Chereads / Apa itu mungkin? / Chapter 3 - 02. Confusing

Chapter 3 - 02. Confusing

Jika tuhan selalu menolong umatnya, sudah di pastikan tuhan akan mendengar segala keluhan dan doa-doa dari seluruh umatnya, dan seandainya boleh berharap, semua orang pasti ingin memiliki kebahagiaan dalam hidup agar tidak ada lagi yang namanya keluhan.

Ada yang berdoa ingin kaya, tapi dirinya sama sekali tidak ingin berusaha dan malah bermalas-malasan. Tidak mungkin tuhan akan memberikan rezeki lewat hujan uang turun dari langit bukan? Itu sama sekali tidak masuk akal, kecuali ada dalang yang menghamburkan uang dari atas atap rumahnya.

Ada juga yang berdoa ingin menjadi penguasa di dunia. Jika ia ingin menjadi penguasa dunia, bukankah itu sangat sulit? Seakan mengendalikan segalanya di dunia ini, dan bisa di pastikan hal seperti itu hanya bersifat sementara dan tidak kekal selamanya.

Jadi, kalau ingin berharap atau berangan-angan sebenarnya sama sekali tidak salah. Tapi setidaknya memang yang bisa di capai, bukan hal yang mustahil. Ya walaupun di dunia ini tidak ada yang mustahil, atau sekedar kebetulan. Bisa saja karna tuhan mengizinkan.

Tidak ada salahnya meminta kepada tuhan, tapi sebaiknya di sertai dengan usaha itu akan menghasilkan suatu yang baik.

"Sudah berdoanya, nona?"

Gea membuka matanya. Menurunkan tangan yang sebelumnya bertaut untuk berdoa, memperhatikan pria yang berdiri di sebelahnya dengan pandangan bingung.

Jika di lihat dari cara berpakaian pria itu bisa di pastikan seorang pengusaha. Rapi dan terlihat berkharisma, aura wibawa juga terlihat jelas ada di pria itu dengan jas merah maron yang melekat di tubuhnya. Tapi kenapa dia menggangguku berdoa padahal masih banyak tempat kosong di lain?, pikirnya.

"Tidak usah memandangku seperti itu, apa aku terlihat seperti pastur?"canda pria itu.

Gea berdiri, mensejajarkan tinggi dengan pria yang baru di temuinya. Meskipun tinggi mereka berbeda jauh dengan Gea hanya setinggi bahu pria itu.

"Tidak, aku tidak berpikir seperti itu."ucap Gea seadanya.

"Hm, seperti itu. Ngomong-ngomong, kalau di lihat dari bajumu..."pria itu menggantungkan kalimatnya.

"Sepertinya kau anak sekolahan. Apa kau bersekolah di dekat sini?"tanyanya.

Gea melepaskan sapu tangan berwarna putih dari atas kepalanya."Tidak."

"Lalu kenapa kau pergi ke sini? Apa tidak kejauhan?"

"Tidak juga, aku hanya sekedar mampir untuk berdoa."

"Sepertinya kau sangat taat ya."puji pria di sebelahnya.

"Lumayan."

Pria itu terkekeh karna setiap jawabannya hanya di balas singkat."Kau cuek sekali, nona," Tangannya terjulur seakan ingin berjabat tangan."Aku Noah,"ucap Noah ramah.

Gea melipat sapu tangan lalu memasukkan ke dalam saku rok abu-abu yang di kenakannya. Kini perhatiannya tertuju penuh pada Noah, pria yang mengganggu acara berdoanya. Tidak ada sambutan hangat dari Gea, matanya terus memperhatikan uluran tangan Noah yang masih dengan setia menunggu jabatan tangan darinya.

Sebenarnya Gea merasa aneh dengan keberadaan Noah. Kenapa pria itu memperkenalkan dirinya padahal ia tidak meminta. Kenapa pria itu banyak tanya dan mengganggu acara berdoanya?

Tidak mungkin kan secara kebetulan tuhan mengirimkan Noah untuk bertemu dengannya seperti yang Gea lihat di drama kesukaannya. Sangat tidak mungkin.

Noah menarik kembali tangannya sembari tersenyum simpul ke arah Gea.

"Kalau tidak ingin jabatan tak apa, sebenarnya tidak usah malu seperti itu saat bersamaku. Anggap saja aku itu teman sekelasmu."

"Sepertinya kau jauh lebih tua jika di anggap teman sekelasku,"ucap Gea santai.

