'Nomer yang anda tuju sedang sibuk, cobalah beberapa saat lagi.'
Ronuer mematikan panggilan. Tidak ada senyuman di wajah, hanya ekspresi datar. Rahangnya mengeras, dada naik turun sampai nafas tak beraturan menandakan ia menahan emosi yang belum terluapkan sedari tadi.
Lagi-lagi Gea tidak mengangkat panggilan, entah kenapa gadis itu selalu mengacuhkan apapun jika bersangkutan dirinya. Tapi untuk kali ini Gea benar-benar tidak bisa di hubungi, bahkan tidak ada tanda-tanda keberadaan Gea di sekolah.
Tidak mungkin karena kejadian tempo hari, bukan?
"Argh, sial. Kenapa susah sekali di hubungi,"Ronuer melempar benda pipih di tangannya ke arah sofa.
Apa tidak bisa mengangkat panggilan sebentar?
Mata Ronuer terhenti pada figura foto di atas meja dekat sofa, di dalam foto terlihat keduanya tersenyum lebar seakan memberi kesan kalau mereka sangat akrab.
Gea tersenyum manis, jarinya membentuk v dan Ronuer merangkul Gea sembari ikut tersenyum, sulit melihat senyuman seperti itu lagi sejak Gea memutuskan pergi tinggal sendiri dengan alasan ingin mandiri, terpaksa Ronuer menuruti permintaan Gea meskipun tidak rela membiarkannya sendirian.
"Apa harus membuat kakaknya khawatir seperti ini?"Ronuer menghela nafasnya berat.
Jika memang ini salah ia waktu mengatakan ancaman agar Gea tidak pergi, maka sekarang ia sangat menyesali ucapannya kala itu.
Untuk menyapa atau sekedar mengajak Gea pergi saja sangat susah, apalagi ingin bertemu, kemungkinan Gea sudah menyiapkan alasan biar tidak bertemu dengannya. Andai ia bisa memutar kembali waktu, Ronuer berharap saat dimana menahan Gea pergi, tidak terucap ancaman 'tidak ada tegur sapa jika kau pergi dari sini'.
Sayangnya ketika ancaman itu terlontarkan, Gea lebih memilih pergi daripada menarik ucapan kembali. Mengacuhkan ancaman Ronuer merupakan keputusan ternekat bagi Gea, kata 'terserah' mengakhiri sekaligus sebagai ucapan perpisahan di antara mereka.
Gea tetap mengambil jalur yang sudah jadi keputusan sejak awal, sedangkan Ronuer terdiam tanpa mampu mencegah kemauan Gea. Mulai dari situ tidak pernah lagi ada panggilan 'kakak' atau candaan keluar dari mulut Gea.
Bahkan ketika bertemu malah seperti orang asing, bukan Ronuer menganggap Gea tak ada di sekitarnya. Cuma Gea menganggap kalau ia sama sekali tidak perlu menegur atau sekedar menyapa, karena ia masih ingat akan ancaman Ronuer.
Maaf, seharusnya aku tidak mengatakan itu padamu.
*****
"Apa masih jauh?"
Gea memperhatikan sekeliling, melihat sejauh mana kakinya harus terus berjalan. Ia kalau tau begini lebih baik tinggal di rumah, pasti sangat enak kalau melanjutkan tidur siang, bukan menghabiskan waktu di luar dengan berjalan kaki begini.
Gea juga tidak tau kemana ia di bawa pergi oleh pria yang berjalan lebih dulu di depan.
"Tidak usah mengeluh, percepat saja jalanmu. Kenapa kau seperti siput? Lama sekali,"Juki menoleh ke belakang, menatap Gea tertinggal jauh dari langkahnya.
Merasa tersindir, Gea memperbesar langkah agar ia bisa menyusul Juki yang menatapnya tak sabar.
"Kau yang mengajakku, tapi kau juga menyindirku. Apa-apaan itu,"gerutu Gea tak terima.
Juki menghela nafas, memfokuskan pada gadis di depannya.
"Lagian apa kau tidak bosan di rumah saja? Lebih baik gunakan waktu bolosmu dengan berjalan-jalan menikmati dunia luar. Tidak baik mengurung diri terus di dalam rumah, kau jadi tidak terkena cahaya matahari sedikitpun,"ucap Juki panjang lebar.
"Bisa simpan ceramahmu nanti? Kakiku sudah mati rasa, tidak kuat untuk berjalan lagi,"Gea menunjukkan wajah memelas andalannya ke Juki.
Bukan merasa kasian atau prihatin, Juki malah menyentil kening Gea lalu melanjutkan jalan ke tempat tujuan.
"Jangan tunjukkan wajah menjijikann itu lagi dan berhentilah mengeluh kalau ingin cepat sampai bodoh,"ucap Juki.
