Devon menarik sebuah kursi dan mempersilahkan Jasmina untuk duduk disitu, seperti seorang lelaki sejati sambil membungkuk dan gesture tangan yang ia lambai-lambaikan. Jasmina mau tidak mau tersenyum geli, apalagi beberapa pelayan melihat mereka.
"Silahkan tuan putri", katanya sambil terus tersenyum ke arah Jasmina dan masih terus membungkuk! Norak banget, pikir Jasmina.
"Ih lebay kamu Devon. Kita ini gak sedang candle light dinner. Kita mau makan siang doank", jawab Jasmina asal. Ia mengibaskan rambutnya yang sudah mulai berantakan akibat angin pantai. Saat ini mereka sudah duduk di lantai 2 restoran yang dituju. Devon langsung menyerahkan voucher kepada salah satu pelayan, dan mereka mempersilahkan mereka ke area paling tenang agar privasi mereka terjaga. Kebetulan restoran tidak begitu ramai.
"Kalau sama kamu, makan bakso pinggir jalan aja rasanya kayak dinner romantis", kata Devon masih mencoba untuk menggombal. Bukannya senang, Jasmina justru mengkeritingkan bibirnya. Devon tidak biasa berkata-kata manis, dan sekarang rasanya benar-benar tidak cocok. Di satu sisi Jasmina enggan Devon terlalu memaksa untuk berubah demi sebuah permintaan maaf. Tapi disisi lainnya, seru juga di sekali-kali di gombalin. Setidaknya Devon mencoba untuk berbuat manis.
"Okeh, sekarang waktu kamu tinggal 9 menit. Hayo mulai dari sekarang!", hardik Jasmina. Devon langsung melotot ke arah Jasmina dengan panik. Bisa-biasanya istrinya itu sudah mulai menghitung. Ia refleks melihat jam di pergelangan tangannya, seakan-akan benda kecil itu bisa membekukan waktu! Ia langsung duduk di hadapan Jasmina dan menyambar tangan istrinya itu. Jasmina kaget.
"Ih apaan sih, kamu mau cerita atau mau meramal tangan? Main pegang-pegang segala!", hardik Jasmina lagi sambil berusaha menarik tangannya dari genggaman Devon. Tentu saja gagal. Tangan besar yang biasa menggenggam bola basket itu, langsung mengunci tangan Jasmina yang kurus.
"Ok Jasmina, dengerin aku ya...kali ini aja. Jangan potong dulu penjelasan aku. Okey? Aku janji akan cerita semuanya tentang Helena", kata Devon. Jasmina mulai menenangkan dirinya dan mengenyahkan praduga aneh-aneh. Bagaimanapun, ia harus mendengarkan ini dari sisi Devon. Jasmina mengangguk pelan. Ia memasrahkan tangannya di uwel-uwel Devon. Suaminya itu tampak gelisah, beberapa kali Jasmina melihatnya menarik nafas dalam-dalam sambil memejamkan mata. Wajar saja, ini 9 menit terpenting bagi hubungan mereka yang sudah berlangsung bertahun-tahun.
"Sebelumnya, aku mau minta maaf sama kamu Jasmina, kalau mungkin selama beberapa tahun ini, ada yang tidak aku ceritakan. Bukan sengaja aku sembunyikan, tapi aku cuma ngerasa kalau ini tidak signifikan untuk...",
"Ahhh udah cerita aja dulu, nanti aku tentuin mau maafin kamu apa enggak", potong Jasmina sambil menarik tangannya dengan kasar dari genggaman Devon. Cowok itu kembali tersenyum dengan gugup, namun kembali menarik tangan Jasmina.
"Denger dulu donk... kamu langsung marah ngegas aja sih...gak seperti Jasmina yang... aku kenal...", kata Devon sambil tersenyum menggoda. Jasmina memalingkan mukanya tanda ia ngambek. Devon tidak gentar. Ia tetap mengelus tangan istrinya sambil tersenyum menatap wajah yang masih memaling ke arah kanan. Sabar...sabar....
"Aku kenal dengan Helena, di awal aku masuk kuliah. Ia karena satu dan lain hal, banyak ketinggalan kelas-kelas sebelumnya. Entah karena nilainya jelek jadi dia harus ngulang, atau ya memang gak lulus. Beberapa mata kuliah bahkan gak pernah ia masuki. Intinya, dia senior yang bermasalah lah. Aku sama anak-anak cuma ngeliat dia sebagai seorang senior. Itu aja.", jelas Devon.
