Chereads / Pacaran Paksa (Dengan Ketua OSIS) / Chapter 91 - BAB 8: Masih Cemburu Buta

Chapter 91 - BAB 8: Masih Cemburu Buta

Jasmina sedang menempelkan kepalanya ke meja kerjanya yang tampak berantakan. Tepatnya, memaku dahinya di atas dokumen-dokumen setinggi 1 inchi yang harus segera ia baca, kaji, revisi, lempar ke tim, baca lagi, dan tanda tangan. Semuanya sebelum makan siang, padahal ini saja sudah pukul 9 pagi. Susu coklat hangatnya sudah habis, dan ia kehabisan snack untuk melalui masa-masa stress di hari Rabu yang padat ini.

Hal lain yang membuatnya begitu lelah adalah, percakapan aneh yang dilakukannya bersama Devon kemarin masih terngiang-ngiang. Kemunculan suster ngesot yang tiba-tiba di belakang Devon kemaren bener-bener membuat Jasmina trauma. Seakrab itu kah mereka sampai sang suster dengan santainya mendaratkan dagunya di pundak Devon? Apakah sebegitu bebasnya Devon dan teman-temannya di sana dengan kontak fisik mereka?

Padahal bila di hitung-hitung, Jasmina dan Devon cukup "cool" selama mereka dekat. Bahkan ketika mereka mendeklarasikan sebagai sepasang kekasih kurang dari 2 tahun yang lalu pun, mereka tidak menganggap kontak fisik berlebihan diperlukan. Baru setelah ia dilamar, Devon mulai memberanikan diri. Dan terjadilah, ciuman pertama Jasmina, yang ternyata juga pertama untuk Devon.

Jasmina tahu, ia harusnya bisa bersabar mendengar penjelasan Devon (lagi). Ia yakin semua itu hanyalah salah paham. Pasttiiiii ada penjelasan yang sangat logis di balik semua: Dibalik seorang cewek tiba-tiba masuk ke dalam kamarnya, dibalik seorang suster bersandar di pundaknya. Lalu berikutnya apa? Seorang wanita memeluk dan menciumnya? Penjelasan apa yang bisa Devon berikan?

"Mbak Jasmina, ini hasil rapat marathon kita kemaren ya. Ada 3 minutes of meeting (hasil rapat), aku kasih judul berbeda untuk tiap meeting ya. Tapi bentar lagi Pak Jason mau ngomong soal event Jum'at ini sama akuntan publik punya suami bu Cecilia itu. Katanya hari ini bakal ada perwakilan dari kantor mereka untuk meeting sama Mbak Jas. Namanya mbak Agnes dan siapa gitu", kata salah satu anggota tim Jasmina yang ikut meeting bersamanya hingga pukul 10 malam kemaren.

"Thanks ya Ghe, nanti kamu mau temenin aku makan siang sama pihak akuntan public itu kan?", tanya Jasmina. Ghea menggeleng-geleng cepat dengan senyum jokernya. Untuk apa? Kalo cowok, mungkin Ghea akan mempertimbangkannya. Huh dasar nih anak-anak baru, kok ya males meeting lunch ama klien. Jasmina mengangguk sambil mengusir-usir gadis mungil itu. Dengan riang, Ghea berjalan santai meninggalkan atasannya yang sedang stress berat itu.

Ketika Jasmina menghidupkan HP miliknya tadi pagi, ia tidak menemukan satupun pesan dari Devon. Tidak satupun! Hatinya kecewa, seakan jantung dan organ-organ penting lainnya tenggelam ke dasar laut hitam. Kemaren, setidaknya Devon mengirimkan belasan pesan yang sedikit menghibur Jasmina dan setidaknya cowok itu mencoba menelfonnya berkali-kali. Tapi kali ini... ah sudahlah. Jasmina akhirnya tenggelam membaca satu persatu dokumen itu, dan mulai mengerjakan "sihirnya". Setidaknya kesibukannya hari ini akan mengalihkan perhatiannya.

