Ketika tengah melangkah tiba-tiba kakiku tersandung sesuatu, mengakibatkanku kehilangan keseimbangan dan tersungkur ke depan.
Aku lalu mengaduh dan menutup mata di saat yang bersamaan. Kemudian, terasa tubuhku menyentuh sesuatu yang dingin membuatku langsung membuka mata dan tercekat.
"Aku—Ini di mana?"
Semua yang kulihat kini tertutupi sebuah lapisan putih yang berkilauan dan dingin.
Aku segera berdiri dan membersihkan jubahku dari tempelan benda putih yang berkilau.
"Sejak kapan aku berpakaian seperti ini?" gumamku kebingungan.
Setelah diteliti, kini aku menggunakan sebuah jubah hitam yang memiliki banyak bulu pada pergelangan tangan, bagian bawah jubah, dan kerahnya. Sedangkan bagian bawah, aku menggunakan sepasang sepatu boot, serta celana berbahan tebal sewarna dengan jubahku.
Apa-apaan dengan setelan pakaian ini?
Pasti yang memilihnya memiliki selera yang buruk.
Namun setidaknya, dengan pakaian ini aku merasa tetap hangat.
Aku lalu menghela napas, kepulan asap putih pun menggantikan udara yang dikeluarkan dari mulut.
"Jangan-jangan, semua ini adalah hadiah yang Michaella maksud, ya?"
Kusentuh benda putih kecil berkilau yang tengah melayang dan turun perlahan di udara. Ketika aku sentuh benda itu terasa dingin, kemudian mulai mencair menjadi setetes air.
"Jadi, ini yang dinamakan salju, ya?"
Jika saat ini tengah turun salju, berarti di daerah ini tengah mengalami musim dingin, ya. Lebih tepatnya, di [Yggdrallia] tengah memasuki musim dingin.
Tempat aku berada kini mungkin di dalam hutan. Karena, banyak sekali pepohonan rindang yang tertutupi oleh lapisan salju. Rerumputan dan tanahnya pun nyaris tersamarkan.
Dari arah belakang, samar terdengar tumpukan salju diinjak. Aku lalu reflek menoleh ke belakang.
"Binatang apa itu?"
Seekor binatang berkaki empat tengah berjalan di atas tanah bersalju, seraya menundukan kepala dan mengarahkan hidungnya ke bawah. Binatang itu memiliki rambut lebat berwarna oranye, ekor yang panjang, dan telinganya lebar.
"Apakah binatang itu disebut rubah?"
Ini tidak akan pernah ada akhirnya, kecuali aku memikirkannya sembari mencari tahu semua yang aku lihat.
Semasa hidup, aku hidup dalam kegelapan yang diakibatkan oleh kecatatan kedua mataku. Menjadi buta untuk sekian lama, membuat diri ini mulai lupa akan rupa, wujud, dan bentuk semua benda hidup maupun mati. Bahkan, dunia yang aku tinggali sendiri.
Namun, Nenela senantiasa menceritakan kepadaku betapa indahnya dunia dan seisinya, menjadikanku bisa tetap mengetahuinya walaupun sulit untuk membayangkannya. Itulah mengapa, bagiku Nenela seperti menggantikan 'mataku'.
"Lupakan rubah itu, aku harus keluar dari hutan ini terlebih dahulu."
Dengan bermodalkan nekat dan intuisi, aku pun mulai menyusuri hutan. Langkahku tak jarang tersendat-sendat, dan itu membuat kedua kakiku mulai kedinginan.
Namun syukurlah, jubah yang aku pakai sepertinya dibuat khusus untuk digunakan di saat keadaan seperti ini. Badanku yang rasanya menjadi lebih berotot, terasa tetap hangat.
Tak terasa cuaca menjadi semakin dingin, dan salju yang turun bertambah banyak. Sepertinya sudah semakin larut, terbukti langit kian bertambah gelap.
Dari samping, tiba-tiba aku mendengar suara gemersik rerumputan diinjak. Saat menoleh, itu berasal dari dalam semak-semak belukar tumbuh cukup tinggi.
Karna penasaran, aku pun berhenti melangkah untuk memastikannya dari dekat.
Karena pencahayaan yang kurang, pandanganku juga melemah. Namun, samar aku melihat sepasang cahaya merah bulat yang bersinar.
Cahaya itu balas mendekat, diiringi derap langkah kaki yang berat. Terdengar sangat jelas, kakinya yang besar menginjak semak-semak yang dihinggapi salju.
Merasakan sesuatu yang tengah mendekat adalah suatu ancaman. Aku perlahan mundur demi selangkah, dan menahan napas.
