Chereads / Pacaran Paksa (Dengan Ketua OSIS) / Chapter 83 - BAB 83: Ada Apa Dengan Devon?

Chapter 83 - BAB 83: Ada Apa Dengan Devon?

Beberapa hari sebelum acara pernikahan Naga Bonar dan Tyas…

Devon dan beberapa rekan di kelompok koas sedang berdiri tegak tanpa dengan menatap salah satu keluarga pasien yang berada di ruangan VIP rumah sakit pemerintah di kota Bandung itu. Ruangan VIP yang luas dengan interior ruangan yang cukup kuno, seakan membuat suasana begitu angker. Hanya suara AC yang sepertinya sudah lama, menderu agak keras sehingga bisa mengisi kekosongan ruang yang sunyi itu. Sunyi setelah isakan tangis keluarga pasien itu terhenti setelah sang pasien menghembuskan nafasnya yang terakhir.

Keluarga pasien itu hanya 1 orang. Hanya satu orang yang telah setia menungguinya selama satu minggu terakhir. Wanita yang Devon taksir berusia sekitar 40an itu selalu setia pagi siang dan malam menunggui pasangannya itu. Pasien penyakit jantung dan paru-paru basah itu sebenarnya kondisinya mulai membaik, karena itu ia bukan pasien ICU. Hanya perlu pemulihan setelah operasi jantung. Namun 2 hari terakhir, kondisinya diperparah oleh paru-paru basah yang cukup tiba-tiba. Kondisinya langsung menurun drastis, dan beliau meninggal tenang dalam keadaan tidur. Suster baru menyadarinya ketika memeriksa pasien pada pukul 3 pagi, namun semua sudah terlambat. Sang wanita yang terbangun oleh huru-hara di dini hari itu, tampak sangat terpukul.

Sejak dinyatakan meninggal, keluarga pasien meminta agar diberi waktu beberapa jam agar ia bisa duduk dan mencerna semuanya, sambil memandangi lelaki tampan yang sudah tidak bernyawa itu. Untung saja asisten sang wanita sigap dan mengurus segala urusan administrasi rumah sakit dan proses pemakanan sang pria yang akan berlangsung beberapa jam lagi. Semua sudah beres. Ijinkanlah ia berpamitan sebentar di kamar yang sudah mereka huni dalam sepekan ini.

"Dia meninggal dengan tenang kan?", tanya sang wanita yang ternyata bernama Bu Laras kepada Devon dan rekan-rekan di tim koasnya. Mereka ditugaskan untuk menemani sang wanita sampai tiba waktu ambulans menjemputnya untuk proses pemakaman.

"Iya bu, tenang sekali seperti tidur. Insya Allah beliau tidak merasakan sakit apapun", kata salah satu rekan Devon mencoba menghibur sang ibu.

"Syukurlah, sejak dulu, cowok ini gak tahan sakit. Badannya saja yang kekar, tatonya banyak. Tapi kalo disuntik, bisa ketakutan setengah mati!", kata sang ibu dengan senyum yang lirih.

"Mau operasi kemaren saja, syaratnya banyak banget… hadehh…", katanya lagi sambil tersenyum lebih mengembang. Tanyannya mengelus-elus sang almarhum dengan lembut. Mereka begitu saling mencintai, sampai maut memisahkan mereka.

"Luar biasa ya bu, perjuangan kalian berdua. Cinta yang abadi. Saya iri bu", kata salah satu rekan wanita Devon yang terkenal paling baper dan bucin. Sang ibu tersenyum manis ke arahnya. Ia mengangguk.

"Ya, dia memang cinta abadi saya. Andaikan kami sempat menikah…", katanya lirih yang disambut oleh rasa kaget luar biasa dari Devon dan rekan-rekannya. Sang ibu sudah menduga, kalau reaksi para calon dokter itu akan terkejut seperti itu.

"Kaget ya? Iya, saya sama Aa Bima tidak pernah menikah. Kami bersahabat sejak SMP dan SMA. Selalu satu sekolah, dan kami juga tinggal di tempat yang berdekatan. Hubungan kami udah seperti kakak dan adik yang selalu kompak. Dimana ada Bima, selalu ada aku. Dimana ada aku, Bima selalu mengekori. Temen-temen selalu menjodohkan kami. Tapi kami pikir, ahhh yang bener aja. Udah kayak saudara ini", katanya memulai cerita sedihnya. Devon dan rekan-rekannya mendengarkan dengan seksama. Mereka tau, cerita setelah ini pasti lebih memilukan.

