Chereads / Pacaran Paksa (Dengan Ketua OSIS) / Chapter 77 - BAB 77: Menjaga Seorang Jasmina

Chapter 77 - BAB 77: Menjaga Seorang Jasmina

tergelak. Bagas meradang. Dia gak nyangka Jasmina banyak berubah akhir-akhir ini. Karena Devon kah? Mau ketemu aja susah banget sih?

"Oke Gas, sekarang udah ketemu, trus kamu mau nanya apa? Ada yang bisa aku bantu? Di grup WA OSIS kayaknya kita belum bahas apa-apa nih. Tahun baruan aja belum. Ada apa sih Gas?", tanya Jasmina. Ia mencoba berdiri pelan-pelan, ia tidak mau Bagas menyadari bahwa ia sedang menjadi pasien.

Bagas menatap Devon, kemudian menatap Jasmina kembali. "Lo ngapain disini Jaz? Kayak ga punya rumah sendiri aja.", jawabnya menyindir Jasmina dan Devon. Devon menarik nafas tenang dan mulai meminum obat-obatan yang sudah disiapkan oleh Jasmina.

"Oohhh enggak. Si Devon tu lagi sakit, jadi tadi aku tuh nganterin obat-obat yang kak Gading suruh. Trus tadi Rania beliin kita makanan. Jadi ya kita makan siang dulu", Jasmina entah kenapa tidak ingin menciptakan suasana salah paham antara ia, Bagas dan Devon.

"Ya udah yuk, pulang", kata Bagas. Jasmina diam saja. Devon menatap Jasmina. Kemudian menatap Bagas. Berani banget si Bagas ngusir tamu gue, batin Devon. Tapi Devon tidak ingin mengatakan apa-apa dulu. Ini murni antara Jasmina dan Bagas, ia paham seharusnya ia tidak ikut campur.

"Gue mau ngomong sesuatu ama Lu Jas. Penting. Bukan masalah OSIS, dan gue gak mau ada orang lain", katanya sambil menatap tajam Devon. Devon sudah selesai meminum obatnya. Ia berjalan pelan ke arah Jasmina dan berbisik pelan "duduk aja Jez", kemudian ia menatap Bagas. "Ya udah Gas, aku keatas dulu ya, silahkan ngobrol ama Jasmina. Disini aja, kasian Jasmina", katanya ramah dan mulai berjalan ke arah tangga.

Bagas menatap Devon dengan tajam. "Kagak, kita ngomong diluar aja Jaz!", katanya.

"Stop Bagas. Kamu sebenarnya mau ngomong apa sih? Kita ini udah ga ada apa-apanya lagi Gas. Dari awal kita juga gak punya apa-apa. Hanya pacaran paksa, pacaran kontrak. Kamu sendiri yang akhirnya mutusin aku, supaya bisa cepet-cepet sama Sharon. Kita jadian untuk yang kedua kalinya aja ya supaya kamu bisa jadian ama Sharon kan? Aku setuju, kamu setuju. And that's it", kata Jasmina tegas sambil menatap tajam Bagas.

Devon tercengang mendengar fakta ini.

"Tapi kan kontrak kita sampe senior prom night Jas, masih ada beberapa bulan lagi. Lagian lo juga belum jadian ama kak Miko kan? So kita harusnya masih pacaran sekarang", pinta Bagas. Jasmina Menatap Bagas tidak percaya. Bahkan Devon sendiri sudah emosi, dan mulai berjalan ke arah Bagas. Apa-apaan sih mereka berdua ini, mempermainkan sebuah status pacaran.

"Bagas yang bener aja! Perjanjian kita uda batal Gas! Batal! Batal dua kali bahkan. Kamu mutusin aku tuh DUA KALI tau gak? Dua kali! Kalo sekali lagi, udah kayak talak tiga, salah satu dari kita harus mampus dulu, baru bisa balikan", Jasmina kali ini super emosi. Devon pun tidak kalah marah. Tangannya sudah mulai mengepal.

"Ya udah sekarang kita profesional aja. Kita jalanin aja peran kita masing-masing kembali. Kamu ketua, aku sekretaris, kita tetanggaan, sukur-sukur kita masih bisa temenan akur. Gampang kan?", tanya Jasmina tapi dengan nada marah. Bagas terdiam dan menunduk. Jasmina benar. Ia benar, tapi rasanya sangat salah. Bagas masih ingin...

"Lo juga Dev! Pinter banget lo ngambil kesempatan. Lo udah nikam temen lo sendiri dari belakang tau gak?!", tuduh Bagas semena-mena. Devon memberikan tatapan bingung. "Kapan gue tikam lu Gas? Yang bener aja. Selama ini gue hargai hubungan lo ama Jasmina kok. Gue ga ada niat dan usaha buat ganggu hubungan kalian. Gue ama Jasmina tu..."