Semakin cahaya itu mendekat, aku mulai mendengar geraman yang berat, seolah membenci keberadaanku.
Tenanglah ...
Aku berhenti bergerak saat merasa jika sudah membuat jarak yang aman.
Di belakang punggungku, aku memiliki sebilah pedang yang tersimpan di dalam sarungnya. Jadi sudah pasti, pedang itu harus dimanfaatkan untuk situasi macam ini.
Menyadari semua itu, aku dengan percaya diri mulai menurunkan punggung dan mencoba menggapai pedangku.
Namun, duniaku tiba-tiba serasa berhenti berputar saat aku hendak menarik pedangnya. Aku kebingungan sendiri, karena tanganku tak kunjung menggenggam pegangan pedangnya.
Sementara itu, dari balik semak munculah seekor beruang hitam bertanduk. Ukuran tubuhnya besar karna dia berdiri menggunakan kedua kakinya. Itu bahkan hampir 4 meter kurasa.
Dia melotot ke arahku, dan menggeram. Menyebabkan air liurnya tumpah di sekitar mulutnya yang memperlihatkan sepasang gigi taring besar.
Di saat kepanikanku kian memuncak aku segera menoleh kebelakang cepat, dan ternyata dugaanku sebelumnya benar. Sarung pedang yang sedari tadi kugendong di punggung tidak memiliki pedang di dalamnya.
Kau pasti bercanda, 'kan?!
Apakah aku menjatuhkannya?
Apakah ak—
Beruang itu langsung meraung keras dan menerjang ke arahku.
"Sial!"
Aku reflek menghindar dengan cara melompat ke samping. Tubuhku pun berguling-guling di atas tanah bersalju.
Beruang itu tersungkur juga, akan tetapi dia langsung bangkit kembali dan menggeram.
Tanpa pikir panjang. Aku segera memutar tubuh dan berlari. Dan tentu saja, beruang itu mengejarku.
Sial, larinya cepat sekali!
Aku berlari mengikuti jalan setapak buatan yang ada. Walaupun terutup salju, aku beruntung masih bisa mengikuti arahnya karena terdapat perbedaan tinggi antara jalan setapak dengan tanah di sampingnya.
Tunggu dulu—
Jika di dalam hutan ini ada jalan setapak buatan. Maka, di sekitar hutan ini pula ada seseorang yang meninggalinya. Tidak, mungkin malah terdapat penduduk desa yang ternyata tinggal di sekitar hutan ini.
Aku tahu jika ini hanyalah sekedar intuisi. Tapi, bagaimana kalau jalan setapak ini akan membawaku ke desa di sekitar sini? Bukankah, aku sama saja memberi makan beruang tersebut?
Mengetahui itu, aku menggeretakan gigi.
Sial!
Aku bahkan selum sehari hidup di dunia ini.
Aku memutuskan untuk membanting arah dengan menerjang ke samping jalan setapak, yang berupa semak-semak belukar.
Langkahku mulai tak beraturan. Seringkali aku terperosok salju dan terpaksa memakan waktu untuk bisa melepaskan diri.
Beruang itu mungkin tertinggal, akan tetapi indra penciumannya begitu tajam. Terbukti, aku beberapa kali bersembunyi di balik semak, pepohonan, dan batu. Dia tetap bisa mengetahui keberadaanku. Terpaksa aku tetap berlari dan semakin masuk ke dalam hutan.
Tak terasa, langit sudah berganti warna menjadi gelap. Besyukur bulan berbelas kasih padaku dengan memancarkan sinarnya yang begitu terang, menjadikan penglihatanku agak bisa diandalkan meskipun itu remang-ramang mengiungat begitu lebatnya hutan ini.
Tiba-tiba, beruang itu berhenti mengejarku.
Sembari mengatur napas yang tersengal-sengal, aku pun berhenti berlari dan menoleh kebelakang.
"Apa dia sudah menyerah?"
Nampak, beruang itu hanya diam mematung. Namun, dia tiba-tiba mencabut sebuah pohon di sekitarnya, dan melemparkannya ke arahku.
Aku segera menghindarinya. Akan tetapi, dia malah melakukannya lagi dan lagi. Kali ini, dia malah melempariku dengan batu.
Sejauh ini, aku berhasil menghindari semua lemparannya.
Beruang itu berhenti bergerak, sepertinya dia kehabisan pohon dan batu untuk dilempar. Namun, seolah tak kehabisan akal, dia mengeluarkan kuku-kuku tajamnya.
Aku menggeretakan gigi saat melihatnya. Segera aku berpikir untuk mencari celah situasi saat ini.
