Chereads / Apa itu mungkin? / Chapter 4 - 03. Foreign Girl

Chapter 4 - 03. Foreign Girl

Aakash menghentikan mobilnya tepat setelah lampu lalu lintas menunjukkan warna merah agar para pengemudi menghentikan alat transportasi masing-masing.

Mata biru itu memperhatikan jalanan yang tampak sepi karena hujan lebat tak seperti biasanya. Apa iya malam ini langit mengikuti suasana hati seseorang? Sehingga semesta pun ikut bersedih dengan menurunkan air dari kepulan awan berwarna kelabu yang masih dengan setia menutupi bulan dan bintang di angkasa sana.

Beberapa pejalan kaki terlihat menyeberangi jalan dengan tergesa- gesa, Aakash terfokus pada--kalau di lihat dari penampilan seperti habis pulang kerja dengan setelan jas masih melekat di badan pria yang di perkirakan sudah berkepala tiga itu tampak berlari tanpa menggunakan penutup kepala untuk sekedar melindungi diri atau mungkin tas kulitnya.

Tak hanya di situ, ada juga wanita tua melupakan bawaannya sampai gadis muda membawakan belanjaan wanita itu lalu berbagi payung agar tidak terkena air hujan dan bisa saja membuka keduanya kebasahan.

Kini atensinya tertuju di setiap payung milik pejalan kaki, macam-macam warna dari payung bukan hal mengganggu pikirannya, hanya saja ada sesuatu yang membawa ingatan Aakash untuk mengingat tentang payung meskipun di kejadian berbeda. Ia tersenyum.

"Kira-kira payung tadi di buang tidak ya?"gumam Aakash.

Ingatannya kembali menerawang saat setengah jam yang lalu, dimana ia bertemu dengan gadis bernama Gea.

Ya kalau tidak salah liat nama gadis mungil itu Gea, Gea Faradita. Tapi kenapa Gea tidak pulang kerumahnya? Padahal seharusnya anak sekolah tidak boleh berkeliaran di jalanan apalagi hampir tengah malam begini.

Meskipun Aakash bukan tipikal orang yang akan peduli dengan wanita manapun termasuk gadis muda seperti Gea, anehnya ia malah jadi penasaran apa yang di lakukan Gea di jam segini di taman.

Apa mungkin Gea itu anak telantar? Ah, tapi bukankah tidak sopan mengatakan telantar begitu? Atau bisa saja memang Gea sedang tidak ingin pulang karna tidak ada orang di rumah. Bisa jadikan?

"Kenapa aku harus memikirkan hal tak berguna seperti ini? Ayolah sadar Aakash," Aakash menepuk-nepuk pipinya, mencoba menyadarkan kembali pikiran yang sempat berkelana memunculkan bayangan gadis bernama Gea.

Melihat lampu kembali berwarna hijau menandakan untuk jalan. Aakash langsung menancapkan gasnya, membawa mobil sport berwarna hitam melaju di jalanan dengan kecepatan tinggi, mencoba melupakan bayangan akan payung dan pemikiran tentang Gea dari otaknya.

Kenapa baru pertama kali bertemu dengan mudahnya ia gampang mengingat, pikirnya.

*****

"Bisa tidak menggangguku hari ini?"

"Aku hanya bertanya kenapa kau tidak masuk sekolah 2 hari ini, apa kau mencoba menjauhiku?"

"Aku tidak menjauhimu, jadi berhenti mengirimkan pesan atau menelpon seperti ini. Itu sangat menggangguku."

"Aku tidak akan berhenti kalau kau tidak sampai masuk sekolah besok."

"Kalau begitu aku akan mengangganti nomorku."

"Oke, jika itu maumu aku akan kerumahmu sekarang."

"Kau gila."

Gea memutuskan panggilan. Kepalanya terasa semakin berdenyut kala menghentikan perdebatan di panggilan. Nafas tak teratur membuat pusing kembali menjalar ke kepala Gea, memijat kepala pelan merupakan obat efektif di keadaan seperti ini.

