Chereads / Pacaran Paksa (Dengan Ketua OSIS) / Chapter 97 - BAB 14: Menjelang Hari H

Chapter 97 - BAB 14: Menjelang Hari H

Jasmina menatap keluar dari jendela kamarnya. Udara pagi yang masih sejuk seketika menerpa wajah yang baru saja mand itu. Hal tersebut mengurungkan niat gadis itu untuk lari pagi, seperti yang biasa ia lakukan pada hari Sabtu pagi. Tidak hari ini, terutama jalanan di depan rumahnya dan Devon saat ini sudah tertutupi oleh teratak yang panjang dan mewah. Beberapa pekerja sedang sibuk menurunkan kursi, meja katering, sampai menata bunga-bunga di halaman rumah Jasmina.

Ya, malam ini adalah salah satu malam yang besar untuk Jasmina dan Devon. Malam ini akan menjadi malam secara "lebih resmi" Jasmina di lamar oleh keluarga Devon. Syukurlah karena rumah mereka begitu dekat, pihak keluarga Devon hanya perlu melangkahkan kaki mereka keluar dari satu pagar, dan masuk ke pagar yang lain. Begitupun, ternyata pihak keluarga Devon banyak yang berasal dari luar kota, bahkan ada yang terbang jauh-jauh dari Australia!

"Gimana? Masih grogi?", tanya Almira, istri kak Gading. Jasmina hanya tersenyum malu-malu dan menggeleng. Ia dan Devon sudah melalui banyak hal dalam 6 tahun ini, bahkan mereka sudah melalui pertunangan tak resmi setahun yang lalu! Ibaratnya malam ini, hanya akan menjadi momen formalitas saja, hanya agar resmi dan lebih sah. Toh dalam waktu 2 minggu lagi, mereka akan melangsungkan pernikahan di sebuah gedung yang terletak di daerah Jakarta Selatan. Persiapan untuk kesana juga sudah 90%, menurut Event Organizer yang ditunjuk keluarga Jasmina dan Devon, bekerja sama dengan Cecilia Adnan, tentunya.

"Begitupun, tetep loh ya waspada. Apalagi menjelang H-14 begini, suka banyak cobaan yang aneh-aneh. Mending banyak-banyak doa, dan lebih intens komunikasi sama Devon. Dia uda pulang dari Bandung?", tanya kak Almira lagi sambil membelai-belai kebaya yang akan digunakan Jasmina nanti malam. Sebuah kebaya berwarna pink muda, bertangan 7/8, sepanjang lutut dengan potongan leher yang tinggi. Seluruh permukaan kebaya dihiasi oleh payet dan kristal halus, yang membuat kebaya itu tampak sangat indah.

"Udah kak, ia baru sampe subuh tadi. Dari tadi aku WA belum dibalas, kayaknya masih istirahat deh. Mungkin nanti aku mampirin ke rumahnya...",

"Eh jangan duluuuu. Kan nanti malam mau lamaran. Mending jangan ketemu dulu. Pamali, eh ga tau dink pamali apa enggak. Yang jelas ntar malam aja biar dia surprise ketemu kamu.", kata kak Almira. Jasmina mengangguk-angguk patuh.

"Iya deh, aku juga bentar lagi mau pergi kak, mumpung kerjaan udah beres, persiapan dirumah juga uda di handle EO. Aku mau ke SPA aja dehhh biar relax", kata Jasmina. Kak Almira mengangguk setuju.

"Jangan makan yang aneh-aneh ya Jasmina, jangan makan pedes, mentah, atau apapun yang bikin perut mules. Siapa tau nanti malam kamu jadi grogi. Ok?", perintah kak Almira. Jasmina mengangguk-angguk patuh lagi. Ia secara impulsif menarik tangan kakak iparnya itu dan memeluknya dengan sangat erat. Ia mulai terisak.

