Chereads / My Precious Lady Villain / Chapter 4 - Page 3: The Life of A Villain Begin

Chapter 4 - Page 3: The Life of A Villain Begin

Argh watever-lah... sekarang coba kita cari tau sejak kapan Naira berubah jadi villain begitu...

Tik-tok-tik-tok... bunyi detik pada jam dinding kamarku terdengar merdu mengisi kekosongan yang ada di dalam otakku.

Duuung!!!

Aku seolah mendengar bunyi gong yang menandakan bahwa waktu berpikirku sudah habis. Tapi, apa iniiiiiiiiii?

Mengapa tidak ada ingatan dalam novel yang menyebutkan kapan pastinya Naira berubah menajdi jahat!! ARRRRGH!!!

Kembali aku mengacak-acak rambut ungu indahku itu, kesal.

Oh well, that's the villain for you. Aku gak bisa protes dong kalau Novel "My Precious Princess" itu emang cuman berfokus ke tokoh protagonis dan semua itu diambil dari sudut pandang si narator alias orang ke tiga.

Lagi-lagi aku cemberut dengan kenyataan menyebalkan yang tengah kualami saat ini. Tidak ada satupun ingatan maupun gambaran yang mampu memberikanku sedikit petunjuk mengenai peranku. Akupun menyerah, facedesk dengan hal tersebut.

Aku menelengkan kepalaku di atas meja, kulihat Kyuven masih duduk dengan tenang menungguku di samping meja. Kembali aku menghela nafas.

Satu-satunya hal yang kuingat adalah ketika Naira menampar si tokoh utama... Araya waktu itu memuji warna mata dan rambut Naira yang berwarna ungu. Tapi, hal tersebut malah membuat Naira murka sampai menampar Araya dan sang pangeran yang kebetulan melihatnya dari kejauhan pun akhirnya memutuskan pertunangan dengan Naira dan memberi hukuman padanya.

Nah... loh... wait??? Emang sejak kapan si pangeran tunangan dengan Naira B-T-W?? Aku kog gak ingat pernah baca bagian itu???

Akupun kembali bertopang dagu di atas lenganku yang terlipat di dada, BERPIKIR. Sambil ber-hmm-hmmm aku memejamkan kedua mataku, menggali kembali memori dan ingatan Naira serta novel yang kubaca.

Daaaaan bisa kalian tebak... karena ini adalah novel yang diperuntukkan kepada si protagonis ya... ther is no reason buat seorang villain seperti aku untuk diangkat kisahnya di dalam novel selengkap itu.

Nih, yang ngarang Novel My Precious Princess siapa sih ... pelit banged jadi orang kalau mau ngembangin karakter, cuman para tokoh di sekitar main heroes doang.

Well, ya sudah yang penting aku punya data cukup untuk mengatasi peran villain yang nantinya kumainkan ini. Hmmm... kalau dipikir-pikir lagi, bukankah di dalam novel dikatakan kalau gelar Archduke diberikan kepada Ayahanda oleh sang Maharaja Iztanha sendiri hal itulah yang membuat ayahandaku sangat dihormati sekaligus disegani.

Bahkan ada pula yang merasa takut saat berhadapan dengan pemilik gelar tersebut. Karena ayah merupakan orang kepercayaan Maharaja yang mulia. Apakah itu juga penyebab alasan mengapa Naira bisa bertingkah seenaknya?

Ke esokan hari-nya. Di ruang keluarga.

"Maafkan Naira, Ayah... sepertinya pendengaran Naira sedikit terganggu. Tadi ayah bilang apa? Nanti siang pangeran akan datang berkunjung??" tanyaku dengan senyum yang lebih mengekspresikan rasa ketidak-percayaan.

"Itu benar Naira. Kamu tidak salah dengar sama sekali putri ku." Ayahandaku menjawab dengan senyum hangat.

Wow... baru juga kemarin aku berencana bagaimanapun akan menjauhi plot si pangeran. Eh nih orang malah ke sini aja. Aku hanya bisa menyeruput susu cokelatku dengan wajah datar.

Apa aku pura-pura nggak enak badan saja, ya?

"Oh, iya Ayahanda... memangnya kalau boleh Naira tau ada perlu apa pangeran datang kemari?" tanyaku dengan polosnya yang malah mendapatkan balasan tatapan ketidak-percayaan dan heran dari seluruh mahluk di dalam ruang keluarga.

Aku yang masih tidak mengerti dengan ekspresi mereka hanya bisa mengerjapkan mata penuh tanya.

"Honey... tidakkah kamu merasa sangat senang setiap kali putra mahkota pergi mengunjungi mu secara langsung?" tanya ibunda kali ini

Gulp, o-ow ... sepertinya aku melewatkan sesuatu dan aku harap tidak mengacaukan semuanya.