"Ketika lulus SMA, orangtuaku mengirimku sekolah ke singapur, sedang Aa Bima kuliah di ITB sini. Dia selalu ingin jadi arsitek, sedangkan aku selalu ingin menjadi designer. Ketika aku berpisah, baru aku menyadari kalau aku rindu sama dia, dan mungkin juga suka. Berkali-kali aku berusaha untuk menjalin hubungan dengan orang lain, tapi pikiranku selalu ke Aa Bima. Tapi yang aku denger malah, dia jadi inceran cewek-cewek di ITB, dan hahahahah dia justru bolak-balik ganti pacar", katanya lagi.

"Trus ibu nyatain gak? Maksudnya, apa ibu akhirnya ngaku sama beliau kalo ibu sebenarnya suka sama dia?", tanya rekan Devon yang baper tadi. Ia seperti seorang fanatic Novel yang tidak sabar menunggu cerita berikutnya.

"Ya enggak donk, gengsi waktu itu. Aku malah akhirnya berantem sama dia dan benci banget. Hobinya gonta-ganti pacar mulu, sedangkan waktu itu aku malah menghindari cowok-cowok yang deketin aku. Aku sebenarnya berharap sih, aku di deketin juga dengan Aa Bima dan dijadiin pacarnya. Walau Cuma sebentar aja", jawabnya lirih.

Devon jadi teringat akan Jasmina yang menghiba-hiba agar dijadikan pacar sementara kak Miko. Masa-masa di mana Jasmina berharap bisa bertahta di hati kak Miko walau Cuma sekedar, seakan sekedar menghapus rasa penasaran saja. Toh akhirnya Miko menyukai Jasmina, syukurnya di saat yang tidak tepat. Di saat Jasmina sudah berlabuh ke hati yang lain. Hati Bagas, hati Devon, ah entahlah yang jelas syukurlah perasaan mereka akhirnya tidak bersatu.

"Akhirnya ketika lulus kuliah, aku menerima pinangan orang yang dijodohkan oleh kedua orangtuaku. Padahal saat itu kalau saja Aa Bima melamarku, orangtuaku pasti sangat setuju. Karena mereka sudah mengenal Aa seperti mengenal anaknya sendiri. Tapi cowok itu tidak kunjung melamarku. Jadi harus gimana donk? Jangankan melamar, mendekatiku lebih dari seorang teman saja tidak. Ya sudah aku harus move on kan?", tanyanya dengan senyum lemas dan masih mengelus pungung tangan sang almarhum.

"Ternyata setelah aku menikah, aku baru mengetahui kalau Aa itu sebenarnya menyukaiku. Selalu menyukaiku malah. Tapi ia kuatir akan menodai hubungan persahabatan kami yang sudah terlalu lama. Ia kuatir hubungan kami akan kikuk bila ada percikan-percikan asmara di antara kami. Ia sama sekali tidak menyangka kalau sebenarnya aku juga suka sama dia. Akhirnya malah setelah aku menikah, ia memutuskan pacarnya, dan selalu sendiri sampai beberapa bulan yang lalu…", kata sang ibu kembali meneruskan ceritanya.

Sekarang air mata menggenang di pelupuk matanya. Ia seka berkali-kali dengan satu tangannya. Devon dengan sigap memberikan sang ibu sekotak tisu dengan logo rumah sakit. Sang ibu berterima kasih.

"Perkawinanku tidak bahagia, walaupun suamiku baik sekali. Kadang aku suka mencari tau tentang Aa, tapi terlalu gengsi untuk berhubungan lagi dengannya. Dia tidak pernah menikah, bahkan pacaran lagi. Aa Bima jadi gila kerja, walau sukses, dia kesepian dan jadi mudah sakit. Aku prihatin, tapi aku ga bisa mendekat. Aku perempuan bersuami", katanya sambil terisak.

"Beberapa bulan yang lalu, suami saya meninggal karena kecelakaan di pabrik. Kejadiannya tiba-tiba, aku sempet shock. Syukurlah anak-anak sudah cukup besar dan membantu menenangkan saya. Salah satu dukungan mereka adalah, justru membawa Aa Bima ke hadapan saya. Kami jadi berhubungan baik lagi.", kata sang ibu yang saat ini isakannya mulai berhenti.

"Aa mulai menyatakan cintanya yang terpendam sejak SMA, dan aku juga entah kenapa jadi berani mengutarakan kekesalan aku karena menunggunya terlalu lama. Ternyata ego, gengsi, malu, sungkan, kadang itu semua gak penting dan gak perlu dalam hal perasaan. Kita bisa kehilangan momen penting.", katanya lagi.