"Aku ga ngerasa berat kak, mau nikah tapi gak ada mama. Sedih iya, kangen iya, tapi aku ngerasa kuat karena ada kakak, kak Gading dan papa. Makasi ya kak, udah jadi batu kokoh tempat aku bergantung. Terutama untuk persiapan pernikahan ini", kata Jasmina dengan sedikit terisak. Kak Almira yang begitu tersentuk, akhirnya menguatkan pelukannya di punggung Jasmina. Begitu berat melalui sebuah persiapan pernikahan tanpa sentuhan seorang ibu, Almira paham.

"Apa aja Jasmina...apa aja yang bikin kamu bahagia, akan kami usahain...", balas kak Almira sambil terus mendekap Jasmina dengan hangat.

-----------------------------

Jasmina sudah menjalani mandi sauna, pijat tubuh, luluran, masker tubuh, sampai mandi sekali lagi di SPA langganan ia dan Rania. Ia sedang menjalani perawatan sebelum lamaran. Waktu sudah menunjukkan waktu untuk makan siang, tapi Devon belum juga membalas pesannya. Apakah mungkin ia tertidur begitu lama?

"Mbak Jasmina, sekarang kita mau facial, maskeran ama creambath ya", kata sang terapis mengingatkan. Jasmina menoleh ke arah jam tangannya. Pukul 11.45, dan perutnya sudah lapar. Aneh sekali, para terapis yang capek memijat perutnya, kenapa ia yang kelaparan?

"Mbak, saya mau makan siang dulu boleh gak?", tanya Jasmina.

"Ohhh disini gak sedia makan siang mbak Jasmina. Tapi kita ada OB yang bisa beliin di restoran Jepang di sebelah kanan, atau restoran Sunda yang di belakang SPA. Kebetulan kita nyimpen menunya nih",kata sang terapis sambil menyodorkan fotokopian menu yang sudah di laminating itu. Jasmina menggangguk-angguk.

"Ehhmm gak apa deh mbak, saya makan di sana aja dengan cepat deh. Kasian mbaknya mondar-mandir", kata Jasmina. Sang terapis mengangguk dan mempersilahkan Jasmina keluar menuju restoran Jepang yang terletak di samping SPA itu. Wow, ternyata begitu dekat, berjalan kaki saja tidak sampai 5 menit!

Ketika Jasmina memasuki restoran itu, interiornya sedikit berbeda dengan restoran Jepang yang sering di datangi Jasmina bersama Rania dan Devon. Makanannya juga terlihat lebih mahal dan lebih menggugah selera! Mereka bahkan memiliki ruang privat dengan "Live Cooking" di dalamnya. Jasmina tersenyum dalam hati. Ia harus mengajak Rania kesini kapan-kapan setelah mereka melakukan perawatan tubuh. Kenapa gak pernah kepikiran ya?

Jasmina memesan bento yang paling sedikit porsinya, dengan ocha hangat. Ia tidak mau terlalu mengisi perutnya, walau ia benar-benar tergugah. Ia mengambil posisi duduk di dekat kolam ikan, tidak begitu jauh dari ruang-ruang privat yg terletak di bagian tengah restoran itu. Sambil menunggu pesanan, Jasmina mengecek pesannya sekali lagi. Yap, Devon belum membalasnya. Jasmina memutuskan untuk menelfon calon suaminya itu. Bagaimanapun, ini sudah mendekati jam makan siang, dan ia kuatir bila cowok itu sampai telat makan.

"Drrtttt....Drrtttt", HP milik Devon bergetar. Cowok itu ternyata baru saja keluar dari toilet restoran yang SAMA dimasuki oleh Jasmina! Ia sedang berjalan perlahan menuju memasuki salah satu ruang privat itu kembali. Ketika Devon melihat layar HP miliknya, dan menyadari bahwa Jasmina menelfonnya, Ia sejenak ragu untuk mengangkat telfon itu. Gadis itu memborbardirnya dengan pesan chat dan telfon, ia belum membalas satu pun pesan Jasmina. Tapi bagaimanapun, ia tidak mau membuat gadis itu kuatir.

