Aku melewati kamar Anin saat hendak turun. Entah mengapa hatiku tergelitik untuk kembali dan membuka pintu surga itu. Ini godaan yang tak bisa ditepis. Normal kan?
Klek!
Anin yang sedang berhadapan dengan meja rias sontak menatap gugup ke arahku. Bahasa tubuhnya yang mengaku kusambut dengan senyuman kecil, seraya menggeser slot pintu. Mencari aman dari ketahuan.
Beberapa langkah kutapak untuk mendekatinya, berjongkok di depannya yang tampak tegang. Dari jatak ini saja aku bisa mencium harum tubuh belianya. Aku suka, Jack juga.
Aku harus menyapa gadis manis yang semalaman memanjakan Jack dalam kepuasan dengan nada kelembutan. Membagi kenyamanan yang menegaskan rasa aman.
"Pagi Nin.."
"Pa..pagi juga Kak.." Jawabnya sambil terus menghindari tatapanku. Gugup itu tak bisa mengatup. Sementara hasratku padanya selalu meletup.
"Maaf tadi meninggalkanmu sendiri, saat aku bangun sudah pukul empat subuh, jadi aku bergegas kembali ke kamar."
Dia hanya menunduk nihil respon. Entah apa yang sedang berkecamuk di benaknya. Dari panjang sorot matanya tergambar jelas sebuah kekacauan yang belum terselesaikan. Tugasku mengatasi dan memastikan bilik-bilik jantungnya tak bekerja keras saat berdekatan denganku begini.
"Masih sakit?"
"Ehh.." Anin tersergah, mengangguk pelan selanjutnya.
Aku maklum, semalaman memang hampir tak ada jeda bagiku terus mengisinya. Dari pukul sepuluh hingga pukul tiga. Durasi yang cukup panjang dan melelahkan. Namun bagi seorang lelaki yang baru saja menemukan mainan baru sepertiku, lelah itu hanya ilusi. Sebuah permainan imajinasi.
"Perih kalau dibuat pipis Kak." Imbuhnya berkeluh kesah.
"Nanti hilang kok. Tenang saja, tidak perlu takut lagi.." Jawabku seraya mengusap pipinya dengan buku jari, yang tak kusangka membuatnya jadi bersemu merah. Menghangat. Aku lupa dia juga gadis yang beranjak dewasa.
Tiba-tiba Anin berdiri, bergegas menuju pintu untuk keluar kamar agar segera terhindar dari jangkauanku. Sepatutnya aku mengikuti dari belakang. Namun semakin kuperhatikan punggungnya semakin aku merasa ada setan yang merasuki diam-diam.
"Nin.." Kugenggam jemarinya, menggagalkan niatnya untuk membuka slot pintu. Kubalikkan tubuhnya hingga punggung kecil itu membentur sudut ruang. Sebuah pagutan dengan kecepatan cahaya membuatku melahap bibirnya tanpa daya. Sangat cepat hingga menolak pun dia tak sempat.
Jelas Anin tak siap dan terus berusaha menolak tapi lambat laun gerak tubuhnya melemah. Terutama saat kuremas dadanya. Lanjut kubelai mesra kedua pahanya.
Kulepas ciuman kami saat dia tenang. Senyuman manisku tersaji sebagai hiasan yang menaklukkan.
"Sekali Nin, kita cepat saja, mau kan?"
"Tap..tapi.." Dia berusaha menolak. Mengelak.
"Aku janji akan cepat, mau kan?"
Anin hanya diam. Kuartikan itu sebagai anggukan. Namun di luar dugaan..
Tok tok tok!
"Anin.. Sarapan Nin!!"
Anin mendelik. Ketukan dan teriakan itu memperjelas jarak kami dan Mama hanya setebal pintu kamar. Aku harus membisikkan sesuatu agar curiga menyingkir dari pikiran Mama jauh-jauh.
"Jawab Nin.. Katakan sebentar lagi.." Perintahku tepat di telinganya.
"I..iya Tante sebentar lagi!"
"Tante tunggu di bawah ya.."
"I..iyah!"
Aku tersenyum lalu segera melancarkan aksiku yang sempat tertunda. Aktivitas panas kami adalah selingan pagi yang jauh lebih penting dari sarapan, hahaha..
Maaf Nin, pagi-pagi harus membuatmu lemah karena tenggelam dalam dua kali orgasme. Dengan tempo permainan yang cepat tapi akurat. Tak masalah kan? Kini kami sama-sama menikmati.
Anin terkapar. Menggelepar di atas ranjang. Namun dengan sisa tenaga dia berusaha bangun seraya membuka mata pelan-pelan. Mungkin risih, tak nyaman karena pakaiannya acak-acakan.
"Di situ saja Nin, biar kubersihkan dulu." Perintahku yang segera diturutinya. Dia kembali telentang saat kubersihkan sisa spermaku yang mengalir keluar.
Kubangunkan tubuh lemah Anindya. Dia pasrah saja. Memang karena habis tenaga. Kukecup rambutnya yang kembali acak-acakan. Kubenarkan minisetnya hingga membungkus kedua buah mini yang menggoda. Kemejanya pun kurapikan seperti sedia kala meskipun jelas masih kusut di sana sini.
Cup! Aku mengecup kening Anin karena aku ingin. Entahlah sepertinya memang perlu begini. Kembali lagi, aku kasihan padanya.
"Terima kasih dan maaf ya Nin."
Anin hanya diam.
"Bersihkan dulu dengan air hangat biar tidak semakin nyeri. Sekalian ganti celana dalam yang baru ya. Aku keluar dulu biar Mama tidak curiga."