"Lalu satu kali, di salah satu mata kuliah, entah kenapa aku sama anak-anak harus kerjasama dengan dia. Mungkin ulah salah satu asisten dosen yang emang kesel ama dia, dan mungkin kesel juga ama aku kali ya. Jadi sengaja kita digabung biar ribet aja gitu ngerjain tugasnya. Padahal itu tugas yang penting banget! Bobotnya besar dan dosennya super killer. Akhirnya yaaaah aku sama anak-anak berusaha donk untuk deketin dia dan ngajak dia kerja bareng", jelas Devon lagi. Jasmina mulai lebih serius mendengarkan. Kali ini ia menatap Devon dengan cermat.
"Tapi ya gitu, ternyata memang anaknya bermasalah kali ya. Asli! Cuek banget sama kita. Boro-boro mau bantuin kita ngerjain tugas, kadang kuliah aja gak dateng, dihubungi susah, pokoknya kita kesel banget! Sedangkan si dosen ama asistennya butuh konfirmasi dan bukti kalo memang tugas ini kita kerjain bareng-bareng. So...one day, kita nekat donk dateng ke apartemennya dia. Rame-rame loh ya, bukan aku sendirian. Kita bel berkali-kali, tapi gak ada yang bukain pintu. Padahal dari luar, suara musik kenceeeeng banget! Kita pikir, apa dia sengaja gak mau terima tamu...", Devon kembali bercerita sambil mengecek raut muka Jasmina.
"Trus tiba-tiba tetangga apartemen dia keluar donk! Trus marah-marah sama kita! Dia protes karena sejak pagi, suara musiknya ganggu banget, padahal ia punya anak kecil. Alhasil tu anak rewel banget. Jadi dia minta supaya kita dobrak itu pintu dan nasehatin si Helena. Kita kan jadi serba salah ya, temen bukan, sodara apalagi. Mana mungkin main dobrak segala".
" Tapi entah kenapa, feeling kita gak enak. Apalagi pas kita denger dari si tetangga, Helena kemaren pulang dalam keadaan mabuk parah sampe ngesot hanya untuk ke dalam apartemennya! Ya udah donk...kita dobrak dengan izin pak satpam", jelas Devon yang mulai menggaruk-garuk tengkuknya yang tidak gatal. Sepertinya ia tengah gusar harus mengingat peristiwa-peristiwa penting.
"Pas kita masuk, keadaan apartemen mewah itu kacau banget! Sampah bekas makanan dimana-mana, baju-baju bekas dipakai numpuk di sofa, ruangannya pengap, AC dibuat terlalu dingin,TV idup, dan keadaan lantai dan dapur kotor banget. Bener-bener gak layak tinggal. Kita nyoba matiin music dan TV yang emang kenceng banget. Pas kita cari Helena, dia ternyata ada di kamar mandi...dia... meringkuk di bak mandi dengan pergelangan lengan yang udah disayat!", kata Devon yang kemudian melepaskan tangannya dari tangan Jasmina. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangannya, dan mengusapnya pelan.
"Asli...kita panik. Bayangin aja, kita mahasiswa tahun pertama, tiba-tiba dihadapin sama kejadian yang...apa ya...traumatis lah buat kita semua. Kita cek Helena, sukurnya dia masih nafas. Kayaknya dia berusaha nyayat tangannya, tapi mungkin terlalu mabuk atau terlalu bego, jadi darah yang netes belum begitu banyak. Walau kita uda yakin, dia udah di posisi begitu selama berjam-jam. Dan saat itu juga, dia masih dalam keadaan pingsan karena mabuk parah. Langsung kita gotong ke rumah sakit."
"Sejak saat itu, hubungan aku dan Helena, memang lebih dari teman...", kata Devon sambil menatap wajah Jasmina. Mereka saling berpandangan.
"Kamu jadi cinta sama dia karena simpati? Itu sering terjadi kok. Dalam ilmu psikologi, kadang seseorang...",
"Bukan Jas! Bukan! Aku gak cinta sama dia.", potong Devon. Jasmina mendengus kesal. kata-kata lebih dari teman, mengusiknya. Bagaimanapun, Devon memperhatikan perempuan itu...
"Butuh beberapa hari bagi Helena untuk dirawat di RS. Saat itu kami jadi tahu, bukan hanya pergelangan tangannya saja yang terluka saat itu. Ternyata Helena sudah menjadi seorang penyayat untuk waktu yang cukup lama. Ia menyembunyikannya di daerah-daerah yang susah untuk terlihat. Dan yang paling aneh adalah, selama ia dirawat di rumah sakit, tidak sehari pun orang tuanya atau siapa pun dari pihak keluarganya yang menjenguk. Akhirnya, aku dan anak-anak yang secara bergantian merawatnya. Awalnya dia kesal, marah, karena kami menginterupsi percobaan bunuh dirinya.", kata Devon pelan.
