"Bukalah matamu."
"Tidak apa-apa, jangan takut."
"Yakinlah."
Seseorang mengatakan semua itu dengan nada yang begitu lemah lembut dan penuh pengertian. Seolah, dia mengetahui segala sesuatu yang membuatku bimbang untuk melakukannya.
"Lakukanlah dengan perlahan, pasti kau akan baik-baik saja." Imbuhnya.
Aku menurutinya, membuka mata perlahan dan meyakini jika apa yang dia katakan benar.
"Si—Siapa, kau?"
Aku melihatnya, maka dari itu aku bertanya.
Seorang pria tinggi bermata biru dan berambut krem dengan balutan jubah putih. Dia juga memakai slendang transparan yang melingkari lehernya.
Wajahnya yang tampan begitu putih berseri-seri, membuatnya tampak bersahaja. Lalu, ada semacam lingkaran emas menyala di atas kepalanya. Dan yang paling aneh, dia mengambang di udara.
Tersadar, kini aku berada di tempat entah bagaimana aku menjelaskannya. Semuanya putih, sangat berbanding terbalik dengan apa yang sering aku lihat. Sementara itu, saat aku mendongkakkan kepala aku bisa melihat langit biru yang cerah dengan awan yang menggantung tenang di sana.
"Apakah ini mimpi?" batinku bertanya-tanya.
Aku meragukan semua kenyataan ini, aku tak terima jika tiba-tiba bisa mendapatkan semua ini. Kemudian aku menunduk, lalu kupejamkan mata dan mengusap-usapnya kasar.
Setelah puas melakukannya, aku membuka mata dan menatap ke arah pria itu lagi. Seakan tahu, kali ini dia tersenyum dan mengangguk seolah menjawab keraguanku.
"Aku ..., bisa melihat?"
Mengangguk untuk yang kedua kalinya, pria itu kemudian melayang dan mendekat.
"Perkenalkan, namaku adalah Michaella. Seorang malaikat yang diutus langsung oleh Tuhan untuk menyambutmu." tuturnya seraya memperkenalkan diri.
Cara dia bersikap dan bercakap, semuanya sangat memperkuat ucapannya. Kesan yang aku dapat darinya dia memang jujur dan berkata yang sesungguhnya. Tak sedikitpun aku merasakan keraguan dan lelucon saat ini, seakan semuanya sudah diatur untuk datangnya momen ini.
"Ma-Maaf, aku sangat bingung saat ini. Bisakah kau membantuku untuk meluruskannya terlebih dahulu?"
"Dengan senang hati," balasnya penuh pengertian. "... kalau begitu, cobalah melihat ke bawah."
Aku menaikan kedua alis mata. Malaikat pria yang bernama Michaella itu lalu mengangguk sekali lagi.
Saat aku menunduk, yang terlihat di sana adalah genangan air menyerupai sebuah danau, akan tetapi ukurannya sangatlah luas. Itu membentang hingga jarak maksimum pandanganku.
Airnya begitu tenang, bersih, dan sebening kaca. Mengejutkannya lagi, aku baru menyadari jika aku tengah berdiri di atas permukaan air danau tersebut.
Keterlambatanku dalam menyadari semua ini mungkin bisa terjadi karna terlalu banyak sesuatu yang bisa kulihat, setelah sekian lama tak melihat wujud dunia.
"Airnya, sangat jernih ..." Kataku saat melihat pantulan diri ini yang memakai busana serba putih di atas permukaan air. "Lalu, apa yang ingin kau tunjukan padaku?"
Dia lalu mengeluarkan sebuah guci kecil dari balik jubahnya. Guci itu kemudian dimiringkan hingga keluarlah setetes air dan jatuh ke bawah menyatu dengan permukaan danau.
Setelah riak kecil tercipta dan air danau kembali tenang, terlihat sebuah citra yang terpancar dari permukaan danau tersebut.
Aku kemudian menyipitkan mata agar dapat melihat dengan jelas.
Tampak di sana sebuah gambaran situasi pada sebuah kerumunan massa yang riuh. Hingga akhirnya perhatianku tertuju kepada seorang gadis berambut coklat yang sedang duduk bersimpuh dan menangis di tengah kerumunan massa.
Ini aneh ... entah mengapa melihat gadis itu menangis membuatku sedih. Apalagi setelah aku menyadari di atas pangkuan gadis itu tergeletak kaku seorang pemuda yang kepalanya bersimbah darah.
"Pemandangan yang menyedihkan sekaligus mengerikan. Terlebih gadis itu, dia terlihat sangat sedih dan putus asa." Ucapku prihatin.
"Aku setuju dengan apa yang kau katakan. Dia adalah sahabat karib dari pemuda yang telah tewas itu. Pemuda tersebut, tewas karena melindungi seorang anak kecil yang hendak dijadikan sandera oleh kawanan perampok. Karena tak mau menyerahkan anak kecil itu, pemuda tersebut ditembak dengan senjata api dari jarak yang begitu dekat, tepat di kepalanya." Jelas Michaella.