Gawat, ini mulai memburuk.
Terus kabur juga tidak akan menjamin aku bisa lolos dari situasi ini.
Jadi sudah jelas, pilihan yang tersisa hanyalah meladeninya.
Aku lalu menengok kebelakang sekali lagi, memastikan jika sejak awal di dalam sarung pedang yang aku bawa tidak ada pedang yang tersimpan di sana.
Hadiah macam apa yang Kau berikan padaku, Michaella?
Sangat tidak lucu.
Mengesampingkan itu, saat ini aku harus mencari cara untuk melawannya. Ini menjadi masalah karna aku terlalu percaya diri saat di hadapan Michaella. Seharusnya, aku memintanya untuk memberikan petunjuk lebih banyak. Semisal, cara menggunakan Sihir.
Karena jengkel melihatku terlalu lama berpikir. Beruang itu menerjang ke arahku dengan gerakan yang lebih gesit.
Setibanya di hadapanku, cakar kanannya ia ayunkan dari samping dan menebasku secara horizontal.
Aku menjatuhkan diri ke bawah, dan nyaris gagal menghindari serangannya. Akibatnya, pipiku tersayat.
Menyadari ada celah, aku segera menendang perut keras beruang itu. Dia terkejut, tubuhnya terdorong dan berakhir tersungkur kebelakang.
Aku langsung bangkit dan hendak melanjutkan serangan. Namun, giliran beruang itu yang menendangku hingga terpental ke samping.
"Ngap!" pekikku.
Kuku kakinya ternyata tak kalah tajam, menyebabkan kulit perutku robek akibat serangannya barusan.
Tubuhku melayang sesaat di udara lalu jatuh dan berguling-guling di tanah, hingga berhenti saat tak sengaja menabrak pohon.
K—Kuh!
Aku melihat darahku berceceran mengikuti jejak tubuhku berguling. Salju putih yang menggunduk di tanah kini sudah berwana merah bercampur dengan darah.
Saat memeriksa luka di perut dengan menyentuhnya, aku langsung merasakan sensasi terbakar dan perih yang sangat hebat.
Aku menggeretakan gigi dan mencoba tetap tenang. Luka semacam ini sejujurnya sungguh membuatku takut dan panik. Jemariku merasa menyentuh sesuatu yang bertekstur kenyal dan licin, serta tak lupa aromanya yang anyir.
Saat kulihat, ternyata lebih buruk dari dugaanku. Luka robek yang sepanjang perut dan merekah, memperlihatkan daging dengan begitu banyak darah menggenang.
Dengan tergesa, aku pun mencoba duduk.
Ya ampun, ini sakit sekali!
Jantungku berdetak makin tak karuan. Adrenalineku benar-benar terpacu, membuat sekujur tubuh mulai gemetar dan darahku mendesir.
Terdengar lagi, beruang itu meraung keras. Dia menurunkan pandangan dan menatap tajam ke arahku.
Tanpa ancang-ancang, beruang itu melesat dengan mulut yang tetap terbuka.
Aku tahu jika tubuhku sangat menderita, meski begitu keinginanku untuk bertahan hidup tetaplah utuh. Oleh sebab itu, aku dengan tergesa bangkit dan berlari membawa semua rasa sakit.
Langkahku sudah melemah dan terhuyung-huyung. Semakin aku banyak bergerak, darahku juga kian banyak yang keluar. Aku yakin, jika beruang itu tak akan lama hingga bisa mengejarku.
Berpikirlah ....
Berpikirlah, aku!
Rasanya sangat tidak mungkin bisa berpikir jernih di saat hampir sekarat seperti ini.
Di saat sesuatu yang mustahil ingin diciptakan,
... apa yang seharusnya aku lakukan?
Langkah kakinya yang beradu denganku, sudah terdengar begitu keras di belakang. Aku bahkan bisa merasakan getaran dari tanah bersalju yang sama.
"Imajinasi!"
Tiba-tiba, aku malah berhenti berlari dan membalik tubuhku dengan terhuyung.
Entah mengapa, semua yang saat ini terjadi terlihat bergerak dengan sangat lambat. Seolah, duniaku tengah berhenti berputar.
Di hadapanku terlihat jelas betapa mengerikannya kematian yang tengah menghampiriku.
Beruang itu sedang melompat kemari, tubuh besarnya melayang di udara. Kedua tangan yang menyimpan cakarnya, ia rentangkan lebar untuk memeluk dan menghancurkan tubuhku.
Imajinasi ...
Bayangkanlah, sihir apa yang ingin aku ciptakan?