"Jasmina, jangan lupa untuk ngirim proposal ke alamat email yang udah aku WA tadi ya. Kasih mereka pilihan menu-menu makanan yang bagus, serta bentuk acara yang cocok. Sepertinya mereka mau acara makan malam berbalut acara pemilihan akuntan king akuntan queen gitu deh. Mirip sama acara Super Power Electronic yang kita gelar tahun lalu. Get it?", perintah Jason kepada Jasmina. Jasmina mengangguk.

"Siap Jaze, jadi aku bikin format acaranya mirip ya sama tahun lalu, tapi aku masukin konsep makan malamnya juga ya. Ala carte kan? Aku kasih pilihan Western atau Chinese food ya? Jum'at malam di hall gedung mereka. Benar?", tanya Jasmina.

"That's Right! Jangan lupa setelah kirim proposal, bikin janji makan siang sama Agnes or whatever itu ya. Emailnya udah aku kasih. Aku mau nemenin bu Cecilia dulu ke seminar departemen perdagangan. Byeee", pamit Jason. Jasmina mengangguk-angguk lemas melihat atasannya itu pergi. Baiklah, mari mulai menyangkul.

---------------------------------

Waktu telah menunjukkan pukul 12.05. Jasmina mencoba mengingat sesuatu yang penting, tapi gagal. Ia yakin ini akibat perutnya yang sangat keroncongan setelah berjam-jam berkutat dengan proposal, proposal, proposal dan puluhan email yang harus ia balas. Bahkan sekarang matanya berkunang-kunang menatap non-laptop. Ia mengerjab-ngerjab matanya untuk merampas siapa saja yang bisa mengajaknya makan siang. Rania... oh iya benar Rania. Dimana gadis itu?

"Jasmina! Ayo kita makan siang cepat. Di kantin bawah aja yuk. Aku ada meeting penting jam 1", kata Rania sambil menyeret calon kakak iparnya itu. Pas banget memang si bule muncul.

Rania tiba-tiba saja mendapatkan proyek manajemen krisis lagi. Berkat kasus Intan Hijau Land yang lalu, nama Cecilia Adnan Marcomm tiba-tiba saja naik daun di kalangan perusahaan-perusahaan besar. Kali ini yang memerlukan mereka adalah sebuah pabrik plastik yang tiba-tiba kedapatan membuang limbah di sekitar sungai di daerah Jawa Barat. Kasus yang lebih besar ini akan membuat gadis itu sibuk. Semoga saja kasus itu tidak mengajak tim dari divisi lain. Jasmina saja sudah kelimpungan sekarang.

"Hari Jum'at ini ada event sama akuntan publik suami bu Cecilia ya? Aku diajakin gak Jez?", tanya Rania sambil memeluk pinggang Jasmina. Jasmina tersenyum sinir menatap Rania. Sudah dia duga, pasti gadis itu ada maunya.

"Kenapa? Kamu mau ikut bantu-bantu?", tanya Jasmina. Rania yang saat ini sedang memencet bel lift untuk turun ke basement, langsung senyum-senyum penuh arti.

"Katanya mau kawin sama orang kaya, ya jangan sama akuntan donk. Mereka tuh sama kayak kita Ran. Makan gaji!", jelas Jasmina sambil memasuki lift. Di dalam, sudah ada beberapa rekan mereka yang sepertinya akan kabur untuk makan siang juga.

"Eh, Katanya Ghea, anak pak Abraham cakep. Namanya Bastian", kata Rania terkikik. Rania mendengar gosip-gosip dari rekannya, bila anak sang pendiri akuntan publik itu cakep dan gagah. Jasmina langsung menoleh menatapnya geli. Jadi Rania sedang mengincar salah satu pewaris Akuntan Publik Abraham & Adnan.

"Aku mana tau nanti dia ada atau enggak di acara ini. Aku gak pernah denger tuh sama yang namanya Bastian. Aku aja baru nyadar kalo ini perusahaan suaminya bu Cecilia.", jawab Jasmina.

"Makanyaaaa ajakin aku ya. Aku rela bantu-bantu kamu. Jadi apaaaa aja", kata Rania memohon. Jasmina sebenarnya malas. Tapi ia memiliki ide cemerlang. Saat ini mereka sudah sampai di lantai basement dan mencoba berjalan ke arah kantin gedung itu. Sebuah ruangan yang cukup luas, ber-AC dan bersih. Mirip seperti foodcourt dengan aneka makanan yang sehat dan lezat. Tampak ruangan itu hampir penuh oleh karyawan dari kantor Jasmina dan beberapa kantor yang menyewa di gedung yang sama.

