Chereads / Pacaran Paksa (Dengan Ketua OSIS) / Chapter 102 - BAB 19: Gencatan Senjata di Malam Hari

Chapter 102 - BAB 19: Gencatan Senjata di Malam Hari

Devon masih terus memeluk tubuh Jasmina dengan posesif.

Dalam hatinya, ingin ia berkata: aku minta maaf Jasmina, semua itu hanya sebuah salah paham. Namun yang terucap justru: Cobain dikit donk sayang, liat tuh ada nama kita. Minimal makan coklat yang ada tulisan nama aku doank", kata Devon sambil terus memeluk erat tubuh Jasmina. Ia membenamkan wajahnya di punggung Jasmina, sehingga istrinya itu bisa merasakan nafas Devon yang naik turun dengan cepat.

Dalam hati Jasmina, ingin ia berkata: Dasar kamu kurang ajar Devon, dasar kamu tidak jujur dan tidak setia! Ingin rasanya aku bunuh kamu sekarang juga! Namun ia masih belum ingin berdebat bersama Devon malam ini. Ia masih ingin menyiksa Devon dengan perang dingin dan membuat cowok itu bertanya-tanya.

Jasmina menyentuh kedua tangan Devon yang memeluk pinggangnya. Ingin ia cakar dan melepaskan tangan kekar itu dari pinggangnya. Ia merasa jijik dan marah. Tapi di satu sisi, ia sangat merindukan tangan itu. Tangan yang merengkuhnya ketika ia terpuruk, tangan yang menggenggamnya ketika ia sedih, tangan yang menuntunnya ketika ia bingung dan ragu. Ya, ia dan Devon telah melalui banyak hal beberapa tahun terakhir ini. Akankah ia biarkan tangan ini lepas begitu saja?

"Mana coklatnya?", tanya Jasmina dengan suara bergetar. Ada begitu banyak makna di balik pertanyaan itu. Satu, mana coklatnya, sini aku mau makan. Kedua, mana coklatnya, aku mungkin mau mendengarkan sedikit penjelasan kamu. Ketiga, mana coklatnya, aku mau makan, tapi tetap peluk diriku seperti ini. Ingin Jasmina berdamai beberapa detik saja, karena walau ia murka, ia masih tetap mencintai Devon.

"Ini sayang", kata Devon sambil mengambilkan selembar coklat bertuliskan Devon. Coklat itu dibentuk dengan tehnik sambung yang indah dengan lelehan coklat. Devon menyodorkan coklat itu ke bagian depan depan wajah Jasmina, tanpa Devon bisa melihat ekspresi istrinya itu. Ia masih memangkunya dan wajahnya masih menempel di punggung Jasmina.

Ketika istrinya itu mengambil coklat itu, ia langsung memasukkannya ke dalam mulutnya. Tangan Devon kembali memeluk istrinya dengan lembut, seakan ia takut bila ia lepaskan, Jasmina akan pergi. Jasmina terus mengunyah coklat itu dengan lembut.

"Kok kamu gak makan es krimnya?", tanya Jasmina datar. Devon tidak menjawab, ia terus saja memeluk istrinya dalam diam.

"Devon…Devon… nanti es krimnya mencari, gak enak lagi. Ayo makan!", perintah Jasmina sambil mengguncang-guncang tangan Devon yang melingkar di pinggangnya. Namun Devon masih belum bereaksi. Namun Jasmina merasakan punggungnya menghangat, area dimana Devon membenamkan wajahnya. Jasmina tercekat dan berhenti mengguncang-guncang pelukan Devon di perutnya.

"Devon…", panggil Jasmina pelan. Devon semakin erat memeluk Jasmina. Apakah cowok itu sedang menangis?

Entah apa yang sedang berkecamuk di pikiran Devon, tapi ia sekarang sedang meleleh. Ia belum lelah meladeni kemarahan tersembunyi Jasmina, karena ia memang berhak di perlakukan seperti itu. Bahkan mungkin lebih parah! Apa saja, asal jangan ada kata-kata "berpisah".

Entah apa juga yang sedang berkecamuk di pikirian Jasmina ketika ia menyadari bahwa Devon MUNGKIN sedang menangis. Tapi menangis karena apa? Karena ia frustasi menghadapi Jasmina yang dingin? Karena ia lelah? Apa karena ia mungkin sudah merindukan Helena? Apa alasannnya? Sebuah tangisan tanpa penjelasan itu, sungguh membuat salah paham. Andaikan ada sebuah alat yang dapat mengurai arti dari air mata, mungkin para buaya akan kapok meneteskan airmatanya.