"Ketika Aa akan menjalani operasi jantung, ia sudah melamarku, dan kami berjanji akan melangsungkan pernikahan sederhana begitu ia keluar dari tempat ini. Yah, sekarang kami akan meninggalkan tempat ini, tapi Aa sudah tidak sakit lagi… tapi juga sudah tidak bisa menemani aku lagi…", katanya mulai terisak lagi. Salah satu rekan wanita Devon mulai memeluk pundaknya yang bergetar hebat menahan tangis.

"Aku bilang, Aa sih, telat mulu. Coba kalo dari dulu bilang suka sama aku, bilang mau kawin sama aku, mungkin anak kita udah 5 Aa,udah pada gede-gede juga. Sekarang udah tua begini, mana bisa Aa punya anak lagi sama aku", katanya lagi sambil menggenggam tangan almarhum dengan lembut.

"Makanya kalian ya, kalo sekarang punya pacar dan uda rencana mau ngabisin waktu bersama-sama, cepet-cepet ditentuin tanggalnya. Kalian yang belum punya pasangan, uda seumur ini, coba diliat dari temen-temen karib, ada yang bisa nyangkut gak? Ngapain jauh-jauh nyari jodoh, kalo tentangga aja ternyata lebih cocok jadi pasangan", kata sang ibu, yang membuat perut Devon seakan tertonjok kuat.

"Gak usah gengsi, gak usah malu, jangan terlambat! Kalo rasanya sudah pas, sikat aja! Setiap pasangan pasti ada masalah, ada ketakutan, tapi jangan ngebikin kita jadi orang bego karena kehilangan pasangan. Tuhan bisa mengambil mereka kapan saja, tanpa aba-aba", katanya lagi sambil memandang Devon dan rekan-rekannya. Mereka semua tertunduk sedih. Sang Ibu benar, jangan sampai terlambat.

Sepanjam 4 jam perjalanan di kereta, Devon tidak sanggup memikirkan hal lain selain percakapan sang ibu di ruang VIP tersebut. Ia memandang ke jendela dengan tatapan kosong, seakan pohon-pohon yang tertiup angin itu adalah sebuah film tentang Jasmina. Adegan demi adegan Jasmina dan Devon sejak mereka duduk di kelas 10 seakan terus berputar-putar di balik pohon, awan, jembatan dan gedung-gedung yang dilewati kereta api menuju Jakarta tersebut.

Ya, ia dan Jasmina sudah berteman cukup lama, walau tidak selama bu Laras dan pak Bima. Namun hubungan Devon dan Jasmina sudah melalui banyak hal. Jasmina yang bolak balik patah hati, transformasi gadis itu dari seorang gadis "insecure" menjadi seorang wanita hebat, sampai perjuangan Jasmina yang kerja sambil kuliah dengan begitu gigihnya. Devon menyaksikan semuanya dan selalu mendukung gadis itu seperti biasanya.

Dan pertanyaan yang paling penting adalah… Kenapa Devon sampai menunggu waktu 4 tahun untuk menyatakan cintanya kepada Jasmina? Walau Devon berhati emas, ia juga adalah seorang laki-laki yang egois. Ia tidak mau berada di hati Jasmina yang masi memiliki akar-akar dan carut-marut perasaan dengan cowok-cowok lain. Ia ingin serpihan-serpihan perasaan Jasmina untuk kak Miko dan Bagas, sudah hilang tanpa bekas di hatinya. Ia ingin Jasmina hanya mengosongkan ruang itu untuk Devon. Ketika ia yakin Jasmina cukup "steril", baru deh ia resmikan.

Tapi setelah itu, tidak ada banyak yang berubah. Mereka tetap menjalankan hubungan nyaman "Jasmina Devon", yang memang selalu dekat, layaknya sahabat. Setidaknya setelah jadian, sudah berkurang orang-orang yang ingin mengganggu mereka.

Tapi mendengar cerita bu Laras, Devon jadi berfikir begitu keras. Bagaimana bila Jasmina sudah bosan dengan hubungan yang ini-ini saja? Jujur memang Devon sangat beruntung jatuh cinta pada temannya sendiri, sehingga hubungan mereka begitu nyaman. Tapi tidak dipungkiri bahwa bagaimana pun ia juga laki-laki normal, ada kalanya ia ingin melampiaskan rasa sayangnya yang sudah meluber-luber di dalam hatinya sampai gadis itu remuk. Tapi kadang ia kuatir, bagaimana bila hal itu akan membuat kekikukan diantara mereka?

