Jasmina sedang berusaha menghabiskan gelas berisi es coklat ala-ala yang dijual di stasiun gambir. Sabtu malam seperti ini, stasiun gambar sudah layaknya pasar malam yang sedang membagikan aneka macam sembako. Rame, riweh, sesak dan melelahkan. Terlihat para penumpang yang keluar melalui peron-peron dari berbagai daerah, begitu juga dengan para penumpang dari Jakarta yang menuju peron-peron untuk pergi ke sebuah tujuan.
Dan disinilah Jasmina, sedang menunggu seorang pria primitif yang lebih suka bepergian antar kota menggunakan kereta dari pada moda transportasi lain. Padahal banyak pilihan moda transportasi Bandung-Jakarta hari gini. Alasannya pertama sih klasik, gak mau mikirin macet. Kalau naik mobil atau travel, pasti terkendala macet di jalanan, apalagi Sabtu malam. Alasan kedua, karena lebih romantis. Sambil duduk, bisa menatap pemandangan. Alasan ketiga, lebih intim. Bayangkan ketika turun dari peron, disambut yang terkasih, seperti di film-film.
Dan disinilah Jasmina, menembus kemacetan hampir 2 jam hanya untuk tiba di stasiun gambir pada pukul 9 malam dari kantornya. Ia yakin, ketika cowok itu sampai, perlu 2 jam lagi bagi mereka untuk bisa sampai di rumah. Kalau alasannya lebih romantis, kira-kira pemandangan indah apa yang bisa dilihat antara pukul 5 sampai 9 malam dari kereta? Tidak banyak pastinya. Jasmina sungguh tidak sabar memang menanti si primitif keluar dari peron. Ya, untuk mencubitnya. Kakinya yang lelah karena bekerja seharian, harus berjuang lagi bersama kemacetan kota Jakarta 2 jam. Dengan keriwehan stasiun dan rasa lelah, jauh banget dari adegan-adegan film romantis jaman dulu.
"Kalau nyender tuh di pundak, jangan di tiang bangunan. Nanti stasiun ini roboh!", cetus suara yang sangat familiar di telinga Jasmina. Gadis itu mencari-cari arah suara, yang ternyata ada di balik punggungnya. Ia berbalik dan melihat sosok cowok itu, yang berpura-pura melihat ke arah lain sambil menahan tawa. Devon Lee Burnwood. Sang penumpang jaman batu. Gayanya jauh dari primitif. Ia mengenakan jaket hoodie berwarna abu-abu, celana jeans biru tua dan sepatu basket. Ia justru terlihat seperti anak SMA dengan tubuh raksasa.
Rambutnya panjang ala yakuza sudah dibabat habis dengan potongan bak CEO, demi acara besok. Dengan rambut pendek yang rapi, cowok itu terlihat semakin dewasa dan tentu saja, luar biasa tampan. Jasmina belum pernah melihat Devon dengan tampilan seperti ini. Sejak SMA, ia terbiasa melihat cowok itu dengan potongan ala anak basket. Sejak ia sibuk kuliah dan absen dari club basket, ia menjadi leluasa memanjangkan rambutnya dan jauh dari kesan rapi.
"Huufff akhirnya muncul juga pak calon dokter. Mana kopernya?", tanya Jasmina acuh tak acuh, padahal ingin sekali Jasmina lari dan memeluk Devon. Ia hanya melihat cowok itu menggunakan ransel, dimana tangannya memegang sebuah buku di kanan, dan HP di kiri.
"Enggak perlu, toh mau pulang kerumah. Kamu gak ada denger baju-baju aku udah disumbangin atau dibakar kan?", tanya cowok itu jahil. Jasmina hanya mampu mendelik malas, memutar balik badannya dan mengisyaratkan cowok itu untuk mengikutinya ke lapangan parkir dengan jari telunjuknya yang ia bengkokkan berkali-kali. Gadis itu mulai berjalan tegas di depan Devon, bak CEO seram yang akan melalukan inspeksi dadakan di pabrik. Cowok itu hanya tersenyum simpul sambil mengikuti Jasmina dengan langkah gontai. "Hemm penyambutan yang cukup romantis, seperti biasa", pikir Devon.
