Chereads / Pacaran Paksa (Dengan Ketua OSIS) / Chapter 103 - BAB 20: Maafkan Aku di Bali

Chapter 103 - BAB 20: Maafkan Aku di Bali

Suasana pagi di Bali masih sedikit cerah dengan sedikit awan, yang membuat pencahayaan sangat baik untuk di foto. Pemandangan dari balkon kamar hotel begitu indah, dengan hamparan sawah bertingkat di ujung mata, pepohonan yang asri yang ditanam di sekeliling hotel, sampai dekorasi serba Bali yang melengkapinya.

Pemandangan Devon juga tidak kalah indahnya, sang istri yang sudah rapi dan cantik mengenakan gaun santai putih tanpa lengan sepanjang lutut. Inginr rasanya ia memotret Jasmina. Rambutnya yang panjang dan indah tergerai begitu saja, kadang tertiup angin pagi. Tidakkah Jasmina kedinginan? Hari masih begitu pagi dan udara masih begitu lembab. Ingin rasanya Devon menghangatkannya dengan sebuah pelukan besar seperti beruang. Namun Devon masih sadar diri, sang ratu sepertinya masih begitu sensitif.

"Sarapan yang banyak ya Jas, hari ini kita mau jalan-jalan jauh", kata Devon sambil tersenyum manis. Ia menggunakan kemeja putih santai dengan celana kargo selutut. Sepertinya Rania sengaja menyiapkan pakaian serba pasangan. Mereka sedang duduk di meja makan kecil yang ada di balkon kamar mereka. Pagi-pagi sekali, datang layanan kamar untuk mengantarkan sarapan mereka: pancake dengan aneka topping pilihan, susu coklat hangat, aneka buah potong dan sepiring nasi goreng. Khusus nasi goreng, Devon memesannya khusus. Siapa tahu mereka bisa sepiring berdua seperti malam sebelumnya.

"Aku mau belanja hari ini", kata Jasmina ketus sambil mencomot pancake masuk ke dalam mulutnya. Devon menyerngitkan dahinya. Tumben Jasmina mau belanja. Dia tidak seperti para cewek lainnya yang gila belanja sebenarnya. Hanya bila ia bersama Rania, mereka akan seperti dua gadis kesurupan bila melihat tempat-tempat belanja.

"Mau beli apa? Oleh-oleh? Ntar aja pas mau pulang", usul Devon. Jasmina terdiam sejenak. Ia telah menginspeksi koper yang disiapkan oleh Rania. Untuk baju-baju yang akan di pakai selama di Bali, Jamsmina tidak ada masalah. Walau hampir semuanya tanpa lengan lah, terlalu pendek lah, belahan dada terlalu rendah lah, atau agak tipis. Ia masih bisa sedikit mentolerirnya. Sukurnya ia membawa cardigan, jaket dan sejenisnya. Tapi tidak untuk baju tidur! Selain yang ia gunakan tadi malam, yang sebenarnya masih terlalu vulgar, sisanya tidak bisa dikatakan sebagai baju tidur.

"Aku mau beli baju", jawab Jasmina pelan, seakan mencoba untuk menghentikan pembahasan soal itu. Mau beli baju aja gitu, gak usah dibahas baju apa lagi.

"Hah, baju apa? Oleh-oleh? Atau baju kamu selama disini kurang?", tanya Devon masih kebingungan. Jasmina justru lebih kebingungan. Namun ia mengangguk pelan.

"Aku liat cukup-cukup aja kok. Kayaknya baju kita sengaja dibikin pasangan sama Rania. Baju tidurnya juga bagus-bagus kok", kata Devon sambil tersenyum lebar dengan mata berbinar. Sontak Jasmina kaget dan melototi Devon.

"Hah! Kapan kamu bongkar-bongkar koper aku? Hah! Kapan?", tanya Jasmina setengah berteriak, setengah panik, dan setengah emosi. Devon tersenyum dengan menunjukkan giginya yang merapat.

"Tadi pas kamu mandi, aku gak sengaja nyenggol koper kamu, dan isinya semua jatuh berantakan. Semua keluar gituuuuu... dari koper... ya udah trus aku susun kembali. Masih rapi kan?", tanya Devon kembali dengan senyum jokernya. Ia memamerkan gigi putih rapinya. Jasmina kontan menendang betis Devon dengan geram. Membayangkan Devon melipat-lipat seluruh isi kopernya , termasuk lingeri dan pakaian dalamnya. Bra dan celanda dalam… huaaaaa….

