Waktu-waktu merangkak teramat pelan dalam masa lima belas menit tersebut. Tidak ada lagi teriakan-teriakan kegembiraan, bahkan sekadar bisik-bisik ketakutan. Tidak ada. Setiap kepala sekarang berisi berjuta spekulasi, ketakutan tentang apa yang tidak mereka ketahui. Ketegangan pada tubuh masing-masing, bahkan pada kelima orang di ruangan kokpit—termasuk bagi diri Kapten Dharma sendiri.
Tidak ada satu pun dari mereka yang pernah menginjak angkasa luar. Mereka yang sedianya adalah awak pesawat, hanya berpengalaman dengan simulasi-simulasi yang sering mereka jalani di Kastil Pangandaran. Sehingga, kehidupan seperti apa yang akan menunggu di hamparan mahaluas di atas sana, mereka tidak mampu memikirkannya.
Dharma bertolak pinggang dengan wajah menengadah dan mata terpejam. Detik selanjutnya, ia menepuk lagi bahu Hyker yang mematung memandangi monitor FMGC, pertanda mereka telah bersiap untuk benar-benar meninggalkan motherland.
Lima orang di ruang kokpit sama duduk siaga di kursi masing-masing. Sama mengenakan masker oksigen.
"Hidup dan mati," ujar Dharma lirih. Hyker melirik sejurus pada Dharma di kanannya. "Dipertaruhkan dari sini." Dharma balik melirik Hyker. Tiga yang lain sama hening mendengar perkataan sang kapten. "Kupercayakan nyawa kami di tanganmu, Hyker."
Mungkin, inilah kali pertama bagi sang kapten melihat pemuda dua puluh sembilan tahun tersebut menunjukkan ekspresi serius.
Dharma menyentuh bar dengan logo speaker di monitornya. "Jika ada masa di mana kalian masih percaya Tuhan itu ada—"
Semua wajah di kabin penumpang membisu. Fraya bersama rekannya, juga Guntur dan rekan-rekannya pun telah duduk di ruangan itu. Kepala sama tertunduk. Suara Kapten Dharma masih bergema.
"—Mungkin inilah saatnya... berdoa untuk nyawa kalian."
Berbagai cara dilakukan oleh mereka demi menenangkan degup jantung yang tak stabil. Menggenggam tangan, memejamkan mata, bibir bergetar entah menyuarakan apa dan pada siapa. Hanya saja, apa pun bentuknya itu, yang pasti dengan satu harapan yang sama; selamat dalam perjalanan meninggalkan Bumi.
Hening...
"Memasuki Hypersonic System, dalam—"
Hyker telah memberi aba-aba, itu artinya tidak ada lagi waktu sedetik pun untuk lengah dari kemudi pesawat. Tidak bagi Dharma selaku kapten, tidak juga pada ketiga yang lainnya di dalam sana. Tidak, sampai pesawat mampu membawa mereka keluar dari atmosfer Bumi.
"—Lima, empat…"
"Perisai moncong pesawat. Aktif," ujar Pical—laki-laki 33 tahun—di kiri belakang Hyker di sela hitungan mundur sang pilot utama. "Perisai badan pesawat. Aktif."
"Tiga, dua, here we go. Satu..."
Hentakan keras memaksa semua penumpang Spacecraft 45 menahan napas seiring pesawat besar bergerak sangat cepat membelah udara di sekitarnya, meninggalkan suara berdengung kencang jauh di belakang.
"Memasuki mesosfer," ujar Quinn, wanita 26 tahun di kanan belakang Kapten Dharma. "Kecepatan meningkat dua persen."
Saat memasuki lapisan ketiga dari atmosfer Bumi tersebut, ditambah peningkatan kecepatan pesawat, satu ledakan udara tercipta menghasilkan uap putih sepanjang perjalanan.
Getaran-getaran pada badan pesawat kian intens. Bahkan Boris dan Cinnong berseru kencang demi mengusir ketegangan. Dua-tiga orang dari mereka yang berada di kabin penumpang sama-sama tak kuat menahan getaran. Pusing dan mual, hingga tanpa dapat dicegah memuntahkan isi perut.
Hyker tak sedikitpun beranjak dari mengawasi monitor besar FMGC di hadapannya. Lebih-lebih pada panel PFD. Catatan yang terus bergerak dari VSI—Vertical Speed Indicator—menjadi perhatian serius lainnya bagi Hyker, sebab pesawat bergerak semakin tegak lurus dengan kecepatan tinggi meninggalkan Bumi.