"Halo sayang, kamu dimana?", tanya Devon tanpa melihat ke sekeliling. Ia hanya menghentikan langkahnya sebentar di dekat kolam ikan. Jasmina yang menyadari bahwa jawaban di HP mirip dengan suara yang ia dengar di restoran, justru berbalik tanya!

"Lah kamu sekarang ada di mana? Kok kayaknya dekat banget?", tanya Jasmina kaget. Ia langsung melongok ke sekeliling tempat duduknya, mencari sumber suara. Di saat yang sama, Devon juga dengan panik melihat ke sekelilingnya, karena ia juga merasa bahwa suara Jasmina begitu dekat.

Beberapa detik kemudian, pandangan mereka bertemu, sama-sama saling memegang HP masing-masing. Devon memasang tampang panik dan takut, begitu juga dengan Jasmina!

"Kyaaaaa, ih kamu ngapain sih disini!", pekik Jasmina sambil menutup wajahnya dengan menu makanan. Selain karena ia sedang sangat kuyu setelah sesi SPA 3 jam, ia ingat perkataan kak Almira kalau pamali bila bertemu dengan calon beberapa jam sebelum acara berlangsung.

Devon yang melihat tingkah Jasmina, akhirnya tersenyum lega. Ia justru geli melihat tingkah calon istrinya itu. Ia menutup bibirnya dengan kepalan tangannya, agar tawa kegelian tidak meluncur begitu saja. Ia berjalan perlahan-lahan ke arah Jasmina.

"Lah, kamu ngapain disini Jas? Makan sendirian? Kok gak ada yang nemenin?", tanya Devon. Jasmina menurunkan sedikit buku menu itu dari matanya, agar ia bisa melirik Devon. Tumben cowok itu rapi sekali. Ia menggunakan kemeja berwarna biru muda, dengan jaket jas casual berwarna biru navy. Walau ia mengenakan celana jeans, tapi tampilannya dari atas sampai bawah, sungguh rapi dan menarik.

"Aku dari SPA sebelah, mau makan siang bentar, tapi abis ini mau lanjut lagi. Mungkin sampai jam 3 gitu", kata Jasmina sambil sesekali mengangkat dan menurunkan buku menu itu. Terus ia berfikir, untuk apa ia jadi seaneh ini di depan Devon. Toh bukan kali ini aja cowok itu melihatnya tanpa make-up dengan pakaian seadanya. Lagian sedikit mencurigakan untuk Devon berada di tempat itu, tanpa memberi tahu. Bahkan pesan WA darinya belum ada yang dibalas.

"Lah kamu ngapain disini, rapi banget lagi. Trus kok gak bales chat aku sih?", tanya Jasmina, yang kali ini sudah menurunkan buku menu itu sepenuhnya, dan bertanya dengan memasang wajah setengah cemberut. Devon sedikit panik, namun berusaha mengendalikan keadaan. Ia memasukkan kedua tangannya di kantong celananya agar santai.

"Sorry banget belom aku bales. Ini barusan mau aku balas satu-satu. Aku mendadak dapet undangan dari dokter senior nih. Kayaknya di tertarik sama lamaran yang aku kirim ke rumah sakitnya. Ini lagi diskusi penting nih, doain yaaa". kata Devon sambil setengah berbisik ke arah Jasmina. Gadis itu terkejut antusias, dan mengangguk-angguk.

"Ya udah sana, aku mau makan dulu, bentar lagi aku harus balik ke SPA", kata Jasmina sambil kembali menutup wajahnya dengan buku Menu. Devon kembali tersenyum dengan geli.

"Ya udah hati-hati nanti balik kerumah ya. Nanti aku kabari kalo udah mau pulang. Aku balik ke ruang itu dulu yaaa", kata Devon sambil menunjuk kea rah ruang-ruang privat. Jasmina menurunkan buku menu itu sebentar untuk melirik Devon, kemudian ia mengangguk-angguk dan memberi gesture "mengusir" ke arah cowok itu.