Aku yang mendengar cerita tragis itu hanya menghela napas setelah mengetahui, betapa malangnya nasib pemuda tersebut.
Aku pun jadi membatin, "Apakah dia tidak memikirkan keselamatannya sendiri? Kenapa dia nekat bertindak sejauh itu untuk menyelamatkan anak kecil itu? Setelah semua yang telah terjadi, pada akhirnya dia hanya membuat gadis itu menderita."
"La—Lalu, bagaimana keadaan anak kecil yang dilindungi oleh pemuda itu?" tanyaku.
Michaella tersenyum dengan mata yang berkaca-kaca, dia bahkan melihat ke arahku dengan mimik muka sedih.
"Anak kecil itu terselamatkan atas lindungan pemuda tersebut. Karena, setelah menewaskan pemuda itu para perampok segera melarikan diri." Jawab Michaella serak.
"Syukurlah, jadi sudah tak ada lagi korban jiwa?"
Michaella mengangguk berat, "Benar ..., semua itu berkat dirimu, Fate."
Seketika aku pun terdiam. Napasku tertahan dan mataku perlahan terbelalak seolah menyadari sesuatu.
Tiba-tiba, telingaku mendengar sesuatu yang nyaring diiringi sakit kepala yang ringan. Lalu, sekelabat ingatan yang bagaikan aliran air mengalir deras memenuhi kepala.
Setelah beberapa sekian detik kemudian, suara nyaring yang terdengar dan pening di kepala berlalu, dan hanya menyisakan memori yang baru kuingat.
"Ah ... jadi seperti itu, ya..."
Aku yang sudah mengerti dan mengingat segala sebab-akibat semua ini, hanya menghela napas panjang dan tersenyum kecil.
"Be-Begitu, ya. Jadi karena itu aku sekarang berada di sini...," kataku pelan seraya kembali menatap ke bawah. "... karena aku, sudah mati."
Itulah kesimpulan yang bisa aku tarik dari semua keadaan saat ini. Saat mengetahuinya, sejujurnya aku terkejut, dan aku mulai berpikir dalam hati.
Apakah seperti ini rasanya jika setelah mati?
Hanya saja, aku merasa jika aku yang sekarang terasa sangat ringan. Terlepas dari segala beban pahitnya kehidupan.
Namun, saat aku memikirkannya lagi, aku teringat seseorang yang selalu ada dan menemaniku saat menjalani hidup.
Sepahit apapun kehidupanku, dia ada di sana untuk memberiku semangat. Dan tentu saja, seolah tak pernah lelah dia bahkan rela menjadi "jendela" untuk diri ini melihat dunia.
"Ma-Maafkan aku, Nenela. Pada akhirnya, aku hanya bisa membuatmu sedih..." ucapku gemetaran.
Setelah sekian lama, akhirnya aku bisa melihat rupa gadis yang senantiasa berada di sisiku, Nenela. Ternyata, kini dia sudah tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik.
Mata bulatnya, adalah mata yang selama ini selalu menjadi jendela untukku melihat dunia. Jemari lentik itu seringkali ia selipkan di antara sela jariku, menuntun kaki ini untuk melangkah seirama dan menjelajah dunia.
Telapak tangannya memang tak lebar, akan tetapi kehangatan yang selalu Nenela berikan ternyata dari sana. Bahkan, kelembutannya terasa masih tertinggal di telapak tanganku.
Namun saat ini Nenela terlihat begitu sedih, menderita, dan hancur. Aku sungguh tak kuasa untuk melihatnya kesakitan meratapi takdir yang telah mengambil diriku dari hidupnya.
"Aku mohon, Nenela ... berhentilah menangis. Berhentilah berteriak jika Tuhan begitu kejam ..., dan berhentilah menyakiti dirimu sendiri," pintaku serak. "... sudah, sudah cukup."
Aku mendadak kesulitan untuk bernapas, aku pun mencengkram dada dan menunduk.
Aku pun tak kuasa untuk menahannya lebih lama lagi, saat aku jatuh bersimpuh air mata yang kubendung segera deras keluar.
Saat ini, aku merasa menjadi orang yang paling kejam dan jahat semasa hidup. Meskipun aku tahu dan sadar jika ini sia-sia, yang bisa terucap di sela tangisku hanyalah meminta maaf kepada Nenela yang telah kutinggalkan untuk selamanya.
Setelah puas menangis, aku melihat anak kecil yang aku selamatkan tengah memeluk Nenela. Terlihat Nenela menegarkan dirinya, dia mencoba tersenyum dan mensyukuri keadaan anak kecil itu.
"Syukurlah ... syukurlah ...."
