Kolase Season 1 : Cosplay - Prolog
Bagi Padi hidupnya seperti bermain cosplay, setiap hari dia harus bisa memainkan beberapa peran. Padi harus bercosplay sebagai istri yang tabah ketika suaminya menikah lagi, Padi harus bercosplay sebagai menantu yang budiman ketika ibu mertuanya terus saja menguliahinya tentang bagaimana seorang istri bersikap yang pada akhir khutbahnya si ibu mertua selalu menekankan bahwa Arman anak lelaki satu satunya yang Padi nikahi harus di perlakukan bagai raja.
Hidup Padi bagaikan air mengalir yang suatu saat nanti akan bermuara di satu tempat bernama kematian, jadi dia memutuskan untuk menikmati hidupnya tanpa perlu merasa sedih ataupun terluka dengan perlakuan orang-orang di sekitarnya. Padi ingin terus mengalir, mencoba hal-hal yang sebelumnya ingin dia lakukan tapi terhalang rasa segan karena doktrin beragam tentang manusia yang sering kali ia dengar dari lingkungan sekitarnya.
Jika sudah waktunya nanti aliran kehidupannya bermuara pada satu tempat bernama kematian, Padi ingin dikenang sebagai sosok yang berwarna, bukan sosok yang merana karena dipermainkan kehidupan.
***
Disukai oleh Padianjani dan 2021 orang lainnya
sweettooth_id Jangan ngaku jadi sweet tooth kalau belum nyobain cake di @sweettooth_id besok kita launching produk baru loh, jadi kalian wajib dateng ke grand opening @sweettooth_id. See ya!
Lihat semua 300 komentar
analisa_anna akhirnyaaa official, enggak sabar mau nyobain sweet tooth!
billyjoshua gue jemput besok, enggak pake ngaret! @bayubastian, @citraaprilia @daraaulia
Padianjani enggak usah mikir dua kali! Pasti dateng @sweettooth_id
***
Padi menutup laptopnya cepat saat mendengar pintu apartemennya di buka, sebelumnya Mba Inah pamit ke supermarket untuk belanja bulanan dan Padi menitip dibelikan cemilan coklat kesukaannya. Padi itu sweet tooth, pecinta manis karena katanya cukup hidup aja yang pahit lidahnya jangan.
"Mba Inah! Mana coklat ku." Todongnya dengan napas yang terengah-engah, perempuan berusia 27 tahun itu memang kekanakan ia bahkan berlari dari kamarnya ke pintu depan.
"Harus banget kamu lari-lari kayak anak kecil begitu?" Perempuan dengan tinggi badan hanya 155 cm itu terdiam begitu sadar kalau bukan Mba Inah yang membuka pintu, tapi Arman lelaki yang dinikahinya satu tahun yang lalu. Padi menggaruk rambut ikalnya yang saat ini di cepol tinggi menampilkan lehernya yang tidak terlalu jenjang, benaknya menghitung cepat apakah hari ini memang jadwal Arman mengunjunginya.
"Kamu mampir kok enggak bilang-bilang!" Padi mengikuti Langkah Arman yang berjalan kedapur setelah menata sepatunya di rak dekat pintu, Padi yakin sekali seharusnya hari ini bukan jadwal kunjungan Arman ke apartemennya.
"Sejak kapan aku harus bikin janji dulu untuk dateng kerumah aku sendiri?" Padi memutar bola matanya jengah, dasar lelaki kulkas umpatnya dalam hati.
"Ya kan kalau kamu mampir aku lagi enggak di rumah gimana, ngomel pasti." Padi mengikuti langkah Arman yang sekarang sudah berjalan ke ruang tamu dan memilih untuk merebahkan tubuhnya di sofa two seater apartemen mereka.
"Lagian nih ya, Mba Inah belum masak. Coba kamu bilang kalau mau mampir pasti Mba Inah masak dulu sebelum belanja bulanan ke supermarket." Padi memperhatikan Arman yang saat ini menutup kedua mata dengan sebelah lengannya, suaminya itu terlihat sangat kelelahan, ini sudah waktunya makan malam Arman mungkin lapar tapi tidak ada makanan di apartement hanya ada coklat kesukaannya di dalam kamar itupun hanya sisa satu bungkus.
"Mba Inah belum masak, enggak ada makanan cuma ada coklat. Kamu mau coklat? Buat ganjel dulu, aku whatsapp Mba Inah sekalian beli makanan di jalan buat kamu." Padi sudah akan beranjak ke kamarnya untuk mengambil stok terakhir harta karunnya yang berharga tetapi langkahnya di tahan Arman yang memegangi ujung piama bergambar tokoh kartun monster university yang malam ini ia pakai.