"Apa aku terlihat setua itu di matamu?"tanya Noah heran.

"Kurang lebih seperti itu."

Ternyata tidak mudah untuk berkenalan dengan gadis seperti Gea. Bukannya menyenangkan malah di buat sebal karna setiap perkataan santai dari Gea, hanya seperti gangguan bagi gadis mungil itu.

Noah terkekeh jika di hadapakan gadis seperti Gea. Kalau di luar sana para wanita berbondong-bondong mendekati bahkan merayu dirinya, berbeda dengan Gea yang terlihat cuek sedari awal saat menatap Noah.

"Gea."

Noah lagi-lagi tersenyum mendengar Gea yang akhirnya mau memperkenalkan diri padanya. Ya meskipun harus bermodal basa basi terlebih dahulu, setidaknya Gea masih merespon perkataannya meskipun agak terlambat.

"Gea ya? Nama yang bagus, apa arti namamu?"

Gea sama sekali tidak menjawab pertanyaan Noah kali ini, jemari lentik milik gadis bermata amber itu mengambil tas ransel berbentuk telinga kelinci.

Mungkin orang lain akan menduga hanya anak kecil saja yang mengenakannya,tapi itu salah. Karna pemilik dari tas itu adalah Gea. Apa benar gadis mungil itu bersekolah menengah atas? Jika di lihat dari penampilannya mungkin tidak salah kalau tidak percaya kan? Badan yang mungil,dengan tas seperti anak kecil. Bisa di bilang Gea tidak mengikuti pembagian tinggi badan bukan?

"Kenapa menatapku seperti itu?"tanya Gea.

Gea menyilangkan tangan di depan dadanya, menatap Noah yang terus memperhatikan dirinya dari kepala hingga ujung kaki. Risih jika di perhatikan seperti itu apalagi yang memperhatikan seorang pria.

"Apa kau melewatkan tinggi badan sebelumnya? Sepertinya tinggimu tidak sesuai dengan anak sekolah menengah atas rata-rata."tanya Noah penasaran.

Bugh.

"Akh!!!"

Noah menjerit,tangannya langsung menutupi bagian bawah tepat di area sensitif miliknya yang terasa sakit akibat tendangan Gea. Bibirnya sukses terbuka lebar tanpa suara.

"Ka-kau...kenapa menendangnya?"Noah tak mampu berkata,rasanya ia sudah kehabisan kata-kata karna menahan rasa nyeri di area sensitifnya.

Jika saja tidak membahas hal sensitif tadi, mungkin Gea tidak akan sekasar ini pada pria yang baru di kenalnya.

"Baru bertemu tapi kau sudah tidak sopan dengan menanyakan tinggi seperti itu. Lain kali perhatikan perkataanmu, tuan Noah,"ucap Gea sebelum pergi berlalu meninggalkan Noah yang masih menatapnya tak percaya,keluar dari gedung dan membiarkan Noah menjerit kesakitan tanpa suara.

Noah bersumpah tendangan Gea begitu bertenaga membuat aset berharganya terasa begitu berdenyut nyeri. Bahkan jika tidak ingat gadis bermata amber itu mungkin masih berdiri di depan pintu gedung,Noah sudah pasti menjerit dan menangisi benda berharga miliknya.

Masa depannya terasa hancur karna tendangan yang di berikan Gea tepat mengenai pertengahan selangkangnya,rasanya sakit tapi tidak berdarah. Bukan hal baik jika berurusan dengan gadis seperti Gea.

"Holy shit."

*****

Juki menatap tumpukan buku-buku yang membuatnya nyaman beberapa hari terakhir. Menurutnya bau kertas lama dengan suasana sepi seperti ini sangat enak di jadikan tempat beristirahat, apalagi untuk tidur. Tentu saja akan terasa nyenyak.

Meskipun dia tidak terlalu suka membaca buku karna membosankan, setidaknya Juki masih menyukai tempat dimana buku-buku di kumpulkan dan menjadi tempat belajar kedua selain kelas.

Duduk di sudut tepatnya di dekat pendingin ruangan dengan rak-rak buku menutupi tempat duduk itu merupakan posisi yang nyaman jika ingin tidur atau sekedar membolos. Setidaknya Juki mendapatkan banyak tempat persembunyian saat dia membolos nanti.