Aku paksa otakku untuk berpikir, tubuhku yang sedari tadi membungkuk perlahan aku tegapkan.
Dengan menarik napas singkat, segera kupejamkan kedua mata.
Aku membutuhkan sebuah serangan yang cepat, kuat, dan memiliki dampak yang melumpuhkan musuh dalam sekali serang ....
Bayangkan, rasakan, dan ciptakan.
Dengan kekuatan imajinasi yang aku milikki!
Aku membuka mata dan meluruskan tangan kananku ke depan. Lalu, kubuka lebar kelima jemariku.
Tiba-tiba, di telapak tanganku langsung muncul sebuah lingkaran sihir biru yang menyala terang. Kemudian, terciptalah percikan petir biru yang meletup-letup.
Aku menyipitkan mata dan menahan napas, seolah aku tengah mempertahankan fokus petir itu dengan konsentrasiku.
Sesaat jarak antara aku dan beruang yang hendak menerkam diriku hanya menyisakan beberapa langkah.
Lingkaran sihir di tanganku berhenti berputar, dan aku merasakan ada gelombang kejut mengalir di tangan. Mengetahui hal itu, aku merasa harus bersiap untuk melancarkan serangan ini.
Kutatap sengit ke depan dan berkata, "Lightning Magic-Manipulation, Railgun!"
Saat berhasil mengucapnya, percikan petir yang ada di telapak tanganku langsung melesat ke depan bagaikan kilatan cahaya dengan diikuti bunyi percikan petir yang keras.
Seranganku bahkan meninggalkan lintasan cahaya ultra-biru yang membekas lurus di udara.
Beruang itu tak punya kesempatan untuk mengindar dan terkena telak seranganku tepat di dada. Bahkan, seranganku menembus dadanya dan berakhir menyambar pepohonan hingga menimbulkan bunyi layaknya sambaran petir yang keras.
Sedetik kemudian, beruang itu langsung tersungkur kasar di tanah dan mengejang sebelum berhenti bergerak.
Lingkaran sihir yang aku munculkan menghilang, seiring percikan petir di telapak tanganku mereda.
Aku kemudian menurunkan tangan kanan dan jatuh terduduk lemas di tanah dengan napas yang tersengal-sengal.
"Aku tidak begitu mengingatnya, tapi syukurlah aku masih hidup."
Yang terpenting, aku harus segera melakuan sesuatu pada luka di perutku ini.
Kusobek bagian bawah jubah dan membersihkan lukaku dari simbahan darah. Lalu, kugenggam sekepal salju dan menaburkannya ke seluruh area luka. Aku meringis tertahan saat dinginnya salju merembas di atas luka.
Terakhir, setelah luka ini bersih dari darah. Aku segera merobek lagi jubahku dan membalut perutku untuk menghambat pendarahan yang terjadi.
"Setidaknya, ini lebih baik dari sebelumnya ..."
Kulihat ke depan. Beruang itu sudah kaku, akibat dadanya yang berlubang.
Aku sendiri terkejut, karena seranganku ternyata memiliki daya serang sekuat itu. Aku benar-benar tidak menyangka jika aku bisa menggunakan Sihir.
Pengalaman pertama yang buruk ...
Aku menghela napas panjang-panjang, seolah menghibur diri sendiri setelah menghadapi semua hal yang telah terjadi semenjak datang ke dunia ini. Semua sangat tidak masuk akal, aneh, dan yang terpenting, terjadi begitu tiba-tiba.
Karena, rasanya aku baru tadi dinyatakan telah mati, bertemu dengan Michaella, dan datang kemari.
"Nenela pasti akan sangat marah, jika aku mengalami luka parah seperti ini."
Aku tersenyum kecil, saat kembali mengingat pemilik nama itu. Semakin aku mengingatnya, aku juga akan semakin larut dengan kenangan yang kumiliki tentangnya.
Aku tahu ini tidak boleh, tapi mau bagaimana lagi, bukan? Karena nyatanya, aku memang sangat merindukan gadis itu.
Tapi, itu tidaklah apa-apa. Ini adalah harga yang harus dibayar dari pilihan yang aku pilih. Dengan tidak menginjinkan Michaella untuk menghapus ingatan tentang kehidupanku sebelumnya, maka aku harus terbiasa jika tiba-tiba mengingat kenangan indah tentang Nenela.
Tiba-tiba, aku mendengar suara dengkuran yang berat. Dan itu, aku yakin berasal dari tubuh beruang yang tersungkur di hadapanku.
Mencoba tetap tenang, aku kemudian berdiri dengan bertumpu pada sebuah batang pohon.
Beruang itu masih mendengkur, akan tetapi setelah beberapa detik dia menjadi kaku lagi.
