"Terlambat, Kakek. Hati saya sudah kadung berlubang..." Kazuya menyeringai menunjukan wajah aslinya dengan mata merah menatap tajam penuh kebencian....
"Hm, Kakek mengerti... akan sangat sulit menghapus begitu saja kebencian yang kadung berkarat meracuni hati. Apalagi setelah menyaksikan perbuatan pria yang kau hormati tega menyiksamu dan membunuh ibumu tepat di depan matamu. Aku sangat wajar jika membenci ayahmu sampe mendarah daging.
Tapi balas dendam sekarang adalah perbuatan yang konyol. Kau hanya akan menyerahkan nyawamu dengan mudah, bocah bodoh!! Balas dendam juga harus pake otak, bukan cuma pake nafsu." Jinpachi menjelaskan apa yang dipikirkannya.
Membuat menunduk Kazuya berpikir ulang dengan apa yang akan dilakukannya...
"Aku tak peduli dengan apa yang kau lakukan suatu saat nanti. Apakah kau akan membalas dendam atau tidak, itu urusanmu dengannya. Tapi untuk saat ini, kau belum cukup kuat untuk melawannya, nak..." sambung sang Kakek.
"Lantas, apa yang harus aku lakukan untuk menjadi lebih kuat..." pikiran Kazuya kecil mulai terbuka.
"Kau harus berlatih rentunnya..."
~kriuuuttt...~ suara perut Kazuya yang kelaparan menggema memenuhi setiap sudut gua menginterupsi perkataan sang kakek.
"...dan makan dulu tentunya... hehehe... hahahah... hahahaha..." mereka tertawa lepas terpingkal-pingkal menggema menggetarkan dinding-dinding gua yang gelap, mengganggu binatang-binatang dan serangga malam...
Melupakan sejenak dendam dan kemarahan yang tertanam dalam hati Kazuya, dendam yang membeban dalam hati bocah sekecil itu. Membuat dia berpikir lebih rasional dan tidak lagi mementingkan ego balas dendamnya...
Dengan hati yang lega Kazuya menyulut semua yang melekat pada dinding-dinding gua menerangi penjara bawah tanah yang gulita.
"Malam ini kau belum bisa menangkap ikan, petik saja buah-buah yang ada di hutan untuk malam ini, dan bawakan sebatang kayu panjang..." pesan sang kakek.
Kazuya membawa sebatang kayu panjang pesanan sang Kakek yang dibuatnya menjadi sebatang tombak sederhana dengan menyambungkan kayu tersebut pada sebilah bongkahan batu pipih tajam di ujungnya. Dan melemparkan pada Kazuya. "Ahh, nih... kau bisa menombak ikan besok..."
Kazuya amat senang mendengarnya.
"Bersiaplah Kazuya, kita akan memulai latihan yang berat besok..."
Kazuya terlelap pulas setelah menyantap lahap beberapa buah hutan yang di dapatnya malam itu. Tersenyum memeluk tombak sederhana buatan sang kakek, setelah dua hari mata memerih tak merasakan atau memilih untuk melupakan kantuk. Melupakan sejenak kemarahan dan dendam dalam hatinya...
"Bocah yang malang..." gumam Jinpachi memperhatikan wajah cucunya yang lelap tampak kelelahan.
Keesokan harinya Kazuya langsung di beri latihan fisik seharian penuh lari bolak-balik, lompat jengkol, sit up, dan push up. Semua dilakukan secara bergantian sebelum sarapan.
"Latihan fisik membantu tubuh kita mempersiapkan untuk latihan tingkat lanjut yaa lebih berat sekaligus melatih pernapasan sebagai dasar melatih energi Ki..." terang sang kakek saat Kazuya terus-menerus menanyakan kenapa harus latihan fisik...
Sembari latihan fisik Kazuya disarankan sang kakek untuk menombak ikan di Sungai Kyushu yang terletak tak jauh dari gua hingga matahari mulai meninggi. Menombak ikan bukanlah perkara mudah bagi bocah ingusan itu.
"Menombak ikan akan melatih insting dan refleksmu... selain kau akan mendapatkan makanan yang lezat dan menyehatkan juga..."
Tak lupa juga sangat kakek juga menyarankan membawa beberapa ranting kering untuk membuat api unggun sebagai penghangat badan sekaligus menjadi tempat pembakaran ikan. Ditambah dengan membawa setangkup air sungai nan bening menyegarkan dalam dua sampai tiga helai daun keladi lebar yang dilipatnya menyerupai mangkuk. Plus membawa beberapa tanaman herbal untuk diracik menjadi obat oles sebagai penyembuh luka di sekujur tubuh Kazuya yang belum mengering.
