Jasmina menguap di sela-sela kegiatan menyupirnya dari Jakarta menuju kota Bandung. Ia memulai perjalanan pukul 4.30 pagi, dan berharap sudah sampai di kota bandung pada pukul 8 pagi. Devon biasanya akan mengirimkan foto sarapannya biasanya pada pukul segitu. Jasmina ingin membuat kejutan kecil-kecilan untuk Devon, dalam rangka anniversarry jadian mereka di ujung jurang.
Ketika Jasmina sampai di warung yang biasa dipakai Devon untuk sarapan, tempat itu sudah mulai ramai oleh pengunjung. Beberapa dokter muda, dokter tua, mahasiswa dan pekerja silih berganti sarapan di tempat yang tidak terlalu besar itu. Jasmina menatap etalase sang penjual, dan melirik menu sarapan. Ia tersenyum melihat beberapa menu, yang fotonya sering Devon kirimkan kepada Jasmina beberapa bulan terakhir ini. Heran, cowok itu tidak pernah bosan makan disitu.
Jasmina mengambil posisi duduk di sudut, berdoa semua kedatangannya tidak terlalu mencolok. Berhubung ini hari liburnya, Jasmina mencoba sesantai mungkin. Ia mengenakan gaun bermotif tropis tanpa lengan dengan rok pendek, sebuah cardigan putih, sepatu kets putih, dengan aksesoris minimalis. Rambutnya yang panjang dan berwarna hitam, tampak bergelombang dan berkilau. Selama perjalanan, Jasmina sengaja menggelung rambut itu dengan alat khusus, agar terlihat sempurna ketika dilepaskan. Walau ia terlihat lelah dan mengantuk, make-up minimalisnya membuat Jasmina cantik natural.
"Kamu sedang apa Dev?", Jasmina mengirimkan chat WA kepada Devon.
"Baru selesai shift malam. Ini mau sarapan dulu trus pulang", jawabnya. Jasmina sudah memperkirakan sebelumnya. Biasanya di hari dan jam seperti ini, Devon baru selesai dengan urusan Rumah Sakit, dan akan segera sarapan di tempat itu. Jasmina menunggu dengan sabar. Ia hanya memesan teh hangat dan sebotol air mineral.
Tidak menunggu lama, terlihat serombongan mahasiswa kedokteran yang sepertinya baru saja keluar dari rumah sakit. Tampang mereka kusut, lelah dan tentu saja, kelaparan. Jasmina dapat dengan mudah melihat Devon, secara ia yang tertinggi di antara mereka. Dan tentu saja, yang tertampan. Ketika mereka memasuki warung makan itu, Jasmina langsung mengenakan kacamata hitamnya dan mengalihkan pandangan ke arah tembok.
"Kita duduk disana aja yuk, cukup untuk kita ber-6 nih",kata anggota yang paling pendek dan paling gemuk. Teman-teman yang lain mengiyakan tanpa banyak protes. Sepertinya mereka terlalu lelah. Meja yang mereka pilih, hanya berselang satu meja dengan Jasmina.
"Fan, pesenin aku ya, soto campur", kata teman Devon yang paling gelap kulitnya
"Gue ama Hanif sama, soto daging doank. Lu apa Dev?", tanya yang paling cerah kulitnya, namun wajahnya lebih oriental dari Devon.
"Nasi campur aja deh, pengen yang berat pagi ini", kata Devon sambil mengusap-usap wajahnya tanda ia lelah. Wajah lelah saja masih terlihat begitu ganteng! Jasmina mencoba agar air liurnya tidak menetes. Bagaimana pun ia rindu cowok itu. Sudah 2,5 bulan sejak pertemuan mereka yang terakhir.
"Dev, kita sharing aja yuk nasinya. Gue gak gitu laper. Gue pesen pisang goreng, na si pisang itu, kita sharing juga. Jadi win win lah, kita berdua dapet nasi, berdua dapet pisang juga. Gimana, giman, gimana?", tanya Helena. Ia satu-satunya perempuan yang ada di grup itu. Penampilannya jauh dari yang kak Tyas katakan. Gadis itu terlihat normal dan cantik dengan kemeja ngepas badan, jeans ngepas paha dan rambut di ikat rapi. Ia terlihat cantik, seksi dan menarik kok!
