat aku sebagai...",Devon tercekat dalam kata-katanya.
"Devon, selama bertahun-tahun kita kenal, gak pernah sekalipun aku nganggap kamu gak sempurna...Ketidasempurnaan kamu, udah melengkapi aku…Aku selalu ngerasa, kita bisa saling melengkapi…", kata Jasmina serius. Ada binar-binar kemilau di matanya ketika mengatakannya. Hati Devon lantas berbunga-bunga, dan balik menatap mata indah itu dengan penuh harap.
"Aku selalu menganggap kamu sempurna, tapi semua sirna sekarang!", kata Jasmina dengan tatapan sinis. Ia kembali ngambek. Senyum Devon lantas berubah menjadi cekungan kebawah. Bibirnya mengerucut.
"Jasmina....",
"Lanjuttt ayooooo itu belum selesai kan ceritanya? Ini udah lebih dari 10 menit loh. Tapi ya udah, aku masih ingin denger!!", kata Jasmina lantang sambil menekan-nekan jam tangan yang ada di tangan kirinya. Hemm, ketika Jasmina bilang ia masih ingin mendengar, berarti ia masih ingin membuka pintu maafnya kan? Devon lantas menyusun kembali nafasnya.
"Nah intinya, orangtua Helena antusias banget untuk merekrut aku di rumah sakit mereka. Nantinya aku dan anak-anak akan magang atau apalah disana dengan gaji yang diatas rata-rata. Nah trus aku ngerasa, mulai rada aneh sih. Karena orangtua Helena mulai nanya-nanya ke hal-hal pribadi. Helena sendiri tau kok hubungan kita, dan dia dukung banget. Tapi entah kenapa aku ngerasa, Helena sengaja menyembunyikan status aku di depan orangtuanya. AKu sih mulai ngerasa gak nyaman. Apalagi orangtuanya mulai menyinggung soal kedekatan aku dan Helena."
"Di hari itu, setelah makan siang bersama, orantua Helena meminta aku untuk mengantarkan Helena pulang. Mereka akan lanjut ke rumah sakit. Tapi ternyata Helena minta tolong untuk mempir ke sebuah tempat. Eh ada insiden donk. Mobil aku nyerempet anak kecil, dan orang tuanya murka. Aku dibawa ke kantor polisi, dan prosesnya lamaaa banget. Sukurnya Rania dan kak Miko dateng untuk ngebebasin aku, sehingga aku bisa dateng kerumah kamu tepat waktu.
"Kok kamu gak cerita?", tanya Jasmina marah. Devon menatap Jasmina dengan hati-hati. Iya juga ya, kenapa gak cerita.
"Gak tahu Jas, mungkin karena aku malu banget. Sama kamu, sama Rania, sama kak Miko. Aku pikir, udah deh, ini bagian dari proses untuk dapetin kerjaan itu. Nantinya aku akan cerita sama kamu kalo akhirnya aku uda diterima disana... percaya deh. Bukan maksud aku untuk nyembunyiin...sumpah!", kata Devon lagi sambil mengatupkan kedua tangannya memohon. Jasmina mengkeritingkan bibirnya.
"Ya ya ya, udah terusss, lanjuttt! Ayo lanjut!", perintah Jasmina.
"Nah, setelah itu, Helena terus menerus ngubungin aku donk. Bukan soal kerjaan itu. Tapi aku nyoba untuk menghindar. Entah karena aku masih marah ama dia, atau ya, aku cuma gak pengen orantuanya lebih salah paham lagi tentang hubungan aku dan Helena. Apalagi belum ada kabar nih tentang penerimaan aku di rumah sakit itu.",
"Pas aku balik ke Bandung untuk acara wisuda, Helena minta ketemuan lagi sama aku. Katanya, orangtuanya mau ngenalin salah satu alumni kampus yang udah prof. Dia punya link untuk ngasi beasiswa untuk ngambil program spesialis! Maksudku, siapa coba yang gak tertarik? Aku langsung bilang ok! Ini kesempatanku!", jelas Devon lagi. Jasmina mengangguk-angguk. Ia jadi ingat chat WA Devon dan Helena. Sampai ini, ceritanya masih konsisten.