Juki tidak terlalu menyukai ketika dia sendiri seperti ini, terkesan seperti anak anti sosial. Terbilang jauh dari dirinya yang sangat suka bergaul dan berteman dengan semua orang. Tapi tidak ada salahnya kalau kali ini mencoba tanpa berinteraksi bersama teman, Juki agak lelah menghadapi manusia yang selalu berubah-ubah sifatnya. Bikin bingung saja, pikirnya.

'Cepat selesaikan tugasmu, lio. Jangan membuang waktu lebih lama, kau ingin kembali menjadi dewa bukan?'

Deg.

Juki mengedarkan penglihatannya ke seluruh penjuru ruangan perpustakaan. Tapi nihil, sumber suara yang dia cari tidak ketemu. Perpustakaan juga terlihat sepi, tidak mungkin kan kalau ada yang berbicara keras di tempat seperti ini? Bisa di pastikan akan di usir jika ada yang berbicara dengan suara keras begitu. Samar-samar suara itu masih terngiang di telinganya meningatkan akan tugas belum terselesaikan.

'Apa kau tidak mengatakan padanya saja kalau kau dewa pilihan untuk menjaganya? Berhenti bermain-main di bumi, lio. Aku peringatkan kau untuk terakhir kalinya, sebelum rapat para dewa kau sudah harus menyelesaikan tugasmu itu bagaimanapun caranya. Jika tidak, lebih baik kau menjadi manusia biasa saja seperti sekarang dan selamanya.'

Juki menghela nafasnya. Membiarkan pikirannya berkelana, menikmati udara yang membantu nafasnya kembali normal. Memejamkan mata sejenak tidak ada salahnya, pikir Juki. Tangannya menyilang di depan dada dengan kepala mengadah ke atas, menatap plafon bernuansa klasik.

"Sepertinya aku mulai berhalusinasi akhir-akhir ini,"ucap Juki lalu memejamkan matanya, menikmati tidur siang menenangkan di tempat yang pas untuknya.

*****

"Hahaha, kenapa cara jalanmu lucu sekali?"

Noah menatap tajam pria di hadapannya."Diamlah. Aku sedang kesakitan begini malah di tertawakan, teman macam apa kau?"ketus Noah.

"Aha, jangan-jangan kau baru saja..."pria itu semakin tertawa keras setelah menggantungkan perkataannya.

Noah melemparkan bantal sandarannya ke arah pria di hadapannya. Kesal? Jelas saja. Bagaimana tidak, saat memasuki perusahaannya semua mata tertuju pada dirinya.

Lebih tepatnya mengamati cara berjalan Noah yang terbilang aneh hari ini. Banyak para karyawan yang berbisik bahkan menertawakan cara berjalan atasannya.

Sedangkan pria di hadapan Noah saat ini tidak hentinya tertawa memperhatikan temannya yang terlihat begitu kesal. Coba saja saat ini dia sedang tidak ada perlu dengan Noah sudah pasti akan kelewatan momen langka dan menyenangkan seperti ini.

"Bisa kau berhenti tertawa, kas? Sudah cukup mengejek cara berjalanku seperti para karyawan di luar sana,"ucap Noah dingin.

Pria itu menghentikan tawanya,lalu berdehem menetralkan suaranya. Kini senyum kotak muncul di antara sudut bibir, memberi kesan nyaman jika melihatnya lama-lama, begitu kata wanita di luar sana saat melihat dia tersenyum.

Sayangnya, dia jarang bergaul dengan wanita,lebih memilih berteman dengan pria-pria di sekelilingnya. Bukan berarti tidak normal, hanya saja dia tidak ingin mengungkapkan kenapa ia seperti itu.

"Oh ayolah, lagipula kenapa bisa cara berjalanmu mengangkang seperti itu. Apa kau jangan-jangan sudah melakukannya? Ya, Noah kita akhirnya sudah dewasa,"kekeh Aakash.

Lagi-lagi Noah melempar bantal sofanya ke arah Aakash."Brengsek. Kau salah paham, ini semua karna aku salah berucap dengan seorang gadis."

Kali ini Aakash di buat tertegun. Bagaimana mungkin seorang Noah membiarkan wanita memukulnya,apalagi tepat di area sensitif yang sangat di jaga. Sebelah alisnya terangkat seakan masih tidak mengerti dengan perkataan Noah dan meminta jawaban lebih atas penuturannya.

Noah menundukkan kepalanya."Sebenarnya itu salahku,"ucap Noah mengelus tengkuknya.

"Memangnya kau berbuat apa?"tanya Aakash penasaran.

