Chereads / Petualangan Mavcazan / Chapter 14 - Ibu Kota Okuba

Chapter 14 - Ibu Kota Okuba

"Disisi lain, pada saat itu tuan Rikimaru masih menjadi Raja Penyihir Okuba mengetahui hal itu dan tidak terima dengan pembunuhan masal di Esteria. Tetapi penduduk Esteria yang tinggal di Okuba, sekalipun tidak diberlakukan kejam, namun mereka semua dipulangkan oleh tuan Rikimaru.."

"Oh, tuan Rikimaru baik sekali," sela Bruno takjub.

"Sesudah penduduk asli dibantai habis-habisan oleh Esteria, kemudian Happolo mengirimkan surat perjanjian pada Rikimaru untuk tidak melakukan migrasi lagi dan memutus perdamaian antara Okuba dan Esteria. Tak hanya sampai di situ, Happolo juga mengirim surat pernyataan perang dengan Okuba. Happolo memberikan dua pilihan pada Rikimaru terkait lokasi peperangan it. Pilihan pertama di Hutan Harappa dan pilihan kedua di Dark Forest, Hutan terluas di Kerajaan Okuba."

Rikimaru memilih Hutan Harappa agar penduduknya tidak terlibat dengan peperangan ini. Kemudian Okuba dan Esteria pun perang yang dimenangkan oleh Okuba, sayangnya Rikimaru harus mengorbankan nyawanya melindungi Caesius yang kondisi sedang tersudutkan dan melihat kematian Rikimaru di depan matanya.

Disisi lain, dari situlah asal genangan Air Abadi itu terbentuk. Sampai saat ini juga Esteria masih dendam dengan Okuba dan Tuan Caesius selalu mencari jalan agar bisa mendamaikan kedua kerajaan seperti dulu.

"Oh."

Mereka berdua mengangguk dengan mata yang tertutup.

"Karena itu buku ini sangat dirahasiakan. Jika ada orang awam yang tak tahu sejarahnya lalu membaca buku ini, orang itu pasti menganggap buku ini penuh kebohongan dan menuntut Tuan Caesius, sebab buku ini dikarang oleh Tuan Caesius seorang. Selain itu, semestinya di Ibukota maupun desa sekitarnya masih memiliki dendam pada Kerajaan Esteria. Jadi kita tak boleh menyebarkan buku ini atau kita terkena imbasnya. Biarkan tuan Caesius yang meyakinkan penduduk di sekitar Okuba suatu saat nanti karena itu juga salah satu tugas Beliau. Kita harus tutup mulut untuk hal ini, kalian paham?"

"Ya, kami paham," serentak mereka berdua. "Tapi mengapa kau mempunyai buku ini? Tadi kau bilang buku ini sangat rahasia," Max bertanya-tanya.

"Ini hadiah dari Tuan Caesius, usaha orang tuaku selama ini mendapatkan prestasi yang luar biasa, jadi Beliau memberikan buku rahasia ini sebagai imbalannya, termasuk aku juga."

"Orang tuamu memang hebat, ya" Max takjub memuji Arstya, wajahnya memerah tersipu malu.

Arstya yang sudah menceritakan rahasia kerajaan, kemudian mereka melanjutkan pembicaraan tentang kehidupannya sampai tak sadar waktu sudah pukul jam 4 sore. Arstya hampir lupa keinginannya ke pantai di suasana sore hari bersama teman dekatnya.

Dengan suasana hati yang gembira, mereka berjalan pelan mengarah ke barat, arah pantai seraya melawak di tengah jalan, dan lagi-lagi mereka tertawa sangat keras yang membuat orang disekitarnya menatap mereka dengan tatapan yang kebingungan dan menggelengkan kepalanya.

Sesampai mereka di kawasan pantai, mereka melihat banyak sekali pengunjung yang ikut berpartisipasi meramaikan pantai, bermain air, membuat istana pasir dan menunggu senja tiba. Burung-burung merpati yang beterbangan melintas juga ikut menikmati suasana pantai.

Angin disana sangat silir dan syahdu, membuat pikiran dan hati mereka tenang tanpa beban, seakan-akan rahasia yang mereka bahas tadi lenyap bagai terbang dibawa angin. Mereka mencari tempat yang sekiranya sepi, bisa menikmati senja dan ada ruang untuk bermain air dan istana pasir nanti.