"Tapi pas aku ketemuan ama mereka, ternyata gak ada tuh si prof. Bahkan selama kami makan siang, gak ada ngobrolin soal si beasiswa itu. Kita cuma ngebahas tentang kerjaan di rumah sakit orantua Helena, dan hal-hal pribadi aja. Aku agak kecewa sih, karena mulai lebih ketara lagi nih kalo orangtuanya lebih salah paham lagi. Entah apa yang Helena jelasin ke mereka, yang jelas, situasinya jadi lebih... kikuk lah. Udah diujung lidah banget nih, mau bilang ke mereka kalo aku udah tunangan... tapi...ntah kenapa, sorry Jasmina, aku gak bisa bilang ke mereka. Entah kenapa. Apa mungkin dalam hati aku, aku tau kalo mereka tahu statusku, mungkin aku gak akan diterima kerja di situ,", jelas Devon lagi.
Jasmina mengangguk-angguk pelan. Sampai disini, ia sebenarnya paham dengan posisi Devon. Tapi ada sisi di dalam hatinya, sisi seorang egois dan manja yang ingin berteriak. Cemburu, kesal, merasa di bohongi, dan sejenisnya. Wajar kan kalo ia ingin mencakar-cakar seseorang sekarang? Calon suaminya, berusaha untuk menutupi statusnya karena suatu tujuan.
"Setelah wisuda, berhari-hari aku berusaha menghindar dari Helena. Aku fokus sama persiapan pernikahan kita. Tapi entah kenapa, 3 hari sebelum kita nikah, dia WA aku dan bilang kalo dia dalam keadaan darurat dan butuh pertolongan aku. Entah kenapa, memori dan trauma 6 tahun yang lalu, kembali lagi di kepalaku. Sebagai seorang pasien, Helena itu masih terlalu rentan. Aku takut ia kembali menjadi penyayat. Apalagi dia begitu karena mungkin, udah beberapa hari aku cuekin. Aku tiba-tiba takut dan secepat mungkin datengin dia ke rumah sakit. Aku tadinya mau pamit sama kamu... tapi... ya gitu deh...aku juga gak tau kenapa kok aku gak cerita".
"Ternyata, dia di diagnosa tumor gitu di kandungannya, dan ngerasa hidupnya akan berakhir. Tapi belum jelas apa itu ganas atau jinak, yang jelas dia harus ngejalanin operasi. Helena depresi dan mulai kacau, orangtuanya kewalahan. Intinya, mereka butuh aku, dan hanya aku. Akhirnya aku yakinkan Helena untuk ngejalin operasinya, tapi ya syarat dari dia ya itu... aku harus nemenin sampai ia selesai".
"Aku serba salah. Karena saat itu, bukan hanya Helena yang merasa butuh bantuan aku sebagai seorang dokter dan seorang teman. Tapi juga orangtuanya. Tiba-tiba aku merasa sebagai seorang dokter yang benar-benar dibutuhkan. Sumpah Jas, niat aku cuma sampai situ",
"Beberapa kali aku nyoba untuk kabur, tapi selalu aja ada halangan. Bayangin aja aku 2 hari 2 malam gak mandi dan gak pulang kerumah Jas! Orangtuanya selalu nempel sama aku, dan minta supaya aku selalu kontrol Helena. Mulai dari persiapan operasi, di meja operasi, sampai penyembuhan. Aku... belum bisa lari. Aku pikir,ya udah ini aja. Toh aku bentar lagi mau kawin sama kamu. Inilah pertolongan terakhir aku untuk Helena sebagai seorang dokter, dan sebagai seorang teman", jelas Devon lagi.
"Selama disana, aku berusaha untuk nyusun kata-kata untuk ngejelasin ke kamu. Aku bener-bener ngarepin kamu ngerti. Aku sampe mikir, andaikan kamu juga bisa ada disitu, dan mungkin bisa bantuin Helena dan menghindari salah paham. Tapi kamu juga udah dipingit. Sempet panik banget, karena aku belum juga bisa keluar dari situ, padahal waktu pernikahan udah deket banget. Rania mama dan papa bolak-balik nelfpon dan chat aku.", kata Devon.
Ia kemudian menyingkap bajunya, sehingga perut berototnya terekspos. Jasmina terbelalak dan kemudian melihat ke kiri dan kenanan. Semoga tidak ada yang melihat pemandangan itu.
"Kamu ngapain?", tanya Jasmina marah.
"Disini Jas...disini Bagas nonjok aku kenceeeeng banget!", jelas Devon dengan wajah tersenyum. Jasmina kaget luar biasa! Kok bisa ada Bagas?