Sosok gadis itu dari belakang sungguh fenomenal. Ia sudah banyak berubah dari jaman SMA kelas 10 ketika Devon mengenalnya pertama kali. Tubuhnya tinggi dan langsing, namun masih berani menggunakan sepatu kerja dengan hak 7 cm. Setelan kerjanya kali ini adalah sepotong blus putih lengan panjang yang terbuat dari kain siffon lembut, dengan aksen pita yang terikat manis di bagian leher. Rok model pinsil diatas lutut sungguh membuat postur tubuhnya yang langsing benar-benar tercetak sempurna. Rambut panjangnya yang dahulu selalu berkibar, sekarang berwarna hitam legam dan dicepol rapi. Jasmina sang eksekutif muda nan seksi, asisten manajer di perusahaan Marketing communication Cecilia Adnan.
Ketika Jasmina berjalan bak peragawati sambil menyampirkan tas kulit hitam di bahunya, seakan-akan ia sedang membelah lautan manusia di stasiun gambir. Tidak sedikit cowok-cowok yang menatap gadis yang memang semakin cantik itu. Beberapa cowok usia matang malah terlihat ingin "menabrakkan diri" agar bisa lebih dekat dan sukur-sukur bisa berkenalan dengannya. Devon yang menyaksikan dari belakang, sekarang merasa geram. Ia memasukkan HP ke celana jeansnya, dan menyusul Jasmina agar dapat berjalan di sampingnya. Ia rampas tangan langsing itu dan menggenggamnya dengan posesif, menuntutnya agar berjalan lebih cepat. Hellooowww situ pake sepatu basket, sini pake hak 7 cm!
Jasmina terkejut dengan perhatian sang calon dokter. "Tumben, biasa juga cuek", gumamnya. Namun gadis itu tidak berkata-kata. Dalam hati, sebenarnya Jasmina girang bukan main di gandeng seperti ini. Momen yang sangat langka! Mereka memasuki mobil mungil Jasmina, dan memutuskan agar Devon yang menyetir mobil Jasmina. Setidaknya sekarang Jasmina memiliki waktu 2 jam untuk mengomeli Devon, eh maksudnya berbicara hati ke hati setelah 4 bulan tidak bertemu.
"Hemm... mana cemilanku?", tanya Devon.
"Hah, cemilan apa?", tanya Jasmina bingung. Seingatnya, Devon gak ada mesen apa-apa tadi.
"Ih, kamu jadi pacar gak pengertian banget sih. Kalo pacar tuh pulang, apalagi naik kereta, pasti donk dia laper. Bawain apa kek, pizza kek, kebab kek, donat kek, nasi goreng kek", tutur Devon. Jasmina mendelik ke arah Devon.
"Ih, harusnya kamu donk, yang dari luar kota bawa oleh-oleh. Brownies kek, roti kek, batagor kek, cuanki kek...", balas Jasmina tidak mau kalah.
"Kakek-kakek mau gak Jas? Lahhh, laperrr ni Jass", Devon memasang tampang memelas menatap Jasmina. Pas banget lagi jalanan macet.
"Ihh kamu nihhh, tau gitu kan kita bisa makan dulu di stasiun", bales Jasmina sambil mencoba membuka sepatu kerjanya yang cukup menyiksa. Ia merebahkan tubuhnya di kursi setelah memiringkannya ke belakang. Untung saja tadi gak makan di stasiun, ribet banget disana.
"Ya udah sekarang kita mampir dulu yaaaaa", pinta Devon. Jasmina berfikir dan akhirnya mendelik ke arah Devon. Menemani Devon artiya, ia harus ikutan makan. Ogah.
"Gak ahhh. Takutnya besok bajunya gak muat", elak Jasmina. Devon melotot tak percaya. Ia mendengus kesal, karena perutnya benar-benar keroncongan. Kenapa ini pacarnya sungguh-sungguh tidak pengertian. Hanya demi memasukkan dirinya ke dalam kebaya yang pasti sengaja di buat kekecilan, ia tega menyiksa Devon.