"Munafik LOOOOO!!! Baru juga gue putusin Jasmina, cepet banget lo kutip", teriak Bagas sambil memukul pipi kiri Devon.

"BAGASSS!!!", Jasmina berteriak dan refleks berdiri dan berlari ke arah Devon. Ia lupa kakinya masih sakit, dan akhirnya ia malah terjatuh ke dada Devon. Kali ini mereka benar-benar seperti berpelukan. Jasmina membenamkan mukanya di dada Devon. Devon refleks memeluk bahunya. Jasmina tidak bisa bergerak lagi. Usahanya untuk berlari tadi telah membuat keseleonya semakin parah. Ia kembali meringis. Meringis karena kakinya sakit, meringis karena Devon dipukul karenanya.

Ia Cuma ingin melindungi Devon…

"Stop Bagas. Pergi sana. Pulang Bagas…pulaaannngg", katanya Jasmina lirih. Bagas tidak percaya apa yang sedang dilihatnya. Mereka berpelukan! Tepat di depan hidungnya! SIAL!

"Kalian uda jadian hah? Kalian uda pacaran? Sejak kapan lo ngincer Jasmina Dev? Lu juga Jas. Bukannya lu cintanya ama Miko. Cepet banget loh move on?", tanya Bagas.

Baik Jasmina atau Devon, tidak ada inisiatif untuk menjawabnya. Devon masih berdiri dengan emosi, seakan siap membalas pukulan Bagas. Harga dirinya tercoreng. Tapi gadis di pelukannya ini seakan mencoba menghentikannya. Jasmina mencengkeram erat kedua lengan Devon. Bagas sungguh bodoh. Bisa-biasanya ia berani memukul Devon. Devon lebih tinggi dan lebih kekar darinya. Tenaganya juga lebih kuat.

"Pulang aja Gas, kalo kita udah sama-sama tenang, nanti kita bicara", jawab Jasmina pelan, masih membenamkan wajahnya di dada Devon". Bagas masih emosi, tapi kemudian tatapannya turun ke kaki Jasmina. Kaki gadis itu sedang terluka. Ia memaksakan diri berlalu terpincang-pincang hanya untuk melerai perkelahian mereka berdua. Bagas menarik nafas yang sangat panjang, seakan-akan ia sedang mengosongkan seluruh isi paru-parunya dan mengisi lagi.

"Ok fine. Kita bicara lagi nanti", jawabnya, kemudian mengambil langkah pelan menuju pintu keluar, dan menutupnya.

Baik Jasmina maupun Devon belum beranjak dari posisi canggung mereka. Devon akhirnya berinisiatif melepaskan diri sambil berbisik "Jas ayo du...",

"Biarin sebentar aja gini Dev. Bentar ajaaaaa....", kata Jasmina sambil terisak pelan. Ia bingung sebenarnya kenapa ia terisak. Apa karena kakinya yang masih sakit, atau ia kesal dengan Bagas, atau ia frustasi karena cowok ganteng ini belummmm juga menyatakan isi hatinya? Biar, biarlah ia seperti ini dulu. Ada yang perlu Jasmina konfirmasi dengan hatinya sendiri. Ia merasa dengan begini, entah kenapa sakit hati dan beban dikepalanya jauh berkurang.

Devon merasa serba salah, ia kuatir kaki Jasmina akan bertambah sakit, tapi ia tak tega melihat gadis ini sedih. Akhirnya ia berinisiatif memeluk pinggang Jasmina, demi MERINGANKAN BEBAN KAKI JASMINA. Hanya itu, suerrr... tapi perbuatannya membuat mereka memiliki akses. Akses ke detak jantung masing-masing. Mereka menyadari bahkan mereka sedang deg-degan, nafas mereka tidak beraturan, dan pandangan mereka terkadang terang, terkadang gelap. Perasaan apa ini ya?

Devon tidak tahan lagi. INI HARUS STOP. Ia kuatir akan kaki Jasmina bila berdiri terlalu lama. Tapi sebenarnya ia lebih kuatir lagi, bila semakin lama mereka di posisi ini, ia akan melakukan hal bodoh yang akan ia selali, atau mungkin akan membuat Jasmina marah. Tanpa aba-aba, ia membopong Jasmina dengan kedua tangannya!

"Devonnn!!!", Jasmina berteriak. Devon tidak menghiraukannya. Ia membawa Jasmina untuk rebahan di sofa tempat ia beristirahat sebelumnya. Ia mengatur bantal untuk gadis itu, dan memasangkan selimut untuk gadis itu. "Kamu tu sekarang pasien. Nurut ama aku!", perintahnya dengan lembut.

Kemudian Devon membuka bebat kaki Jasmina, dan melihat ada bengkak yang baru. Buru-buru ia mengulangi proses pengompresan kaki Jasmina. Ia kompres, ia kasih salep,. Ia tiup, dan ia bebat lagi. Jasmina malu, tapi mau aja di rawat oleh Devon. Hatinya menghangat. Pipinya memerah. Ia menggigit jari-jarinya.