Alasan kenapa gadis mungil itu tidak masuk sekolah, karena memang ia membutuhkan waktu istirahat yang banyak.

Gea bisa saja memaksakan diri dengan pergi kesekolah, tapi ada alasan lain menjadikan ia lebih baik berdiam diri di rumah saja sampai keadaannya pulih daripada harus bertemu dengan seseorang pria yang baru saja menelpon dan mengganggu waktu istirahat yang begitu berharga.

Jam menunjukkan waktu makan siang, dan Gea masih tiduran di kasur empuk miliknya, mempertahankan posisi ternyaman. Meski lapar Gea lebih memilih berdiam diri di kamarnya daripada keluar sekarang, pertama, karna di rumah ia hanya sendiri jadi tidak akan ada yang perduli ia sudah makan atau belum.

Kedua, karna badannya terlalu malas untuk di gerakkan, dan ketiga, karena Gea masih ingin kembali tidur menikmati hari bolosnya. Anggap saja begitu, karna Gea sengaja tidak membuat surat ijin ke wali kelas.

Masalahnya bukan karena ia tidak berniat menulis surat sama sekali, surat seperti itu berlaku kalau di ketahui wali atau orang tua murid, bisa di bilang percuma kalau Gea membuat surat kalau ujungnya tidak akan di terima, mungkin malah ia akan di telpon untuk meyakinkan pihak guru, merepotkan.

Gea melirik ke arah payung yang terletak di sudut kamar. Matanya menyipit mengingat bagaimana bisa memiliki payung padahal ia sendiri tidak pernah mau membeli payung karena ya sayang sama uang bulanan, bahkan untuk membeli jas hujan bagi Gea harus menolak, harganya mahal.

Otak Gea mencoba mengingat kembali dimana ia bertemu payung, ia terdiam kala memori ingatan terhenti pada pria yang mengganggu acara menikmati hujan malam itu.

"Apa seharusnya aku buang saja ya? Tapi kan sayang."gumam Gea.

"Sayang dengan siapa?"

Deg.

Terkejut akan suara yang tiba-tiba muncul dari belakang, Gea sontak menoleh ke arah sumber suara. Ia masih tidak percaya dengan penglihatannya, Juki sedang duduk nyaman di dahan pohon besar tepat di depan jendela kamarnya.

Bukan bingung kenapa Juki bisa tau rumahnya, tapi bagaimana bisa pria itu naik ke atas pohon yang menurutnya cukup tinggi tanpa menggunakan tangga? Apa iya bisa naik cuma manjat saja? Aneh, pikirnya.

"Tidak usah melamun, seharusnya kau menawarkan aku untuk masuk. Bukankah seperti itu, Ge?"ucap Juki.

Kedua bola mata Gea berputar malas. Kini rasa bingungnya terganti rasa jengkel karena kedatangan tamu tak di undang seperti Juki, membuat ia ingin segera pindah rumah agar tidak pernah lagi bertemu pria bergigi kelinci yang selalu mengganggunya entah di sekolah ataupun di rumah.

"Kenapa kau ke sini?"Gea mendekati jendela, memperhatikan Juki yang masih duduk sambil mengayunkan kaki, menikmati angin siang ini.

"Bukankah aku sudah bilang padamu di telpon? Jadi tidak ada alasan untuk kau mengusirku,"ucap Juki santai.

"Aku tidak bilang mengizinkanmu ke sini. Lebih baik kau kembali ke sekolah, tapi anehnya bagaimana kau bisa kabur dari sekolah?"tanya Gea penasaran.

Bukannya menjawab, Juki malah memberi isyarat agar Gea menjauh dari jendela menggunakan tangannya. Seakan mengerti maksud gerakan tangan Juki, akhirnya Gea menggeserkan badan, menunggu apa yang akan di lakukan Juki ketika tangan besar itu berisyarat untuk menggeser memberikan sedikit ruang.