"Tiga persen," kembali Quinn melaporkan peningkatan kecepatan pesawat. "Lima persen. Mendekati medan mesopause..."
Dua mesin utama GEU di lambung pesawat, serta empat mesin GEU yang sepuluh kali lebih kecil—masing-masing di bagian bawah moncong, di bawah kedua sayap, dan di bagian belakang bersisian dengan pintu palka—sama menembakkan energi lebih besar lagi, sehingga kecepatan Spacecraft 45 semakin tinggi.
"Sepuluh persen," ujar Quinn dengan terus mengawasi monitor di hadapannya. "Memasuki zona termosfer."
Ledakan gelombang udara kembali terjadi kala pesawat mencapai peningkatan sepuluh persen hypersonic.
Semakin tinggi mengarungi zona termosfer semakin memerah moncong pesawat, seolah tengah menembus lapisan api yang tebal. Hal serupa juga terjadi pada setiap sisi luar badan pesawat.
"Pertahankan kecepatan ini, Hyker," Kapten Dharma merasa cukup puas dengan laju pesawat.
Tidak ada yang bisa dinikmati oleh sang kapten lewat kaca tebal anti peluru yang menyokong dinding bagian depan ruang kokpit itu. Semua terlihat samar dalam kecepatan seperti ini, pikirnya. Sang kapten tetap fokus pada monitor di hadapan, dan berharap tidak ada satu benda asing apa pun yang akan menahan laju penerbangan mereka, alih-alih bebatuan meteor yang bisa membunuh mereka semua.
Dari garis putih memanjang yang ditinggalkan pesawat antariksa tersebut, kini berganti kemerah-merahan. Laksana sebuah meteor dengan ekor panjangnya yang berapi-api, hanya saja arahnya bukan ke bawah, tapi justru ke atas.
*
Sang penguasa tambun masih berdiri di tempatnya. Debu dan pasir menutupi sebagian wajah dan tubuh. Tapi ia tidak peduli. Amarah yang sukar untuk ditakar masih menaungi diri. Sepasang mata laksana dua pedang teramat tajam mengawasi titik hitam dalam balutan merah di atas sana.
Pelipis bergerak-gerak dengan urat-urat darah menegang kentara. Rahang bergemeretakkan. Kepalan tangan diempaskan dengan penyaluran kemarahan yang luar biasa. Sampai ia tak lagi bisa melihat kepergian pesawat antariksa yang dibajak Kapten Dharma, barulah kemudian ia meninggalkan kawasan tersebut.
Selama perjalanan kembali ke kastilnya, sang penguasa hanya diam membesi. Urat-urat mata menegang. Tapi ia belum akan menyerah. Setidaknya, sang Penguasa Pangandaran punya kenalan satu-dua orang di dalam tubuh Federasi.
"Kau akan menerima balasan pengkhianatanmu ini, Dharma," gumamnya. "Kau pasti akan menerima."
Sementara chameleon yang dikendalikan 'seorang' robot tersebut meluncur cepat di atas permukaan laut bersama dua chameleon lainnya mendampingi, juga dikendalikan masing-masing oleh satu robot.
"Kau kira bisa melenggang begitu saja, haa...!?"
Badan Federasi Dunia, atau masyarakat awam cukup menyebut mereka Federasi, terbentuk sekitar tiga ratus tahun yang lalu, dengan nama awal Federasi Bangsawan Dunia. Didirikan oleh para Kapitalis Birokrat dan Kapitalis Borjuis di seluruh penjuru Bumi. Meski pada awalnya hanya satu-dua bangsawan saja yang selain mengumpulkan kekayaan, tapi juga membentuk kekuatan militer untuk pengamanan keluarga mereka saja secara diam-diam, akan tetapi, perlahan pergerakan tersebut diikuti oleh hampir seluruh bangsawan yang ada kala itu.
Sebab memiliki kekayaan tak terbatas, para bangsawan tidak saja membentuk kekuatan militer masing-masing, namun juga merambah ke bidang lainnya; riset teknologi, kesehatan, dan sebagainya. Tapi bagi mereka, ini bukanlah sekadar disiplin ilmu, atau bentuk kemurahan hati akan perkembangan dunia, lebih pada gengsi dan bisnis hirarki.
Lambat-laun kekuatan militer dan pasokan dana dari persekutuan tersebut justru mengalahkan satu per satu pemerintah negeri di mana mereka membangun istana dan kastil untuk keturunan mereka.