Didahului teriakan garang, pria tua menyerbu. Namun ia tidak melihat keberadaan Aldi. Pria tua memeriksa kondisi sang anak. Tapi sayang, Aldi tidak sempat untuk menyetel senjata PSG-nya semenjak pergulatan kecil dengan orang-orang Federasi dan Pemerintah Andalas di kawasan Anak Krakatau tadi. Jadi, ya, pemuda itu tewas tersengat energi maksimum dari senjata Aldi tersebut.
Pria tua meraung kencang dan terdengar parau sembari menggoyang-goyangkan tubuh sang anak, berharap pemuda itu kembali hidup lagi dan bangkit berdiri.
"Bajingan…!" teriak pria tua memaki. "Keluar…! Jangan sembunyi kau, anjing…!"
Kembali pria tua mengedarkan pandangan, namun tak jua menemukan sosok yang ia cari. Ia meraih senjata yang tadi digunakan sang anak. Dengan dua senjata, ia mencari sosok Aldi.
Pandangannya kini beralih ke chameleon. Bagaimana pun, ia sempat mendengar jeritan seorang anak kecil sebelumnya. Mungkin anak perempuan, ini akan jauh lebih bagus lagi, geram pria tua di dalam hati. Dan pasti bocah tersebut masih berada di atas tunggangan itu.
Sembari mengawasi keadaan, pria tua mendekati chameleon. Ia akan menggunakan bocah itu sebagai umpan. Dan bila berhasil, ia telah dengan cepat berencana akan bersenang-senang dengan bocah perempuan tersebut. Tentu, setelah puas menghajar Aldi. Tidak perlu sampai mati, pikirnya dengan geram, cukup sekarat saja. Dan setelah itu menyerahkannya pada pihak penguasa atau orang-orang Federasi. Sekali tepuk dua lalat akan kudapat, kekehnya di hati.
Pria tua menyeringai, menemukan Ely di bangku belakang. Meski ia belum melihat seperti apa sosok yang bergulung di dalam selimut, tapi sudah cukup. Suara gemetar ketakutan, dan gerakan halus yang terlihat memastikan keinginan pria tua.
"Kau akan membayar semuanya ini, anak muda," ujar pria tua antara kegeraman yang nyata dan tawa menyeringai membayangi.
Pria setengah baya menyentak kuat selimut tersebut, membuat Ely menjerit. Ely beringsut menjauh, namun tangan pria itu lebih cepat menangkap sebelah kakinya.
Bruakk…!
Pria tua melenguh pendek. Seseorang menghantamkan wajahnya ke sisi chameleon, bahkan bagian kendaraan itu menjadi penyok. Ia tersungkur dengan lumuran darah di wajahnya—dari hidung yang patah, dan bibir yang pecah. Tidak hilang akal, pria tua cepat bangkit, memutar tubuhnya seraya mengacungkan senjata.
Aldi berhasil menepis senjata di tangan pria tua. Berikutnya, satu tinju telak menghantam rahangnya—teramat keras hingga pria tua pingsan seketika itu juga, lalu ambruk ke atas permukaan pasir.
"Berengsek…!" Aldi mengibas-ngibaskan tangan kanannya. Jemari tangannya terasa remuk setelah berbenturan dengan rahang pria itu. "Kau merusak chameleon-ku, Pak tua. Arrg… sialan!"
Aldi mendekati pria tua yang tertelungkup di tanah. Dengan ujung kakinya, Aldi membalikkan tubuh itu.
"Yap, pingsan," dengus Aldi semakin kesal. Hingga menendang tubuh tersebut. Tidak cukup sekali. "Jahanam! Sekarang siapa yang akan memperbaiki chameleon-ku, haa…?"
Perhatian Aldi teralihkan, ada bunyi sesuatu terinjak—mungkin seperti itu, berasal dari dalam bengkel. Dengan cepat Aldi mengarahkan senjata PSG ke arah bengkel. Perlahan Aldi berjongkok, meraih kedua senjata di tangan pria tua.
"Hei," serunya pada Ely. "Kau tahu cara menggunakannya?"
Ely menyambut pistol yang disodorkan Aldi, meski pria itu tidak berpaling sedikit pun. Aldi masih khawatir jika di dalam bengkel masih ada kawanan pria tua. Tergesa-gesa Ely mengokang pistol di tangannya.
"Berhati-hatilah," ujar Aldi setengah berbisik. PSG di tangan kanan, shotgun di tangan kiri.
