Chereads / Penyihir Terhebat Bumi / Chapter 20 - Fight

Chapter 20 - Fight

Brak! Sebuah pukulan keras menghantam meja, sampai semua makanan dan peralatan makan di atasnya jatuh berantakan. Thrax yang bertubuh besar telah menghantam meja itu dengan kerasnya karena kesal sebelum berdiri dan memandang acolyte dari Kalios itu dengan penuh amarah. Tidak mau tinggal diam, Julian pun ikut berdiri bersama Thrax.

"Hei, Romawi, duduk saja kau, biarkan tinjuku menjadi pelajaran untuk acolyte muka babi ini!" Thrax berseru, menggertakkan gigi, dan membunyikan jarinya.

Julian menjawab tanpa sedikit pun rasa takut ataupun ragu. "Aku ikut agar kau tidak mempermalukan kita semua, Thracian."

Acolyte lainnya yang awalnya sibuk makan semua menoleh dan melihat ke arah meja Emery. Ada juga yang sampai berdiri agar bisa melihat apa yang tengah terjadi dengan lebih jelas.

"Oh, ada yang bertengkar!"

"Ayo, hajar saja! Aku ingin melihat pertarungan sampai berdarah!"

"Tidak apa-apa, kalau ada yang mati, ini akan seru!"

Pertempuran antar acolyte tidak dilarang, tetapi pihak akademi bisa menghukum acolyte yang membunuh atau membuat cacat permanen acolyte lainnya. Alasan mengapa pertempuran tidak dilarang adalah karena pertempuran bisa menjadi jalan untuk meningkatkan kekuatan seorang acolyte.

"Hah, berani sekali kau! Sadarlah, kau ini hanya katak dalam tempurung, baru melihat langit sekali saja sudah lupa diri! Dasar sampah!" Acolyte dari Kalios itu membalas.

Thrax mendorong acolyte itu dan mengepalkan tangannya. Ia tumbuh dalam budaya yang mengagungkan kehormatan, sehingga ia dilatih sejak kecil untuk tidak pernah menyerah ataupun mundur dari tantangan. Pada hari ketiganya, ia sudah menguasai dasar-dasar kultivasi elemen api dan ia merasa itu cukup untuk menghajar acolyte sombong di depannya itu. Walaupun ia belum menguasai satu sihir pun, ia sudah memahami sedikit tentang elemen api, lagipula ia lebih ingin menghajar wajah tampan remaja sombong itu dengan kedua tangannya sendiri.

Namun, saat ia hendak menjatuhkan remaja sombong itu ke lantai, kakinya tidak bisa bergerak karena beku.

"Hei, buat apa kau ikut campur." Remaja tampan berambut pirang itu bertanya kepada temannya. Salah satu teman remaja itu menggunakan kekuatan elemen es untuk membekukan kaki Thrax di lantai.

"Aaaargh!" Menyadari kakinya telah dibekukan, Thrax berusaha melepaskan diri, tetapi kakinya benar-benar menempel.

Dengan pemahaman dasar elemen api, Thrax telah berhasil melelehkan es yang membekukan kakinya. Hampir saja satu peluru sihir es mencapai kakinya, namun Julian menghalangi peluru itu dengan lengannya untuk melindungi Thrax.

Julian mengepalkan tangannya yang tidak terluka dan bersiap meninju. Tangannya itu berpendar dengan cahaya kuning redup.

[Stone Skin]

Sihir itu adalah sihir yang berhasil ia kuasai setelah memahami dasar kultivasi elemen tanah serta berlatih bersama dengan Darius. Namun, karena ia masih baru saja mempelajari sihir itu, ia hanya bisa mengubah kulit pada kedua tangannya menjadi sekeras batu. Di satu sisi, mengubah kulitnya menjadi batu membuatnya tidak bisa merasakan sakit ataupun dingin dari sihir es itu, namun di sisi lain, tangannya tetap saja beku, dan ia tidak bisa menggerakkan jarinya.

Para acolyte dari Kalios itu tertawa dan menghina semua acolyte dari bumi. "Hahaha! Memang monyet-monyet dari bumi benar-benar bodoh dan primitif!"