Devon mengambil obat demam dan menyodorkannya kepada Jasmina. "Kamu butuh ini juga Jez. Ayo minum", perintahnya lembut sambil menyodorkan segelas air mineral. Jasmina menurut. Ia meminumnya dan kembali merebahkan kepalanya di bantal.

"Kamu juga butuh istirahat Dev, ayo kamu tidur aja di kamar kamu. Aku tungguin disini", jawab Jasmina. Devon langsung mengambil posisi duduk di lantai, dan merebahkan kepalanya di bagian lutut Jasmina. Ia menggeleng dengan mantap,sehingga kepalanya menggesek-gesek di lutut Jasmina. Ia menghidupkan kembali tivi dan memilih salah satu saluran olahraga. "Udah kamu istirahat aja. Tidur lebih baik", katanya.

Jasmina belum bisa menutup matanya. Masih ada satu hal yang mengganjal. Hatinya masih nyeri, tapi bukan karena Bagas. Entah kenapa ia yakin, cowok di sampingnya inilah penyebabnya. Dari sekian cowok yang pernah ia temui, mungkin Devon adalah salah satu yang paling tidak romantis. Ok, bunga mawar itu pengecualian.

Tapi entah kenapa, apapun yang dilakukan cowok itu untuk Jasmina, semua jauh dari kesan egois, jauh dari kesan angkuh,jauh dari kesan basa-basi. Perbuatannya jujur, sigap dan selalu bisa menghangatkan hati Jasmina. Tapi kenapa antara tangan dan mulutnya tidak singkron? Entah kenapa, Jasmina butuh pengakuan…

"Dev, kalo kamu nanti tamat SMA, kamu mau kuliah dimana", tanya Jasmina. Hemmm penting nih untuk tau dia bakal tinggal dimana. Percuma ngarepin seorang cowok, eh ternyata dia bakal tinggal jauh, batin Jasmina.

"Belum tau sih, liat nanti aja. Ada tawaran dari beberapa kampus untuk join, asal aku ikutan tim basket mereka", jawab Devon. Jasmina ngapain nih, apa lagi nilai masa depan gue? Upsss geer banget nih. Mungkin dia Cuma nanya doank, batin Devon.

"Masih di Indonesia?", tanya Jasmina lagi. Pliss pliss pliss di Indo aja donk Dev, kita tuh baru kenal bentar banget, mohon Jasmina dalam hati.

"Hemmm sekarang sih tawarannya di sini aja. Tapi aku blon tau nih mau ambil jurusan apa.", hemm kira-kira Jasmina suka sama cowok yang profesinya apa ya? Lah ngapain guwe pikirin? Ya terserah gue lah, kalo dia suka, ya dia harus suka guwe apa adanya, batinnya lagi.

Jasmina merebahkan kepalanya di bantal. Dia masih kelas 11 SMA, masanya masih panjang. Masih banyak waktu untuk memilah milih dengan siapa ia akan menghabiskan waktunya. Bridgette saja antara umur 17 sampai ia 23 tahun, ada begitu banyak laki-laki yang singgah di hatinya, namun ia masih masih belum yakin dengan salah satunya.

Ia kembali menatap kepala Devon dengan rambutnya yang pendek, tebal dan halus. Dengan tangannya yang panjang dan mulai melentik, Jasmina dapat menggapainya. Secara hati-hati ia sentuh ujung rambut-rambut itu, ia tidak mau Devon menyadarinya. Ada sensasi bercampur disitu.

Senang karena saat ini bersama dengan cowok ini, apapun statusnya. Penasaran, karena cowok ini tidak pernah membuka hatinya kepadanya, mungkin bahkan kepada siapapun. Greget karena mungkin kata-kata Bagas benar. Devon munafik. Sedih, karena Jasmina kali ini merasa, ia mungkin tidak pantas.

Tidak pantas untuk Miko, karena itu ia tidak kunjung memilihnya untuk menjadikan salah satu pacarnya. Tidak pantas untuk Bagas, karena ia tidak ada apa-apanya dibandingkan Sharon. Mungkin ia juga tidak pantas untuk Devon, sehingga walaupun Jasmina mendengar sendiri bahwa Devon menyukainya, tapi cowok itu tak kunjung menyatakan apa-apa. Sebegitu tidak pantaskan ia? Ingin rasanya Jasmina menjambak rambut wangi itu!

Yang Jasmina tidak tau adalah, Devon dapat melihat semuanya. Ia dapat melihat dari pantulan kaca tivi, bahwa ada sesosok tangan lentik yang sedang memegang-megang halus rambutnya.

Seketika Devon merinding dan mencengkeram remote yang ada di kepalan tangannya. "Apa yang sedang Jasmina lakukan dengankuuu??", batinnya menjerit…