"Ahhh Hell, lu bilang aja modus mau sepiring berdua terus ama Devon. Modal dikit napa. Lu kaya tapi sukaaaa banget numpang makan ama Devon. Latihan jadi istri loh ya hahahahaha", kata teman Devon yang kulitnya paling gelap. Tiba-tiba Jasmina merasa ada larva panas yang keluar dari rongga tubuhnya. "oooo jadi begini ya selama ini. Sepiring berdua terus, hah?", gumam Jasmina dalam hati.
"Ogah, gue laper banget sekarang. Mungkin gue bakal ngabisin nasi sepiring DAN pisang goreng sepiring.", kata Devon asal sambil memencet-mencet HP miliknya. Ia mengirimkan pesan kepada Jasmina.
"Kamu udah sarapan? Ini aku baru aja mau sarapan", tulis pesan WA Devon ke Jasmina.
Gadis itu terkikik. Karena jawaban Devon kepada Helena, juga karena Devon mengirimkannya pesan. Padahal jarak antara Devon dan Jasmina, hanya beberapa meter saja!
"Aku juga baru mau sarapan. Kamu bisa kasi rekomendasi aku gak harusnya makan apa disini?", ketik Jasmina kepada Devon.
Ketika cowok itu membaca pesan Jasmina, ia senyum-senyum sendiri. Memangnya dia tahu Jasmina sedang di rumah makan mana? Ia kemudian mengetikkan kembali jawaban untuk Jasmina.
"Devon, lu WA-an terus ama pacar. Sekali-kali bawa donk, kenalin ke kita-kita. Buktiin kalo lo emang cowok sejati, selama ini emang punya pacar. No kenalin, hoax!", kata cowok yang bernama Fan itu.
"Ah eluuu Fan, emang beneran punya dia. Aku pernah liat instagram pacarnya. Cantik loh!", kata teman Devon yang paling pendek dan gemuk.
"Mana cantik ama Helena?", tanya cowok yang namanya sepertinya Irfan deh. Semua mata akhirnya menuju ke Devon. Devon yang sejak tadi mengetik pesan untuk Jasmina, menjadi tidak fokus. Semua menantikan jawaban, termasuk Jasmina. Hayoooo lebih cantik Helena atau Jasmina?
"Cantikan Helena dikit sih...", kata Devon ragu. Semua teman Devon menganga tak percaya. Jasmina yang mendengarnya, hampir menggebrak meja restoran itu. Baru saja ia akan mengangkat tangannya...
"Tapi cantikan Jasmina banyakkkkkk", kata Devon dengan mantap sambil tersenyum malu-malu, dan kemudian tatapannya kembali ke layar HP, mencoba mengetik sesuatu kepada Jasmina.
"Jasmina, aku kok kangen sama kamu ya...", begitu isi pesan Devon. Mungkin ia sedang tersulut oleh teman-temannya. Jasmina menutup mulutnya rapat-rapat, menahan tawa.
Helena kontan cemberut. Ia lalu menopangkan lengannya di bahu Devon dan mendekatkan wajah mereka. Sekilas mereka seperti sahabat karib yang sedang bercanda, namun tentu saja itu membuat Jasmina sedikit terbakar cemburu.
"Terserah siapa yang paling cantik. Gue yakin, penampilan itu bukan segalanya. Yang penting, gue ama Devon udah sama-sama ngerti isi kepala isi hati, isi dompet. Bener gak Dev?", tanya Helena sambil menggoyang-goyangkan lengannya yang terletak di pundak Devon.
Secara kasat mata, bisa dibilang badan mereka hampir menempel sempurna. Ketika Helena mengatakannya, bibirnya hampir menempel di telinga Devon. Hal itu membuat Devon risih, dan mendorong cewek itu menjauh dengan kesal. Entah kenapa, walau Jasmina kesal, tapi ia suka reaksi Devon.