Gea menyumpahi Juki, berbagai makian terlontar mulus dari mulut mungilnya tapi tetap saja masih mengikuti langkah Juki yang jauh di depan.
Dari awal memang ini keputusan salah, jika saja ia tidak percaya pada omongan manis Juki saat mereka ingin berangkat tadi, sudah pasti Gea sekarang berada di kasur empuk sambil memakan cemilan, menikmati hari terakhir bolosnya.
Tapi nasi sudah jadi bubur, percuma menyesali, meskipun begitu Gea tetap melanjutkan jalan menanjak itu dengan keluhan yang tak berhenti keluar dari mulut kecilnya.
Gea menghentikan langkah saat berada di tanjakan ke atas, curam sih tidak. Cuma ia sudah tidak sanggup berjalan, kakinya terasa sulit untuk di gerakkan membuat Gea terdiam di tempatnya.
Merasa tidak terdengar langkah Gea di belakang, Juki menoleh, melihat Gea tidak bergerak. Ada yang aneh melihat Gea tiba-tiba jadi diam padahal daritadi mulut gadis itu tidak berhenti memaki dirinya. Apa ada sesuatu yang salah?, pikirnya.
Juki mundur beberapa langkah ke belakang sampai di depan Gea, di ulurkan tangan menunggu sambutan dari Gea.
Bukan menggengam uluran Juki, ia malah di buat tidak mengerti maksud pria bergigi kelinci itu. Kalau di pikir, jika Juki ingin membantu membawakan barang Gea jelas saja tidak mungkin, karena ia sama sekali tidak membawa barang yang berat.
Apa iya Juki mau menolongnya? Paling nanti di tinggal lagi, pikirnya.
Merasa tidak ada respon sedikitpun, Juki memunggungi Gea. Mungkin Gea berpikir kalau Juki akan meninggalkannya, itu salah.
Karena Juki langsung menarik kaki Gea tanpa aba-aba bahkan tidak meminta izin terlebih dahulu pada sang empunya, membuat Gadis itu terkejut setengah mati dengan perbuatan tiba-tiba Juki yang ingin menggendongnya.
"A-apa yang kau lakukan? Turunkan aku,"Gea memukul punggung Juki, tempat ia bersandar.
"Berisik sekali, aku tau kakimu keram bukan? Jadi aku menolongmu, dan berterima kasihlah karena aku tidak mengeluh untuk berat badanmu,"ucap Juki, membenarkan posisi badan Gea agar mudah di angkat.
Gea mengerucutkan bibirnya, mengalungkan tangan ke leher Juki. Satu hal mengganggu daritadi, kenapa hanya mencium aroma tubuh Juki sedekat ini malah membuat jantungnya berdetak tak karuan?
Bau maskulin, dengan gabungan citrus agak menyengat tapi tertutupi harum sedikit manis seperti permen karet, entahlah bahkan Gea sendiri tidak bisa menebak parfum apa yang di gunakan pria ini.
Jujur Gea merasa nyaman ketika menghirup aroma Juki, ya terkadang Juki memang bersikap menyebalkan. Kadang juga bersikap tidak tertebak, Gea sendiri di buat kebingungan, mempertanyakan segala sikap Juki yang mustahil bisa terbaca.
Biarpun begitu, bukan berarti Gea menyukai pria bergigi kelinci berupa menggemaskan seperti Juki. Selera Gea menjurus pada pria di temuinya waktu malam dimana hujan turun, payung identik sebagai pertemuan dirinya dan pria misterius yang terus mengganggu pikiran.
"Timbanganmu berapa?"
Gea membuyarkan lamunan, akal sehatnya kembali memberikan respon atas pertanyaan tiba-tiba juki.
"54, kenapa?"ucap Gea mengeratkan kalungan tangan di leher Juki.
"Pantas saja berat,"ejek Juki.
"Apa seberat itu? Jika tidak ikhlas kau bisa turunkan saja aku,"Gea mulai melepaskan kalungan tangannya dari leher Juki.
Juki kembali mengeratkan tangannya, menahan badan Gea agar tidak jatuh.
"Bukan begitu, aku ikhlas membawamu sejak awal. Cuma masalahnya, dadamu menekan punggungku dan itu em terasa agak besar mungkin?"Juki menertawakan kalimat terakhirnya.
Mungkin Gea tidak sadar, tapi Juki merasakan ketika gadis itu terus menempelkan badannya dan mengeratkan kalungan tangan di leher membuat dada Gea menekan punggung Juki. Sebenarnya ia juga tidak mau mengatakan hal sensitif begini, tapi jika tidak di katakan maka akan berbahaya untuknya.
Gea menarik rambut Juki lalu mencabut beberapa helai membuat sang empunya mengaduh kesakitan, perbuatan Gea bukan tanpa alasan.