Ely mengawasi Aldi yang bergerak hati-hati menuju bengkel, hingga pria itu menghilang ke dalam ruangan lainnya di bangunan tersebut.
Meski belum ada lima menit menunggu, namun Ely sudah dilanda kecemasan. Dan akhirnya bocah perempuan memutuskan untuk turun saja dari atas chameleon.
Saat pandangan gadis cilik membentur sosok pria tua, kembali ia tercekat. Sepertinya pria tua mulai siuman. Tidak ingin hal seperti tadi terulang lagi, Ely menghantamkan gagang pistol ke kepala belakang pria tersebut. Sekuat-kuat tenaganya. Hingga, pria itu pingsan untuk kedua kalinya.
Pistol di tangan terarah pasti ke kepala pria tua, dalam genggaman tangan yang gemetar dan napas turun-naik serta dengan kedua mata yang membelalak lebar. Ely baru beranjak dan melangkahkan kakinya setelah kecemasan di dalam diri sedikit berkurang.
Brakh!
"Si—siapa…!?" teriak bocah perempuan seraya menoleh cepat ke asal suara.
"Wo-woo-woo…" Aldi mengelak ke samping. Dengan kedua tangan terangkat setinggi bahu.
Ely yang kaget karena kemunculan tiba-tiba Aldi di depan sana, tak sengaja mengarahkan senjata di tangannya ke arah laki-laki tersebut.
"Kau mau membunuhku juga, haa?!" delik Aldi pada gadis cilik itu.
"Kalau diperlukan," dengus Ely sekaligus membuang kecemasan di dirinya. Ia membungkuk, kedua tangan berpegangan di kedua lutut, napasnya kembali berpacu kencang. "Ka—kalau terpaksa," ujar gadis cilik itu lagi. "Pasti akan aku buat kepalamu itu berlubang."
"Berengsek," sahut Aldi lalu mendengus kencang. "Tidak tahu terima kasih," umpatnya lagi, kemudian mencari-cari sesuatu di atas meja kerja yang panjang di sampingnya.
"Kau menemukannya?" tanya Ely acuh tak acuh saja, lalu kembali tegakkan badan dan melangkah memasuki bengkel itu juga.
"Mungkin kucing atau hewan peliharaan lainnya," Aldi melangkah ke halaman depan bengkel. "Entahlah. Aku tidak menemukan seorang pun di dalam. Hei-hei-hei," seru laki-laki itu lagi mengawasi tingkah si gadis cilik. "Mau ke mana kamu itu?!"
"Makanan," jawab Ely acuh tak acuh bahkan tanpa memalingkan muka terus saja melangkah lebih jauh.
"Hehh, makanan saja yang kau pikirkan," delik Aldi, dan lalu terkekeh menahan tawa.
"Diam kau!" dengus Ely tak senang, lalu mencibir. "Kalau aku menemukan makanan, jangan berani kau minta."
Ely berlalu memasuki pintu-pintu yang ada di bengkel itu, meninggalkan Aldi yang terkekeh menertawai dirinya, semakin lebar dan semakin terdengar menjengkelkan.
Ada tiga pintu di sana dan Ely memeriksa ke semua ruangan yang ada. Termasuk, dua ruangan di lantai atas. Di lantai atas, Ely dikejutkan oleh seekor hewan yang seharusnya tidak pernah ada di kawasan itu.
Tidak-tidak-tidak, seharusnya tidak di seluruh penjuru kawasan eks Negara Indonesia ini. Tapi… Ely pernah mendengar, beberapa dekade yang lalu Pulau Deli merupakan base untuk pengembangan dan penelitian banyak satwa. Termasuk, si Uncia uncia di hadapannya sekarang itu. Meski penelitian itu terdengar tidak sebesar yang ada di Pulau Tinjil—berada di sebelah timur Pulau Deli ini sendiri.
"Macan Tutul Salju, ya?"
Ely menyimpan pistolnya ke balik pakaian. Dan untuk pertama kalinya gadis cilik terlihat bisa tersenyum semenjak tragedi di kaki Gunung Kerinci. Aldi mungkin akan kagum dengan senyum berhias dua lesung pipit itu.
"Hei, Manis," ujar gadis cilik menjulurkan tangan. Menggerak-gerakkan tangannya itu pada sosok lucu menggemaskan di atas meja di hadapannya itu. "Ayoo… sini," panggilnya lagi dengan semakin mendekati makhluk tersebut. "Jangan takut. Ayoo…"