Noah melirik Aakash sekilas."Aku hanya mengungkit hal yang sensitif baginya dan dia tidak terima, berakhir dengan tendangan mendadak dan aku tidak sempat menghindar. Ya begitulah singkatnya,"menghela nafas merupakan kebiasaan yang dia lakukan ketika merasa bersalah.

"Jelas saja marah. Lagian kenapa mulutmu seperti wanita? Mengungkit hal yang tidak perlu, lebih baik kau simpan saja daripada berakhir seperti ini. Noah kecil yang malang,". Aakash menggelengkan kepalanya, pantas saja wanita itu marah.

Jika dari awal temannya tidak cari masalah tidak mungkin Noah akan bernasib seperti ini, pikirnya.

"Lupakan saja, aku tidak ingin mengungkitnya lagi. Ngomong-ngomong, tumben sekali kau ke sini. Ada yang mau di bahas?"tanya Noah merasa heran dengan adanya Aakash yang tiba-tiba tanpa mengabarinya terlebih dahulu seperti biasanya.

"Seperti yang kau tau, sekitar 2 minggu yang lalu aku baru saja balik dari London setelah menyelesaikan S2 ku lalu kembali lagi ke sini bukan?"Aakash menjeda perkataannya menunggu jawaban Noah agar menangkap dan memahami maksud pembicaraannya.

Noah mengangguk,mengiyakan perkataan Aakash meskipun kurang mengerti ke arah mana pembicaraan kali ini akan di bawa."and then?"

"Ekhem, sebenarnya aku hanya ingin bertemu dengannya, apa itu bisa?"tanya Aakash hati-hati.

Noah terdiam. Matanya terfokus ke Aakash memperhatikan teman masa kecilnya sedari dulu,sama sekali tidak ada perubahan. Hanya sikap dan tingginya saja yang berubah. Sisanya masih sama seperti Aakash yang dia kenal.

Tidak ada masalah dengan kembalinya Aakash ke negaranya sendiri setelah 7 tahun lamanya belajar di negeri orang untuk menekuni bidangnya dan melupakan segala macam hal yang menjauhkan dari masa lalu agar terus maju tanpa berbalik kebelakang walau sekedar menoleh sebentar.

"Apa kau yakin?"tanya Noah memastikan.

Bukan dia melarang tujuan teman akrabnya itu, atau menutupi apa yang ingin di tutupinya. Noah tidak ingin kalau hal sama akan terulang. Apa salah jika yang di lakukan demi kebaikan temannya sendiri termasuk dirinya?

Aakash mengangguk mantap, yakin dengan apa yang ingin di lakukan. Dia tidak ingin plin-plan dengan keputusan yang memakan waktu berhari-hari untuk mengutarakannya langsung. Baginya, bagaimanapun hasil nanti lihat saja setelahnya, saat ini Aakash hanya ingin menemui alasan dirinya kembali.

Noah melirik ke arah figura foto di atas meja kerjanya. Dia tersenyum, kembali mengingat kenangan masa lalu. Membawanya ingin kembali dimana saat semua hal berawal dari sana. Memberi kebahagiaan pada anak-anak ketika menikmati waktu kebersamaan yang ada.

"Ku harap itu keputusan yang tepat, bung,"ucap Noah akhirnya.

Tangannya mengambil pulpen tinta dan secarik kertas untuk mengizinkan permintaan dari temannya itu. Tanpa ragu Noah menuliskan alamat yang di minta Aakash, lalu meletakkan kertas di atas meja tepat di hadapan Aakash.

Aakash mengambil kertas berada di atas meja, menyimpanya ke dalam saku kemeja biru langit yang di kenakannya. Dia berdoa, semoga pilihannya kali ini tepat dan tidak akan lari lagi karna dia akan menetap, tidak akan takut dengan apapun tanggung jawabnya.

"Boleh aku berpesan sesuatu padamu?"tanya Noah.

Aakash menatap Noah, menunggu pesan apa kali ini."Apa itu?".

Bukannya menjawab, Noah mengeluarkan gantungan kunci berbentuk beruang kecil dari saku jasnya. Di lemparkan ke Aakash,seakan mengerti maksud Noah, Aakash menangkap gantungan kunci itu. Mengamatinya sembari mengingat benda apa yang ada di genggamannya ini.

"Dia menyukainya. Dia bilang itu pemberian darimu, terima kasih,"ucap Noah sembari tersenyum.

