Sejak awal, apakah aku memang sudah mati?
Atau, hanya jiwaku yang berpindah ke dunia lain?
Aku sendiri tidak bisa menemukan jawabannya. Dengan yang telah terjadi padaku saat ini pun, aku masih dibuat bimbang harus menyebut awal ini apa.
"Fate, di balik cermin ini adalah sebuah dunia yang sudah menunggumu. Dunia di mana kau bisa melihat bintang." kata Michaella.
Aku tatap cermin berbentuk persegi panjang yang memiliki ukuran besar. Cermin itu memiliki pigura yang terbuat dari ukiran kayu yang indah, dengan hiasan bunga dan sulurnya.
"Michaella, sebenarnya maksud dari takdir yang kau sebutkan tadi, apa itu adalah sebuah kehidupan yang baru?" tanyaku.
"Kurang lebihnya seperti itu. Tuhan telah menjatuhkan takdir ini padamu, Fate. Beliau sungguh ingin kau menerimanya." Angguk Michaella menanggapi.
"Ta—Tapi, bukankah ini sedikit tidak adil? Kenapa hanya aku yang bisa mendapatkan takdir ini?"
"Tuhan adalah hakim sejagat raya yang paling adil." sambarnya tegas.
"...."
Aku lalu menunduk kecil.
"Jika memang seperti itu ... aku harus menysukurinya." batinku.
"Sebelum itu, aku akan memberikanmu sedikit informasi mengenai dunia yang akan kau tinggali."
"Informasi?"
Michaella lalu merogoh sesuatu dari balik jubahnya. Sedetik kemudian, dia menarik tangan kanannya dan sudah menggenggam sebuah buku.
"Benar. Nama dunia yang akan Kau tinggali adalah, [Yggdrallia]." Sebut Michaella saat membaca sampul buku yang ia pegang.
"[Yggdrallia]? Nama yang aneh."
"Begitulah. Nama dunia itu memang disesuaikan dengan kehidupan makhluk hidup yang menghuninya."
"Apa maksudmu?"
Michaella membuka sampul buku yang dia pegang dan mulai membacanya dengan seksama.
"Apa kau pernah mendengar istilah Fantasia?"
Aku menggeleng, "Tidak."
"Kalau begitu, jika Fantasi pernah, 'kan?"
"Umm. Fantasi itu adalah dunia khayalan, 'kan?"
Michaella membalas jawabanku dengan anggukan, "Tepat. Jadi, apakah kau pernah bermimpi hidup di dunia fantasi?"
"Sering sekali malah."
"Ingin menjadi apakah kau jika hidup di dunia fantasi?"
"Entahlah. Namun, aku selalu membayangkan diriku bisa terbang di langit, memakai sihir, bertarung dengan sekumpulan monster jahat menggunakan sebilah pedang, dan —ahh sudah cukup, itu memalukan." jawabku seraya menggaruk-garuk kepala.
"Kupikir, itu bukanlah sesuatu yang memalukan. Karena di [Yggdrallia], seperti itulah kau akan hidup nantinya."
"A—Apa? Jadi maksudmu, [Yggdrallia] adalah dunia khayalan alias fantasi?" tanyaku tak percaya.
Michaella menggeleng sambil menutup buku di tangannya, "Bukan Fantasi, tapi lebih tepatnya adalah Fantasia. Di mana dunia khayalan menjadi sebuah kenyataan."
"Kau pasti bercanda, ya?"
"Aku bahkan tidak pernah seserius ini sebelumnya, karena ini adalah tugas pertamaku untuk menjadi utusan Tuhan."
"Begitu, ya."
Setelah menyimpan kembali bukunya ke dalam jubah, Michaella lalu menyentuh permukaancermin menggunakan telunjuk kirinya. Saat disentuh, itu menciptakan riak kecil yang persis seperti genangan air.
Seolah merespon sentuhan jemari Michaella, permukaan cermin itu lalu mengeluarkan cahaya yang remang-remang.
"Baiklah. Sepertinya sudah siap."
"...."
"Fate, apa kau menginginkan sesuatu untuk menjamin kehidupanmu di [Yggdrallia] nantinya?"
"Maksudmu?"
"Ya semacam harta, gelar, dan kekuatan. Jika kau menginginkannya untuk mempermudah kehidupanmu di sana, aku akan membantumu untuk memilikinya. Dengan begitu kau bisa memulai hidup yang bahagia. Bagaimana?" tawar Michaella seraya mengeluarkan secarik kertas dari saku jubahnya.
"...."
"Akan aku tulis keinginanmu di kertas ini lalu kubakar, dan saat kau sudah tiba di [Yggdrallia], keinginanmu akan terwujud dalam waktu dekat. Mudah, 'kan?"
"Michaella."
"Bagus, apa keinginanmu?" balas Michaella yang telah bersiap menulis dengan pena bulunya.