"Kamu....ughhhhhhh... kamu tega banget sih liat-liat isi koper orang!", katanya sengit sambil menggenggam garpu di tangan kirinya. Ingin rasanya Jasmina mencolok mata Devon. Devon mengaduh memegang betisnya, namun ia mulai tertawa nyaring. Suara tawa itu memekakkan telinga Jasmina, walau suaranya tidaklah kencang. Ia begitu malu. Apakah benar Devon melipat-lipat lingerie tipis berenda dengan potongan seksi itu, Ughhh dasar Devon mesum!

"Hahahahahah maaf Jasmina sayang. Bagaimanapun kamu kan sekarang udah jadi istriku. Masa nyusun koper istri aja masalah sih? Nantinya kamu kok yang akan menyusun koper-koperku kalau aku ada tugas keluar kota. Heemm... tapi menarik juga ya. Aku baru tau kalau... pakaian wanita itu benar-benar unik dan menarik. Terutama pakaian tidur. Aku kira piyama udah paling bener...ternyata ada yang lebih menarik...", tutur Devon lagi dengan senyum nakal. Kali ini ia sudah mengantisipasi betisnya, sehingga ketika Jasmina melayangkan tendangan kedua, ia bisa menghindar.

"Sialan Devon!!!! Kamu tega banget sihhhhhh!!", pekik Jasmina lagi yang kontan membuat Devon semakin tertawa lebar.

"Hahahaha udah udah sayang, yuk kita habiskan sarapannya. Okeh okeh aku akan temenin kamu beli lebih banyak lingerie... eh maksudnya piyama", kata Devon sambil menggenggam erat tangan sang istri. Wajah Jasmina sudah merona begitu merah, yang membuat Devon begitu gemas.

Ia lupa kapan terakhir kali ia mencium pipi dan bibir Jamsina. Mungkin sudah beberapa bulan yang lalu. Maklum, selama ini pertemuan mereka selalu beramai-ramai. Jarang sekali mereka memiliki waktu untuk berduaan. Namun sekali lagi Devon sadar, ia harus tarik ulur dengan Jasmina yang masih salah paham. Bukan tentang kuantitas dari ciuman itu, melainkan dari kualitas dan timing yang pas. Sekarang, sama sekali tidak pas.

------------------------------------

Jasmina menyusuri pusat perbelanjaan aneka souvenir dan baju-baju ala Bali dengan santai. Sebuah tas berbentuk bulat yang terbuat dari rotan tersampir di pundaknya, membuat penampilannya begitu etnik. Apalagi ia sedang mengenakan sendal kulit yang senada dengan tas rotannya. Rambutnya berkibar-kibar lembut di terpa angin. Kecantikannya semakin matang seiring dengan usia, dan gaya hidupnya yang kian sehat.

Tidak jarang langkahnya mengundang decak kagum dan tatapan nakal dari para pria yang melihatnya, terutama wisawatan asing. Beberapa pria mencoba mendekatinya, karena Jasmina terlihat berjalan sendirian. Tapi mereka mengurungkan niatnya, ketika mereka melihat sang pengawal yang berjalan satu meter di belakang Jasmina. Devon dengan tatapan tajam menyapu para pria yang berusaha mendekati Jasmina. Ia berjalan santai dengan tatapan protektif sambil memegang seluruh belanjaan Jasmina.

Sesekali Jasmina akan menoleh ke arah belakang, hanya untuk mengecek apa sang "pengawal" masih setia di belakangnya. Setiap itu terjadi, Devon akan memberikan senyuman termanis. Ia tidak akan berusaha untuk menggandeng paksa tangan Jasmina, atau pun pergi menjauh untuk melihat-lihat belanjaan untuknya sendiri. Tidak. Seluruh tenaga, emosi dan waktunya ia dedikasikan untuk Jasmina seorang, sejak ia membuka mata pagi ini.

Jasmina mendengus. Tidak sedikit juga beberapa perempuan menatap Devon dengan senyuman nakal. Mulai dari turis lokal, mancanegara, bahkan pegawai toko kerajinan! Sejenak Jasmina kuatir dan mulai lebih rajin melongok suaminya itu. Devon yang sadar terkadang menjadi pusat perhatian para wanita, pura-pura tidak melihat mereka dan tetap fokus pada Jasmina. Setiap Jasmina melongok ke belakang, ia akan melihat Devon HANYA menatap dirinya.

Di satu sisi, Jasmina begitu bangga dan senang sehari menjadi Queen Sheeba. Berjalan anggun dengan pengawalan ketat dari Devon yang menenteng seluruh belanjaannya. Namun cowok itu tidak keberatan sama sekali. Ia begitu tulus memanjakan Jasmina hari ini. Sesungguhnya hati Jasmina sedikit luruh. Sedikit aja loh. Ia mulai menurunkan kadar kesinisannya di setiap tatapan mengarah ke Devon. Entah kenapa, ada sebuah ruang di hatinya yang mulai mempercayai suaminya itu, terutama setelah ia membongkar HP Devon.