Aku menelan ludah dan mencoba mendekat perlahan untuk memastikan jika dia benar-benar sudah mati.
Baru kumulai langkah ketiga, beruang itu menghentakan cakarnya dan menjadikannya tumpuan untuk menerjang ke arahku.
Ap—?!
Aku sungguh terkejut, hingga aku pun terjatuh dengan cara duduk di tanah.
Tanpa bisa bereaksi dengan keadaan, tubuhku langsung ditindih oleh beruang tersebut tepat di atas perut. Seolah tak diberi ampun, dia lalu mencengkram masing-masing tanganku kuat-kuat.
Sa-Sakit sekali!
Perutku terasa panas, bahkan kini semakin sakit dari sebelumnya. Aku yakin, perutku mengalami pendarahan lagi.
Kuh, sial.
Aku tak bisa bergerak!
Beruang itu semakin kuat menekankan kedua tangannya yang mencengkram masing-masing tanganku. Aku merasa tulangku hendak remuk, jika dia menambah kekuatannya maka sudah pasti kedua tanganku akan hancur.
Seperti itu, ya ....
Dia ingin mematahkan tanganku agar aku tidak bisa menyerangnya lagi sepert tadi, ya?
Dia lebih pintar dari yang kuduga!
Beruang itu mulai memunculkan gigi-giginya yang tajam dan mendekatkannya ke arah wajahku.
Aku sejujurnya masih sangat berharap jika semua ini tidak akan berakhir secepat ini. Walau begitu, kenyataan telah berkata lain.
Beruang itu mulai membuka lebar mulutnya dan bersiap mencabik leherku. Hingga, aku pun terpaksa menahan napas dan menatap sengit si beruang.
Saat giginya hanya berjarak beberapa inchi dari leherku, entah kenapa beruang itu tiba-tiba berhenti bergerak. Tubuhnya kaku seketika, dan napasnya habis.
Kin!
Samar terdengar bunyi tebasan yang selembut angin. Persis seperti angin malam ini yang menerbangkan salju.
Aku kebingungan sendiri. Di saat aku mulai pasrah akan mati dimakan. Beruang itu malah membatu.
Tiba-tiba, tubuh beruang itu terbelah menjadi dua bagian. Darahnya pun berceceran ke berbagai arah, bahkan mengotori sebagian tubuhku.
Tubuh beruang itu terbelah dengan tebasan yang sangat lurus dan rapih dari ujung kepala hingga ekornya. Lalu, mayat beruang itu ambruk ke masing-masing sisi tubuhku.
Sementara itu, aku hanya terdiam untuk suatu alasan yang sangat tak jelas. Aku bahkan tak bisa menggerakan sekujur tubuh, karena saking bingung dan terkejut.
Dari depan, aku mendengar langkah kaki. Kali ini berbeda, langkah kakinya lebih pelan dan lembut. Bunyi salju yang diinjak, beradu dengan bunyi dentingan zirah yang samar.
Aku yang sudah mendapatkan lagi kendali tubuhku, segera menjauh dari mayat beruang itu dan duduk bersandar pada sebatang pohon.
Saat melihat ke depan, aku perlahan membelalakan mata dan tertegun.
Tampak, seorang gadis berambut putih bergaya kucir kuda dengan tubuh yang dibalut jubah biru laut sepanjang lutut.
Dibalik jubahnya, dia menggunakan penutup dada sederhana yang terbuat dari logam berwarna perak. Rok hitam bermotif garis emas sepanjang paha, membuat kulit putihnya terlihat jelas. Kedua kaki jenjangnya, menggunakan sepasang sepatu boot tebal berwarna hitam.
Di belakang tubuh rampingnya, dia membawa sebuah pedang laras panjang berwarna putih. Tak lupa, ada sabuk penahan berwarna coklat yang dia gunakan untuk membawa pedangnya.
Sosoknya yang kini berdiri di hadapanku, begitu indah karena tengah bermandikan salju dan cahaya bulan.
Ketika aku mulai menaikan pandangan, penglihatanku berhenti bergerak dan hanya terpaku pada wajah gadis itu.
Perlahan, mataku terbuka sangat lebar dan mulai merasa akan ada sesuatu yang tumpah di sana.
Bodohnya aku ...
Kenapa aku mendadak menghayalkan dirinya saat ini?
Apakah karena saat ini aku tengah sekarat?
Entahlah ....
Tapi, aku sangat bahagia bisa melihatmu lagi.
Saat kesadaranku mulai hilang dari raga ini, dengan serak aku mencoba memanggilnya.
"Nenela ...."