Mereka berjalan mencari tempat, melewati beberapa stand makanan, persewaan tenda, persewaan sky boat dan pelampung. Beberapa menit mereka mencari tempat yang mereka inginkan, tiba-tiba dari stand makanan cumi bakar, seseorang memanggil mereka bertiga.

Mereka pun menoleh ke samping kanan dan ternyata ada Tuan Vycolt dan David sedang makan bersama. Mereka menghampiri Tuan Vycolt dan David seraya bergurau.

"Apa yang kalian lakukan disini?" tanya David.

"Kami ingin menemani Arstya bermain di pantai. Dia bilang sudah lama tidak bermain di pantai," Max menjelaskan.

"Ohh Bruno, Max, bagaimana kabar kalian?" sela tuan Vycolt tersenyum, janggutnya bercampur hitam putih masih terlihat lebat menutupi leher depan dan dagunya.

"Kami sehat-sehat saja tuan, seperti yang anda lihat" kata mereka berdua kompak.

"Aku dengar kalian ingin masuk ke Asrama Sihir juga. apa kalian sudah memutuskan akan menekuni di bidang apa?"

Bruno dan Max pun saling memandang tersenyum, menganggukkan kepalanya dan menatap gurunya.

"Kami sudah yakin, kami akan masuk ke Asrama Sihir dan memilih untuk mengasah sihir kami agar kami bisa lebih kuat lagi" serentak mereka. Kemudian hening beberapa detik… "Dan aku akan menjadi penyihir terkuat di Dunia ini!"

Bruno berteriak semangat tentang hal itu lagi dan membuat orang melihat tertuju padanya. Satu setengah detik kemudian David tertawa lepas, matanya terpaksa menutup, tak sanggup menahan gairah tawanya.

"Oh itu bagus, Bruno," kata Tuan Vycolt. "Tapi sayangnya Arstya memilih untuk mempelajari ilmu sihir dan ramuan. Dia bilang dia ingin menjadi dokter di Kerajaan," tuan Vycolt menatap putrinya dan tersenyum bangga dengan tekadnya.

Kemudian mereka bertiga meninggalkan Vycolt dan David dan meneruskan mencari tempat yang mereka inginkan. Beberapa menit mencari akhirnya ketemu, bersebelahan dengan bukit kecil mereka bermain air, membuat istana pasir dan setelah itu senja pun tiba.

Langitnya yang berwarna oranye yang menghiasi senja, angin laut yang semakin malam semakin silir, matahari yang mulai tenggelam pun seolah-olah tidur dan tak pernah bangkit lagi. Mereka bertiga berdiri, menatap matahari itu dengan senyuman dan semangat yang berkibar.

Kemudian mereka berjanji akan serius berlatih untuk ujian masuk Asrama Sihir dan tinggal satu atap di daerah kerajaan yang Bruno dan Max impikan.

Satu bulan telah berlalu, akhirnya ujian masuk Asrama Sihir akan dilaksanakan dalam dua hari lagi. Bruno dan Max telah berlatih semaksimal mungkin, tentu saja mereka berbeda dengan satu bulan yang lalu yang mana mereka latihan hanya setengah-setengah.

Keesokan harinya, pagi-pagi sekali mereka telah membawa persiapan mereka untuk mengikuti ujian masuk. Mereka juga membawa beberapa tas dan koper yang berisikan pakaian untuk berjaga-jaga siapa tau mereka lulus ujian itu.

Bruno yang tinggal sendirian akan meninggalkan rumahnya begitu saja, ia menutup semua jendela dan mengunci pintu rumahnya dan mengucapkan selamat tinggal pada rumah tercintanya.

Bruno juga meninggalkan semua buku-bukunya miliknya, namun ia membawa buku yang ia terima dari Arstya. Max yang masih tinggal bersama keluarganya merasa sedih akan meninggalkan keluarganya jika ia lulus ujian itu.

Lalu mereka bertemu di taman desa dan sangat siap untuk melakukan perjalanan ke Ibukota. Namun, sebelum berangkat Bruno teringat jika ia belum berpamitan dengan gurunya, David.