Ketika mereka akhirnya menyetir 30 menit, Devon melihat sebuah gerai makanan cepat saji yang memiliki fasilitas drive thru. Ia segera membelokkan mobil Jasmina dan mengantri di belakang sebuah mobil Avanza silver. Jasmina yang menyadari bahwa mereka mampir, kontan menegakkan duduknya dan celingak ke kiri dan ke kanan.
"Devon kita sekarang ada dimana?", tanyanya.
"Jurang", jawab Devon asal sambil melihat-lihat menu yang terpampang jelas di kanan mobil itu masih di dalam antrian.
"Iyaaa, kita akan ada di jurang kehancuran kalo kamu bandel bangetttt", kata Jasmina geram sambil mencubit lengan cowok itu.
"Awwww hahahahaha kamu aja noh yang nyelam ke jurang. Aku laper Jas. Aku mau pesen buat aku aja. Kamu duduk manis aja liatin macet", jawab Devon sambil mencubit pipi gadis itu.
"Devonnn jangan cubit-cubit, nanti pipi aku kendurrr. Besok kita mau acaraaa ihhhhh", keluh Jasmina. Tapi Devon hanya tersenyum.
Sudah lebih dari 2 tahun Devon dan Jasmina resmi pacaran, sejak insiden bungee jumping. Namun sayangnya hubungan mereka harus terkendala jarak dan waktu. Jarak karena memang Jakarta dan Bandung tidak bisa dibilang dekat, waktu karena entah kenapa mereka memiliki jadwal yang kacau. Jasmina seorang eksekutif muda yang hari-hari santai akan memiliki jam kerja antara pukul 8 sampai 5 sore. Di hari-hari kacau bila ada event atau lembur, ia bisa tidur di kantor 2 hari 2 malam. Sedangkan Devon saat ini sedang koas di salah satu rumah sakit pemerintah di Bandung. Yah yang namanya koas, jadwal belajar dan bantu-bantu di rumah sakit benar-benar tidak menentu.
Awal-awal pacaran masih bisa mereka lalui dengan berjam-jam ngobrol di telfon, video call, atau Devon yang setiap pulang ke Jakarta setiap 2 minggu sekali. Seminggu sekali bila ia benar-benar rindu pada gadis itu. Namun semenjak ia koas dan kegiatan Jasmina yang semakin menggila, percuma juga Devon pulang ke Jakarta pada akhir pekan. Biasanya justru di akhir pekan itulah agenda Jasmina super padat. Akhirnya tanpa ada perjanjian, tanpa ada omongan yang serius, mereka mulai saling mengerti. Tidak ada acara ngambek bila mereka bisa bisa akan bertemu setelah 2 bulan, itu pun intensitas pertemuan yang cukup singkat dan jauh dari kesan intim.
Padahal bila dipikir-pikir, perjuangan cinta Devon dan Jasmina tidak bisa dibilang gampang. Jasmina menunggu lebih dari 4 tahun agar cowok itu benar-benar menyatakan cintanya. Selama 4 tahun itu, mereka urung memiliki pasangan lain, dan halu bahwa mereka adalah pasangan tanpa status. Sebuah keyakinan dari diri mereka kalau suatu hari mereka akan bersama, membuat Jasmina tidak gentar walau di goda begitu banyak teman kampus saat itu. Begitu juga Devon yang menjadi primadona fakultas kedokteran. Ia yakuza berhati setia. Cihhhhh. Hahahahaa
"Yaaa mau pesen apa mas?", tanya sang operator super ramah menggoda. Sepertinya ia terkesan dengan penampilan Devon yang tampan. Jasmina segera menampakkan wajahnya kepada sang operator makanan cepat saji itu, agar, yaaa sekedar tau aja, sang supir bersama pacarnya. Jasmina tersenyum ramah dan berpura-pura melihat-lihat menu yang terpampang di jendela pemesanan itu. Sang operator sedikit kecewa sepertinya tidak bisa leluasa menggoda Devon.
"Saya mauuu burger ikan 1, burger daging sapi 1, milkshake coklat 1, air mineral 1, sama kentang goreng 2 ya mbak", jawab Devon sambil tersenyum puas. Ia tau saat ini ada betina kelaparan yang mulai panik dan marah.