"Malam sebelum kita menikah, Rania, kak Miko dan Bagas datang kerumah sakit untuk bawa aku pulang. Kita hampir di cegat sama satpam rumah sakit Jas! Kita gak boleh kabur dari rumah sakit. Kak Miko langsung deh keluar jurus-jurus tuntut ini tuntut itu. Akhirnya pas kita berhasil keluar, mulai deh aku di babak belur sama 2 fans kamu itu, bahkan belum sampai ke mobil!", kata Devon sambil mengerucutkan bibirnya.
"Kok gak keliatan?", tanya Jasmina heran. Ia tidak tahan untuk tidak tersenyum. Jasmina menahan tawanya dengan punggung tangannya.
"Iya, Rania mastiin supaya aku gak dilukai di area wajah dan tangan hahahahah. Bayangin, Rania kayaknya udah marah banget sampe akhirnya dia ikhlas abangnya dipukulin begitu. Tapi ya memang...aku berhak...", kata Devon dengan mata memicing dan masuk terus mengelus perut berototnya. Seakan-akan pukulan itu masih sakit.
Jasmina terdiam. Penjelasan Devon masih konsisten, dan ia tidak merasa ada kebohongan yang tidak penting disitu.
"Cuma aku ngerasa ada yang aneh Jas...aku ngerasa, semua itu kayak...apa ya...jebakan gitu. Somehow aku ngerasa, aku dijebak agar tidak jadi menikah sama kamu. Aku gak mau ge-er kalau itu mungkin usaha Helena, atau malah mungkin usaha orangtuanya. Cuma, aku ngerasa, ada yang ngejebak aku agar aku terlihat mengkhianati kamu...", jelas Devon hati-hati. Ia ingin menargetkan ucapannya agar menyinggung soal foto-foto yang diterima Jasmina. Ia masih pura-pura tidak tahu kalau ia tahu, Jasmina sudah melihat foto-foto itu.
"Maksudnya Dev?", tanya Jasmina. Ia enggan membeberkan kepada Devon kalau ia menerima foto-foto misterius. Ia ingin mendengar penjelasan Devon yang utuh, agar ia tidak berkelit hanya demi membela dirinya dari foto-foto itu.
"Akhirnya aku tau kalo tumor yang ada di rahim Helena tidak serius, bahkan tidak besar. Tindakan operasi itu juga bukan sesuatu yang urgent. Selain semuanya agak lebay, aku ngerasa semua hal yang terjadi disana terdokumentasi dengan rapi. Selalu ada saksi, selalu ada yang foto-foto, selalu ada yang ngawasin aku dan Helena. Aku cuma ngerasa gitu sih. Ya mungkin salah satu usaha mereka adalah menahan aku selama mungkin ada di rumah sakit. Ya gak? Semua kayak udah di atur! Terlalu rapi.", kata Devon sambil melihat raut muka Jasmina. Sepertinya istrinya itu mulai bisa menghubungkan foto-foto itu dengan penjelasan JUJUR Devon.
"Trus sekarang gimana hubungan kamu sama Helena?", tanya Jasmina sabar. Entah kenapa kemarahannya sedikit mereda, namun ia masih ingin mendengar rencana Devon.
Devon terlihat gusar.
"Dia marah karena aku ninggalin dia begitu aja sebelum ia sadar paska operasi. Tapi aku sih gak terlalu peduli. Masa iya pernikahan kita di ulur hanya demi dia? Sebagai seorang dokter, aku bisa melihat kalau dia udah bisa ditinggal kok. Tapi ya itu...kayaknya dia marah, dan mungkin dia bisa nekat. Tipikal banget sama orang yang pernah punya masalah mental seperti Helena. Aku...sebenarnya jadi kuatir. Kuatir sama kamu. Bukan kuatir kamu akan mikir macam-macam tentang aku, tapi lebih kepada kuatir sama keselamatan kamu Jas...", jelas Devon. Ia memang beneran kuatir.
"Mereka datang dari keluarga yang cukup kuat. Aku takut..."
"Takut kamu akhirnya gak diterima kerja?", potong Jasmina. Devon menatap Jasmina dan menggeleng-geleng kencang.
"Begitu aku sampai di rumah sakit itu, dan melihat drama yang sudah disiapkan orangtua Helena, aku sudah kehilangan minat untuk kerja disitu. Aku bisa bayangin, bakal jadi apa aku disana. Aku sudah cukup menciptakan terrrrrlalu banyak salah paham untuk keluarga Helena, dan kamu. Hal terakhir yang aku pengen di dunia ini adalah, kamu salah paham.", jelas Devon sambil kembali menangkap tangan Jasmina. Kali ini, istrinya itu tidak menolak.