Sementara Devon masih berusaha keras untuk membuat Jasmina merasa lebih nyaman dan tenang. Ia yakin kalau istrinya itu masih marah luar biasa terhadapnya. Devon tidak mengetahui kalau Jasmina sudah mulai memahaminya karena pesan-pesan WA itu. Di sisi lain, Jasmina juga tidak mengetahui bahwa Devon sudah mengetahui bahwa istrinya telah menerima foto-foto misterius itu. Ketidak tahuan mereka berdua, menyebabkan kesalahpahaman yang lucu. Devon semakin giat mengambil hati istrinya itu, sementara Jasmina, well, sedikittt lebih reda amarahanya.

"Kalau udah selesai, kita mau makan siang di restoran Senja Menanti, kebetulan kita dapet voucher nih dari mama papa", kata Devon sambil menyodorkan voucher makan siang berpasangan di restoran yang disebutkan Devon tadi. Jasmina mengangguk. Waktu menunjukkan pukul 12 siang. Ia pun sudah terlalu lelah berkeliling-keliling belanja.

"Kamu tadi katanya mau beli piyama. Kok malah beli baju seksi-seksi juga?", tanya Devon lembut langsung ke telinga Jasmina. Istrinya itu kontan mencubit lengan Devon.

"Siapa yang suruh kamu bongkar-bongkar belanjaan aku hah?! Mau seksi, mau gombrong, suka-suka aku donk. Ini badan-badan aku, ini uang-uang aku, terserah aku donk mau beli apaaaaaa", tanya Jasmina berang. Devon menahan tawa sambil menggeleng-gelengkan kepala.

"Lah kan kamu sendiri tadi belanja, liat ini itu, megang ini itu, trus bayar. Aku kan jadi bisa liat apa-apa aja yang kamu ambil. Jadi setelah menikah, selera piyama kamu begitu ya. Tapi enggak apa-apa kok, asal dipakenya di depan aku aja", kata Devon lagi dengan senyum ternakal yang pernah dilihat Jasmina. Ia kontan kembali mencubit lengan Devon!

Entah kenapa, hari ini begitu sulit mencari piyama dua potong yang longgar dan nyaman. Kalaupun ada, Jasmina kurang tertarik. Sedari tadi, Jasmina hanya melihat gaun-gaun tidur yang pendek, tanpa lengan lah, atau berpotongan begitu pas di badannya. Dengan tubuhnya yang tidak kurus kerempeng, Jasmina pasti terlihat begitu seksi dengan bentuk badannya yang seperti jam pasir sekarang. Bahkan Jasmina menahan ludah ketika membayangkan ia mengenakannya. Bayangan tadi malam ketika Devon memergokinya dengan baju tidur yang kurang lebih mirip, membuat Jasmina berdebar-debar. Devon menatap lekat dirinya, seakan ingin melahapnya bulat-bulat.

Begitupun, Jasmina memilih 4 gaun tidur yang akan ia kenakan di Bali. Semua dengan potongan yang kurang lebih mirip dengan gaun tidur yang ia kenakan tadi malam. Apa...di dalam sudut hatinya ia mengharapkan tatapan buas Devon lagi? Apakah ini berarti... ia sedikitttt memaafkan suaminya itu?

----------------------------------

Jalanan menuju restoran itu begitu macet pada jam-jam makan siang seperti ini. Wajar saja, restoran yang terletak di pinggir pantai, berjejer dengan aneka cafe, bar, dan restoran lainnya. Pemandangan dari tempat-tempat itu sangat menabjubkan. Konon, setiap sore, para wisawatan akan duduk menghadap pantai diatas bean bag. Mereka menantikan matahari terbenam.

"Macet banget ya pak?", tanya Devon kepada sang supir sewaan yang mengantar Devon dan Jasmina selama di Bali. Sang supir mengangguk.

"Tapi restorannya udah deket mas. Mending jalan kaki aja. Mungkin cuma perlu waktu 5 sampai sepuluh menit aja. Itu tuh restorannya yang gedung berwarna putih", seru sang supir ramah. Devon dan Jasmina mengangguk-angguk. Bila mereka tetap ingin berkendara di mobil sampai restoran, mungkin akan butuh waktu 30 menit.

Jasmina tanpa pamit dan aba-aba, membuka pintu mobil dan melangkah keluar. Ia berjalan menuju restoran.