"Mau sharing nasi dan pisang goreng berdua denganku?", jawab Jasmina. Devon membaca pesan dari Jasmina itu berulang-ulang. Otaknya yang masih korslet karena kurang tidur dan kelaparan, membuatnya lama memproses pesan itu. Ia menggeleng-geleng pelan sambil terus membaca pesan dari Jasmina. "Dari mana Jasmina tahu aku mau makan nasi dan pisang goreng? Apa tadi tidak sengaja terpencet panggilan, sehingga Jasmina bisa mendengar mereka berbicara?", gumam Devon.
"Aku bisa beliin kamu nasi campur, pisang goreng, atau soto daging campur. Tapi pertama-tama, singkirkan cewek centil yang nangkring di pundak kamu!" kata Jasmina lagi.
Ketika Devon membaca pesan terakhir dari Jasmina, alih-alih panik, kesal dan marah, ia langsung berdiri dengan penuh semangat. Kepalanya menyapu seluruh restoran, mirip seperti radar yang berada di airport. Ia bukan mencari pesawat, tapi mencari intel yang sedang menyelidikinya diam-diam. Ketika tatapannya kearah sesosok perempuan, ia tahu, intel itu sangat cantik.
"Woi Dev, lu mau kemana?", hardik Helena. Ia melihat Devon secara misterius, seperti mendapat wangsit tiba-tiba, berdiri dan celingak - celinguk ke segala arah.
Jasmina tahu bahwa kedoknya sudah ketahuan sekarang. Ia bersiap-siap menghadap Devon. Ia membuka kaca mata hitamnya, dan mencoba pelan untuk berdiri. Ketika mata mereka bertemu, cowok itu tersenyum tak percaya menatap Jasmina.
"Jas...kok bisa....", Devon mencoba bersuara...
"Aaa...aku... gak tau mau makan apa...", kata Jasmina serba salah sambil menunjuk menu makanan yang tertempel besar di dinding warung itu. Devon kontan mendekat ke arah Jasmina, dan secara cepat memeluknya! Devon memeluk seorang perempuan di warung yang biasa ia datangi untuk sarapan! Warung yang berisi, mungkin dosennya, seniornya, pasiennya, atau suster-suster nakal yang suka mengganggunya!
"Devon lu gila yaaaa! Meluk-meluk cewek sembarangan!", kata teman Devon yang baru selesai memesan makanan untuk mereka semua. Tapi Devon belum mau melepaskan pelukan posesifnya, sedangkan Jasmina hanya mampu berdiri tegak bak lilin. Kalau peluk balik, rasanya gak pantas, mau teriak suruh lepasin, juga kayaknya gak pantas. Ia lantas hanya memasang wajah kaget. Tidak begitu dengan Helena. Ia ikut berdiri dan menatap adegan bak sinetron picisan itu. Ada rasa aneh ketika melihat seseorang begitu dekat dengan Devon, sahabatnya.
------------------------
Jasmina berdiri canggung di kamar kost Devon. Ini bukan pertama kalinya ia masuk ke kamar Devon di Jakarta, namun ini jelas pertama kalinya ia menginjakkan kakinya di tempat kost yang sudah lebih dari 5 tahun di huni Devon. Ia ternyata tinggal bersama 10 mahasiswa lainnya, baik perempuan dan laki-laki. Mayoritas memang mahasiswa kedokteran Unpad.
"Mau minum sesuatu?", tanya Devon yang tiba-tiba muncul ke dalam kamar itu. Jasmina menggeleng-geleng pelan sambil tersenyum. Sesungguhnya ia sangat malu dan canggung. Entahlah, mungkin ia masih belum move-on dari surprise di warung makanan tadi.
Devon mengambil posisi duduk di ujung tempat tidurnya. Ia memperhatikan Jasmina yang masih menginspeksi kamarnya. Dari meja belajarnya, buku-bukunya, membuka lemarinya, dan hampir semua laci. Devon tahu sesungguhnya Jasmina bukan ini menyelidiki hal-hal yang mencurigakan. Gadis itu hanya…terlalu grogi berada di satu ruangan yang sama dengannya, tanpa pengawasan orang tua.
"Sini Jas…", kata Devon sambil menepuk tempat tidur di sampingnya. Jasmina menoleh sekilas, kemudian kembali berjalan pelan ke sudut ruangan yang belum ia inspeksi.