"Aku sama anak-anak terus meyakinkan dia untuk sadar dan mau berubah. Sukurnya di rumah sakit itu, kita nemu salah satu alumni kampus yang bisa mendampingi dia secara psikis. Akhirnya pelan-pelan, Helena mau berubah. Mulai dari berteman dengan kita, mau ngerjain tugas bareng kita, sampai akhirnya dia menjadi salah satu dari kita. Puncaknya adalah ia akhirnya keluar dari apartemen, dan pindah ke kost-an kita. Pokoknya sejak kita menemukan dia di kamar mandi apartemennya, kami berhenti menganggapnya senior kampus...."
"Bagiku, Helena adalah... seorang pasien. Dari dulu, hingga saat ini, aku pun masih menganggapnya begitu Jas...", jelas Devon. Jasmina yang awalnya simpati, mulai jengah dengan penutupan penjelasan itu. Yang benar saja! Pasien! Devon dapat melihat perubahan ekspresi Jasmina yang mulai emosi. Alasan yang aneh. PASIEN!
"Aku serius Jas! Tidak sedetikpun aku pernah menganggapnya lebih penting dari kamu. Walau ia selalu di sekitar, tidak pernah aku merasa kebersamaan kami lebih indah dari detik-detik aku bersama kamu Jas. Tidak pernah ada kesan yang berlebihan. Dia hanya seseorang yang harus selalu aku, dan anak-anak perhatikan. Tujuan kami adalah mengantarkannya ke panggung wisuda dokter, itu saja!", jelas Devon.
"Yang bener aja Dev, kok pasien repot banget begitu ya? Harus dijagain sampe 6 tahun segala?", hardik Jasmina. Ia kesal dan tiba-tiba ada rasa cemburu yang menyeruak. Membayangkan Devon berada begitu dekat dengan seorang perempuan selama hampir 6 tahun dengan alasan PASIEN! Devon menunduk dan mencoba merangkai kata-kata yang mudah dipahami oleh Jasmina.
"Jasmina...aku adalah seorang dokter sekarang. Aku sudah mengambil sumpahku kemaren. Kamu inget? Mulai saat itu, aku mau tidak mau aku harus menolong sesama. Siapa saja! Mau itu teman, mau itu orang asing, mau itu musuh sekalipun. Ketika aku liat orang itu butuh bantuanku, kalau aku mampu, aku harus maju Jas! Sekarang aku tanya sama kamu, apa kamu siap menjadi istri seorang dokter?", tanya Devon serius. Jasmina terdiam. Ya, benar juga sih.
"Udah agak terlambat bukan, untuk nanya kayak gitu. Kita udah merit.", Jasmina melipat kedua tangannya di dadanya. Wajahnya sedatar air yang bisa menghanyutkan. Ia masih diliputi cemburu, walau cemburu itu pun sepertinya sudah agak terlambat.
"Aku sih gak perduli, kamu siap atau gak jadi istri seorang dokter, yang jelas kamu harus MAU dan SIAP jadi istriku selamanya!", kata Devon dengan wajah serius. Beberapa detik mereka saling berpandangan dengan tatapan serius. Mata mereka bertemu, seakan mengajak duel. Jasmina yang pertama memalingkan tatapannya. Pegel juga ternyata perang mata seperti itu.
"Trus sekarang gimana hubungan kamu sama Helena? Sudah lulus toh? Jadi bukan pasien kamu lagi kan? Aku cuma ngerasa, ada banyak hal yang kamu sembunyiiin dari aku, dan aku gak suka. Sudah cukup rasanya aku kesel mengetahui bahwa orang yang aku sukai selama ini, ternyata menghabiskan waktu sepanjang pagi siang sore dan malam dengan seorang perempuan!", kata Jasmina dengan tegas. Ia gengsi untuk melontarkan tentang foto-foto yang ia terima, serta chat WA yang ia baca dari HP milik Devon.
"Jangan cemburu dulu donk Jas. Ok aku cerita lagi ya... jadi memang setelah kami melewati satu semester bersama, Helena memang menjadi lebih tenang, fokus dan percaya diri dengan hidupnya. Sebagai seorang dokter, aku dan teman-teman merasa happy donk.Ternyata ketika dia lebih tekun, dia memang pintar. Bahkan akhirnya nilai-nilainya lebih unggul dari pada aku dan anak-anak. Nah sejak saat itu, kami memang tidak terpisahkan. Selalu belajar bareng, kuliah bareng, makan bareng, dan ya itu tadi... dia juga tinggal bareng ama kita. Tapi sumpah, aku, sama sekali gak ada rasa sama dia Jas! Sama sekali. Karena ya itu tadi, bagiku, dia hanya seorang pasien..."