Mata berwarna biru itu kembali mengamati gantungan berbentuk beruang,memutarnya mencari sesuatu yang dulu tertulis di sana. Benar saja,gantungan dulu di belikan untuk seseorang yang sangat menginginkannya. Berinisial A di kaki beruang.

Aakash mencoba menahan sesak di dadanya. Di masukan gantungan beruang ke dalam saku celanannya. Dia berdiri, memperhatikan Noah yang menatapnya."Kalau begitu aku berangkat, jaga dirimu. Jangan lupa kompres terlebih dahulu dengan air dingin,"ucap Aakash mengingatkan.

"Bisa kita lupakan hal tadi? Itu memalukan."

"Hahaha,aku bercanda. Terima kasih untuk alamatnya."

"Iya sama-sama. Ku harap kau tidak menyesal nantinya."

Aakash tersenyum."Tidak akan. Aku pamit, sampai jumpa,"meninggalkan ruangan Noah dengan tergesa-gesa.

"Ku harap juga begitu, kawan."

*****

Tidak ada bulan, tidak ada bintang, hanya awan mendung menyelimuti langit malam. Lebih baik menikmati angin malam dengan susu pisang sambil menatap bulan, sayangnya tak sesuai harapan.

Bulan tak ingin timbul, membiarkan lampu jalanan jadi penerang gelapnya malam. Gea terduduk di ayunan, menghibur diri atau sekedar meluapkan kekesalan di taman, tempat kesukaannya sejak dulu.

Jika tuhan berkehendak malam ini turun hujan, maka Gea dengan senang hati menerima. Setidaknya hujan lebih mengerti perasaannya saat ini.

Terkadang Gea memikirkan hal berlebihan,seperti apa dia pernah melakukan kesalahan di masa lalu sehingga tuhan menghukumnya sekarang? Atau memang begini takdir hidupnya? Bukan tidak mensyukuri apa yang di beri tuhan,hanya mempertanyakan kenapa sulit sekali menjalani harinya saat dia beranjak dewasa?

Semilir angin menerpa rambut Gea membuat gadis itu mengadahkan kepala ke atas,memperhatikan langit dengan kilatan cahaya menandakan akan turun hujan.

Mungkin orang lain memilih teman sebayanya yang menjadi teman tukar pikiran atau teman cerita,tapi bagi Gea tidak ada teman yang benar-benar entah di saat di a senang maupun susah. Sejak kejadian yang menewaskan kedua orang tua dan kakak laki-lakinya 11 tahun yang lalu, dia kehilangan keluarga bahkan semua kekayaan milik ayahnya.

Karna waktu itu Gea hanya gadis kecil,tidak tau apa-apa selain bermain dan tertawa. Sampai paman Gea sendiri yang merebut kedudukan ayahnya dan menyingkirkan Gea lalu menitipkan di Gereja agar menjauh dari kehidupannya dulu.

Kalau tuhan mengasih dia kesempatan, Gea hanya ingin mengingat dimana makam kedua orang tua dan kakak laki-lakinya. Kenangannya begitu saja terlupakan akibat trauma masa lalu.

Dia lupa, bagaimana wajah kedua orang tuanya. Walaupun Gea selalu memaksakan diri agar ingatan masa kecilnya kembali, tapi bukannya ingatan itu pulih malah membuat kepalanya sakit.

"Kenapa harus seperti ini tuhan?"tanya Gea dengan suara lemah.

Gea merasakan ada tetesan air yang jatuh mengenai keningnya. Dia tersenyum, hujan, gumamnya. Membiarkan mata terpejam seakan menikmati rintik hujan membasahi bumi dan seisinya, termasuk dirinya.

Gea hanya merilekskan pikiran, meyakinkan bahwa hari esok bakal lebih baik daripada hari ini,dia di ajarkan harus selalu mensyukuri segala yang di miliki karna itu semua pemberian dari tuhan. Gea yakin kalau tuhan pasti punya alasan di balik jalan hidup setiap umatnya.

Hujan semakin deras, tapi bukannya menjauh atau beranjak dari ayunan. Gea malah semakin mengeratkan pegangan tangannya di rantai ayunan, mendengarkan alunan suara air hujan yang jatuh ke atas atap rumah dengan ritme beriringan.

Tuhan mengerti apa yang di inginkan setiap umatnya tanpa di ungkapkan terlebih dahulu, bukankah itu hebat?

