Lama mengenal Arman membuat Padi cukup akrab dengan beberapa teman nongkrong suaminya, Arman sering mengenalkan Padi pada circle pertemana laki-laki tersebut dan tidak jarang mereka membuat acara kumpul-kumpul bersama sekedar family time melepas penat. Weekend ini mereka berjanji akan maraton film bersama di apartemen Padi dan Arman.
Tepat di jam makan siang teman-teman Arman yang berjumlah tiga orang mengetuk pintu apartemen Padi, masing-masing dari mereka membawa bungkusan yang berisi cemilan dan minuman bersoda sementara Padi dan Arman selaku tuan rumah bertanggung jawab untuk menyediakan makan siang untuk para tamunya
"Seger bener itu muka" Padi hafal sekali dengan teman Arman satu ini namanaya Satria yang berprofesi sebagai psikiatri di salah satu rumah sakit di kota ini
"Iri aja lo lay, nikah makanya biar tau nikmatnya malam jum'at. Eh Di, ini gue bawain eskrim coklat buat lo" Padi si pecinta makanan manis langsung saja berlari menghampiri Senja perempuan tinggi semampai yang berprofesi sebagai junior akuntan di konsultan hukum milik bapaknya Arman
"Enggak usah pake lari-larian bisa kan?" Padi menahan diri untuk tidak mencibir bapak notaris yang tumben sekali hari ini lebih rewel dari biasanya.
"Please enggak usah drama, enggak sok sokan posesif deh Ar enggak cocok sama muka lo yang lempeng banget itu" Padi mengamini ucapan Arya teman Arman yang bekerja sebagai chef pastry di salah satu hotel ternama
Arman yang di komentari hanya melengos dan membawa semua cemilan dan soda yang dibawa teman-temannya ke ruang tamu, disana mereka akan menonton serial drama china atas permintaan Padi yang amat sangat di dukung oleh Senja.
"Ini kalau lagi ada Arman menu makan siangnya harus empat sehat lima sempurna ya Di?" Padi membiarkan Satria mencomot sebutir telur puyuh balado yang sedang ia tata di meja makan
"Iya, kalau enggak gini ibu mertua bisa tiba-tiba nongol ngetuk pintu, radarnya kenceng bos!" semua tamunya tertawa, bahkan Arman nyaris tersedak karena tidak dapat mengontrol tawanya
"Drama banget kamu" Padi menjulurkan lidah membalas ledekan Arman yang mengatainya drama, si bapak suami enggak sadar kalau dia yang paling sering menciptakan drama.
Padi masih sibuk menata makanan di meja makan, mba Inah semalam izin selama tiga hari untuk menengok saudaranya yang baru melahirkan di kota sebelah. Padi sempat berfikir kalau itu hanya akal-akalan mba Inah supaya Padi dan Arman bisa berduaan di apartemen, karena semenjak Arman menikahi Renata beberapa bulan lalu Padi lebih sering merecoki mba Inah ketimbang menghabiskan waktu dengan Arman saat suaminya itu datang.
"Yang semalam kurang Ar?" Padi melihat Arya menunjuk tangan Arman yang sedari tadi sibuk melingkar di pinggulnya
"Enggak usah masang muka sok polos bangsat, itu bekas cupang masih keliatan! Ahahaha" Padi meraih cermin kecil yang Senja ulurkan kepadanya untuk memastikan foundation mahal yang sudah ia oles sebanyak mungkin tadi pagi masih mampu menyamarkan hasil karya Arman di sepanjang lehernya.
Padi mengumpat dalam hati, menutupi noda apanya kalau hasil karya Arman justru sangat terlihat jelas seperti ini. Padi benar-benar malu sekarang kalau saja ada mba Inah, Padi akan memaksa mba nya itu untuk bekerjasama agar ia bisa bersembunyi dari tamu-tamunya yang sekarang sedang tertawa keras, puas sekali mereka karena berhasil membuat Padi merasa malu.
Padi melemparkan tatapan permusuhan pada Arman yang juga ikut tertawa bersama tamu tamu mereka. Padi tau Arman tidak akan takut dengan tatapan permusuhan yang ia berikan suaminya itu justru terlihat gemas dengan kelakuannya. Padi akhirnya memilih bersembunyi di dalam pelukan Arman karena tamu tamunya tidak membiarkan Padi bersembunyi di kamarnya dalam pelukan suaminya Padi dapat merasakan Arman berkali kali mengecupi pucak kepalanya gemas, sayangnya semua hal manis tersebut justru membuat Padi merasa sesak
***
Padi menatap para tamunya yang belum juga bisa menghentikan tawa mereka, saat ini mereka sudah duduk di ruang tamu apartemen Padi bersiap untuk maraton film serial drama china favoritnya, tapi tamu-tamunya dan bahkan suaminya sendiri masih beberapa kali menggelengkan kepala sambil sesekali tertawa terbahak-bahak. Foundation sialan, kalau tau akan begini jadinya Padi akan mengikuti saran Arman untuk mengenakan sweater turtle neck saja hari ini
"Cemberut aja sayang.." Padi masih melemparkan tatapan penuh permusuhan pada Arman yang di balas Arman dengan senyum kecil, Padi heran sepertinya si bapak suami hari ini senang sekali.
