Chereads / Petualangan Mavcazan / Chapter 2 - Sebuah Teror

Chapter 2 - Sebuah Teror

"Raja Penyihir, aku ingin menjadi sepertimu, kuat, berani, adil, dan sangat dibutuhkan banya orang. Aku juga ingin menjadi raja penyihir sepertimu suatu saat nanti," kata Bruno pada orang di dalam mimpinya.

"Hahaha. Kau ingin menjadi raja penyihir? Jangan bergurau. Lagi pula tak ada untungnya menjadi Raja Penyihir selain menjadi orang terkemuka di negara ini. Namun jika kau tetap memaksa, temuilah aku di istanaku jika kamu memang sangat ingin menjadi Raja Penyihir. Aku akan memberitahumu semua perjuanganku menjadi Raja Penyihir hingga saat ini," ucap Raja Penyihir dengan senyum yang hangat dan kemudian ia menghilang di hadapan Bruno.

Seketika Bruno terbangun dari tidurnya. Tak tahu waktu ternyata ia tidur di taman hingga malam hari. Di sana sangat sepi, tak ada orang pun kecuali Bruno. Ia sangat kebingungan, tiba-tiba ada selimut dan jaket diatas tubuhnya.

Padahal ia yakin Bruno tidak membawa itu dari rumah gurunya. Seketika Bruno sadar yang dialami di mimpinya sama dengan apa yang dialaminya sekarang. Ia mendadak meneteskan air mata tanpa ia sadari. Disisi lain ia juga senang.

Pikirnya mungkin Raja Penyihir yang memberikan selimut dan jaket itu. Meskipun ia tahu Raja Penyihir tak mungkin muncul disaat suasana tempat sangat ramai disebuah desa. Terlebih lagi taman itu tadinya dipakai pertunjukkan sihir.

Rasa sakit Bruno mulai hilang setelah tidur cukup lama. Apalagi ia dirangkup dengan selimut dan jaket yang memberikan suhu yang hangat dari pria misterius itu. Dengan tubuh yang perlahan pulih, Bruno kembali ke rumahnya dengan perasaan lega dan tenang.

Beberapa langkah kemudian ia teringat dengan perkataan gurunya yang mana ia telah ditunggu gurunya karena ingin mengatakan hal yang penting.

Bruno sempat berpikir ingin pergi ke rumah, namun ia berbalik arah ke rumah gurunya dengan berlari sangat kencang layaknya seperti orang dikejar anjing.

Sesampainya di rumah David, Bruno langsung mengetuk pintu dan memanggil gurunya dengan sangat keras, padahal nafasnya sangat tak beraturan setelah berlarian. Setelah memanggil gurunya berulang kali, tak ada respon dari David.

Kemudian Bruno mengintip dari luar jendela depan rumah David. Di dalam sangat gelap hampir tak keliatan sama sekali. Bruno berpikir mungkin gurunya sedang pergi sebentar.

Saat Bruno meliha-lihat, ada sepotong kertas di atas sela-sela ventilasi pintu, Bruno langsung mengambilnya. Ternyata itu sebuah surat dari David untuk Bruno yang ditulis dengan tinta yang hampir habis sehingga tulisannya samar-samar.

"Bruno, kemana saja kamu? Aku menunggumu seharian dasar bocah. Apa kau lupa jika aku ingin mengatakan hal yang penting? Ngomong-ngomong aku sedang tidak di rumah saat ini. Aku dipanggil oleh Raja Penyihir untuk melakukan misi rahasia. Tunggu sampai aku pulang," ucap David di selembar kertas yang dihiasi robekan-robekan kecil.

Bruno terlihat senang ketika gurunya dipanggil oleh Raja Penyihir. Terkadang wajahnya terlihat girang ketika mendengarkan kata 'Raja Penyihir'. Suatu saat nanti ia ingin bertemu Raja Penyihir dan ingin banyak mengobrol dengannya

Setelah menemukan jawaban dari gurunya. Ia langsung pulang ke rumahnya dengan wajah yang meringis dengan hatinya yang gembira. Sesampai di rumah, Bruno langsung mandi setelah itu makan malam dengan sangat terburu-buru.

Ia langsung berlari kecil ke kamar dan mengambil sebuah buku. Buku yang diambilnya berisi tentang biografi para Petinggi Kerajaan dan sihir yang dimilikinya. Bruno menambah wawasan tentang kerajaan dan sihir dari buku-buku yang ia baca hampir setiap hari.