Juki tersenyum. Lengkungan sabit terlihat jelas ketika ia tersenyum, Juki merasa begitu puas mendapati Gea ternyata akan jadi gadis penurut dan mau menuruti permintaan kecil seperti ini, setidaknya tidak perlu repot membuang suara agar gadis mungil bermata amber di depannya mau menggeser badan untuk memberikan ruang.

Tanpa aba-aba, Juki langsung melompat dari dahan ke dalam kamar Gea melewati jendela dengan pendaratan yang tepat.

Gerakan lincah Juki sukses membuat Gea melongo menatap bagaimana pria itu bisa masuk ke kamarnya hanya dengan lompatan bersama pendaratan yang bagus pula.

Kalau di lihat lompatan beserta pendaratan Juki bisa di kagumi, tapi lagi-lagi Gea meruntuki dirinya sendiri, jika tau maksud dari tangan Juki untuk mendapatkan ruang agar bisa masuk ke dalam kamarnya, ia lebih baik tidak bergerak sama sekali dari posisi awal dan mungkin sudah menutup jendela kamar rapat-rapat supaya Juki tidak dapat masuk. Bodoh sekali, pikirnya.

Juki mengedarkan penglihatannya ke seluruh seisi kamar milik Gea. Tidak peduli dengan tatapan tak suka dari sang pemilik, hanya terfokus pada beberapa miniatur lucu di sekitar meja belajar.

Tapi kenapa ada kaktus kecil di sudut rak buku? Bukankah berbahaya kalau tertusuk durinya, itu akan membuat jari terluka. Juki masih tidak mengerti kenapa gadis seperti Gea bisa memiliki tanaman juga di dalam kamar, padahal Gea tidak terlihat begitu menyukai tanaman.

Terlalu asik dengan pikiran dan mengamati isi kamar, Juki sampai tidak sadar Gea menyebut namanya berulang kali.

"Juki Matelio, can you hear me?"ulang Gea.

Merasa Gea menaikkan suara beberapa oktaf, Juki langsung menengok, memberikan perhatian pada lawan bicaranya yang terlihat sangat kesal karna di acuhkan daritadi.

"Apa?"tanya Juki tanpa rasa bersalah.

"Kemana saja pikiranmu sampai aku memanggilmu 10 kali tidak mendengarnya?"ucap Gea sebal.

Muncul Ide untuk menggoda gadis mungil di depannya. Juki menunjukkan smirk, menatap Gea dengan tatapan yang sulit di artikan.

"Entahlah, mungkin sedikit berfantasi liar tentangmu?"goda Juki.

Mendengar jawaban Juki membuat Gea bergidik ngeri. Gea mengambil bantal, tangannya terlihat siap untuk memukul wajah tampan teman prianya itu.

"Oh, hey. Tenanglah, aku tidak seburuk itu. Lagipula dari tubuhmu apa yang bisa di buat fantasi seperti itu? Tidak ada,"ucap Juki lalu tertawa.

Merasa harga dirinya di jatuhkan, Gea melemparkan bantal ke arah wajah tampan Juki, memukul lengan pria itu berkali-kali tanpa rasa ampun. Gadis mana yang suka jika tubuhnya seperti di ejek tak berkembang begitu. Dasar gigi kelinci sialan.

"Aduh, sakit Ge,"Juki meringis kesakitan.

"Rasakan. Siapa suruh mulutmu seperti perempuan hah?"Gea tidak memperdulikan suara rengekan Juki, ia terus memukul lengan Juki, meluapkan rasa kesalnya.

Juki tahu betul kalau aksi Gea tidak segera di hentikan, bisa-bisa ia babak belur karna di pukuli tak berperasaan.

Kalau di buat perandaian, anggap saja Gea itu adalah macan betina sudah sangat siap menerkam lalu Juki sebagai buruan. Sangat pantas untuk di habisi di kondisi sekarang menurut Gea.