" I'm so happy Jasmina. Kamu mungkin gak paham, tapi berada disini, memeluk kamu seperti ini, menyadari kalau kamu aka nada ketika mataku terbuka esok hari, adalah mimpiku sejak lama. Hari-hari aku jalani sendirian di Bandung, dengan harapan bahwa suatu hari kita tidak akan terpisah lagi… akan ada suatu hari seperti ini… hari ini, besok dan selamanya… aku kuat menjalani semuanya dengan mimpi untuk berada di titik ini. Percaya lah Jasmina…", kata Devon dengan suara agak serak.

Jasmina terdiam, tidak ingin bereaksi berlebihan. Ia menyadari sebuah ketulusan di tiap kata yang terucap dari bibir suaminya itu. Belum pernah ia melihat Devon sesensitif dan semelankolis ini. Ia bukanlah cowok yang pintar mengumbar kata-kata manis dan haru demi merayu Jasmina. Kok ya pas banget saat Jasmina sedang galau, Devon bisa semanis ini? Sebegitu paniknya kah Devon agar kebohongannya tidak terumbar? Jasmina yang tadinya melunak, kembali mengeraskan hatinya.

"Makan es krimnya Devon!", perintah Jasmina lagi. Devon akhirnya merenggangkan pelukan dari pinggang dan perut Jasmina. Ia memutar badan Jasmina sehingga mereka saling bertatapan. Mata Devon sedikit merah dan berair, sehingga bulu-bulu matanya tambak basah dan tegas, tapi ia sedang berusaha tersenyum manis.

"Akan aku makan kalau kamu mau aku suap 1 sendokkkk aja. Mau ya…", kata Devon dengan suara manis, seakan ia berusaha keras untuk menyembunyikan isaknya beberapa detik yang lalu. Entah apa yang merasuki Jasmina, ia mengangguk pelan. Ah, mungkin istrinya itu mulai melunak lagi.

Devon menyuap Jasmina dengan satu sendok kue beserta es krim itu. Jasmina memakannya dengan pelan. Kemudian Devon menyuapi dirinya sendiri. Devon memotong kembali es krim dengan sendok kecil itu, dan menyuapi lagi Jasmina sesuap lagi. Istrinya itu menerima tanpa pemberontakan. Devon tersenyum, dan menyuapi dirinya lagi. Begitu terus sampai sepiring makanan manis itu habis, dan mereka masih belum juga berkata-kata. Devon meletakkan piringnya di meja.

"Aku…mandi dulu ya…", kata Devon sambil menepuk pelan lengan Jasmina. Istrinya itu kaget! Kenapa juga dari tadi masih terus mau di pangku Devon!

"Arrrrrgghhh apa yang dipikirin Devon nanti! Apa aku memang doyan di pangku terus ama cowok tukang selingkuh itu! Ogah!", gumam Jasmina dalam hati. Jasmina buru-buru bangun dan memasang gesture anggun dan pura-pura tidak terjadi apa-apa. Ia berjalan pelan ke arah tempat tidur setelah menyambar HP miliknya. Devon tersenyum geli. Ia melanjutkan jalannya ke arah kamar mandi.

Tidak berapa lama, suara air pancuran terdengar dari dalam kamar mandi. Jasmina sudah melepaskan jubah mandinya, dan masuk ke dalam selimut dalam-dalam. Setidaknya dengan begini, Devon tidak perlu melihat kulitnya yang terpapar terlalu banyak. Jasmina bolak-balik mengutuk Rania dan kak Almira.

Jasmina melirik ke meja kecil di pinggir tempat tidur. Ada HP milik Devon. Entah kenapa, ada rasa licik di hati Jasmina untuk mengutak-atik HP milik suaminya itu. Toh sekarang mereka sudah (atau masih) menjadi suami istri. Apa salahnya bila sang istri sedikit memeriksa HP milik suaminya kan? Siapa tau ada tagihan yang harus ia cek, sebuah virus yang harus ia basmi, atau ucapan restu atas pernikahan mereka dari teman mereka ketika SMA? Ada banyak alasan dimana sang istri BOLEH memeriksa HP milik suaminya.

Jasmina berjinjit keluar dari selimut dan menyambar cepat HP milik suaminya itu. Secepat kilat ia membuka aplikasi chat WA dan memencet nama Helena. Tentu saja. Jasmina menggeser percakapan itu sampai ia bisa menemukan percakapan mereka beberapa minggu sebelumnya. Tepatnya beberapa hari sebelum hari pertunangan mereka.

Jum'at Malam

Helena: Devon, udah sampe Jakarta? Jangan lupa besok mau ketemuan sama ayah ngebahas CV yang aku masukin kemaren ya.

Helena: Di restoran Jepang di JL Senopati 5, sebelahan sama Griya SPA. Jam 11 jangan sampe telah ya. ayah gak suka yang telat-telat. Pake baju yang rapih Dev

Sabtu Pagi

Helena: Devon, hello kok ga di jawab sih? Udah bangun belum? Jangan lupa hari ini kita mau ketemuan bahas kerjaan dan masa depan kamu loh!