"Ok... nanti bakal ada acara games-games atau pemilihan miss miss mister mister gitudeh. Kamu... jadi MC yaaaa", pinta Jasmina. Rania melotot dengan kesal. Ia paling malas bila harus menjadi MC di acara resmi seperti itu. Apalagi bila ia harus berbicara dengan bahasa Indonesia. Tidak semua orang mengerti logatnya yang seperti Cinta Laura dan kosa katanya belum begitu banyak.

"No no Jaz... not the MC. Penerima tamu aja bagaimana?", pinta Rania.

"Ah ogah, rugi donk kalo cuma jadi patung di depan doank. Gimana? Kalo kamu setuju, nanti aku jodohin deh kamu sama Bastian Abraham itu", kata Jasmina memberi penawaran yang susah di tolak oleh Rania. Akhirnya gadis setengah bule itu mengangguk sambil memeluk tangan Jasmina. Baru saja Jasmina dan Rania hendak memesan makanan…

"Jasmina...Jasmina…", seru sebuah suara yang sangat familiar. Jasmina tersentak, dan refleks membalikkan tubuhnya ke arah sumber suara. Devon! Cowok itu berdiri di depan pintu masuk kantin. Ia mengenakan kemeja biru muda yang ngepas di badannya, menampakkan betapa kokoh tubuhnya dengan balutan otot di torso dan lengannya. Perut dan pinggangnya yang ramping begitu nyata, karena kemeja itu ia masukkan dengan rapi ke celana jeans berwarna biru tua. Penampilannya seakan menegaskan betapa kakinya jenjang dan badannya kokoh. Lengan panjang kemeja itu di gulung hingga hampir ke siku, menampakkan tangannya yang putih dengan urat-urat membiru dan indah. Manusia indah itu ada di depan Jasmina!

"Ya ampun Devon! What in the world... kok lo bisa ada disini?", tanya Rania sambil tergelak. Devon tidak mengindahkan komentar Rania. Ia terus saja berjalan ke arah Jasmina. Saat ini Jasmina sungguh tidak tahu harus bersikap seperti apa. Kaget, iya. Ia tidak menyangka di depannya ini ternyata benar-benar Devon, pacarnya. Kapan ia datang, bagaimana ia datang, sama siapa dia datang dan KENAPA dia datang?

Tiba-tiba entah bagaimana, kemarahan, kekesalan, kecemburuan, kebingungan Jasmina akan Devon, menguap semuanya. Hilang begitu saja karena kerinduan dan hasrat ingin memeluk cowok itu begitu kuat. Bolehkah? Bisakah ia memeluknya sekarang di tengah-tengah rekan-rekannya? Ada CCTV kah yang terhubung ke kantor Jason atau Bu Cecilia kah?

"Jasmina, makan siang sama aku yah... Aku selalu pengen tahu kamu makan siang apa dan sama siapa kamu selama ini… aku… aku pengen tahu segala hal tentang kamu…", kata Devon dengan lembut. Ia tiba-tiba menggapai salah satu tangan Jasmina.

Tangannya sedikit bergetar, karena Devon terlalu antusias. Ia menyetir mobil pinjaman dosennya selama 4 jam dari Bandung menuju kantor Adelia. Semuanya hanya untuk ini, menggenggam tangan gadis itu, meminta maaf dengan tulus dan menjelaskan kesalah pahaman yang terjadi di antara mereka.

"K..K...kamu kok bisa sampe disini? Kamu ama siapa Dev?", tanya Jasmina mencoba mencairkan suasana. Sesungguhnya saat ini pun ia grogi luar biasa. Tangannya bergetar dan matanya berkedip-kedip dengan lebih cepat. Apakah ini mimpi? Bahkan di dalam mimpinya, Jasmina tidka pernah menyangkan Devon SANGGUP berbuat sesuatu seperti ini. Tanpa ia sadari, sekarang setengah isi kantin sedang memperhatikan momen baper ini. Jangan sampai ada yang membuat video viral lagi dari ini.