Hawa dingin merasuki kulit putihnya yang tampak memucat akibat kedinginan. Tulang dan ototnya terasa lemas, meskipun begitu sang empunya tampak tak perduli, berniat untuk pulang pun tidak ada di pikiran Gea saat ini. Dia ingin mendinginkan segala pikiran dan hatinya. Mungkin setelah itu Gea baru bisa pulang dan beristirahat dengan nyenyak.

Sekitar setengah jam Gea masih setia di posisinya,terduduk sambil menikmati air hujan yang mengguyur dirinya. Gea tidak pernah terpikir ingin mati jika kedinginan seperti ini, karna dia tau seberapa kuat tubuhnya. Paling-paling cuma kena demam, pikirnya.

Lama kelamaan tetesan air hujan tak mengguyur lagi seperti sebelumnya. Terganti dengan rasa hangat walaupun sedikit, tidak sehangat ketika di depan perapian seperti itu.

Hanya saja Gea merasa ada yang janggal sekarang. Kenapa suara hujan masih terdengar di telinganya sedangkan dia tidak merasakan adanya air membasahi dirinya?

Gea membuka matanya perlahan, membiasakan cahaya yang masuk ke mata amber milik gadis mungil itu. Berkali-kali matanya berkedip, meyakinkan penglihatannya.

Seorang pria berdiri dengan topi menutupi rambut berwarna coklat kegelapan dan tangannya masih setia memayungi Gea.

"Kalau ingin mati gunakan cara lain. Tidak usah menyiksa diri dengan cara kedinginan seperti ini,"pria itu lalu memindahkan payungnya ke tangan Gea.

"Apa perdulimu?"tanya Gea tampak tak senang dengan kehadiran pria di hadapannya.

"Benar juga, kenapa aku harus peduli bahkan aku sendiri tidak mengenalmu bukan begitu?"bukannya tersinggung dengan tatapan tak bersahabat dari Gea, pria itu malah memutar balik apa yang ada di pikiran Gea, seakan bisa membaca pikiran gadis mungil di depannya.

Gea terdiam. Dari sorot matanya jelas saja ia terkejut kenapa pria itu seperti membaca pikirannya padahal dia tidak mengatakannya secara langsung. Meskipun begitu Gea tidak mengindahkan perkataan lawan bicaranya,dia berdiri lalu mengembalikan payung ke pemilik asalnya.

"Aku tidak membutuhkannya."

"Kalau begitu buang saja."

Perkataan itu sukses membuat Gea membuka mulutnya,menatap lelaki di hadapannya seakan tak percaya.

"Apa kau gila? Kenapa harus di buang, ini milikmu jadi bawa saja payung ini bersamamu."

"Aku tidak memerlukannya,lalu untuk apa ku bawa pulang? Lagian di supermarket juga masih ada,"jawab pria itu santai.

"Sepertinya kau orang kaya sampai tidak pernah memikirkan uang seperti itu,"ejek Gea.

"Simpan saja pemikiranmu itu...em Gea,"ucap pria itu setelah mengamati name tag Gea.

"Lebih baik kau pulang ke rumah lalu menghangatkan tubuhmu itu,bukankah anak sekolahan tidak seharusnya berada di luaran di jam malam seperti ini? Apalagi besok bukan hari libur,"lanjutnya.

Gea mengamati bajunya lalu mendecak. Baru saja pikirannya mulai tenang,lagi-lagi malah terganggu entah siapa orang yang ada di hadapannya sekarang.

Kenapa rasanya tuhan suka sekali mempermainkan jalan takdir hidupnya? Tidak bisakah ia bertemu dengan pangeran berkuda yang menyelamatkannya dari kegelapan?

Merasa tangannya di tarik, Gea memperhatikan payung yang di kembalikan pria itu ke tangannya. Sebenarnya lumayan dia dapat payung gratis tanpa harus membeli terlebih dahulu, setidaknya tidak membuang uang, pikirnya.

"Gunakan saja, tidak usah jual mahal padaku. Itu untukmu,"ucap pria itu lalu berlari ke arah mobil berwarna hitam pekat.

Gea tidak mengalihkan padangannya saat mobil sport berwarna hitam pekat itu melaju di jalanan meninggalkan taman, tempat dimana Gea masih dengan setia memperhatikan kemana arah mobil itu pergi.

Gea tersenyum. Di liriknya payung yang melindungi kepala dan badannya dari air hujan. Lagi-lagi tuhan mempermainkan takdir, pikirnya.

"Dia pergi tanpa sempat berkenalan, menarik,"gumam Gea.

******

- next story