Devon: Sorry baru sampe subuh tadi. Aku ketiduran. Ok, jam 11 aku disana. Tapi gak lama-lama kan? Aku siang udah harus ada dirumah, ada acara yang penting banget.

Helena: Devon, aku sama ayah ama ibu udah disini, kamu dimana?

Devon: Baru sampe parkiran. Bentar aku turun.

Sabtu Malam

Helena: Devon sorry banget tadi aku hancurin HP kamu. Gak sengaja sumpah! Bisa di perbaiki gak? Btw temen kamu si Miko ini kok judes dan dingin banget ya? Sayang banget padahal cakep. Sorry ya hari ini ngerepotin kamu sampe berurusan ama polisi segala. Untuk ada Miko dan Rania ya.

Helena: Devon... lagi ngapain?

Minggu Siang

Devon: Sorry HP baru di perbaiki. Cuma kacanya yang retak jadi gak bisa touch creen. Uda beres, dan sukurnya data gak hilang

Helena: Devon mau pulang ke Bandung bareng gak? Aku jemput ama supir.

Devon: Gak usah, aku ada perlu sama mama papa. Mungkin baru ke Bandung 2 hari sebelum wisuda sama mereka (padahal Devon berangkat sehari sebelum keluarga Devon dan Jasmina ke Bandung. Apa mungkin Devon hanya ingin menghindari ajakan Helena?)

Helena: BTW si ayah terkesan banget sama kamu. Dia ngarepin kamu bener-bener bisa join rumah sakit mereka. Kemaren aku minta supaya gaji awal kamu bisa dua digit, dan mereka okey! Luar biasa kan lobby aku. Dokter baru lulus mana coba yang bisa dapet gaji dua digit? Bukankah itu impian kamu Devon, mendapat gaji dua digit di tahun pertama kamu lulus jadi dokter?

Senin siang

Helena: Devon, kamu lagi ngapain?

Rabu pagi

Helena: Devon, aku otw ke Bandung sekarang. Ga sabar mau jumpa sama kamu. Ayah ibu juga mau ketemu kamu sebelum acara wisuda nih

Kamis malam

Helena: Devon, ada kabar baik nih. si ayah mau ngenalin kamu sama temen karibnya waktu kuliah kedokteran dulu. Katanya dia punya jalur beasiswa bila kamu pengen ngambil spesialisasi nanti. Kalo kamu bener-bener berminat, ketemuan jam 1 di restoran Teratai, di samping factory outlet dago ya. Kami tunggu disana

Devon: Wah bagus aku tertarik. Ok jam 1 ya.

Helena: Kamu mau? Yeay, aku tunggu disana ya jam 1. (Jasmina baru menyadari bahwa itu restoran tempat ia dan Rania makan saat mereka di Bandung? Kok mereka tidak berpapasan ya?)

Jum'at siang

Helena: Devon kami sudah di restoran. Ayo sini cepetan!

Devon: ok aku menuju kesana. Baru sampe parkiran

Sabtu pagi

Helena: Jangan lupa hari ini Devon, pakai dasi yang aku beliin ya, biar matching sama kebayaku! Hihihi

Sabtu sore

Helena: Devon, kamu bisa kan makan malam sama keluargaku? Kami nginep di hotel Imperial Java. Kita makan di restorannya aja.

Devon: Sorry aku ga bisa. Aku mau jalan sama keluargaku

Helena: Devon kamu gimana sih? Sebel deh!

Helena: Kalo makan siang bareng besok gimana? Ajak mama papa kamu dan Rania. Kita makan di restoran Sunda kesukaan ayahku nih.

Minggu pagi

Helena: Devon kamu masih di Bandung?

Senin malam

Helena: Dev, kamu ngapain?

Selasa malam

Helena: Kok gak jawab WA aku sih. Aku kok tiba-tiba kangen ya sama kamu dan anak-anak. Pada kemana ya cowok-cowok itu?

Rabu siang

Helena: Devon aku sudah otw selamanya ke Jakarta. Barang-barang banyak aku tinggal. Kamar kamu udah kosong. Kapan kamu pindahan? Kok aku gak tau?

Kamis Pagi

Helena: Devon, aku sekarang ada di rumah sakit ayah. Rasanya mau mati aja Dev. Hidup ini bener-bener gak adil Dev. Kenapa aku selalu dapat karma buruk. Aku gak punya masa depan lagi Dev...

Devon: Helena, ada apa? Aku telfon sekarang ya!

Sabtu malam

Helena: Devon, kok kamu pergi sih tadi pas aku tidur? Kata ibu kamu di jemput sama Rania dan 2 temennya. Aku kan belum sembuh bener Dev, kamu janji mau nemenin aku terus sampai aku pulih.