Aku menggeleng, "Tidak, tidak perlu. Untuk sisanya, biarkanlah aku yang mengurusnya. Jika aku mendapatkan lebih dari ini, aku merasa jika aku hanya akan menjalani hidup tanpa tujuan. Karena, sebelum aku menentukannya, aku sudah memilikinya."
Mendengar jawabanku, Michaella hanya terdiam. Kertas yang dia genggam kemudian dilipat dan dimasukan lagi ke saku jubahnya.
"Begitu, ya. Memang, apa yang kau katakan sesungguhnya merupakan suatu kebenaran. Memang ntuk orang-orang tertentu, sebuah proses dan perjuangan adalah sesuatu yang lebih penting daripada hasil. Maafkan aku, aku sama sekali tidak menyangka jika kau merupakan bagian dari orang-orang itu, Fate."
"Maaf jika aku terlalu pemilih."
"Tidak, Fate. Aku sangat bersyukur diutus oleh Tuhan untuk menyambutmu, karena berkat kau aku bisa belajar banyak hal."
"Kita berdua sama-sama mempelajari dan mendapatkan sesuatu dari perjumpaan yang singkat ini."
"Lalu, yang terakhir ..."
"Hmm?"
"Fate, apakah kau ingin tetap membawa ingatanmu semasa hidup di dunia fana? Jika kau ingin melupakannya, maka aku bisa membantumu dengan menghilangkan seluruh ingatanmu." Ujar Michaella.
Saat mendengarnya, hal yang pertama kali muncul di dalam pikiran adalah Nenela.
Semenjak mati, tiap kali aku mengingatnya selalu ingin menangis dan menyesal. Jadi, apakah dengan menghilangkan kenangan tentang Nenela, adalah keputusan terbaik?
Jika demikian, bukankah tawaran Michaella merupakan kesempatan yang bagus?
"Maaf Michaella, sepertinya aku tetap tidak ingin melupakannya." Jawabku yakin.
"E—Ehh? Kenapa? Bukannya, kau ingin melupakan kehidupan yang menyedihkan itu?"
"Umm, kau benar," kukepalkan tangan erat dan menegakan dada. "tapi, aku tetap tidak ingin melupakannya. Karena, kehidupan menyedihkan itulah yang membuatku menjadi sosok yang kuat. Dan juga, aku ingin selalu bisa mengingat tentang dia."
"...."
"Dia yang selalu ada di sisiku. Menggenggam tangan ini dan menuntunku agar tidak tersesat saat berjalan di jalan hidup yang penuh kesedihan, dan memberikanku sebuah tempat untuk kembali."
Ya, Nenela. Aku akan selalu mengingatnya, terutama ketulusan serta kebaikan hatinya. Mustahil, aku sendiri ragu jika bisa melupakan dirinya. Ditambah saat aku bisa melihat rupa Nenela, sosoknya kian kuat mengendap dalam ingatan dan relung hatiku.
Michaella yang terdiam membatu, lalu memejamkan mata dan menunduk.
"Mi-Michaella, kau baik-baik saja?"
"Maaf, Fate. Terpaksa aku menunduk dan menutup mata ini, karena bagiku kau saat ini begitu bersinar."
"Begitukah."
"Lagi-lagi, aku belajar sesuatu darimu. Jika aku tahu akan seperti ini jadinya, aku akan berdo'a kepada Tuhan agar kau tinggal saja di Surga. Kemudian, aku bisa terus bertemu denganmu."
"Kau berlebihan." Balasku sungkan.
Michaella lalu memperbaiki posisi tubuhnya, "Jadi, Fate, kau yakin akan menolak semuanya?"
Aku mengangguk mantap, karena merasa ini adalah pertanyaan terakhir yang Michaella lontarkan. "Ya, aku sangat yakin."
"Baiklah. Tapi, aku akan tetap memberikanmu hadiah sebagai ucapan selamat tinggal dan bukti perjumpaan kita." Katanya sambil mengedipkan satu mata.
"Hadiah? Apa itu?"
"Kau akan tahu ketika tiba di [Yggrallia]. Kalau begitu, Fate..."
Michaella menjulurkan tangan kanannya padaku. Aku pun segera meraihnya dan kita saling berjabat tangan.
"Ini bukan ucapan selamat tinggal dariku. Karena aku yakin, kita akan bertemu lagi."
Michaella tersenyum, "Ya, aku sangat menantikan perjumpaan kita selanjutnya."
Aku mengangguk dan kami pun melepas jabat tangan kami.
Kemudian, aku mengesampingkan tubuh dan menatap ke dalam cermin yang semakin membiaskan cahaya terang.
Dengan menghela napas panjang, aku pun berkata untuk yang terakhir kali sebelum melangkah, "Terima kasih untuk semuanya, Michaella."
"Semoga beruntung, Fate."