Terkadang ingin rasanya Devon mengurung gadis itu hanya untuknya, agar para senior-senior kampusnya dulu dan cowok-cowok di kantor Jasmina tidak mendekatinya lagi. Bagaimanapun Devon adalah cowok normal, penuh dengan rasa cemburu. Tapi apa daya, sudah lebih dari 4 tahun ini mereka tinggal di kota yang berbeda dengan kesibukan yang luar biasa. Devon menyukai Jasmina yang pintar dan aktif, dan Devon merasa, Jasmina juga menyukainya karena dedikasinya pada pendidikannya, pada keinginannya yang cepat-cepat ingin menjadi dokter.

Devon sudah memantapkan hatinya. Ia tidak ingin Jasmina meragukan kesungguhannya, walau ia sudah pernah menunjukkannya dengan cara terjun ke jurang. Ia juga sudah yakin bahwa gadis itu sepertinya ingin hidup bersama dengannya sampai akhir. Benarkah mereka adalah pasangan eternal love? Sebelum ke stasiun, Devon menyempatkan diri untuk memilih cincin yang akan menjadi symbol kesungguhannya. Selama perjalanan kereta, ia genggam kotak belundru itu seakan-akan ia sedang menggenggam hatinya. Memantapkan niatnya.

Ketika Devon turun dari peron, ia berusaha mencari gadis yang selama ini bertahta di hatinya. Jasmina Winata. Tidak perlu waktu lama untuk menemukannya, karena aura gadis itu seakan bersinar hanya untuk mata Devon, bahkan dari kejauhan. Gadis itu sedang bersandar di salah satu tiang stasiun sambil terus menyeruput es coklat yang selalu ia beli dalam setiap kesempatan.

Tubuhnya tinggi dengan bentuk badan bak gitar, rambutnya yang hitam legam tampak bersinar dengan pencahayaan stasiun, dan wajah lelahnya yang tetap menunjukkan kecantikannya. Casing gadis itu mungkin berubah banyak sejak SMA, tapi hatinya tetap seperti dulu. Riang, lugu dan penuh kasih sayang. Hati yang telah meluruhkan dinding-dinding hati Devon yang dingin.

"Jasmina aku kangen banget sama kamu! Sudah 3 hari aku gak bisa tidur mikirin kamu dan hubungan kita. Boleh aku peluk kamu sebentar?", begitulah kira-kira yang ingin Devon katakana ketika melihat sosok Jasmina dari samping. Alih-alih mengatakan seperti itu, ia malah berkata: "Kalau nyender tuh di pundak, jangan di tiang bangunan. Nanti stasiun ini roboh!"

Ketika Jasmina berputar dan akhirnya mereka saling menatap, Kaki Devon terpaku seakan menempel kuat bak kaki gajah. Belum pernah ia segugup itu. Bukankah sebuah pelukan bisa melumerkan suasana canggung seperti ini? Tapi Devon tidak kunjung merentangkan lengan lebarnya untuk Jasmina. Tepatnya, ia tidak tau harus berbuat apa sekarang. Untung saja gadis itu segera mengambil aba-aba untuk mengikutinya ke tempat parkiran mobil.

Ketika akhirnya Devon mengantar Jasmina pulang, ingin rasanya ia mulai mencurahkan apa yang selama 4 jam berputar-putar di kepalanya. Tapi hari sudah malam, Jasmina kelihatannya sedang kelelahan, dan besok adalah acara yang sangat penting. Devon tau, begitu ia membuka mulut soal itu, akan butuh waktu berjam-jam untuk membahasnya. Ia butuh tenaga ahli tambahan.

Ketika ia mengutarakan kepada Rania tentang niatnya untuk melamar Jasmina, gadis itu malah memberikan ide gila untuk melamar di acara resepsi pernikahan kak Tyas. Rania langsung menghubungi kak Tyas dan tentu saja, semua mendukung berat rencana ini. Buket bunga identik segera di pesan, instruksi kepada MC langsung disampaikan, sampai "susunan acara" khusus itu di susun dengan apik oleh Rania. Ia sebenarnya sudah tidak sabar melihat perkembangan hubungan abangnya dan Jasmina yang masih malu-malu kucing itu. Padahal ia sudah tidak sabar ingin memiliki ponakan!

Ketika acara rebutan bunga itu akan dimulai, langkah Devon begitu berat karena kakinya tidak berhenti bergetar. Perasaan ini lebih hebat dari pertandingan basket yang tersisa hanya 30 detik, sementara bola ada di tangan Devon, dan ia diharapkan untuk mencetak 2 angka dengan memasukkan bola basket ke ring. Sukur-sukur bisa 3 angka dengan melempar dari jarak yang jauh. Matanya berkunang-kunang, tapi ia tidak bisa mundur. Ia melihat sekilas ke sekeliling gedung yang masih dipenuhi oleh keluarga mempelai dan para panitia yang jumlahnya ada seratusan.