"Ok, makasih, jumlahnya jadi sekian dan sekian ya mas, silahkan dibayar di depan. Terima kasih", sang operator masih tetap super ramah. Devon pun tak kalah ramahnya mengangguk-angguk kepada sang operator. Ia sudah bisa membayangkan memasukkan semua makanan itu ke perut laparnya sambil menggoda Jasmina. Sementara pikiran Jasmina sedang melayang ke topic yang lain. Cemburu. Huff, Jasmina bisa membayangkan bagaimana Devon menjalani hari-harinya di kerubuti cewek-cewek di kampusnya?
"Kok pesennya banyak banget? Uda seminggu gak makan Pak?", tanya Jasmina. Devon tidak kuatir dengan sindiran pacarnya. Ia memeluk erat pesanan-pesanannya bak harta karun.
"Aku laperrr. Awas kalo minta yaaaa. Ini buat aku semua!", jawab Devon dengan tampang licik dan sedikit memonyongkan bibirnya. Ketika akhirnya semua makanan itu sudah masuk ke dalam mobil mungil Jasmina, tentu saja, wanginya semerbak menggoda. Perut Jasmina yang terakhir diisi oleh makan siang, tiba-tiba bergejolak hebat. Tapi ketika ia memikirkan kebaya super ketat yang harus ia kenakan besok, hatinya remuk.
"Devon kamu tega banget. Kamu tau besok adalah hari yang penting banget buat aku. Buat kita! Kok kamu... kok kamuuu...", Jasmina tidak mampu meneruskan kata-katanya. Sedangkan Devon, huff, cowok itu dengan tidak sopannya sudah menggenggam setidaknya 8 kentang goreng dan memasukkannya ke dalam mulutnya sekaligus. Ia kemudian menggigit saos sambal dengan giginya, kemudian menuangkannya di mulutnya, seakan-akan semua bisa ia campur di sempurna ketika ia mengunyah. Ia melakukan semua itu sambil menjalankan mobil Jasmina keluar dari kompleks restoran cepat saji itu dan kembali ke jalan raya.
"Devon kamu unbelieveable. Jorok banget sihhhh", protes Jasmina sambil tak lepas tatapannya ke sang cowok. Devon tetap santai. Kali ini Devon membuka sebuah burger ikan, dan menggigitnya. Tidak lupa saus sambal yang tadi, ia konsumsi dengan cara yang sama. Wangi burger ikan itu benar-benar menyiksa Jasmina.
"Kuuuurrruuukkk krruuukkk kurruukkk", tiba-tiba perut Jasmina bernyanyi, tepat saat musik di mobil itu sedang jeda dan senyap. Devon yang ikut mendengar "nyanyian sumbang" itu melirik ke arah perut Jasmina dan mulai tertawa tertahan, karena ada bongkahan burger ikan di mulutnya.
"Heemmm Nyaammm", jawab Devon sambil tertawa ngikik ke arah jalanan. Jasmina tidak tahan lagi. Akhirnya ia ambil kentang goreng, dan ia konsumsi dengan cara yang sama dengan Devon.
"Eh eh ehhhh balikin. Itu ronde kedua aku. Aku besok gak harus pake kebaya", protes Devon bercanda. Ia sebenarnya memang membelikan burger dan kentang goreng untuk Jasmina. Melihat Devon protes, Jasmina justru merampas milkshake coklat dari bungkusan itu dan berusaha meminumnya. Bukankah ia tadi barusan meminum segelas es coklat di stasiun gambir? Ahhh apalah apalah lah itu.
"Eh eh ehhh jangan itu punyaku. Kamu air mineral aja. Udah malem.", kali ini Devon serius. Jasmina keheranan melihat selera Devon kali ini.
"Sejak kapan kamu doyan milkshake coklat?", tanyanya. Jasmina akhirnya menyerah soal es coklat. Yah, ia tidak butuh itu (lagi). Air mineral saja.
"Hemmm sejak pacaran sama kamu. Sepertinya aku membutuhkan sesuatu yang manis dan menenangkan sekarang", jawab Devon sok imut. Ia bermaksud memuji Adelia yang sudah menularkannya kecintaan terhadap coklat. Adelia berfikir keras, kenapa seseorang memerlukan milkshake coklat dalam hidupnya, sesuatu yang manis dan menenangkan...