Pukulan Gea terhenti saat Juki menahan tangannya, mendekatkan wajah tampannya dengan jarak yang bisa di bilang terlalu dekat jika di bandingkan mereka biasa bertemu. Juki melakukan ini tidak ada maksud kurang ajar atau berniat lainnya seperti mencium? Oh sama sekali tidak, Juki masih sayang nyawanya, jadi cukup menatap Gea lebih dekat.

"Sudah puas memukulnya, oke? Kau tidak liat lenganku membiru karena pukulanmu,"Juki mengelus lengannya, menatap Gea seakan mengatakan ia sangat kesakitan karena pukulan gadis itu.

Gea mendecih. Ia tahu betul pria berotot menjelma seperti seekor kelinci menggemaskan sudah pasti tidak akan merasakan sakit kalau di pukul olehnya.

Paling-paling sakit dikit, toh Juki termasuk anak pria terkuat di kelasnya. Gea melirik lengan Juki, warna kemerahan timbul di kulit putih Juki, tidak ada ruam atau memar akibat pukulan ganasnya. Juki jelas mengada-ngada kalau lengannya membiru karna pukulan Gea. Cih, dasar kelinci.

"Jangan manja, kau itu kuat mana mungkin merasa sakit cuma di pukul gadis seperti ku, dan berhenti melebih-lebihkan,"Gea beranjak dari atas kasur, meninggalkan Juki masih terdiam di posisinya.

Juki mengerucutkan bibirnya, Gea selalu saja bersikap cuek padanya. Padahal seluruh gadis di sekolah mereka jelas saja mengejar-ngejar Juki bahkan sampai ada yang nekat menyatakan cinta, sayangnya Juki tidak tertarik dan menolak dengan alasan terdengar ketinggalan jaman.

Kau terlalu baik untukku, begitulah Juki ketika di hadapi situasi menolak para gadis.

Meskipun popular, Juki tidak pernah berpacaran, paling cuma dekat biasa tidak ada niat ingin memiliki hubungan lebih. Kecuali bersama Gea? Entahlah, bahkan Juki sendiri tidak tau bagaimana perasaannya.

Tapi ia sangat suka mengikuti kemana gadis itu pergi. Kemanapun, Juki pasti menemukan dimana Gea berada, terkadang Gea sampai kebingung kenapa Juki selalu tau dimana ia. Tapi itulah Juki, jika di tanya pasti ada saja alasannya. Aku menggunakan insting, ya jawabannya begitu.

Gea menuju dapur, bersiap membuat makanan untuknya, tapi meningat ada makhluk tak di undang membuat ia memikirkan bagaimana kalau Juki juga belum makan sepertinya? Bukankah kasian jika anak kelinci itu tidak di beri makan, bisa saja Juki mati mendadak karena kelaparan, dan Gea akan menjadi tersangka bila seperti bayangan di otaknya.

Sungguh tidak bisa membayangkan hanya karena hal sepele seperti tidak mengasih makan Juki di saat perutnya kosong membuat ia jadi tahanan.

Entah sejak kapan Juki sudah terduduk di pantry mengamati Gea sedang memasak--ia juga tidak tau apa di masak Gea, perlu di ketahui wangi masakannya keciumana ke seluruh penjuru ruangan, bau yang enak sekali membuat siapapun pasti akan tergiur untuk mencicipinya. Di tengah memasak, Gea sesekali bersenandung membiarkan rambut tergerainya bergoyang mengikuti irama langkah kaki.

Tidak ada salahnya memperhatikan kebiasaan Gea saat di rumah jauh berbeda dengan Gea yang ada di sekolah. Di sini Gea terlihat seperti gadis kebanyakan, bersikap lembut, lebih feminin, dan juga cantik, termasuk jika di deskripsikan saat rambut gadis itu tergerai bahkan polesan natural di wajah Gea malah semakin membuat Juki menarik seluruh atensinya untuk terus menatap kemana gadis itu berjalan.

Mungkin Gea tidak menganggap juki sebagai teman sebangku, tapi Juki akan lebih suka jika mengatakan Gea adalah teman wanita? Mungkin semacam itu.