"Ya! Pasien yang mencintai kamu kan? Pasien yang tinggal bareng kamu, makan bareng kamu, apa mungkin tidur sama kamu juga?!", tanya Jasmina lantang. Devon lantas terdiam...
"Suerrrr, dia gak pernah aku ijinin masuk ke dalam kamar aku! Cuma sebatas pintu! Aku bersumpah Jas. Yah paling banter ya main dobrak pintu kayak waktu kamu video call aja. Dan asal kamu tau, kalo aku gak pernah mau ngurusin siapa yang suka dan siapa yang gak suka sama aku. Aku paling males. Apalagi yang namanya..."
"Fans?", tanya Jasmina. Devon tersenyum dan mengangguk-angguk berkali-kali. Begitu juga dengan Jasmina. Sekilas mereka jadi mengingat momen percakapan mereka di lapangan basket rumah Devon. Saat itu, ia bertanya kepada Jasmina, apakah ia seorang fans? Dan Jasmina berkata, ia bukanlah fans Devon. Dan entah kenapa, sejak saat itu, Devon lebih penasaran tentang Jasmina...
"Ya gitu deh. Helena sendiri bilang kalau ia bukan fans aku. Tapi dia begitu posesif sama orang-orang yang katanyaaaaa sih, fans aku. Pokoknya kalo ada yang berusaha untuk deket sama aku, atau gangguin aku, Helena bakal maju untuk jagain aku. Aku gak pernah melihat itu sebagai cara dia nyukai aku, aku pikir itu Cuma ara dia untuk… ya…Gitu deh...",
"Hah, yang bener aja jagain. Secara badan kamu udah kayak gorilla gini, apa yang mau dijagain? Siapa yang harus diusir?", tanya Jasmina sewot. Devon tertawa terpingkal-pingkal.
"Hahahaha beneran Jas! Intinya sih Helena berusaha untuk mengenyahkan aku dari gangguan-gangguan itu lah, sebagai seorang sahabat dekat. So, I'm fine with that.", kata Devon pelan. Seakan-akan kalimat-kalimat berikutnya adalah yang terberat...
"And then....?", tanya Jasmina. Devon menatap wajah Jasmina dengan lekat. Ia kuatir Jasmina tidak akan percaya dengan apapun yang akan ia katakan...
"Helena selalu merasa berhutang sama kita-kita. Gak jarang dia selalu traktir kita, ngasi kita oleh-oleh kalo baru pulang dari luar negeri, atau beli barang-barang yang penting atau gak penting lah buat di kost-an. Intinya, dia ngerasa kalo kita itu udah bantuin dia untuk menjalani hidup yang lebih baik. So, kita fine-fine aja... Walau kadang kita mikir agak lebay aja sih..."
"Nah, pas kita mau lulus-lulusan kemaren, dia akhirnya baikan donk sama orangtuanya. Ya mungkin akhirnya orang tuanya ngerasa kalo Helena akhirnya bisa menjadi...apa yah... anak yang mereka harapkan. Anak yang akhirnya bisa mencapai target yang udah mereka tentuin sejak awal. Mereka gak mau tau proses yang dijalani Helena selama bertahun-tahun. Begitu tahu Helena akhirnya on track, baru deh mereka muncul. Kesel ya? Ternyata ada loh ya, orang tua kayak gitu... aku ngerasa, ternyata hidup kita ini, beruntung banget Jas...pantes aja Helena begitu",
"Nah trusssss", potong Jasmina mulai tak sabar.
"Nah trus, dia ngerasa kayak pengen ngerjain orangtuanya gitu deh. Jadi dia ngejanjiin aku sama anak-anak gitu deh. Kan katanya bokap nyokap dia punya rumah sakit gitu, trus ada link ke rumah sakit lain untuk nyari kerja. Ya kita langsung silau donk denger begitu. Siapa coba yang gak kepengen langsung kerja dan menghasilkan uang setelah lulus? Kita kira bercanda, ternyata dia serius. Contohnya aku, akhirnya CV aku di terima, dan aku langsung di panggil untuk wawancara dirumah sakit orangtuanya", jelas Devon lagi. Jasmina mengangguk-angguk pelan.
"Di hari kita tunangan...apa yang terjadi?",potong Jasmina dengan tatapan sedih…
Devon terdiam terpaku.