"Jadi maksud kamuuuu, sejak pacaran ama aku, hidup kamu jadi getir dan memusingkan?", tanya Jasmina sok marah. Devon mengangkat alisnya dan memberikan senyum tipis tak percaya. Yang benar aja.
"Bukan loh ya, maksudnya aku tuh baru tau ternyata es coklat, milkshare coklat, coklat beneran yang kamu gilai itu ternyata beneran enak, jadi aku tuh sekarang udah sukaaaa banget ama coklat", jawabnya mantap.
"Sering dapet coklat donk", tanya Jasmina dengan cepat sambil menepuk pundak Devon. Maksudnya gerakannya itu, agar cowok itu menjawab dengan refleks yang cepat.
"Ya ia lah", jawab Devon cepat tanpa berfikir. Namun kemudian ia merasa terjebak. Ya, pertanyaan jebakan batman. Ia bersiap-siap, badai akan datang.
"Ooooooooo jadi itu kenapa kamu suka coklat sekarang ya. Ternyata ada supplier", protes Jasmina sambil menjewer telingat kiri Devon dengan pelan. Itu masih peringatan. Devon tertawa ngakak. Ia kembali memasukkan segerombolan kentang goreng ke dalam mulutnya.
"Pantesan kamu akhir-akhir ini susah di hubungi. Siapa yang ngasih? Siapa pemasok coklat-coklat kamu itu?", tanyanya lagi sambil kembali menepuk pundak Devon.
"Suster ama adek-adek kelas",jawab Devon refleks. Ia kemudian menepok jidatnya. Aduhhhh ini strategi yang salah. Harusnya Jasmina aja yang nyupir. Ia bisa makan dengan tenang, dan sesi hipnoterapi abal-abal ini bisa dia hindari. "ya, kadang keluarga pasien juga suka ngasi hihihi", kata Devon lagi. Udah keceplosan, ya udah sekalian aja jujur.
"Apaaaaa? Setelah aku harus menyingkirkan adik-adik kelas kamu itu, sekarang aku harus bersaing ama suster yang kece-kece badai itu?", tanya Jasmina sambil pura-pura ngambek. Ia akhirnya memutuskan untuk menggigit burger itu dengan gigitan yang super besar, sehingga pipinya sah sudah seperti burung unta. Ia terlihat kesulitan mengunyahnya. Demi ego.
"Hahahaha kok kamu mau sih bersaing ama dia? AKu aja gak mau tuh", kata Devon asal sambil menyerobot milkshake coklat itu dari tangan Jasmina dan meminumnya dengan penuh rasa menggoda. Jasmina semakin geram melihatnya.
"Ya ngapain juga kamu bersaing ama mereka bambangggg Devon. Awas aja ya kalo aku periksa hape kamu isinya WA dan pesan-pesan mesum dari cewek-cewek yaaa", ancam Jasmina lagi. Devon hanya tertawa. Ia harus mengingatkan dirinya untuk menghapus pesan-pesan WA dari para suster dan adik kelasnya. Walau tidak satupun ada yang ia balas, tapi tetap saja, daripada bikin ribut sama Jasmina.
Ya, sudah lebih dari 2 tahun sejak mereka resmi jadian, tapi hubungan mereka mungkin masih seperti anak SMA yang baru mulai pacaran. Karena pada dasarnya Jasmina juga tidak memiliki pengalaman pacaran "yang benar", begitu juga dengan Devon. Sehingga sekarang mereka seperti 2 teman dekat yang memiliki perasaan yang sama. Walau ada sesi cemburu sini cemburu sana, tapi perasaan memiliki mereka mungkin masih "di kulit-kulit" saja. Mungkin karena mereka terlalu nyaman menjadi teman terlalu lama.