"Jasmina tunggu!", seru Devon. Ia mencoba mengejar istrinya, tapi Jasmina terus saja berjalan pelan. Seperti halnya di tempat perbelanjaan, Devon kembali lagi berjalan santai satu meter di belakang Jasmina.

Jasmina berjalan pelan menuju restoran yang dituju. Pak supir benar, jalannya sudah tidak terlalu jauh. Bahkan ada trotoar yang begitu lenggang dan rapi menuju tempat-tempat makan hits itu. Berjalan sambil melihat pemandangan benar-benar ide yang sangat briliant.

Ketika Jasmina sudah 20 langkah lagi menuju sang restoran, muncul seorang anak kecil memberikannya sekuntum bunga berwarna putih. Jasmina menggeleng dan melambaikan tangannya. Ia sedang tidak mood membeli bunga. Bukankan seharusnya sang cowok yang membelikannya? Jasmina menatap Devon. Cowok itu pura-pura tidak melihatnya. Jasmina kelimpungan, karena sang anak memaksanya untuk menerima bunga itu.

"Untukku?", tanyanya ramah. Sang anak mengangguk dan tersenyum ramah. Begitu Jasmina menerima bunga itu, sang anak mempersilahkan Jasmina untuk berjalan kembali ke arah restoran.

Begitu Jasmina membuat 3 langkah, kembali seorang anak perempuan setengah bule mendatanginya dan memberikan sekuntum bunga berwarna pink. Jasmina kembali terkejut. "Apalagi ini?", gumamnya dalam hati. Ia kembali melirik Devon. Cowok itu kembali lagi pura-pura melihat pantai.

"For me?", tanya Jasmina ramah ke arah anak kecil yang cantik itu. Ia mengangguk ramah.

"For a beautiful lady (untuk wanita yang cantik?", katanya sambil memberikan bunga itu, dan mempersilahkan Jasmina kembali melangkah ke arah restoran. Jasmina menatap restoran yang tinggal beberapa belas langkah lagi. Matanya menyisir jalan trotoar menuju restoran, dan benar saja. Ada setidaknya 3 orang anak yang seumur, sedang memegang sekuntum bunga. Ketiganya sudah tersenyum manis dari jauh, seakan menantikannya.

Jasmina kembali menatap Devon yang tertinggal 2 langkah di belakang. Cowok itu menatap Jasmina dengan datar, dan mengangkat bahunya tanda tak tahu menahu. Padahal Jasmina yakin Devon sangat tahu! Jasmina menarik nafas panjang, dan berjalan anggun menuju para anak-anak yang sedang menantinya itu. Ya, siapa tau ada yang sedang mendokumentasikan adegan-adegan ini. Ia memberikan senyum termanisnya ketika mengutip bunga-bunga dari para anak-anak itu.

Anak yang terakhir, hanya berjarak 3 langkah dari restoran yang mereka tuju. Ia memberikan Jasmina sekuntum bunga berwarna merah tua.

"I'm sorry....", katanya dengan senyum manis. Jasmina yakin anak itu tidak memiliki kesalahan apapun terhadap Jasmina. Pastilah ia hanya penyampai pesan. Jasmina kembali menatap Devon di belakangnya. Kali ini Devon tidak menghindar. Ia memegang sebuah papan berwarna putih dengan tulisan berwarna merah tua...

"Give me a chance to explain", begitu bunyinya. Beri aku kesempatan untuk menjelaskan.

Jasmina menatap haru ke arah suaminya itu. Di tangannya, sudah terkumpul buket bunga dari anak-anak asing, yang sekarang tiba-tiba sudah ambyar menghilang begitu saja. Apakah tadi itu mimpi? Baru kali ini ada yang mencoba meminta maaf kepadanya dengan begitu niat. Segitu parahnya kah dosa suaminya itu?

Devon mendekat ke arah Jasmina dengan mata yang lembut dan memohon. Papan itu masih ia rapatkan di dadanya, seakan tidak ingin ia enyahkan sebelum Jasmina benar-benar ingin mendengarkan penjelasannya.

"Jasmina maafkan aku... Kasih aku kesempatan Jasmina, ada yang ingin aku jelaskan.", katanya lembut sambil menatap lekat ke arah mata Jasmina. Mata yang mulai meleleh karena haru, senang, lega, tapi masih marah juga. Apa yang harus ia katakan?

Matahari masih berada di atas kepala mereka, seakan ingin membakar kulit kepala mereka. Devon berdiri tegak seperti es yang tidak akan meleleh, setia menunggu jawaban Jasmina. Entah karena Jasmina juga sudah lelah, atau ia benar-benar ingin mendengar penjelasan Devon.

"Kamu punya waktu 10 menit!", katanya tegas.