Cup! Kembali kucium keningnya. Kali ini lebih lama. Kuhirup lebih bertenaga hingga harum rambutnya terasa. Mendalam hingga membuatku seakan kembali ingin memeluknya.
Anin mengangguk paham, mengizinkan aku keluar dari sana.
***
"Anin kok belum turun juga ya?"
"Mana Rama tahu Ma."
"Jangan-jangan dia sakit perut lagi."
Bukan sakit perut Ma, sakit anunya hahaha..
Mamaku tampak sangat khawatir. Bola matanya mondar mandir, terbagi antara menu sarapan di meja dan lantai dua tempat Anin berada. "Duh anak itu kalau sakit diam saja, Mama kan jadi khawatir."
"Kenapa Mama tidak panggil ke kamarnya?" Tanyaku bagai kura-kura dalam perahu, pura-pura tak tahu. Yah sekaligus memastikan bahwa tindakanku tadi memang tidak ketahuan.
"Tadi sudah, dia bilang sebentar lagi, tapi ini kok lama belum turun juga."
Sesekali Mama masih menengok ke arah tangga.
"Mama takut dia sakit tapi tidak bilang, seperti kemarin itu. Kalau tahu anaknya sakit dan Mama biarkan begitu saja, Ibra dan Fatma bisa marah besar nanti."
Kira-kira bagaimana reaksi om Ibra saat tahu gadis kecilnya kugagahi semalaman? Tidak perlu dibayangkan karena jujur saja akan cukup mengerikan. Tapi tenang, selama Anin masih sepolos itu, semua akan aman.
"Hey! Senyum-senyum sendiri, masih pagi sudah kesambet apa kamu?" Mama menyergahku yang tersenyum sendiri tanpa disadari.
Entahlah. Seharusnya aku merasa bersalah, tapi yang kurasakan justru perasaan bahagia. Puas. Bahkan aku lupa rasa sakit akibat perbuatan Riri dan kak Ranu. Apa memang diriku sudah berevolusi menjadi monster karena penghianatan dua orang itu? Biarlah, yang penting sekarang aku punya Anindya, dan bisa puas menikmati tubuhnya kapan saja. Dia obat sakit hati yang sepertinya akan menjadi candu. Kelak mungkin akan menjadi senjata pamungkas untuk melawan orang-orang di sekelilingku.
"Dokter gantengnya Mama lagi bahagia ya? Apa sedang jatuh cinta?"
Aku terbahak mendengar pertanyaan Mama yang mulai menelisik. Memang terdengar seperti guyonan tapi aku tahu pertanyaan santai itu menyimpan keseriusan. Aku eknale bagaimana orang tuaku.
"Emm.. Bahagia mungkin, jatuh cinta tidak mungkin."
"Kenapa tidak?" Mama mengerutkan alis karena kecewa. "Jangan terlalu lama patah hati. Masih banyak wanita di muka bumi yang mau sama kamu. Ganteng iya, karir juga bagus. Kamu tinggal tunjuk gadis yang kamu suka Rama."
Manisnya ucapan Mama. Mungkin wanita yang melahirkanku ini lupa hidupku carut marut karena siapa.
Yah mungkin benar, ada banyak gadis di luar sana, tapi tak ada yang kucintai seperti Riri. Ah itu dulu, sekarang sebaiknya kuubah kalimatku.
Mungkin banyak gadis di luar sana yang mau denganku, tapi tidak ada yang senikmat Anindya Ma, tidak ada..
***
Pelan Anindya meyeret kursi makan tepat di seberangku. Kepalanya tertunduk gugup, enggan berkontak mata. Sikapnya yang malu-malu bercampur takut begini ternyata justru tampak sangat menggemaskan di mataku.
"Anin.." Sapa ibuku yang tergopoh dari arah dapur dengan sepiring telur dadar di tangan. Raut wajahnya cemas sekali. "Kamu tidak sakit kan?"
Anin hanya menggeleng. Tanpa suara. Baguslah..
"Tunggu, sepertinya pucat begitu Nin.."
"Tidak apa Tante.." Anin buru-buru menjawab. Sepertinya tak ingin Mama mengajukan spekulasi.
"Kurang tidur sepertinya, banyak belajar ya Nin?" Sahutku mengarahkan jawaban Anin.
"Ehh.. I..ya.." Sahut gadis kecilku yang lugu itu, yang masih belum berani menatap wajahku.
"Pokoknya kalau ada apa-apa, kamu harus bilang Tante ya. Nanti kalau kamu kenapa-napa bisa marah besar orang tuamu sama tante."
Bagaimana jika mereka tahu apa yang dilakukan putramu ini pada anak gadis mereka Ma? Apa yang kira-kira terjadi?
Sarapan pagi berlangsung seperti biasa. Tak ada yang berubah dari hari-hari biasanya. Sejauh ini Anin sudah pandai mengelabuhi.
"Akh!" Rintih Anin sambil memegangi perut bawahnya saat berusaha berdiri. Bahkan piring kotor di tangannya pun hampir terjatuh. Aku yakin itu karena miliknya terasa tidak nyaman.
"Nin?" Mama panik. "Kenapa Nak?"
Gawat! Jangan sampai Mama tahu. Bisa hancur semua rencanaku.
"Tidak Tante, tidak kenapa-napa."
"Kamu yakin?" Tanya Mama butuh kepastian. Kian khawatir tak berkesudahan.
Anin menggangguk lalu ke dapur dengan langkah pelan. Mama tergesa mengikutinya. Ini murni keadaan darurat.
***
Makasih yg sudah komentar dan ninggakin vote... 😘