Ia menahan malu mendengar ucapan Juki, kalau bisa di cekik sudah pasti Gea akan mencekik pria bergigi kelinci yang menggendongnya dari tadi. Makin mengenal Juki rasanya mulut pria ini semakin mirip dengan wanita, banyak bicara. Bukankah menyebalkan?
"A-akh, cukup ge. Itu menyakitkan,"Juki terus berjalan meskipun kepalanya teasa begitu pusing karena ulah Gea.
"Salahmu sendiri, kenapa harus mengatakan tentang dadaku? Dasar mesum,"Gea mengalihkan pandangan ke lain.
"Kau ini ganas sekali, tidak bersangkutan tinggi atau badanmu saja pasti aku jadi samsak sasaranmu. Apa kau tidak kasian dengan badanku yang terluka karenamu?"Juki melirik Gea menunggu jawaban gadis yang masih setia menempel di punggung lebarnya.
"Jelas saja itu masalah, setiap wanita pasti tidak suka kalau kau body shaming sepeti itu, dan aku tidak peduli entah pada lukamu ataupun dirimu,"ucap Gea penuh penekanan.
"Kalian wanita sangat suka menyalahkan kaum pria,"gumam Juki kecil dan masih bisa terdengar oleh Gea.
Gea meniup telinga Juki seraya mengeratkan kalungan tangan di leher Juki. "Kau memang selalu salah, terima saja,"bisik Gea membuat intonasi suara selembut mungkin agar terdengar merdu tapi malah seperti menggelikan di telinga Juki.
"Dan kau selalu benar, selalu begitu bukan?"
"Kau ini,"
"Sudahlah, bisakah kita lanjutkan perjalanan ini tanpa debat? Aku lelah,"Juki membenarkan posisi Gea agar tetap merasa nyaman di punggungnya.
Gea tidak menjawab perkataan Juki, hanya diam sudah menunjukkan respon kalau ia juga tidak ingin berdebat lagi. Menyandarkan kepala di punggung Juki, memandangi jalan yang ia lewati, sesekali Gea melirik Juki yang masih fokus terus berjalan tanpa mengamati keningnya mulai berkeringat.
Kalau melihat Juki di saat seperti ini memang ia pria bertanggung jawab, tidak membiarkan kakinya semakin terluka.
Kadang memang menyebalkan, tapi Juki masih memiliki hati nurani. Ya setidaknya Gea tidak perlu repot-repot berjalan sejauh sebelumnya hanya untuk pergi ke tempat yang tidak pernah di datanginya, bisa jadi akal-akalan Juki biar ia tidak terus di rumah.
Gea memandangi langit cerah seakan mendukung perjalanan, suara kicauan burung dan angin sejuk memberi rasa nyaman saat ia melewati pepohonan rindang di sepanjang tanjakan.
Harus di akui, Gea sama sekali tidak menyesal dengan ajakan Juki, ia malah di buat bersyukur karena bisa melihat dunia lain yang mungkin tidak akan pernah Gea temukan jika berdiam diri di rumah.
Terima kasih, ki.
*****
Aakash mempehatikan tumpukan kertas di meja ruangan pribadi miliknya. Bau lavender menyeruak ke dalam indra penciuman, memberikan rasa tenang dan nyaman saat menghirupnya.
Ruangan bernuansa putih cream berukiran gaya klasik romawi mengiasi dinding, terdapat beberapa lukisan yang terpajang. Kalau orang lain masuk ke ruangan itu pasti akan berpikir seram atau menganggap ruangan favorite Aakash menakutkan, tapi bagi pemiliknya malah berpikir ini adalah seni.
Lengan kemeja tergulung berantakan sampai ke siku, rambut hitam lekat telihat acak-acakan, bahkan raut wajah kelelahan menandakan Aakash tidak istirahat sejak beberapa hari karena tumpukan kertas di hadapannya.
Mungkin ia seperti gila kerja sampai tidak mengurus dirinya dengan baik, padahal bukan kerjaan penyebab utama Aakash begini tapi hal menganggu pikiran membuat ia tidak bisa memejamkan matanya walau sebentar.
"Apa aku punya insomnia?"Aakash tampak memikirkan kembali kata-katanya.
Sesekali memijat pelipisnya terasa berdenyut karena kelelahan akibat kurang tidur. Sejak kemarin ia menghabiskan waktu di dalam ruangan ini untuk memunculkan rasa kantuk, sayangnya bukan merasa mengantuk, Aakash berakhir mengerjakan tumpukan kertas yang berhamburan di meja. Meneliti setiap laporan dalam kertas, takut apabila ada kesalahan dari data baru para pasien.
Kini perhatian Aakash tertuju pada cangkir kopi di sebelah tumpukan kertas. "Aku lelah, tapi kenapa mata ini susah sekali terpejam?"Aakash seakan menanyakan keluhan di deritanya ke cangkir.