"Ahhh segarnya... sudah lama Kakek tak meminum air sesegar ini..." Jinpachi tampak puas mereguk semua air segar dalam mangkuk lipatan daun itu tanpa menyisakan sedikit pun untuk cucunya yang melongo menelan ludah.
Kazuya amat maklum pada sikap kakaknya itu yang selama setahun lebih tak pernah merasakan lagi kesegaran air membasuh kerontang tenggorokan dan kerongkongannya yang mengering. "Kakek saya mau tanya nih. Emang apa yang Kakek makan selama setahun ini untuk bertahan hidup di dalam gua ini...?"
"Kakek makan kecoa dan serangga, atau kalau beruntung Kakek bisa makan ular dan kadal yang nyasar lewat sini. Tapi Kakek lebih suka makan kecoa dan kelabang. Itu menunjukkan favorit Kakek..."
'Mbhhoeekk.' Mendengar itu Kazuya ikan bakar yang tengah memenuhi mulutnya "eekggh menjijikan..."
"Hahahaha... kau mau, Kazuya..." Jinpachi menangkap seekor kecoa yang lewat di depannya. Menawarkannya kepada Kazuya.
"Nggak, nggak mlweekk..." terang saja Kazuya menolaknya dengan ekspresi ketakutan.
"Hwahahahah... Kakek cuma bercanda... mereka adalah sumber protein yang lengkap sayang kalau dilewatkan begitu saja. Kalau ini terlalu menjijikan buatmu, berpalinglah jangan liat Kakek memakannya."
"Tidak, Kakek... kalau begini saja mengalahkan saya. Saya tak akan pernah bisa balas dendam..." Kazuya memberanikan diri menatap tajam sang kakek yang akan memakan kecoa itu hidup-hidup.
"Semangat yang bagus. Hmp buat apa makan kecoa, kalau ada ikan bakar yang lebih enak kan... hahahaha..." Jinpachi melepas makhluk melata itu pergi dan memakan ikan bakar yang gosong sebagai gantinya.
"Manusia harus beradaptasi dan berahan hidup dengan lingkungan apapun yang ditempatinya, bukan?" Kazuya menangkap kecoa yang dilepas sang, tanpa ragu mengunyah dan menelan kecoa itu hidup-hidup meski hampir muntah. Dengan tatapan tajam penuh dendam dan kebencian.
"Ya kau benar, kau benar..." kebencian dan dendam sepertinya telah meracuni sepenuhnya hati bocah malang itu hingga tak dapat lagi merasakan apa-apa selain kebencian. Membuat sang kakek menitikkan air mata yang menyesakkan dada...
"Kapan kita mulai latihan jurus tingkat lanjut, Kek...?"
"Kita tunggu sampai luka-lukamu benar-benar sembuh."
"Kenapa kita tak lakukan sekarang saja, Kek... aku sudah lebih kuat, Kek."
"Itu semua belum cukup, cucuku. Bersabarlah, kalau latihan tidak sempurna percuma saja kan. Hasilnya takkan sempurna."
Kazuya tersenyum ceria manggut-manggut mengerti. Sang kakek tahu dibalik senyum cerianya ada rasa sakit yang menyesakkan dalam hatinya yang berusaha disembunyikannya rapat-rapat...
"Sekarang bersiaplah untuk latihan meditasi. Melatih pernapasan, melatih tenaga dalam mengendalikan aliran Ki dalam tubuh..."
Baru semenit Kazuya bersila bermeditasi, dia berjingkan tak tenang membelalakan mata. Karena setiap matanya terpejam dia seakan menyaksikan kembali bagaimana ayahnya membunuh sang ibu yang dicintainya. Merasakan kembali bagaimana sakitnya tersiksa dipukuli sampai pingsan dan dibuang ke kedalaman jurang, membentur-bentur tanah dan cadas-cadas purba. "Maaf Kakek saya... saya tak sanggup melakukannya..."
"Sudah kuduga kau akan bilang begitu... dengarkan saja suara kakek. Sekarang pejamkan mata, rileks tenangkan diri. Kosongkan kepalamu, mulailah dengan nafas teratur hidup melalui hidung dan buang perlahan lewat mulut. Lupakan sejenak kebencian dan kemarahanmu. Lupakan sejenak rasa dendammu. Lupakan rasa sakit yang pernah mendera tubuhmu. Lupakan rasa sakit hatimu. Rasakan udara segar yang memasuki paru-paru dan mengaliri seluruh tubuhmu. Rasakan aliran udara murni, aliran Ki mulai menggumpal berotasi dalam perutmu..."
Kazuya merasa lebih tenang seolah beban kebencian dan dendam di puncaknya terangkat sedikit demi sedikit....
Selama seminggu penuh Kazuya berjibaku menggembleng tubuhnya dengan latihan fisik dan meditasi mengendalikan kemarahan dan dendamnya. Plus belajar menombak ikan dengan lebih baik...
*******