Ketika Devon sudah memasuki salah satu ruang privat, dan makanan Jasmina sudah datang, gadis itu makan dengan perlahan sambil membuka-buka media sosialnya. Tiba-tiba ia berfikir, kenapa Devon tidak mengenalkannya kepada dokter senior itu? Apa karena saat ini ia sedang tidak berdandan pantas? "Hemm mungkin kalo aku lebih rapi, Devon juga pasti mengenalkanku sama mereka kan?", gumam Jasmina sambil makan dengan perlahan.

Devon berjalan perlahan memasuki lorong yang menuju ruang-ruang privat itu. Ketika ia sudah berada di depan pintu ruangan privatnya, Devon beberapa kali mengambil nafas berat. "Maafin aku Jasmina, aku belom bisa jelasin sekarang. Tapi ini demi masa depan aku, demi masa depan kita", gumamnya dalam hati.

Pintu dibuka, dan tampak sepasang suami istri beserta seorang gadis yang duduk di hadapan mereka.

"Ayok nak Devon, makanannya sudah dateng ini. Kata Helena, nak Devon paling suka sama sushi salmon ya?", tanya sang ibu, yang bernama Mieke Danubrata, seorang dokter spesialis anak senior.

"Helena, ayo tuangkan ocha hangat buat nak Devon. Ocha disini seger banget loh. Om paaaaaling suka kesini tuh ya, karena teh hijaunya ini", kata sang ayah sambil menunjuk poci teh yang berisi teh hijau hangat. Pria itu bernama Dirga Danubrata, seorang dokter spesialis kandungan senior. Ia bersama istrinya pendiri rumah Sakit Ibu dan Anak Bunda Zarra, yang cukup terkenal dengan kredibilitasnya dan pasien yang membludak.

"Iya dok Makasi banget. Iya dok, sushi salmon memang kesukaan Devon. Iya ayo silahkan kita makan sama-sama ya", kata Devon dengan nada yang begitu sungkan.

"Om denger kamu tertarik ya sama spesialisasi anak? Nah kamu bisa belajar banyak nih dari tante. Rumah sakit kita boleh di cek loh, mengikuti standar internasional untuk Ibu dan anak. Om mengharapkan nak Devon bisa bergabung bersama kita loh", kata sang Ayah kembali. Devon menganguk-angguk sopan.

"Terima kasih dok, saya terus terang sangat tersanjung dengan penawaran dokter. Biasanya mahasiswa yang baru lulus seperti saya ini, harus berjuang keras untuk bisa melamar ke rumah sakit-rumah sakit. Oleh karena itu, saya sangat berterima kasih sekali kepada Helena yang sudah merekomendasikan saya", kata Devon sambil melirik ke arah Helena dan tersenyum sopan. Helena tersenyum sambil menepuk pundak Devon.

"Ihhh apaan sih, gitu doank. Kita kan sobat. Ayah, Devon ini yang sudah banyak ngebantu Helen di kampus. Dari bantuin ngerjain tugas, minjemin catatan kuliah, bantuin pratikum, sampeee titip absen", kata Helena.

"Apa! Berani-beraninya kamu titip absen lagi! Jangan-jangan yang ngerjain semua ujian-ujian itu, Devon lagi ya", hardik sang ibu. Devon dan Helena tertawa geli.

"Ya kaleee Devon rambutnya panjang begini. Gak donk ibu, aku Cuma becanda. Intinya Devon ini berjasa banget. Makanya aku pikir, udah saatnya nih balas jasa sedikit ama dia. Ya gak Dev, lu mau apa lagi? Mobil, emas, atau ginjal mungkin?", tanya Helena dengan becanda. Sikunya nangkring di atas pundak Devon, seperti mereka biasa bercanda. Devon hanya tersenyum sungkan.

"Helena, jadi perempuan itu yang sopan! Turunin itu siku kamu, Devon kan jadi ga nyaman!", hardik sang ibu lagi sambil melotot kea rah Helena.