"Fate, dengarkanlah. Berkat pengorbanan, ketulusan, dan kemuliaanmu. Banyak malaikat Surgawi sepertiku yang terenyuh dan tersentuh ketika melihat tindakanmu," jelas Michaella. "walau begitu, tak ada yang bisa kami lakukan. Kami hanya mampu mengirim do'a, agar Tuhan lekas memberikan para perampok itu ganjaran yang setimpal."
Aku menyeka air mata yang tersisa dan bangkit, "Itu sudah cukup, Michaella. Mengetahui jika ada yang menangis untukku saja, sungguh itu sudah lebih dari cukup."
"Begitu... "
"Yang saat ini aku harapkan hanyalah agar Nenela bisa merelakan kepergianku, dan dirinya bisa kembali ceria untuk terus menjalani hidup."
Pada akhirnya, aku tidak mampu menyesali semua ini. Menyesal hanya akan membuatku menderita, dan berujung pada keinginan untuk kembali.
Mengetahui keinginan untuk kembali adalah sesuatu yang mustahil, sudah cukup membuatku berpikir untuk tak perlu melakukannya.
Tak ada lagi pilihan tersisa untuk dipilih. Lagipula, sejak awal semua ini tidak bisa disebut sebuah pilihan, karena aku tidak diberi pilihan lain selain menerima semuanya.
Jika memang harus seperti ini, tak ada yang bisa aku lakukan. Akan kuikuti ke mana semua ini berlabuh.
Dan teruntuk Nenela. Aku yakin, dia akan merelakan semua kejadian ini seiring waktu yang akan mendewasakan pikirannya.
Dia akan mengerti, dibalik sebuah pertemuan selalu tersembunyi sebuah takdir yang akan memisahkan kita suatu hari nanti. Karena, sejak kita terhubung oleh sebuah tali pertemuan, saat itu juga takdir telah menggariskan di mana kita nantinya akan berpisah.
Aku percaya jika Nenela pasti bisa melakukannya. Karena aku sangat tahu, jika sebenarnya dia adalah sosok gadis yang kuat dan tegar.
"Sepertinya, kau sudah tak memiliki beban di dunia, ya?" kata Michaella.
"Umm, mungkin demikian. Untuk setelah ini, aku hanya perlu bersiap."
"Begitu. Tapi, bagaimana jika Tuhan akan memberimu sebuah takdir baru untukmu. Apa yang akan kau lakukan, Fate?"
Saat mendengar itu, aku hanya menatap Michaella bingung.
Aku pun mulai berpikir jika dia bercanda dan ingin menguji seberapa kuat tekadku yang telah memilih untuk menerima takdir ini.
Namun, jika memang Tuhan berkehendak demikian dan itu benar. Maka, aku akan—
"Apakah kau masih memiliki sesuatu yang ingin dilakukan?" tanya Michaella seolah membaca pikiranku.
"Tidak ada—"
"Kau ingin melihat bintang, 'kan?" potongnya.
Perlahan, aku membelalakan kedua mata. Sedangkan Michaella, dia hanya tersenyum melihat reaksiku.
"Benar. A–Aku sangat ingin, melihat bintang... " Balasku sambil mengepalkan erat tanganku.
Konyol sekali. Aku memiliki sebuah keinginan yang semua orang bisa raih dengan mudah. Namun, bagiku yang telah kehilangan penglihatan untuk melihat dunia semenjak umur 5 tahun. Melihat bintang beserta cahayanya yang nyata, merupakan sesuatu yang hanya bisa aku harapkan.
Meskipun sudah lama aku lupakan, tak bisa dipungikir jika aku tidak akan pernah bisa berhenti untuk mengharapkannya.
"Fate, sejak awal Tuhan telah merencanakan sebuah takdir indah untukmu, akan tetapi beliau suatu hari menemukan takdir yang jauh lebih indah daripada takdir sebelumnya," papar Michaella. "oleh sebab itu, setelah sekian lama membuatmu menunggu Tuhan akan memberikan takdir itu sekarang padamu."
Aku tak tahu harus bereaksi seperti apa saat mendengar perkataan Michaella. Mengingat selama ini, aku selalu membenci takdir beserta yang memberinya.
Namun kenyataannya, sang pembuat takdir itu sendiri telah merencanakan sesuatu yang indah untukku.
Sejujurnya, aku menjadi merasa sangat malu dan hina saat ini.
"Tu—Tunggu dulu, Michaella. A—Apakah seseorang sepertiku, berhak untuk menerimanya?" Tanyaku sampai terbata.
"Ya, kau memang pantas mendapatkannya."
"A-Apakah aku, bisa melihat bintang?"
Teruntuk yang kesekian kalinya, Michaella pun tersenyum dan mengangguk.
"Tentu saja, kau akan melihatnya segera. Kalau begitu, mari aku antar kau menuju dunia di mana kau bisa melihat bintang."