"Jauh-jauh kesini Cuma mau nyari cicak neng? Gak ada disini", kata Devon sambil melipat tangannya di dada. Sampai kapan nih Jasmina mau canggung-canggungan seperti ini.
"Iya tau, disini gak ada cicak, adanya buaya. Buaya darrrattt", kata Jasmina dengan bibir mengerucut. Devon kontan tertawa terbahak-bahak sambil merebahkan kakinya yang panjang di ranjangnya. Sepertinya toh Jasmina tidak akan duduk juga disitu.
"Tell me about Helena…", kata Jasmina langsung ke topiknya. Ia berhenti mondar-mandir dan bersandar di meja belajar Devon. Tangannya ia lipat di dada, dan Jasmina memasang wajah serius. Ia perlu jawaban serius.
"Hemm… Gak ada yang penting sih yang harus aku bilang. Mungkin sama tidak pentingnya membahas siapa itu Jason, Bayu, atau Marcell.", kata Devon.
"Siapa itu Marcell?", tanya Jasmina.
"Senior pas di kampus, yang suka ngirimin coklat dan bunga setiap valentine, ultah kamu,..", kata Devon dengan tampang cemburu. Jasmina terperanjat. Bahkan ia saja sudah lupa dengan cowok itu.
"Helena tinggal disini?", tanya Jasmina, mencoba menjadi wanita anggun yang tidak cemburu buta. Devon mengangguk mantap dan memasang senyum datar. Seakan-akan tidak ada yang ia sembunyikan.
"She's just a friend. Temen kost, temen se grup, temen koas, temen…",
"Temen makan pagi, siang malam, temen nonton tivi, temen belajar, dan soon temen wisuda, jangan-jangan bakal jadi temen hidup lagiiii", potong Jasmina yang akhirnya tidak bisa menyembunyikan kecemburuannya. Devon tertawa terpingkal-pingkal.
"Devon…kita mungkin udah berteman bertahun-tahun. Kita mungkin ngerasa kita udah saling mengenal luar dan dalam. Tapi kenyataannya, selama beberapa tahun terakhir ini, kita jarang sekali ketemu Dev, jarang sekali bertukar pikiran, pergi bareng, melakukan aktifitas bareng. Terus terang aku ngerasa, kita udah gak saling mengenal lagi…", kata Jasmina serius. Devon akhirnya berhenti tertawa, dan mengangguk setuju.
"Ya itu bener… tapi…", Devon ingin menjelaskan sesuatu.
"Dan sekarang, ada perempuan yang nempel kayak slime sama kamu, hari-hari sama kamu, nyaris 24 jam, dan kalian literally tinggal hanya jarak beberapa pintu. Kita coba aja hitung, beberapa belas menit lagi, pasti dia bakal buka pintu ini dan nyelonong masuk!", kata Jasmina lagi. Devon hanya mampu mengangguk-angguk, entah setuju atau tidak.
"Dan sebentar lagi kita akan menikah Dev, aku …terus terang aku kuatir.", kata Jasmina.
"Kenapa kamu harus kuatir? Kalau memang aku pengen sama dia, aku gak akan ngomong apa-apa sama kamu. Aku gak bakal repot-repot minta kamu untuk jadi pacar aku kan?", kata Devon tenang.
"Iya sih, tapi, apa aja bisa terjadi…",kata Jasmina
"Apa aja bisa terjadi kalo kita biarin. Aku gak akan biarin ada orang lain di antara kita lagi Jas, sampai kita benar-benar sama-sama. Aku… udah gak sabar untuk cepat-cepat pergi dari kota ini Jas. Aku pengen cepat-cepat pulang, ke kamu, rumah aku…", kata Devon berpuitis. Jasmina sebenarnya sedikit terharu, tapi dia gak mau ge-er.
"Iya iyalah rumah kamu. Wong rumah kamu literally, di samping rumahku. Ah Devon kamu lebaayyyy", kata Jasmina malas. Ia berpura-pura ngambek dan mengalihkan pandangannya ke arah lain, sementara Devon menahan tawanya.