Gea menjijitkan kaki kecil nan mungil agar bisa mengambil piring di atas lemari, tapi apa daya usahanya sia-sia. Bukannya dapat apa yang ia inginkan, malah makin sulit di gapai karena lemari atas terlalu tinggi untuk di jangkau.

Juki terkekeh melihat Gea kesusahan karena kaki kecil di milikinya, kasian sekali, pikirnya. Tanpa sepengetahuan Gea, Juki melangkahkan kaki mendekati Gea, mencoba memberi bantuan agar gadis itu tidak kesulitan.

Cuma mengambil piring di lemari atas sangatlah mudah bagi Juki, karena ia tinggi jadi dengan mudah menjangkau. Di ambilkan piring yang di inginkan Gea, memberikannya ke gadis mungil-- kalau di ukur sebenarnya tinggi Gea selengan Juki jika tidak menggunakan sepatu hak.

Gea mengadahkan kepala, menatap Juki masih setia di posisi berdiri tepat di belakangnya dengan tangan terulur memberikan piring di inginkan Gea.

"Apa kau sekarang mulai menyukaiku? Tatapanmu seperti, wah posisi seperti ini persis yang ku lihat di dalam drama dimana sang lelaki tampan membantu wanitanya, membuat jantungku berdetak begitu kencang,"ejek Juki sesekali bersiul mecoba menggoda Gea masih di posisi sama.

Tanpa di duga Gea menyikutkan lengannya ke perut Juki sontak membuat sang empunya mengaduh kesakitan.

"Astaga, kau ini wanita apa bukan si? Kenapa tenagamu seperti lelaki?"Juki sedikit menekan perutnya memberikan cara terbaik mengurangi rasa ngilu di area sikutan Gea.

"Berhenti menggangguku. Lebih baik kau duduk saja dan tunggu makanan siap, bersyukurlah karena aku sedang berbaik hati jadi mau berbagi makanan denganmu,"ucap Gea mengambil piring dari tangan Juki lalu mengangkat omlet buatannya dan menaruh di atas piring.

"Kalau tidak ikhlas bilang saja, tapi kebetulan aku memang lapar jadi tidak ada alasan menolak,"Juki menunjukkan senyum terbaik miliknya ke arah Gea.

Gea menggelengkan kepala pelan, ia sangat mengenal bagaimana Juki tidak pernah punya malu. Gea juga bersyukur di hadapkan dengan orang seperti Juki, jika ia berkata seperti tadi pada orang lain pastinya ucapan itu sudah di anggap serius dan akan tersinggung.

Tapi ini Juki Matelio, sulit menebak pikiran pria bergigi kelinci dengan rupa manis--kadang menjelma menjadi pria tampan nan gagah karena otot dan dada bidangnya. Juki tidak pernah tersinggung kalau Gea berucap jahat, malah berpikir itu hanya candaan, terkadang menganggap apa yang di lontarkan Gea itu adalah hal lucu.

"Kau tinggal sendiri?"Juki mengedarkan penglihatan, mencari tanda-tanda apakah ada kehidupan lain di dalam rumah Gea.

Pertanyaan Juki membuat Gea membuyarkan lamunannya, segera ia taruh dua priring berisi omlet ke atas meja pantry. "Ya, begitulah. Kenapa?"

Juki mengedikan bahu, mengambil sendok yang di sediakan lalu menyuap omlet buatan Gea. "Tidak, aku hanya bertanya. Pantas sepi,"ujar Juki seadanya.

Gea hanya ber-oh ria, ikut makan tanpa di beri aba-aba. Menyantap bersama Juki setidaknya tidaklah buruk, ia merasa tidak sendirian dan merasa ada teman untuk di ajak berbagi. Lagi-lagi Gea bersyukur memiliki Juki yang datang meskipun tidak ia undang, hanya keinginan pria itu dan masuk tanpa permisi.

"Setelah ini ingin keluar?"

*****

-next story