Chereads / SC45 - When the Terra Falling Down / Chapter 28 - Masa-Masa Menunggu

Chapter 28 - Masa-Masa Menunggu

Kapten Dharma melangkah dalam rasa was-was yang luar biasa di sepanjang lorong utama tersebut. Lorong yang menghubungkan ujung depan ke bagian belakang pesawat itu sendiri. Sejenak ia hentikan langkah kala berada di depan pintu ruangan sisi kanan. Ia membuka pintu tersebut dan melangkah memasuki ruangan.

Ruangan besar yang satu itu adalah bagian di mana semua stok bahan makanan dan minuman yang akan menjadi penyokong kehidupan semua orang di dalam pesawat nantinya.

Di satu bagian dari ruang penyimpanan tersebut, Kapten Dharma menemui Indra dan Jenie, serta lima orang perempuan lainnya—yang merupakan rekan dari Indra dan Jenie dalam pengawasan ruang penyimpanan tersebut.

Saat itu, Indra dan keempat rekannya tengah duduk mengelilingi satu meja bundar. Di hadapan masing-masing mereka, terdapat satu unit C-Pad.

"Cap," sahut Indra, lalu bangkit dari duduknya menyambut sang kapten.

"Pak," sapa Jenie pula, lima lainnya sama menganggukkan kepala menyapa Kapten Dharma.

"Bagaimana?" tanya sang kapten pula. "Laporan stok?"

"Semua sudah mencukupi, Pak," sahut Jenie. "Bahan makanan, beberapa kubik persediaan air minum. Juga—" lanjutnya sembari beranjak dari tempat duduknya dan menuju pada sebuah layar tiga puluh dua inci yang tertanam di dinding ruangan.

Dengan hanya menggunakan satu tangan saja, Jenie menyentuh beberapa bar pada layar tersebut. Memunculkan sejumlah data.

"—Bibit-bibit tanaman," lanjut Jenie kemudian.

Sementara itu, Kapten Dharma memerhatikan angka-angka yang tertera di monitor yang ditunjukkan Jenie sembari bertolak pinggang.

"Yang berjumlah ribuan," ujar wanita muda itu lagi. "Terutama, tanaman penghasil yang bisa menopang kehidupan kita nanti—entah di planet mana pun itu…"

Hening sesaat.

Semua orang yang ada di ruang penyimpanan tersebut sama tahu. Selama ini, belum ada satu pun manusia yang berhasil menemukan planet yang bisa menopang kehidupan sebagaimana dengan Bumi. Belum sama sekali.

Riset-riset yang berasal dari ratusan tahun lalu tak lebih dari spekulasi saja. Setiap planet yang telah diteliti dari stasiun ruang angkasa dan ditandai ke dalam kategori planet-mirip-Bumi, telah mendatangkan kekecewaan.

Jutaan robot-robot dan pesawat penjelajah tanpa awak telah dikirim pada masing-masing planet yang dianggap memenuhi syarat. Planet-planet yang berada pada zona emas terhadap bintang utama mereka sendiri. Namun, itu tadi, kenyataan terlalu pahit untuk ditelan. Tidak ada yang bisa dilakukan oleh para ilmuan terdahulu untuk mengubah kenyataan itu.

Fakta bahwa planet-planet yang selama ini mereka pikir sangat mendekati kemiripannya dengan Bumi ternyata hanya sebuah planet yang bahkan tak mampu untuk menyokong kehidupan sekumpulan rumput sama sekali, tidak pula satu jenis lumut.

Meski begitu, para ilmuan tidak berputus asa. Mereka terus dan terus melakukan penelitian dan pencarian akan harapan terhadap 'Bumi lain' yang bisa ditinggali. Setidaknya, dengan sedikit penyesuaian untuk ras manusia dan beberapa tumbuhan serta hewan yang telah mereka rencanakan untuk dibawa sekalian. Terraforming, misalnya. Tapi, cara itu akan sangat memakan biaya yang sangat-sangat fantastis, juga waktu yang tidak sebentar.

Bagaimana pun, mimpi para ilmuan sama seperti mimpi miliaran manusia lainnya—baik mereka yang masih tertinggal di Bumi menunggu kematian mendatangi, mau pun mereka yang telah merasa selamat berada di dalam pesawat-pesawat antariksa yang kini terparkir serampangan di orbit luar Bumi—tetaplah sama. Sama berharap jika suatu saat nanti akan menemukan planet yang benar-benar bisa memberikan kehidupan sebagaimana dengan Ibu-Bumi itu sendiri.

Kapten Dharma mendesah panjang, dan itu terdengar sangat-sangat tidak meyakinkan bagi yang lain.

"Kuaminkan itu," ujar sang kapten. "Tidak mungkin kita akan selamanya berada di dalam kapal besar ini." Kapten Dharma menengadah, menggerak-gerakkan kepalanya sedemikian rupa demi melepas ketegangan di leher yang terasa kaku. "Berapa lama?" tanyanya kemudian. "Untuk berapa lama stok bahan makanan ini mampu menghidupi kita semua?"