"Sebentar.. sebentar aja, tolong. Kamu disini aja, jangan kemana-mana." Padi menatap jemari Arman yang menggenggam ujung piyamanya sedangkan tangan satunya masih di gunakan untuk menutup kedua matanya yang terpejam. Perlahan Padi tersenyum dan melepaskan jemari Arman yang menggenggam piyamanya dan berkata
"Enggak apa, aku pergi sebentar. Enggak akan lama."
Arman masih bersandar di sofa two seater ruang tamu apartemen Padi, satu tanggannya masih di gunakan untuk menutupi kedua matanya yang terpejam, satu tangannya yang lain terkulai lemas disamping tubuhnya setelah Padi melepaskan genggamannya.
***
Padi mengenal Arman kurang lebih tujuh tahun yang lalu, mereka tidak sengaja bertemu di acara kegiatan mahasiswa saat masih menjabat sebagai anggota Badan Eksekutif Mahasiswa di tempat mereka menuntut ilmu untuk mewakili fakultas masing-masing. Arman mewakili fakultas hukum dam Padi mewakili fakultas sastra, Arman adalah idola kampus, wajahnya memang tidak setampan dewa Yunani Arman bahkan tidak akan mewarisi kekayaan sekian juta dolar juga bukan calon CEO perusahaan besar tapi dia lahir dari keluarga yang bibit bebet dan bobotnya sangat baik. Bapaknya pengusaha, pengusaha lokal yang membuka jasa konsultan hukum di kota ini dan ibunya adalah dosen dengan gelar master di bidang arsitektur singkatnya Arman adalah menantu potensial idaman seluruh orang tua yang memiliki anak perawan karena berasal dari keluarga terpelajar.
Arman itu cuek, laki-laki itu bahkan akan diam saja ketika melihat ada perempuan terjatuh tepat di hadapannya, Arman itu misterius tidak ada satu orang pun yang bisa nebak apa yang laki-laki itu fikirkan, sampai detik ini Padi bahkan masih terus bertanya apa yang membuat lelaki setinggi 170 cm dan berkacamata itu sampai khilaf menikahi perempuan sembrono sepertinya.
"Mas Arman dateng toh mba?" Padi merengut menatap seseorang yang berdiri segan di depan pintu kamarnya yang terbuka.
"Mba Inah! Kalau dateng tuh ngucap salam kek. Ini enggak tau kapan datengnya udah ngagetin aja." kalau kata Mba Inah bibir Padi sudah maju sampai dua centi saat ini
"Udah pake salam loh mba, mas Arman jawab. Mba Padi aja keasikan ngumpet dikamar enggak denger saya dateng"
"Iuhh Mba Inah ih, apanya yang ngumpet sih orang aku lagi nyari sisa coklat buat Arman, aku kan enggak tau mba Inah kapan pulang kalau Arman mati kelaperan kan repot"
"Lah apanya toh mba, orang saya liat mba Padi dari tadi cuma melamun duduk di atas kasur sambil megangin bungkus coklat" Padi mengikuti pandangan mba Inah menatap telapak tangannya yang menggenggam sebungkus coklat favoritnya.
"Saya.. masak dulu ya mba"
Padi tidak pernah paham kenapa Arman menikahinya satu tahun lalu sama tidak pahamnya kenapa Arman kembali menikah dengan Renata perempuan terpelajar teman masa kecil yang juga merangkap sebagai mantan tunangan Arman tiga bulan lalu tanpa menceraikannya terlebih dahulu seperti permintaan Ibu Galuh yang agung, ibunya Arman.
Padi menatap bungkus coklat di tangannya, Arman pasti lapar sementara mba Inah baru mulai memasak. Padi keluar dari kamarnya mencari Arman yang ternyata sudah tidak lagi bersandar di sofa two seater di ruang tamunya, hanya ada amba Inah yang sedang merapikan sofa yang menjadi tanda bahwa sebelumnya Arman memang ada disana.
"Mas Arman udah pergi mba, tadi dapet telefon dari ibu katanya acara syukurannya udah mau mulai" Padi paling benci dikasihani seolah ia adalah makhluk paling merana di muka bumi ini, tapi kalimat terakhir yang di ucapkan mba Inah sebelum kembali kedapur benar-benar membuat Padi merasa jadi perempuan paling merana.
"Ibu Galuh buat acara selametan tiga bulanan kehamilan mba Renata, katanya syukuran karena mba Renata berhasil ngelewatin trimester pertama"