Dulu, Jasmina bisa dengan gambling menulis puisi, membuat kata-kata indah di pesan WA atau posting sesuatu di media sosial tentang kak Miko. Begitu juga ketika ia "pacaran paksa" dengan Bagas. Ada momen dimana ia dan Bagas memaksa untuk lebih bucin dan mengeksplor dan mengekspresikan perasaan "cinta" secara berlebihan. Pangilan mesra, sikap romantis, postingan yang membuat iri, semua hal yang diimpikan oleh #couplegoals. Walau semua itu palsu, tapi rasanya sungguh menyenangkan. Bahkan di akhir momen itu, Jasmina benar-benar baper dan bucin. Tidak salah kan kalo perempuan itu butuh perhatian dan perlakuan lebih?
Sekarang ketika akhirnya Jasmina memiliki pacar yang asli, terkadang ia bingung harus memulai dari mana pacaran ini. Ia dan Devon sudah berteman akrab cukup lama, mereka bahkan bertetangga! Dengan prilaku Devon yang anteng, kadang Jasmina tidak bisa membedakan apakah cowok itu nyaman atau tidak perduli dengan "pacaran ala kadarnya" ini. Cukup telfonan seadanya, ketika berjumpa ngobrol seperti biasa, dan berpisah seperti tidak ada kesan kangen atau tersiksa. Kadang ingin rasanya Jasmina memohon kepada Devon agar ia lebih "sweet". Tapi di satu sisi, Jasmina merasa tidak nyaman bila harus melakukan "sweet stuffs" kepada Devon. Ia kuatir: pantaskah, Devon bakal risih kah, norak kah, dan kah kah kah yang lain.
Hari ulang tahun, hari valentine, atau bahkan anniversary mereka, berlalu begitu saja. Di rayain sih, tapi ya bareng-bareng dengan semua orang gitu. Entah itu di rumah Devon dengan keluarga besar Burnwood, atau di rumah Jasmina dengan sang papa, kak Gading, kak Almira dan dedek bayi, atau malah semuanya berkumpul entah itu makan di restoran. Entah itu aneh atau tidak, yang jelas Jasmina belum merasa keberatan. Devon pun sepertinya tidak. Apakah iya? Apa iya mereka tidak butuh momen berdua dengan mesra?
Memikirkannya lagi, sebenarnya Jasmina juga ingin meng-upgrade hubungan pacarannya dengan Devon. Mereka tidak ingin terjebak dengan pacaran gaya SMA yang masih ngomongin sekitar makan dimana, gimana sekolah, gimana kerjaan, ke mall mana, dan lain-lain. Makan malam romantis artinya, pergi ke restoran yang rada sepi, makan steak yang enak, dan ngobrol tentang hal yang sama.
Momen intim mereka adalah… Ketika Jasmina mengantar Devon ke stasiun Gambir atau menjemputnya. Mereka akan berpisah, dadah-dadahan, atau kalau lagi romantis banget, Devon mungkin akan memeluknya beberapa detik. Mereka akan saling menatap, namun tidak ada kata-kata kangen yang memilukan yang keluar dari bibir mereka. Kata-kata "aku bakal kangennn" pasti akan berujung "usahain tidur di kereta", atau "nyupir pulang jangan ngebut-ngebut". Ketika akhirnya mereka benar-benar terpisah, pasti ada perasaan yang menyiksa. Ada banyak kata yang ingin terucap, namun begitu susah untuk disampaikan. Devon masih dengan dindingnya yang tinggi, sedangkan Jasmina ternyata masih pemalu dan sungkanan. Hadeh… sampe lebaran kuda ya gak bakal kemana-mana…
"Udah sampe Jas", usik Devon seakan memutus lamunan Jasmina. Gadis itu kelabakan.
"Eh iya bentar aku bukain pagar rumahku dulu", kata Jasmina. Ia kemudian turun sambil menenteng sepatu yang enggan ia pakai lagi. Ia membuka pagar yang memang tidak digembok, dan mendorongnya begitu lebar agar Devon bisa memarkirkan mobil mungilnya di carport rumah Jasmina.
Ketika mobil itu sudah terparkir rapi, Jasmina kemudian menutup pintu pagar itu, menyisakan sekitar semester agar Devon bisa keluar. Sudah terlalu malam, sebaiknya cowok itu pulang. Apalagi besok adalah hari besar mereka. Devon keluar dari mobil, tepat ketika Jasmina menggeliatkan badannya ke atas dan ke kiri dan ke kanan, sambil menguap lebar. Ia tidak menyadari Devon sedang memperhatikannya.