"Halahhh ibu, ini kita biasa lagi bu, namanya juga bestfriend. Biasa juga kita rangkul-rangkulan, gendong-gendongan, jambak-jambakan hahahahah", kata Helena lagi sambil memeluk lengan Devon dengan gemas. Cowok itu sekali lagi tertunduk sambil tertawa sungkan. Sang ayah memperhatikan.

"Benarkah kalian hanya sebatas teman dekat, heh?", tanya sang ayah penuh selidik. Helena langsung terdiam dan merapatkan kedua tangannya. Tiba-tiba ia sepatuh patung dengan sikap duduk sempurna, seorang putri raja yang akan di sidang. Mau tapi malu. Devon menatap sang ayah dengan pandangan tak mengerti.

"Nak Devon sudah punya pacar?", tanya sang Ayah. Lidah Devon kaku ingin menjawab, kalau nanti malam ia akan melangsungkan lamaran dengan gadis yang sangat ia cintai selama bertahun-tahun. Bahkan saat mereka berbicara, mungkin gadis itu masih ada di luar! Rasanya, ini bukan saat yang tepat untuk mengungkapkan fakta itu. Devon memandang Helena, dan gadis itu menatap tajam kearah Devon.

"Maaf loh nak Devon jadi sungkan ya, ini ayah Helena dari kemarin nanyain itu mulu. Ada-ada saja memang. Katanya gini…, wah bagus juga ya kalo ada spesialis dokter anak yang akan jadi temen deket Helena. Kan Helena mau ngambil spesialis kandungan nih, jadi klop lah itu nerusin rumah sakit kita nanti, hahahahah", kata sang ibu sambil tertawa ngikik penuh arti. Seketika Devon menjadi kaku, seharusnya ia jawab yang sebenarnya saja pertanyaan tadi. Kalau sudah begini…

"Ah udah deh ayah ibu gak usah nekan Devon begini. Masih panjang jalan kita. Wisuda aja belum loh kita", kata Helena seakan menyelamatkan muka Devon.

"Nah kapan kalian wisuda?", tanya sang Ayah.

"Sabtu depan dok, saya akan balik ke Bandung dalam 2 hari. Masih ada hal yang harus saya beresin di rumah.", kata Devon.

"Nah ya udah kalian bareng aja ke Bandung nanti sama Pak Bahar, naik mobil om saja Devon, biar santai. Nanti kamu jemput dirumah Devon ya Helen", perintah sang ayah. Devon menjadi panik.

"Ah gak usah dok, mungkin kali ini, papa dan mama saya mau ikutan ke Bandung juga, mungkin mau nginep sekalian jalan-jalan terakhir selama saya tinggal disana", jawab Devon sekenanya. Ayah dan ibu Helena mengangguk-angguk.

"Baguslah kalau begitu. Om juga pengen kenal sama mama papa kamu. Apa pekerjaan mereka?", tanya ayah Helena.

"Mereka berdua kerjanya nyari minyak dok, hehehe, tadinya kita tinggal di Brazil dan Dubai. Sekarang papa kerja di salah satu perusahaan minyak asing disini, sedangkan mama milih berhenti dan jadi konsultan dan pengajar di bidang itu", jelas Devon.

"Wow, menarik sekali. Ya udah silahkan di makan ya nak Devon. Oiya, nanti kamu bisa kan nganterin Helena pulang? Om sama tante mau langsung lanjut ke rumah sakit, kita ada meeting dadakan hari ini", perintah ayah Helena. Devon mengangguk sungkan.

"Siap dok", jawabnya. Bibirnya tersenyum, tapi hatinya sangat berkecamuk. Baru kali ini ia merasa begitu tersiksa karena harus berkata yang bertentangan dengan hatinya. Apalagi nanti malam ia akan melamar Jasmina dengan resmi. Ia kuatir akan terburu-buru kesana kemari.

"Oh, semoga hal ini tidak berlarut-larut…", gumam Devon dalam hati sambil mencoba mengunyah sushi salmon yang BUKAN makanan favoritnya.

"Demi masa depan aku dan Jasmina….", pekiknya lagi dalam hati.