"Tadi saya sudah melakukan penghitungan kasar," timpal Indra pula. "Setidaknya, ada tiga puluh empat orang sekarang yang berada di dalam kapal ini. Ditambah," lanjutnya. "Dua ekor anak macan tutul salju. Jadi—"

Dengan lincah, Indra melakukan perhitungan pada layar C-Pad di tangannya sendiri. Dan kemudian, memperlihatkan hasil perhitungannya tersebut pada Kapten Dharma.

"Lima tahun," gumam Kapten Dharma setengah tak terdengar. "Hemm…"

"Benar," angguk Indra. "Cukup atau tidak," sambung laki-laki itu lagi dengan raut wajah yang sendu. "Entahlah," lanjutnya. "Mungkin akan ada keajaiban nanti—maksudku, sebelum semua stok ini habis dan kita akan mati kelaparan di dalam kapal yang terapung di angkasa tak berbatas ini."

"Kau menyesal meninggalkan Bumi?"

Indra menggeleng menanggapi pertanyaan dari sang kapten barusan. "Mati dalam pencarian kehidupan itu sendiri," ujarnya kemudian. "Terasa lebih hidup. Kurasa. Daripada menunggu dengan pasrah kematian yang lebih mengerikan lagi di Bumi."

"Setidaknya," sahut dari salah seorang rekan. "Kita akan berdoa dalam upaya pencarian itu."

"Yaa," angguk yang lainnya.

Kapten Dharma mendegus pelan, terdengar begitu masygul. "Kalian masih percaya Tuhan itu ada?"

Sejenak lima wanita muda di sana sama hening. Begitu pula Jenie dan Indra.

"Mungkin," sahut seorang lainnya pula. "Saya percaya Tuhan itu ada."

Kapten Dharma mengulas senyum tipis di sudut bibir. Sangat tipis, namun penuh dengan harapan yang tidak kecil. Sang kapten menepuk-nepuk pelan bahu wanita muda tersebut.

"Baiklah," ujar sang kapten kemudian. "Ada baiknya aku kembali ke ruangan kokpit. Dan hei," lanjutnya pula seiring tubuh yang berputar arah. "Tetaplah pastikan semua stok, oke!" semua kepala mengangguk menerima perintah sang kapten. "Bagaimana pun, kita semua akan bergantung pada apa yang kalian awasi ini."

"Siap, Kapten," ujar semua orang.

Kapten Dharma kembali melanjutkan langkah, meninggalkan ruang penyimpanan yang tanggung jawabnya ia limpahkan pada Indra dan Jenie beserta kelima rekan wanita mereka yang lain.

Pintu ruangan kembali berdesis menutup di belakang Kapten Dharma. Laki-laki yang belum genap setengah baya itu tetap melangkah menuju ruang kokpit.

Pintu pemisah ruang kokpit dengan koridor terbuka dengan disertai suara berdesis kencang, dan kembali bergerak menutup setelah Kapten Dharma berada di dalam ruangan pengendali tersebut.

"Bagaimana, Hyker?"

Hyker memutar kursinya, lalu palingkan wajah menghadap pada sang kapten yang berseru barusan.

"Sampai saat ini kita belum ketahuan, Cap," ujar Hyker, lantas terkekeh sembari menggigit-gigit satu ujung sebuah benda kecil seukuran sejengkal tangan.

Kapten Dharma menghela napas dalam-dalam. Tetap saja, pikirnya. Laki-laki yang satu ini terlihat lebih santai dari yang lain. Seakan urat takutnya sudah hilang sama sekali di dalam badan. Padahal, keselamatan seluruh penumpang di dalam kapal SC-45 ini ada di tangan laki-laki tersebut.

"Quinn," panggil Kapten Dharma pada wanita yang duduk di hadapan satu monitor besar yang diapit dua monitor kecil lainnya di sisi kanan belakang dari posisi Hyker. "Kau menemukan sesuatu yang mencurigakan?"

Quinn yang bertindak sebagai pengawas bagi keamanan kapal itu sendiri menggeleng.

"Seperti yang dikatakan Hyker, Cap," ujar wanita dua puluh enam tahun tersebut. "Spy-Drone hanya lalu-lalang saja, belum menemukan keberadaan kapal kita."

"Yaah," angguk Pical di sudut kiri. "Posisi kita yang dihalangi banyak pesawat-pesawat kargo besar milik Federasi, cukup untuk saat ini menyembunyikan keberadaan kita, Cap."

"Thanks to Hyker," ujar Oryza pula yang duduk di sebalah kanan dari Pical.

"Ya-ya-ya," kekeh Kapten Dharma yang untuk sesaat bisa tersenyum lepas.

Yaa, bagaimana pun, meski Hyker terkesan santai dan main-main, akan tetapi tetap saja laki-laki itu punya perkiraan dan penilaian tersendiri demi menyelamatkan pesawat SC-45 dari intaian para kaki-tangan pihak Federasi.