Aakash tau hal terbodoh ialah mengajak bicara benda mati yang sampai kapanpun tidak akan bisa menjawab pertanyaannya. Terlintas pikiran liar di otak sebagai jawaban untuk alasan kenapa ia tidak bisa tidur.
"Mungkin sebaiknya aku menonton film dewasa, tapi bukannya tidur aku malah membangunkan yang lain,"Aakash mengamati ke bawah celana kainnya lalu mengacak rambutnya frustasi.
"Sial, apa yang harus ku lakukan sekarang. Tidak mungkin seorang dokter mengobati dirinya ke dokter juga,"keluh Aakash menatap lukisan yang terpajang tepat di depan matanya.
Jika ada cara alami bisa membuatnya tertidur sekarang maka Aakash akan mengikuti cara tersebut, tapi tidak mungkin ada cara alami lagi.
Semua cara sudah ia lakukan, seperti minum susu sebelum tidur, menghitung 1 sampai 100 domba, mendengarkan lagu menenangkan, hingga mengolesi di bawah matanya dengan balsam. Tapi semuanya sia-sia, tidak ada satupun cara ampuh agar ia bisa kembali tidur normal.
Kecuali obat tidur? Ya mungkin itu satu-satunya cara supaya mata ini bisa terpejam, pikirnya.
Beberapa detik berpikir, Aakash kembali memutar akal sehatnya. Kalau ia meminum obat tidur bisa saja nanti ketergantungan, malah memperumit lagi kelak.
Tangan Aakash tak tinggal diam, di buka setiap laci meja mencari sesuatu muncul tiba-tiba di pikirannya. Menemukan apa yang di cari, Aakash mengeluarkan toples kecil terbuat dari kaca. Ia mengambil satu permen caramel lalu memasukkan ke dalam mulut. Aakash tersenyum.
"Ku harap cara ini masih ampuh,"gumam Aakash pelan.
Saat ingin menutup laci kembali, tangan Aakash terhenti. Ia melirik pada foto lama yang masih tersimpan begitu apik di dalam laci yang sama dimana Aakash mengambil toples berisi permen caramel tadi.
Foto sama persis dengan milik Noah, tapi bedanya Noah menaruh foto itu menggunakan bingkai dan berada di atas meja ruang kerja. Sedangkan Aakash lebih memilih menyimpan fotonya dalam laci, seakan tidak ingin terlihat atau lebih kenangan masa lalu.
3 remaja terlihat tersenyum manis ke arah kamera saat di foto. Anak itu adalah Aakash, Noah, dan gadis cantik berdiri di tengah antara keduanya. Kenangan lama yang akan terus membekas sampai sekarang, dimana awal ia bertemu Noah dan memulai kisah pertemanan bertiga bersama gadis dalam foto.
Mengingat proses pengambilan foto mereka saat langit begitu cerah, wajah tampak gembira tidak ada beban atau kesedihan di tunjukkan ketika pertama kali foto itu di ambil.
"Cepatlah sembuh, aku merindukanmu,"Aakash mengela nafas berat.
Di tutup kembali laci meja, menghilangkan foto dan bayangan masa lalu dari pikiran membuat Aakash kembali menatap kosong ke arah toples kaca di tangannya.
Memang banyak hal mengganggu kinerja otak Aakash akhir-akhir ini hingga pria itu sering mengeluh pada benda apa saja di sekitarnya. Bukan ia tidak punya teman atau apa sampai mengajak benda mati bicara, cuman Aakash sedang terlalu malas melakukan interaksi dengan orang lain di saat susana hatiya seperti ini, kecuali satu orang. Noah.
Aakash langsung menelpon orang yang ada di pikirannya sekarang, menunggu hingga orang di seberang sana mengangkat panggilan darinya.
"Apa kau sibuk?"
'.....'
"Ingin minum bersama?"
'.....'
"Simpan omelanmu untuk nanti, kita bertemu di tempat biasanya, sampai nanti."
Aakash mengakhiri panggilan. Merapikan kemejanya yang kusut, lalu membenarkan tataan rambut agar tidak terlihat acak-acakan. Tapi ada satu hal mengganggu indra penciuman, padahal sudah jelas aroma lavender sangat menyengat dalam ruangan tetap saja masih kalah dengan aroma kuat entah bau apa begitu menusuk hidung, membuat Aakash mengendus-endus bau pakaian sampai ke badan.
Ia tertawa, ternyata bau itu berasal dari dirinya sendiri. Aakash baru sadar kalau ia dari kemarin tidak ada mandi sama sekali, pantas saja bau.
"Sebaiknya aku mandi dulu, biarkan saja Noah menunggu. Paling kena omel sampai sana,"Aakash meninggalkan ponselnya di atas meja, membiarkan panggilan masuk tanpa ingin menjawabnya.
******
- next story