"Capek banget buk?", tanyanya usil sambil mendekati Jasmina. Gadis itu kontan menegangkan badannya dengan sikap sempurna dan tersenyum kikuk. Ia malu dipergoki sedang mengulet-ulet badan. Bagaimanapun, ia tetap harus menjaga image "sempurna" di depan Devon. Walau mereka sama-sama tahu, itu tidaklah penting lagi. Devon mungkin mengenalnya seperti ia mengenal telapak tangannya sendiri.
"Ih, si pak dokter ngagetin aja. Sono pulang. Istirahat!", jawab Jasmina sambil mengayunkan sepatunya ke arah rumah Devon, seakan mengusir cowok itu. Kemudian ia tersenyum jahil yang membuat Devon berjalan lebih mendekatinya. Lebih dekat, lebih dekat lagi dan lagi. Jasmina kontan sangat risih dengan sikap tiba-tiba cowok itu. "Apaan ni cowok, diusir malah deket kayak mau malak", pikir Jasmina.
Tiba-tiba, Devon dengan gerakan yang sangat lambat, memegang salah satu tangan Jasmina yang sedang tidak memegang sepatu. Ia tersenyum manis sambil menggosok punggung tangan itu. Akhirnya dengan lengan lebarnya, ia memeluk tubuh Jasmina dengan lembut. Sikapnya kikuk namun berusaha memantapkan perbuatannya. Semakin lama, semakin erat ia memeluk Jasmina. Saat ini hidung Devon dapat mencium wangi rambut gadis itu, walau ia telah beraktifitas seharian. Rambut Jasmina selalu harum stroberi.
Sebaliknya dengan Jasmina, ia tidak siap. Pada akhirnya ia menegangkan badannya menjadi selurus lemper, dan membiarkan tubuhnya di peluk. Ia pejamkan matanya, menunggu seakan-akan ada hal luar biasa yang akan terjadi. Walau sudah ratusan hari mereka bersama, momen seperti ini sangatlah jarang. Kalaupun terjadi, selalu berakhir seperti ini. Ingin rasanya Jasmina membalas pelukan itu, tapi apa daya. Tangan yang satu sedang memegang sepatu, dan tangan yang satu lagi terlalu tegang untuk bisa berbuat apa-apa. Kenapa tidak bisa seperti di film romantis? Bahkan wanita yang sedang memegang panci dan sutil saja mampu membalas pelukan suaminya. Suami??
"Siap untuk acara besok Jas?", tanya Devon sambil belum melepaskan pelukannya. Jasmina masih menutup matanya, namun tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Ia mengangguk-angguk dengan kecang berkali-kali, ingin memastikan Devon tau jawabannya. Ya, ia siap. Devon melepaskan pelukannya dengan lembut dan menatap wajah Jasmina. Gadis itu masih menutup matanya, kali ini dengan lebih kencang sampai kelopak-kelopak matanya berkerut. Wajahnya tentu saja sudah merah merona. Devon tersenyum penuh kemenangan. Sesuatu yang selalu ia suka dari Jasmina. Rona malunya.
"Sampai besok Jas", pamit Devon sambil berjalan mundur ke arah pagar. Ia melambai pelan. Jasmina hanya bisa tersenyum kikuk. Ia berusaha mengangkat salah satu tangannya untuk melambai kecil, tapi entah ia terlalu malu, grogi, atau serba salah, akhirnya tangan itu hanya naik sampai ke batas pinggangnya saja. Tidak bisa dikatakan sebagai lambaian, lebih kepada usaha mengusir nyamuk. Sosok tinggi besar itu hilang, dan ia yakin sudah memasuki pagar rumahnya sendiri.
"Bye Dev…", Jasmina berkata pelan, dan ia yakin cowok itu tidak mendengarnya. Sesudah itu, ia tidak habis-habisnya meruntuki dirinya. Selalu begini, momen romantis dan intim selalu berlalu begitu saja. Selalu menjadi momen kikuk ala anak-anak SMP. Ya Tuhan mereka sudah berumur 23 tahun!
See you tomorrow…