"Ohh... iya tentu saja Ibunda. Nai merasa sangat senang sekali... tetapi, tidakkah pangeran uh-umm... sendang sibuk dengan uhm... pelajaran dan latihannya untuk menjadi putra mahkota?" jelasku dengan terbata-bata,

Owh shoot, gaya bicaraku yang dulu ternyata tidak bisa hilang. Kupejamkan mata erat. Walaupun, tentu saja masih merasa was-was.

"Ohh... I see-i see. Ya-ya-ya tentu saja sebagai calon tunangan putra mahkota kamu berhak menghawatirkan waktu dan pendidikannya. hmm... sudah kuduga, putriku memang luar biasa pengertiannya."

SPRUT!!!

Saking kagetnya hampir saja aku kehilangan manner, susu cokelat yang baru saja aku seruput hampir muncrat.

"Uhh... Ayahanda?" panggilku dengan wajah yang entah harus berekspresi seperti apa.

"Ano... uhm... sejak kapan Nai menjadi calon tunangan pangeran?" tanyaku yang lagi-lagi mendapatkan sambutan ketidak-percayaan dari semua pemilik telinga di ruangan ini.

"My sweetheart... bukankah kamu sendiri yang menginginkan pertunangan dengan pangeran... kamu bahkan bilang kalau kamu tidak akan pernah mau menikah dengan orang selain pangeran." Jelas ibunda dengan senyum yang masih terlihat manis walau sepertinya sedikit menaruh curiga.

Aku? Tidak perlu kalian tanya... aku sama sekali tidak ingat bahwa memang benar Naira pernah mengatakan hal semacam itu.

AAARRRRGH NOOOO!!! Apa yang musti aku lakukan sekarang???

Teriakan itu hanya mampu kulantunkan di dalam benakku.

"Apa kamu juga masih ingat sayang?" tanya ibunda pada ayahanda yang tengah duduk di sampingnya.

"Walaupun Yang Mulia baginda menyetujui hal tersebut dengan syarat pertunangan kalian akan dilaksanakan saat hari ulang tahun putra mahkota."

"Naira benar-benar tidak sabaran sampai-sampai hampir saja merengek di depan baginda yang mulia dan putra mahkota." Jelas ibunda bercerita panjang lebar yang malah membuatku malu tak karuan. Ayahanda menanggapinya dengan tawa kecil seolah mengingat kejadian menggemaskan.

Aku hanya bisa merunduk malu dengan wajah semerah tomat. Oh gosh.

"Say Nai... apakah kamu masih ingin bertunangan dengan pangeran?" kini kak Roland yang mengajukan pertanyaan kepadaku dengan mimik wajah serius.

"Huh? Ya? Maksudku tidak... itu... uhh... kalau semisalkan Nai bilang, Nai tidak jadi ingin bertunangan dengan putra mahkota lagi... apakah keluarga kita akan mendapatkan hukuman?" tanyaku lagi-lagi dengan takut-takut dan nada sedikit terbata.

"Maksudmu. Kamu sudah tidak punya niatan untuk bertunangan dengan pangeran, Nai?" kali ini kak Arvan yang bertanya dan entah kenapa sedikit sumringah.

"Uhh... iya... sebenarnya, Nai sudah memikirkan hal tersebut berulang kali. Naira merasa kalai Nai sama sekali belum pantas menjadi pendamping pangeran. Jadi, kalau memang tidak akan kenapa-kenapa... Nai... ingin membatalkan rencana pertunangan dengan pangeran."

Ucapku dengan senyum manis. Salah... sepertinya aku sudah sangat mengacau dengan ucapanku yang salah. Keringat dingin seolah kembali bercucuran di wajahku yang masih menatap ayahanda dan ibunda dengan senyum. Bibirku mulai kaku dengan senyum yang kupaksakan iniiiiiiiiii.

"Oh My Gosh!!"

Tiba-tiba saja kak Arvan sudah mengambil cangkir dari tanganku dan meletakkannya ke meja. Lalu memelukku, "akhirnya, Nainai-ku mengatakan dan memutuskan hal yang benar. Jangan cemas Nainai. Kakakmu ini yang akan menikah denganmu... I meant membantumu untuk menghadap Maharaja yang mulia mengenai hal tersebut.

"Arvan benar... ahem ... kakak bangga padamu. Kakak juga akan menemanimu menyampaikan hal tersebut pada Maharaja yang mulia." Kali ini kak Roland yang tengah duduk di sampingku, tersenyum sambil mengusap-usap puncak kepalaku.

Phew... Syukurlah kedua kakakku tidak menaruh curiga. Tetapi, entah kenapa aku masih merasa kalau, Anne, Derrick dan Diego masih merasa aneh dengan perubahanku. Sama terheran-herannya dengan Ayahanda dan Ibunda.

But Well, paling tidak aku sudah punya kedua kakak-kakakku yang tampan itu sebagai back up-an.

Untuk saat ini saja itu sudah lebih dari cukup, yang jelas sekarang... bagaimana aku harus menghadapi si putra mahkota ini?