Seperti kaki Thrax tadi, kepingan-kepingan es membekukan tangannya. Julian mencoba menggerakkan jarinya, tetapi tangannya itu benar-benar tidak bisa bergerak. Jika saja ia sedang menghadapi sihir elemen api atau serangan langsung dengan senjata tajam maupun senjata tumpul, kulit batu-nya akan sangat membantu. Namun, sihir itu sama sekali tidak mempan melawan elemen es,

Tidak ingin hanya berdiam diri melihat Julian dan Thrax bertarung demi dirinya, Emery, Klea, dan Chumo akhirnya ikut berdiri.

Acolyte itu kembali menciptakan sebuah peluru sihir es dan menembakkan peluru itu ke arah Julian.

[Ice Bullet]

Julian menangkis peluru itu dengan lengannya. Akhirnya, kedua lengannya pun membeku.

Thrax tidak tinggal diam, ia menghancurkan es yang membekukan kakinya dengan meninju kakinya sendiri. Tinjuan itu membuat kepingan-kepingan es bertebaran kemana-mana.

Acolyte itu mengangkat kedua tangannya dan menunjuk ke arah Thrax serta Julian, menciptakan dua lagi peluru es. Sepertinya, acolyte itu ingin membekukan Julian dan Thrax.

[Ice Bullet] [Ice Bullet]

Setelah melihat bagaimana efek peluru es itu pada kedua lengan Julian, Emery pun menyadari sifat dari serangan tersebut. Apakah pemikirannya benar? Peluru itu sudah melesat cepat ke arah kedua temannya, dan tidak ada waktu untuk berpikir. Emery mengambil sebuah sendok dan mangkuk dan melemparkan kedua benda itu ke arah kedua peluru es. Seketika, kedua peluru es membekukan kedua benda itu, hingga akhirnya keduanya jatuh ke lantai.

Emery mengepalkan tangannya dan tersenyum senang. Pemikiran-nya berhasil menyelamatkan Thrax dan Julian.

"Ide bagus, Emery!" Klea berseru.

Karena Emery sudah ikut campur, dua acolyte dari pihak Kalios yang sedari tadi diam saling pandang sebelum berjalan mendekat dan mempersiapkan sihir mereka. Namun, sebelum mereka sempat menggunakan sihir, angin kencang mendorong mereka mundur.

"Gust of Wind!" Klea berseru dan memunculkan sihirnya.

Para acolyte dari Kalios itu terdiam sesaat karena terkejut sebelum menenangkan diri masing-masing. Namun, saat mereka hendak mengeluarkan sihir masing-masing, cahaya ungu bersinar di telapak tangan Klea.

Klea melambaikan tangannya dan berkata. "Lightning Arrow."

Seperti kilat, sihir Klea bergerak cepat, menghancurkan es yang membekukan kaki Thrax dan kedua tangan Julian.

Para acolyte dari Kalios itu terdiam, dan ketua mereka menggumam dengan kesal. "Dua macam sihir? Ini hanya hari ketiga, dan gadis itu bisa menggunakan sihir dari dua elemen berbeda?"

Mereka saling pandang, berbisik-bisik, dan melirik ke arah Klea.

Akhirnya, sebagai ketua kelompok itu, si remaja sombong tadi berkata. "Kalian beruntung hari ini, lain kali kita tidak akan memberikan kalian kesempatan!"

Mereka berbalik dan berjalan pergi, hingga akhirnya menabrak Chumo yang entah kapan muncul di belakang mereka. Tidak ada yang tahu kapan atau bagaimana, namun remaja dengan rambut hitam yang diikat itu tiba-tiba saja sudah ada di belakang para acolyte Kalios.

Di sekitar mereka, banyak acolyte berkumpul untuk menyaksikan pertarungan, namun semuanya sudah selesai. Jika saja mereka terus bertarung, besar kemungkinan Emery dan teman-temannya kalah di sana. Walaupun mereka berhasil mencegah para acolyte Kalios itu mempermalukan Emery, mereka harus mengakui bahwa tanpa Klea, mungkin saja mereka akan kalah dan menjadi bahan tertawaan.