"Cuma kamu Jasmina, orang yang aku sayangi...", pinta Devon. Jasmina menarik nafas pelan.
"Sampai kapanpun, akan ada Helena-Helana lain di depan kamu Dev. Akan banyak orang yang salah paham bila kamu mengurus pasien dengan cara seperti ini...", jelas Jasmina. Devon mengangguk pelan. Ia mendekatkan tangan Jasmina ke bibirnya, dan mencium lembut punggung tangan itu.
"Aku tahu...aku tahu...beri aku waktu untuk belajar ya Jas. Aku janji, aku akan menjadi dokter yang lebih baik untuk semua orang, dan aku ingin mereka menganggap aku seorang dokter. Tidak akan ada tempat di hati aku untuk pasien gadungan lagi. Tidak akan ada! Aku akan belajar untuk mengusir mereka, sama seperti kamu bisa mengusir klien nakal yang selalu godain kamu!!!", kata Devon tegas sambil melotot ke arah Jasmina. Jasmina tersenyum malu. Kok Devon bisa tahu kalau ia sering di gombali klien?
"Kok kamu.... jangan-jangan Rania...?", tanya Jasmina. Ughh pasti nih adik ipar jadi mata-mata sempurna.
"Intinya Jas, kita pasti akan menemukan pasien-pasien seperti ini di lingkungan kerja kita. Kamu, aku yakin, pasti pinter dalam hal seperti ini. Karena itu, ajarin aku ya. Aku mohon, percaya sama aku, bantuin aku, agar kita bisa selalu bersama, mengikis salah paham, dan lebih fokus sama masa depan kita...", pinta Devon lagi.
Jasmina tidak bergerak. Ia menatap pelayan yang ternyata selama ini memperhatikan mereka berdua. Mereka ingin mengantarkan makanan ke meja, tapi urung karena melihat Devon dan Jasmina masih serius berbicara. Jasmina memberikan tanda agar makanan-makanan itu diantarkan segera. Lagipula ia sudah lapar sangat.
"Hemmm. aku belum bisa mutusin mau maafin kamu apa enggak. Yang jelas kita makan dulu!", kata Jasmina sambil mulai mencomot paket makanan berpasangan itu. Devon tersenyum ke arah Jasmina. Ia bisa melihat kalau istrinya itu sudah mulai bisa menerima penjelasannya.
Mereka pun mulai makan dengan sepi, namun tetap saling menatap. Tidak perlu ada kata-kata yang terucap, cukup denting sendok, garpu atau pisau yang memotong-motong makanan yang akan masuk ke mulut mereka. Devon tidak lepas menatap istrinya sambil terus makan, sambil terus tersenyum. Jasmina sungguh jengah dan risih, tapi ia tidak bisa menahan senyumnya juga dibalik kunyahan makanannya. Benar juga, bila mereka berdua, semua menjadi begitu romantis.
"John! Kamu John kan?", tanya seorang perempuan mungil berkulit sawo matang kea rah Devon. Jasmina dan Devon kaget ketika perempuan itu berdiri terlalu dekat dengan meja mereka. Perempuan mungil itu mengenakan jeans yang terlalu ngepas dengan atasan kemben yang membalut torso kurusnya dengan erat. Rambutnya yang keriting, ia cepol sembarangan. Wajahnya dipoles make-up dengan serius, dan aksesorisnya agak mencolok.
"John! I've been looking for you EVERYWHERE! (John, aku nyariin kamu KEMANA-MANA!", kata perempuan itu lagi. Devon menggeleng-geleng dengan kencang, sambil melambaikan tangannya. Tatapannya bergantian ke arah wajah perempuan itu dan Jasmina.
"Bukan bukan. Aku bukan John! Sumpah Jasmina, aku gak kenal ama dia!", pekik Devon sambil terus mengibaskan kedua tanyannya.
"John! Don't you remember me at all? We've been together for 2 years! We fell in love since the first time we met in Bandung! (John! Apa kamu tidak bisa mengingatku? Kita telah bersama selama 2 tahun! Kita telah jatuh cinta sejak pertama kali kita bertemu di Bandung!)", pekik wanita itu sambil menyambar lengan Baju Devon.
Jasmina menatap serius ke arah Devon dengan Marah! Rahasia apalagi yang ia sembunyikan kali ini? Apakah salah satu pasien halunya lagi?