"Percaya Jasmina, aku sama kuatirnya sama kamu dengan keadaan kita sekarang. Karena kita jarak jauh, penting banget menjaga kewarasan kita. Ya menurutku, kesibukan di Rumah sakit dan belajar bisa sedikit, yaaa, bukan ngelupain kamu sih. Siapa juga yang bisa lupa ama Jasmina…", kata Devon bercanda. Jasmina kontan mengambil jaket yang tersampir di kursi belajar Devon dan melemparnya ke cowok itu. Devon terpekik kaget dan mulai tertawa terpikal-pikal.
"Gombal. Udah sekarang kamu harus ngeyakinin aku, kalo kamu ga ada hubungan sama si Helena itu. Dan kamu harus janji, diaaaa, cewek itu, gak bakal jadi sandungan apa-apa dalam hubungan kita.", kata Jasmina.
"Aku janji", jawab Devon mantap sambil tersenyum. Tangannya masih terlipat di dada.
"She's no one special", Jasmina meminta konfirmasi lagi.
"Cuma Jasmina yang spesial di hatiku", kata Devon kembali, mantap.
"Kamu gak akan menyambut segala kebaikan dan niat-niat dia untuk ngancurin hubungan kita?", tanya Jasmina lagi.
"Pasti itu!", kata Devon mantap. Matanya serius, namun bibirnya menahan senyum. Ia merasa ini agak sedikit menggelikan. Tapi ya sudahlah, yang penting Jasmina yakin akan dirinya.
"Hanya aku…?", tanya Jasmina dengan tatapan lembut ke mata Devon. Cowok itu membalas tatapan lembut Jasmina.
"Selalu kamu Jas, sejak pertama aku tau kamu bukan seorang fans…", kata Devon santai. Mereka bertatapan dengan intens.
"Sebenarnya, dulu Helena pernah memberikan aku sesuatu yang sangat spesial loh. Kamu mau liat?", tanya Devon dengan wajah kuatir. Tangannya mencoba merogoh sesuatu di laci samping tempat tidurnya. Jasmina menatap laci itu dengan serius.
"Sini, coba liat deh", kata Devon sambil melambai ke arah Jasmina, meminta gadis itu untuk mendekat ke arah laci di samping tempat tidurnya. Jasmina berjalan mantap dengan agak emosi. Benda apa yang kira-kira begitu spesial hingga di simpan Devon di samping tempat tidurnya? Jasmina menggeretakkan giginya dengan geram.
Begitu Jasmina melongok ke arah laci itu, Devon dengan sigap menarik pinggang Jasmina sehingga gadis itu mendarat mantap di pangkuan Devon! Jasmina memerlukan waktu beberapa detik untuk mencerna apa yang terjadi. Ketika ia sadar, Devon sudah memangku dirinya, dan memeluk erat pinggang dan punggungnya denga erat! Ternyata! Ini hanya akal-akalan mesum Devon agar mereka bisa seperti ini…
"Devon! Lepasin aku! Lepasin akuuuu! Gimana nanti kalo ada yang masuk, ibu kost masuk, siapa aja yang masuk Devonnnn! Lepasinnnn!", Jasmina meronta-ronta. Tapi Devon tidak bergeming. Ia rapatkan wajahnya di punggung Jasmina dengan posesif sambil mengeratkan pelukannya.
"Biarin begini bentar pliss….aku…kangen banget sama kamu Jas. Udah lama banget aku pengen peluk kamu begini. Aku… aku sayang banget sama kamu…", kata Devon lirih...matanya terpejam, menikmati kedekatan mereka.
"Kamu mungkin gak tau gimana sakitnya persaan kamu liat kamu sama Miko, liat kamu sama Bagas, liat kamu terombang-ambing perasaan antara milih Miko atau milih Bagas. Padahal aku pengen jadi pilihan kamu satu-satunya Jas… tapi kamu waktu itu…", Devon tidak mampu meneruskan kalimatnya.