Aba-abanya adalah, ketika buket bunga pertama di lempar, Devon harus bersiap-siap menyerahkan HP Rania kembali ke tangan gadis itu, agar ia bisa menyorot kegiatan "lamaran dadakan" itu. Begitu benar si buket terlempar jauh, seakan-akan ada tayangan slow motion dimana semua mata berusaha melawan silau untuk melacak keberadaan bunga itu. Tapi tidak dengan Devon, ia terus menatap Jasmina dan Kka Tyas secara bergantian. Dan benar saja, asisten sang MC membawa bunga identik ke tangan kak Tyas, dan itu merupakan aba-aba kedua. Kak Tyas menatap Devon dengan penuh arti, dan memberikan jempolnya tanda mendukung. Atau tanda Devon harus kuat, harus sabar, dan jangan grogi. Semacam itulah.

"Jasmina! Tangkap!", tiba-tiba kak Tyas melemparkan sebuah buket bunga berwarna maroon dan gold ke arah Jasmina. Saat itu juga secara bersamaan, kak Tyas menerima mikrofon dari sang MC, sedangkan Devon menerima mikrofon dari salah satu panitia. Ini dia saatnya, gumam Devon dengan hati mengkerut.

Ketika kata-kata yang sudah di hafal mati oleh Devon semalaman meluncur kaku dari mulutnya, ia bisa melihat tatapan kaget luar biasa dari Jasmina. Tatapan yang sama ketika ia melompat ke jurang, tatapan yang sama ketika ia memergokinya bertelanjang dada ketika ia keluar dari kamar mandi, tapi tatapan yang ada saat ini benar-benar berkali-kali lipat dari semua itu. Jasmina menatapnya seakan-akan ia alien yang tidak ia kenal. "Ya Jasmina, ini aku, aku yang selama bertahun-tahun telah terlalu bodoh untuk menyia-nyiakan kamu", batin Devon.

"Jasmina, will you marry me in the future?", begitu kata-kata itu meluncur, seakan-akan seluruh organ penting Devon seperti jantung, otak, dan paru-paru melayang keluar dari tubuhnya. Ia serahkan seluruh hidupnya pada cincin yang tampak melayang, menunggu sang pujaan hati menerimanya. Bila tidak ia terima, ia tidak bisa menjamin organ-organ penting itu bisa berfungsi seperti semua lagi. Ya, mungkin itu akan menjadi awal kehancurannya.

"Diterima! SHE SAID YES!", kata sang MC yang menggema. Tapi Devon seperti ter-skip. Maksudnya gimana? Jasmina menerima atau tidak. Devon berusaha menatap mata Jasmina yang sudah penuh air mata. Ia menangis karena sedih atau marah, atau terlalu bahagia? Jasmina bilang apa? Kenapa semua orang bersorak-sorai? Apakah mereka sedang mentertawakan Devon yang sudah di tolak dan menjadi pecundang?

Devon masih tetap menatap Jasmina, dan gadis itu mengangguk lembut. Devon senang, tapi ia masih ragu. Ini di terima kan? Lamarannya di terima kan? Ahhhh… Kali ini Devon tidak perduli. Di terima atau tidak, ia akan tetap menyematkan cincin di tangannya. Alih-alih marah, Jasmina justru merelakan tangan lentik dan lembut itu untuk Devon.

"Devon… thank you", kata Jasmina sambil masih terisak pelan. Devon tau, ini adalah awal kebahagiaan lain dalam hidupnya. Ia memeluk Jasmina dengan lembut, pelukan paling ikhlas, tulus, dan penuh kasih, seakan-akan meneluarkan seluruh kegalauannya selama ini. Ketika lagu "sepasang merpati" dari Kahitna berkumandang, air mata Devon ingin sekali luruh saat itu juga. Dada Devon dapat merasakan getaran tubuh Jasmina yang masih terisak lembut. Semua itu membuat hatinya hangat.

"Terima kasih kau terima, pertunangan indah ini. Bahagia, mesti mungkin, tak sebebas merpati….", begitu lirik lagunya.

"Ya Jasmina, terima kasih telah menerima aku apa adanya selama ini, dan terima kasih telah menerima pertunangan yang indah ini. Kita akan saling menemani sampai di ujung waktu", bisik Devon kepada Jasmina. Gadis itu kembali terisak dan membalas pelukan Devon dengan erat.

THE END,

Ups, jangan kuatir, besok akan segera di Upload Pacaran Paksa Volume 2: Married edition!