Bahkan di Kerajaan Okuba sendiri setiap minggunya menerbitkan koran bahkan majalah untuk mengumpulkan beberapa berita terkini. Dia juga membaca buku-buku yang berkaitan dengan sihir.

Hanya itu yang bisa ia lakukan untuk menghibur dirinya saat di rumah. Bruno tinggal sendirian di rumahnya. Kedua orang tuanya meninggal ketika Bruno masih berumur 2 tahun.

Setelah orang tuanya meninggal, David lah yang mulai mengasuh Bruno hingga sekarang. Bisa dibilang Bruno seprei anaknya David, meskipun status mereka hanyalah antara guru dan murid.

Bruno yang sedang membaca buku biografi menteri di kamarnya sampai tak ingat waktu. Berjam-jam ia habiskan waktunya untuk membaca buku-buku yang sekiranya menarik dibaca pada malam itu. Dari buku tentang kerajaan sampai buku ilmu sihir.

Bruno yang sedang melihat-lihat wajah para menteri sangat terkejut ketika tahu bahwa gurunya juga termasuk dalam menteri. Bruno tahu jika gurunya memang ahli dalam sihir, namun yang ia bingungkan, kenapa gurunya justru tinggal di sebuah desa dan tak menjadi menteri? Padahal ia sempat menjadi orang penting di Kerajaan Okuba.

Hal itu membuat Bruno semakin penasaran akan gurunya. Meskipun ia sudah bersama gurunya sejak kecil, Bruno belum mengetahui gurunya secara dalam. Ia sangat menantikan kepulangan David dan ingin bertanya tentang statusnya di Ibukota Kerajaan.

Namun ketika Bruno melihat wajah gurunya di buku yang ia pegang, seketika syok dan langsung melempar buku itu ke arah jendela. Bruno terkejut melihat wajah gurunya.

Foto aslinya sedang membuka mata sembari tersenyum ringan, tiba-tiba saja matanya menutup perlahan-lahan layaknya orang yang sudah mencapai ajalnya.

"Hei guru, kenapa kau mengejutkanku?! Apa kau kurang kerjaan?!" ucap Bruno dengan rasa ketakutan sambil menatap buku itu.

Pikiran Bruno semakin kacau. Ia mulai memikirkan yang tak harusnya ia pikirkan. Bruno kali ini berpikir gurunya terkena musibah. Ia mulai merasa ketakutan dan kekhawatiran mulai menguasai dirinya.

Ia tak henti-hentinya untuk memikirkan sesuatu yang mungkin bisa melumpuhkan mental Bruno. Untuk menghilangkan rasa kekhawatirannya, Bruno langsung berjalan cepat menuju kulkas yang ada beberapa makanan dan minuman.

Ia mengambil beberapa makanan yang mengandung kadar gula. Bruno yakin dengan memakan makanan manis bisa mengurangi stress dan beban pikiran. Setelah makan dengan sangat cepat,

Bruno tak pikir panjang langsung menuju ke kamar dan tidur dengan posisi terlentang lalu menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut yang berwarna hijau. Bruno tak bisa tidur tenang dengan keadaan yang menerpanya.

Ia takut akan sesuatu terjadi pada gurunya yang sedang menjalankan misi rahasia. Sebab David sendiri sangat dekat dengan Bruno, bahkan Bruno menganggap David sebagai orang tuanya. Ia hanya tak ingin kehilangan orang terdekatnya lagi.

Bruno semakin panik, wajahnya ketakutan, pikirannya sangat kacau. Ia tidak bisa tenang setelah melihat kejadian itu. Selain itu tidak ada sihir yang bisa menghilang rasa cemas terhadap sesuatu. Sepengetahuan Bruno, sihir hanya bisa melawan dan menghilangkan sihir lainnya.

Mengesampingkan betapa awamnya Bruno, ia memberanikan diri berjalan ke arah buku itu dengan perasaan berdebar. Ia melihat wajah gurunya telah kembali seperti semula. Tak ada kejadian janggal setelah Bruno mengambil buku tersebut.

"Sial, mungkin aku hanya kelelahan. Selain itu badanku belum sepenuhnya pulih. Ya aku harus yakin."

Bruno memaksa menenangkan dirinya sambil menutup buku yang sempat ia buang. Kemudian ia menaruh buku itu dia atas meja yang bertumpukan buku-buku sihir.

Setelah kejadian itu, akhirnya Bruno bisa tidur dengan keadaan tenang dan lega. Tak ada lagi kekhawatiran dan ketakutan yang menimpanya.