Jasmina terdiam. Kali ini, ia membalas pelukan Devon. Andai saja ia tahu lebih awal, andai saja ia tidak perlu jatuh cinta pada orang-orang yang salah…
"Tapi aku yakin, semua itu ada hikmahnya. Kamu udah ngelaluin banyak hal…"
"Dan kamu yang selalu sama aku Devon, kamu selalu ada buat aku. Dan aku pengen kamu akan selalu ada untuk aku hari ini, besok,…",
"Selamanya", sambung Devon. Mata mereka bertemu. Akhirnya mereka sama-sama tersenyum, seakan curahan kasih sayang dan kerinduan yang selama ini terbelenggu, meleleh pada satu tatapan itu…
"My love for you is so huge, there is no place for others (Cintaku sangat besar untukmu, tidak ada tempat bagi yang lain)",kata Devon.
"Kadang aku kuatir, because you're so beautiful and kind hearted", kata Jasmina sambil mengelus pipi Devon. Itu yang sebenarnya. Jasmina selalu merasa insecure bila bersama siapa saja. Dulu ketika ia menyukai Miko, ketika berpacaran dengan Bagas, apalagi ketika ia dengan Devon. Siapalah Jasmina sehingga bisa menjadi sosok yang spesial di mata cowok setengah bule itu? Ketika akhirnya ia sudah mulai merasa percaya diri, sekarang ia kembali merasa kuatir… ia kuatir Devon akan berpaling.
"Inget aku pernah bilang dulu kan? Ketika aku ngeliat masa depanku, aku sedang menggenggam tangan seseorang, memeluk seseorang, aku hanya ngeliat kamu Jas. Gak ada yang lain…percaya sama aku ya. Kita lalui beberapa bulan ke depan ini, dan aku akan jadi milik kamu…"
"Seutuhnya?", tanya Jasmina.
"Selamanya…", jawab Devon. Dari dulu, cowok itu memang irit berkata-kata romantis. Jadi hari ini, sepertinya dia sudah mengatakan terlalu banyak. Sampai akhirnya Devon memutuskan untuk mencium Jasmina dengan lembut sambil terus memeluk posesif gadis itu. Jasmina membalas ciuman itu dengan penuh kehangatan.
Ciuman hangat itu akhirnya berubah menjadi ciuman yang panas. Tangan Devon mulai meremas pinggang dan tengkuk Jasmina. Begitu juga Gadis itu. Tangannya yang tadi berkalung di leher Devon, sekarang sudah meremas kepala cowok itu dan meremas pundak Devon. Nafas mereka memburu. Tepat saat itu…
"Dev, lu mau batagor gak!", Helena masuk tiba-tiba.
Jasmina yang melihat ini sebagai sebuah kesempatan, tambah mencengkeram rambut dan pundak Devon, dan meliarkan ciumannya. Devon pun tidak sedikitpun melonggarkan ciumannya, dan kembali menyambut ciuman Jasmina dengan panas.
Helena masih bersabar menunggu jawaban Devon, karena iya yakin, tak mungkin cowok itu tidak mendengarnya. Lima detik, sepuluh detik, lima belas detik, kapan sih ciuman ini berakhir? Tapi Helena belum mengalihkan pandangannya sedetik pun dari sepasang kekasih itu.
Ketika ia yakin kalau ia hanya menjadi nyamuk di kamar itu, Helena akhirnya keluar sambil membanting pintu. Ada rasa sesak di dadanya melihat sahabatnya berciuman dengan pacarnya. Eh ralat. Calon istrinya. Siapa dia sehinggak berhak untuk marah? Toh mereka hanya SAHABAT.
Ketika pintu itu dibanting, Jasmina tahu kalau ia sudah menandai wilayah kekuasaanya. Seperti kucing yang menandai daerahnya dengan buang air kecil di beberapa tempat, Jasmina melakukannya dengan ciuman panasnya.
Ya, setelah ini, tidak perlu fokus dengan hal-hal yang bisa mengganggu hubungan jarak jauh ini. Kecemburuan, kesalah pahaman, egois yang berlebihan, hanya membuat hubungan jarak jauh ini menjadi terlalu berat. Jasmina berjanji akan lebih fokus kepada persiapan memantapkan hubungan mereka saja.
"Mau menginap di kamar ini malam ini?", tanya Devon nakal.
"In your dream Dev!", kata Jasmina sambil mencubit perut rata Devon.