"Gak ada Jas, aku cuma... mau ngajakin kamu makan siang hari ini. Aku gak punya banyak waktu. Aku udah harus ada di Bandung kembali jam jam 8 malam. Aku ada giliran jaga. Kamu mau kan makan siang sama aku?", tanyanya kembali, seakan saat itu, hanya mereka saja berdua di kantin itu. Atau mungkin di dunia ini, yang lainnya ngontrak. Jasmina tiba-tiba melayang. Ia tidak menyangka Devon bisa begitu romantis dengan muncul tiba-tiba seperti ini.

"Awwww romantis banget sihhh kalian berdua!!!", komentar Rania sambil memukul punggung sang abang. Kontan Devon terbatuk-batuk dan baru tersadar selama ini ternyata Rania ada di samping Jasmina.

"Ya udah ayo kita makan cepet, aku ada meeting abis ini. Jasmina juga sibuk banget. Ayo udah kalian mau pesen apa, biar aku yang beliin. Nasi goreng ya semua ok ok ok?", tanya Rania lagi.

Jasmina dan Devon tersenyum malu-malu bak anak SMA yang ketauan pacaran di kantin sekolah. Masih sambil berpegangan tangan, Devon menuntun Jasmina untuk duduk di salah satu meja yang masih kosong.

"Apa aja Ran, kayaknya makanan apa aja enak hari ini", kata Devon sambil menatap lurus penuh arti ke mata Jasmina. Gadis itu tersipu malu dan bolak-balik menjauhkan pandangannya dari mata Devon. Ia kuatir tidak dapat mengontrol warna pipinya, yang pasti sudah merona sekarang. Ia bisa merasakan dirinya menghangat. Ingin rasanya ia membawa Devon kabur ke tempat lain saat ini dan membiarkan mereka berdua. Tapi Rania benar, mereka tidak punya banyak waktu. Dan ia juga lapar…

"Kamu kok nekat sih dateng pulang hari kayak gini? Gak pernah-pernahnya kamu begini...", kata Jasmina setengah berbisik.

"Kamu juga gak pernah-pernahnya ngambek sampe begini…", kata Devon lagi sambil mengelus-elus tangan Jasmina. Gadis itu kontan menahan tawa gelinya. Ia merapatkan bibirnya dan mencuri-curi pandang ke mata Devon, yang jelas-jelas tidak mengalihkan tatapannya ke arah Jasmina sedetikpun. Ternyata sekali-kali ngambekan, ada hasilnya juga ya.

"Jasmina, aku...aku pengen jelasin...", Devon mulai ingin menjelaskan, setelah ia mengambil nafas super panjang. Untuk inilah ia datang.

"It's ok Devon, aku yakin sebenarnya pasti cuma salah paham. Pasti pas kejadian, gak hanya satu suster yang meluk kamu sebenarnya kan? Abis telfon mati, kamu di terjang ama lusinan suster kan?", kata Jasmina bercanda sambil melepaskan genggaman Devon. Ia kemudian melipat tangannya di dada. Devon menahan tawanya.

"Hayooo apa? Jangan bilang perempuan yang masuk ke kamar kamu itu sebenarnya anak bu kos yang di jodoh-jodohin ama kamu? Bayar uang kos pake kecupan kiri kanan tiap pagi. Bener gaaakk?", tanya Jasmina sambil sewot. Tentu saja cuma bercanda. Devon tertawa pelan sambil merampas kembali tangan Jasmina.

"Jasmina, aku gak pernah nyangka kalau bakal ada masalah sama kita kayak gini. Padahal selama ini kita baik-baik aja kan?", tanya Devon. Jasmina terdiam. Memang, hubungan mereka bertahun-tahun nyaris tanpa konflik. Smeua asik-asik saja, selalu happy-happy saja. Tapi Sebenarnya mereka tidak baik-baik saja. Selama ini terkesan baik, karena mereka memiliki ekspektasi yang sangat rendah akan hubungan mereka. Sudah sukur bisa telfonann sekali-kali. Sudah sukur bisa bertemu tiap liburan, atau tiap 2 bulan sekali. Sudah sukur ini, sudah sukur itu.