Keesokan harinya, Bruno yang sedang tertidur pulas tidak mendengar bunyi alarm di atas meja, bersebelahan dengan kasurnya. Ia mengatur alarm pukul 06.00 namun ia justru kelewatan hingga pukul 07.30.

"Sial aku kesiangan," ucap Bruno sambil memegang alarm yang cukup usang.

Bruno biasanya selalu bangun pagi sekali. Ia selalu bangun pagi agar bisa mengatur waktu untuk membersihkan rumah, melatih sihirnya, dan berinteraksi dengan kawan-kawannya. Bruno dan kawannya tak pernah sekolah sejak kecil.

Di Desa Hakuba tak ada sekolah khusus untuk mendapatkan pendidikan. Anak-anak di desa itu lebih difokuskan oleh orang tuanya untuk belajar sihir dan berlatih sebagai nelayan, melihat Desa Hakuba yang terletak di tepi pantai.

Karena bangun kesiangan, Bruno tak sempat membersihkan rumah dan berbelanja di pasar untuk membuat sarapan. Setelah bangun ia memilih untuk mandi, membersihkan badan, mencuci muka, dan menyikat giginya sangat perlahan.

Ketika membersihkan bagian telinga, Bruno menjerit kesakitan, tidak, ia terlihat merasakan sesuatu yang perih. Ia ingat betul bagaimana ia mendapat luka dari perbuatan Prajurit Kerajaan dari kerajaan lain.

Bruno selalu merasa kesakitan ketika membersihkan bagian luka itu layaknya kepala dan seisinya akan pecah, dan bersemburan darah ke segala arah. Suatu hari, Bruno sempat trauma dengan sesuatu yang ada kaitannya dengan sihir.

Luka yang hampir memotong telinganya itu, memberi tekanan mental yang sangat dalam. Sampai-sampai ia pernah berharap sihir sesegera mungkin hilang di muka bumi ini agar tak ada lagi yang saling melukai dengan sihir.

Namun beberapa tahun kemudian, trauma yang ia alami mulai larut sebab semakin berkembangnya zaman semakin berkembang juga ilmu sihir. Mau tak mau ia harus mempelajari sihir lagi dan ia mulai menerima perkembangan sihir.

Selesai mandi, ia mengambil handuk tergantung di belakang pintu kamar mandi. Dia mengeringkan badannya sangat perlahan dan hati-hati seperti bocah baru belajar mengeringkan badannya.

Kemudian ia kembali ke kamarnya untuk memakai pakaian yang ia simpan di lemari dekat dengan jendela. Setiap memakai pakaiannya, terkadang Bruno sambil melihat pemandangan Desa Hakuba dari kamarnya. Kebiasaan itu sering Bruno lakukan setiap mandi pagi.

Pakaian yang ia kenakan memang terlihat berbeda, tak seperti orang lain pada umumnya. Namun dapat menarik perhatian karena baju absurdnya lebih mirip dengan seragam yang dipakai oleh prajurit sihir. Bruno sengaja menggunakan seragam itu karena ia akan berlatih sihir.

Namun alasan utama ia menggunakan itu karena mayoritas pakaian miliknya, motif dan ukuran tak jauh berbeda dengan seragam yang ia kenakan saat ini. Keterlambatan waktu bangunnya membuat Bruno harus latihan tanpa sarapan namun hal itu tak ia permasalahkan untuk saat ini.

Ia berpikir harus menjadi Penyihir hebat dalam waktu dekat. Tak boleh ada waktu terbuang sehingga menyia-nyiakan waktu latihan.

Tentu saja ketika latihan tidak mungkin latihan seorang diri. Ia selalu berlatih bersama gurunya. Namun karena gurunya sedang ada panggilan misi, ia biasanya mengajak teman dekatnya, Max. Karena kemarin malam belum sempat janjian, ia terpaksa harus berkunjung ke rumahnya.

Jarak rumah Bruno ke rumah Max tidak begitu jauh. Selain itu menuju ke rumah Max, biasanya Bruno selalu melewati rumah gurunya. Ketika ia melewati rumah gurunya, ia sengaja jalan dengan perlahan dan melihat seisi rumah David dari luar jendela.

David masih belum pulang dari misinya. Rumahnya masih nampak kosong melompong, tak ada penghuninya. Bahkan gelas minum di atas meja pun tak bergerak sedikitpun.

"Guru, kapan kau pulang, aku ingin cepat-cepat dilatih olehmu," ucap Bruno dalam hati dengan wajah murung.