"Sumpah geli banget gue denger si Arman manggil Padi sayang, bener-bener puas ya lo semalam kampret" Padi masih bersidekap dada, heran juga Padi sama perjaka tua macem Satria ini kok ya kayaknya mengerti sekali urusan suami istri
Padi memperhatikan Arman yang malas-malasan menanggapi banyolan Satria dan Arya, seharusnya sekarang mereka sudah asik menonton serial drama kesukaannya bukannya justru membahas urusan ranjangnya bersama Arman jilid kesekian. Mereka baru akan memutar film ketika handphone Senja berbunyi yang ternyata dari ibunya.
Perempuan ayu itu izin keluar sebentar untuk menjawab panggilan ibunya setelah mewanti wanti semua orang yang ada di ruang tamu untuk tidak memutar film terlebih dahulu sebelum ia menyelesaikan urusannya dengan si ibu.
"Emak gue ada-ada aja deh" Padi melihat Senja masuk sembari menggerutu sebelum bergabung diatas sofa bersama Arya sementara Satria memilih duduk di karpet bersama Arman yang membawa Padi untuk bersandar di dadanya.
"Emak gue minta tolong di cariin jasa hipnoterapi, anak-anak didiknya mau di kasih hipnoterapi katanya supaya semangat ngerjain ujian nasionsal"
"Si mamak enggak tau aja yang bikin anak-anak semangat ujian nasional tuh bukan hipnoterapi tapi kunci jawaban" Padi heran sekali kenapa Arman bisa punya teman minim akhlak seperti Satria, yah tapi Padi seharusnya tidak perlu heran karena bahkan Arman bisa menikahinya yang minim akal kalau kata ibu mertuanya.
"Ini temen lo pskitiatri, manfaatin lah. Lo suka kasih hipnoterapi kan ke pasien-pasien lo?" Padi tidak tahan untuk tidak tertawa mendengar ucapan Arya, ya ampun sampai detik ini saja Padi masih belum benar-benar yakin kalau Satria itu psikiatri.
"Lo beneran psikiatri bukan sih Sat, masih enggak nyangka gue. Muka lo muka muka kriminal soalnya" Padi bertanya sembari bersandar pada lengan Arman yang melingkari bahunya, Padi dapat merasakan sesekali suaminya itu memberikan belaian halus pada pundaknya
"Bangke ahaha ayolah, gue kasih terapi geratis buat lo hari ini Di sekedar ngeluarin unek-unek aja biar enggak setres gue tau banget tekanan batin kan lo punya laki modelan si Arman"
Padi mengira Satria hanya bercanda, karena itu ia menuruti permintaan satra untuk menyamankan posisinya yang masih berada dalam rangkulan Arman. Satria meminta Padi untuk memejamkan mata dan menarik napas dalam dari hidung dan mengeluarkannya perlahan melalui mulut, Padi dapat mendengar Satria memintanya untuk menyamankan diri, tidak memikirkan apapun dan hanya fokus pada suaranya. Padi tidak tahu apa yang terjadi tapi seketika dia merasa sekelilingnya menjadi sunyi, Padi hanya mendengar suara Satria yang memintanya untuk percaya pada lelaki yang menurut Padi minim akhlah tersebut.
"Enggak papa Padi, enggak ada siapa-siapa disini. Lo bisa percaya gue dan keluarin semua hal yang selama ini bikin lo ngerasa sesak napas. Semua akan baik-baik aja, kalau lo mau percaya gue lo boleh anggukin kepala" Padi mempertimbangkan ucapan Satria yang masuk kealam bawah sadarnya, rasa nyaman yang Satria berikan membuat Padi ingin sekali mempercayai teman Arman satu itu karena itu ia menganggukan kepala.
"Oke Padi, terimaksih untuk percaya. Sekarang kalau lo enggak keberatan gue mau lo ngebagi semua hal-hal yang enggak bisa lo sampein ke Arman sama gue, bisa?"
Padi mempertimbangkan pertanyaan Satria, seolah mengerti keraguannya Padi mendengar Satria berkata tidak apa apa kalau Padi belum mau membicarakannya. Padi mendengar Satria meyakinkannya bahwa Padi tidak perlu menjawab pertanyaan Satria jika ia keberatan untuk mempercayakan rahasianya Pada lelaki itu.
Semua ucapan Stria membuat Padi nyaman dan dimengerti Padi merasa ia bisa percaya Pada teman Arman satu itu karena sejujurnya ia juga mulai lelah menyimpan semua hal yang mengganjal di hatinya sendirian. Padi menarik napas dalam sebelum akhirnya berbicara dengan lirih.
"Ada banyak, bingung mau cerita dari mana dulu"
"Engga papa, gue punya banyak waktu buat ngedengerin lo. Jadi kita mulai pelan-pelan ya" Padi menganggukan kepala dan mulai bercerita hal-hal yang selama ini tidak bisa ia bagi kepada suaminya