"Mungkin secara gak sadar, kita menginginkan yang lebih sekarang Dev. Mungkin karena...kita sekarang lebih menyukai satu sama lain...ehrrmmm, mungkin?", tanya Jasmina malu-malu. Ya, itulah mungkin penjelasan paling logis sekarang. Kata orang, cemburu tanda suka. Kuatir tanda sayang. Takut kehilangan, tanda cinta. Wajar kan bila sekarang keinginnan mereka untuk lebih posesif terhadap satu sama lain lebih menggebu?

"Iya sih, tapi toh dalam beberapa bulan lagi kita akan menikah Jaz, kita nanti akan selalu bersama-sama. Coba kamu fokus aja ke hari itu, the DAY, dan kita lewati hari-hari menuju kesana dengan sesantai mungkin, kita kerjain apa yang harus kita kerjain dengan fokus, agar pas hari H, kita bisa lebih tenang.", jelas Devon. Jasmina paham, yang Devon katakan benar sekali.

"Tapi Dev, banyak hal yang bisa terjadi dalam 11 bulan ini. Aku sebenarnya bersyukur dikasi kerjaan yang gak ada habisnya, sehingga waktu bisa berputar begitu cepat. Tiba-tiba udah pagi, tiba-tiba udah sore, tiba-tiba udah malam. Semoga saja waktu berjalan begitu cepat, hingga tiba-tiba hari pernikahan kita terjadi. Tapi, di hari-hari begitu, aku tetap ...erhhmm... rindu sama kamu Dev", kata Jasmina yang tiba-tiba memelankan suaranya. Beberapa rekan kerjanya ternyata cukup kepo dan memperhatikan mereka.

"Aku juga rindu", kata Devon sambil menopangkan wajahnya dengan salah satu tangannya. Ia memberikan senyum mautnya kepada Jasmina. Ia tidak perduli betapa begitu banyak wajah yang mengagumi kegantengannya.

"Bukan cuma rindu Dev, tapi...apa ya... mungkin selama ini kita jarang sharing soal hal-hal di sekitar kita. Jadi pas aku liat sesuatu yang aneh, aku jadi takut. Takut kita gak bisa sampai ke....erhhmmm...pelaminan nanti", kata Jasmina sambil berbisik. Memikirkan soal pelaminan, hati Jasmina berdesir. Uhhh frustasi banget. Kenapa gak cari tempat lain aja sih?

"Iya, mungkin juga. Aku minta maaf selama ini gak cerita soal keadaan aku ya. Ya aku akan usahain ngenalin kamu sama semua orang yang ada di dekat aku, biar kamu ga salah paham. Aku sumpah, aku gak pernah macam-macam. Kalau orang mau macam-macam sama aku, bukan urusan aku ya",kata Devon sambil tersenyum jahil. Jasmina mencubit lengan cowok itu.

"Ouucchhh", katanya sambil tertawa mengikik. Setidaknya perjuangannya hari ini sedikit membawa hasil. Jasmina sudah tidak ngambekan lagi. Dan semoga saja setelah ini komunikasi mereka lebih baik lagi.

"Makanya! Jadi pacar tuh pengertian dan perhatian donk! Pacar baik kayak gini di anggurin!", kata Rania sambil menepuk kembali pundah Devon. Setelah itu, ia mengisyaratkan salah satu pelayan untuk membawakan pesanan-pesanan mereka.

"Okey, Rania jadi saksi ya, mulai sekarang, kita harus lebih terbuka dan komunikatif. Nanti abis makan siang, aku akan bawa kamu keatas sebentar. Aku akan kenaliiiiiinnn kamu sama semua orang di kantor aku, biar mereka tau betapa gantengnya pacar aku. Ok? Kita harus berusaha untuk mengurangi salah paham di antara kita. Ok?", Kata Jasmina sambil merentangkan tangannya seluas-luasnya. Devon mengangguk-angguk setuju sambil mengambil sepiring nasi goreng dari nampan Rania.

"Oke, siap. Aku juga akan berusaha untuk…", kata Devon.

"Nona Jasmina! Aku udah nungguin kamu dari tadi. Ternyata kamu disini ya…", seru suara yang juga tampak familiar dari arah pintu kantin. Jasmina dan Devon tercekat menoleh ke arah sumber suara. Bagas Pramudya, sang ketua OSIS.