Helena: Kamu katanya mau nemenin aku sampe aku siap menghadapi dunia lagi. Kok kamu ingkar?

Helena: Bukannya kita ini teman selamanya?

Helena: Teman kok gitu?

Helena: Devon! Angkat telfon aku!!!!

Minggu subuh (hari dimana Jasmina dan Devon menikah)

Helena: Devon angkat telfon aku! Kamu lagi dimana? Kamu lagi ngapain?

ke

Helena: Devon jawab aku sekarang, atau kamu akan menyesal!

Jasmina berdiri terpaku membaca chat antara Devon dan Helena. Hatinya bercampur aduk antara bingung, marah, kuatir, tapi sekaligus lega. Ya, lega karena bila membaca dari percakapan mereka, Devon tidak seperti seseorang yang sedang berselingkuh.

Di satu sisi Jasmina juga marah, karena seperti banyak fakta yang tersembunyi dalam 2 minggu terakhir ini. Ada apa dengan Rania, kenapa ada kak Miko? Kenapa Helena bisa ada di rumah sakit? KANTOR POLISI??? Kenapa ia bisa ada di restoran teratai yang sama? Jadi…jadi…pada saat Jasmina bertemu dengan Devon di restoran Jepang itu, mereka sedang bersama…?

Fikiran Jasmina kembali menerawang ke empat buah foto yang dikirim ke HP miliknya. Mungkinkah itu bagian dari Ancaman Helena? Karena terlihat dari percakapan mereka, Devon tidak begitu antusias menjawab pesan-pesan Helena. Apakah mungkin, ini Cuma jebakan dan salah paham?

Jasmina jadi lebih berfikir, haruskah ia memberi Devon kesempatan untuk menjelaskan? Setidaknya dari semua orang yang terlibat disini, Devon, Rania dan Miko lah yang ia percaya. Namun kata orang, bila pasangan sedang bertengkar, jangan libatkan orang lain.

Suara pancuran ternyata sudah lama berhenti, Jasmina baru menyadarinya. Ia terlalu asik membaca pesan-pesan di HP Devon. Segera ia gosok-gosokkan layar HP itu di lingerinya, sehingga sidik jarinya terhapus. Ia letakkan HP milik Devon persis seperti saat ia menemukannya, dan mencoba mengatur nafasnya.

Devon keluar dari kamar mandi, tepat setelah Jasmina berjalan selangkah dari meja tempat HP itu bertengger. "Fiuhhh, hampir saja", gumam Jasmina dalam hati. Ia tersenyum ke arah Devon, untuk menyembunyikan rasa panik karena takut ketahuan. Tapi kemudian jantungnya kembali berdegup kencang.

Devon sedang berdiri di hadapannya, hanya mengenakan handuk melilit di pinggang rampingnya. Seluruh permukaan perut roti sobek, otot kepala pundak lutut kaki semua terpampang dengan jelas, lengkap dengan tetesan embun air dimana-mana. Rambutnya yang masih basah memercikkan air, mengaburkan pandangan Jasmina. Devon terlihat luar biasa seksi!

Tapi Devon juga tidak kalah gugup! Siapa sangka ketika ia belum lengkap berbusana, ia melihat sang istri HANYA mengenakan lingerie, dan menyunggingkan senyum manis pertamanya sejak mereka menginjakkan kaki di pulau Bali ini. "Apakah…. Apakah… ini sebuah undangan?", gumam Devon dalam hati sambil terus memperhatikan Jasmina dengan takjub sambil menoba mengibas-ngibaskan rambut basahnya.

"Ka… ka… Kamu gak takut masuk angin?", tanya Devon gugup. Padahal bukan itu yang ingin Devon katakan! Jasmina bingung dengan pertanyaan Devon, namun segera menyadari bahwa ia hanya mengenakan lingerie, dan sekarang sedang berdiri tegak tanpa tutupan apapun. Padahal tadinya ia berniat bersembunyi di balik selimut sampai pagi!

"Bukan! Tidak! Kamu jangan salah sangka! Tadi aku Cuma mau nutup tirai aja!", hardik Jasmina panik sambil melambai-lambaikan tangannya. Secepat kilat ia berlari menerjang ranjang dan masuk ke balik selimut dan menutup seluruh permukaan tubuhnya.

"Aku mau tidur sekarang", katanya malu. Devon tertawa terkekeh-kekeh.

"Jangan ketawa! Dan jangan salah pahammmmm!", teriak Jasmina lagi di balik selimut. Tentu saja Devon semakin mengeraskan tawanya. Ia memang tidak mengharapkan apa-apa malam ini. Jasmina masih mau berbiara dengannya saja, Devon sudah lega.