Bruno dan Max kemudian berlari ke rumah David seraya menenteng barang bawaannya, tetapi baru lari beberapa langkah, ternyata David sudah ada di hadapannya. Bruno dan Max pun bersalaman dengan David dan memeluknya, mata mereka berkunang-kunang dan mengatakan beberapa kata perpisahan.

David yang hanya terpaku diam tak bisa membalas perkataan mereka, dan air matanya tiba-tiba saja mengalir di pipinya. David hanya mengatakan..

"Jagalah diri kalian. Aku tahu kalian bisa lolos ujian itu dan menjadi penyihir yang hebat di dunia. Aku yakin itu." Mereka yang mendengarkan itu menangis lepas, sebab David memutuskan untuk tetap tinggal di Desa dan membiarkan Bruno berkelana bersama temannya.

"Terimakasih guru, telah merawatku selama ini. Kau pasti kerepotan membesarkanku, bukan?" kata Bruno tersendat. Meski mereka masih bisa bertemu, namun pembicaraan itu layaknya tak akan berjumpa lagi dengan orang terdekatnya.

Setelah beberapa menit, mereka berjalan menuju keluar desa seraya melambaikan tangannya mengucapkan selamat tinggal pada David. Sekilas Bruno ingat ia belum bertanya pada David tentang kedudukannya di Kerajaan Okuba dan kejadian aneh belakangan ini yang ada di buku Bruno.

Tapi Bruno pasrah tak ingin menanyakan hal itu pada gurunya. Tapi ia akan menanyakan hal itu pada profesor di Asrama Sihir, jika ia ingat.

Bruno dan Max memilih berjalan kaki untuk menuju ke Ibukota Kerajaan, mereka ingin menikmati perjalanan mereka, bersantai dan menganggapnya sebagai pemanasan sebelum ujian masuk. Arstya, teman dekat mereka sudah kembali ke Ibukota sebab Vycolt dan Vionna mendapatkan panggilan mendadak oleh Caesius.

Mereka sangat menikmati perjalanannya seraya bernyanyi ria, dan tak lupa selalu membicarakan hal-hal konyol yang membuat mereka terkekeh lepas. Perjalanan dari Desa Hakuba ke Ibukota Kerajaan memakan waktu satu hari penuh.

Sehingga mereka masih memiliki waktu istirahat dan berkeliling di Ibukota Kerajaan. Jalur menuju Ibukota terbilang gampang-gampang sulit.

Mereka melewati hutan-hutan, sungai yang panjang, desa-desa yang ramah penduduknya, ladang dan sawah yang terbentang luas, dan bukit-bukit yang harus mereka lalui.

Meskipun begitu mereka terlihat biasa-biasa saja. Bahkan mereka sempat bertemu dengan 'Giant Spider', namun laba-laba raksasa itu dibelah dua oleh Max hanya dengan menggunakan sihir anginnya.

Keesokan paginya, akhirnya mereka sampai di Gerbang Ibukota Kerajaan pada pagi hari. Gerbang yang sangat tinggi dan tembok-temboknya membentang panjang melingkar melindungi wilayah Ibukota.

Mereka yang belum pernah berkunjung ke Ibukota, mendadak kebingungan melihat penjaga gerbang yang mengarahkan senjatanya pada mereka berdua. Kemudian mereka menjelaskan alasan berkunjung ke Ibukota dan menunjukkan kartu nama milik Vycolt.

Penjaga gerbang yang mengetahui tentang Vycolt dan keluarganya, mengizinkan mereka masuk dan membuka pintu gerbang besar itu.

Setelah masuk ke pintu gerbang, Max dan Bruno terbelalak, takjub melihat wilayah di Ibukota Kerajaan. Bangunan berjajar tinggi-tinggi yang terbuat dari bebatuan dan dihiasi sedikit butiran emas membuat mata mereka sedikit berkaca-kaca saking takjubnya.

Mereka berjalan seraya memutar-mutarkan badannya dan menengok kanan kiri melewati bangunan-bangunan yang sangat tinggi. Kemudian Max sadar apa yang harus mereka lakukan ketika sampai di Ibukota. Sebelum Arstya meninggalkan Desa, ia sempat memberi alamat rumahnya pada mereka. Di kertas itu tertulis.

Antonio Arstya, Menryo Street no. 12.