***
Sepanjang perjalanan Anin hanya diam. Dia tak banyak menanggapi saat aku mencoba berbasa-basi untuk merilekskan suasana di antara kami.
Sampai juga aku di depan sekolah Anin. Dia segera memutar tubuhnya untuk turun. Namun dengan sigap tanganku menahan lengannya.
"Nin.."
"Ehh.." Dia kaget. Kuputar kembali tubuhnya agar menghadapku.
"Pulang jam berapa?"
"Jam.. Jam lima."
"Sore amat?"
"Anin ada bimbel."
"Oh.. Oke nanti aku jemput di tempat bimbelmu. Cendikia bimbel kan?"
Anin mengangguk pelan. Sejenak kemudian dia berubah pikiran.
"Anin bisa pulang sendiri. Kak Rama tidak usah jemput."
"Tapi aku ingin menjemputmu." Jawabku santai.
"Engg.. Kalau begitu terserah kak Rama saja.." Jawabnya malu-malu.
Anin segera beranjak meninggalkanku tapi aku belum rela ditinggalkan. Masih ingin bersamanya, menghirup aromanya yang menggugah.
Aku mencekal tangannya, memutar tubuhnya lalu merekatkan tubuh kami. Dengan sigap kulumat bibirnya yang tipis mencandu itu. Kurasakan jemari Anin meremas kemejaku, sepertinya menikmati ciuman panas kami pagi ini.
Puas bermain dengan lidahnya. Bibirku turun ke lehernya, mencumbu basah membangkitkan gairah. Ah bocah ini sangat menggoda. Aromanya dengan mudah membangkitkan libidoku yang tertidur. Padahal belum dalam hitungan jam aku mengisinya.
Mmuch! Mmuch! Mmuuchhh! Kecupanku terus merangsek masuk ke ceruk lehernya. Mulai kuremas dadanya, Anin mendesah.
"Kak Ramaahh.."
Tangan Anin masih meremasi kemejaku. Tak kusangka secandu ini tubuh Anin bagiku. Baru kali ini aku menemukan wanita yang dengan mudah membangunkan Jack. Pada Riri pun tak semudah ini Jack bangkit.
Kusingkap tanktopnya, lalu miniset imutnya. Anin mulai protes.
"Kak Rama jangan.. Periihh.."
Aku tersadar. Kulepaskan kelenjar kecil di depan mataku. Kutatap wajahnya yang memelas sayu. Mungkin tubuhnya lelah. Terutama titik-titik sensitifnya yang tidak lepas dari jamahanku semalaman, bahkan tadi pagi.
Kurapikan kembali pakaian dalam dan kemeja putihnya. Termasuk dasinya yang tak karuan lagi.
Setelah rapi barulah kujepit dagunya, kukecup sebentar bibirnya. Dia hanya menurut. Semua bagian tubuh Anin adalah candu yang tak sedetikpun entas dari sentuhanku.
"Maaf ya Nin.."
Dia mengangguk sekali. Kubisikkan sesuatu yang nakal di telinganya.
"Kak Rama suka aromamu.."
Anin tampak mendelik sebentar lalu menunduk malu. Pipinya merona. Merah padam. Lucu sekali bocah lugu ini.
"Ah ya.." Aku teringat sesuatu. Kukeluarkan beberapa lembar merah dari dompetku. Emm.. Semacam kompensasi tapi bukan berarti aku membeli tubuhnya. Hanya ya semacam rasa tanggung jawab untuk memberinya jajan. "Ambil buat jajan."
Anin menatapku sebentar. Tak lantas menerima lembar-lembar seratus ribuan dari tanganku. Ada pertanyaan di kedua bola matanya. Ada keraguan yang haus jawaban.
"Ambil Nin, buat jajan.."
"Anin sudah punya uang jajan, dari Papa sudah cukup Kak." Tuturnya setelah menggelengkan kepala.
Kusodorkan kembali uang itu. Dia kembali mendorong tanganku.
"Nin, terima saja, buat beli apa saja terserah kamu. Terima ya, aku ikhlas kok.."
"Tapi.."
Tak suka ditolak, seketika kusisipkan uang itu di sakunya. "Pokoknya itu untukmu. Terserah mau dipakai untuk apa."
Aku pun refleks mengusik kepalanya.
"Terima kasih Kak.."
Aku yang terima kasih Nin, terima kasih sudah memuaskanku..
***
Arrgghhh! Rasanya kepalaku ini mau pecah. Sedari tadi yang beredar di pikiranku hanya menanti pukul lima. Bertemu Anin dan segera menyentuhnya. Gila! Ya, pikiranku dibuat gila, dikuasai bocah ingusan itu. Hampir tak fokus menangani pasien.
Dari pukul empat aku sudah menunggu di depan tempat bimbelnya. Tak sabar, aku bermain ponsel hingga mati gaya. Rebah dan tiduran tapi setiap kali memejamkan mata hanya bayangan tubuh Anin yang datang. Sedari tadi bahkan Jack mengeras hingga terasa nyeri sekali.
Pukul lima lewat sepuluh menit. Aku melihat gadis itu keluar gerbang. Aku segera keluar, berdiri dan melambaikan tangan ke arahnya. Oh bahagianya serasa berjumpa dengan artis idola.
"Lama ya Kak nunggu Anin?"
"Tidak, sebentar kok."
Cuma sejam Nin, hanya kamu dan Riri yang sanggup membuatku bertahan menanti begini..
Kami masuk mobil bersamaan. Di perjalanan kusadari beberapa kali Anin curi-curi pandang kepadaku. Mungkin dia bertanya-tanya kenapa jalan pulang ke rumah berubah haluan.
"Kenapa dari tadi melihatku?"
"Ehh.. " Anin salah tingkah. Baru sadar kalau ketahuan. "Engg.. Ini, kita mau kemana Kak?"
"Jalan-jalan dulu.."
"Oh.."
"Kenapa? Tidak mau?"
"Emm.. Anin belum bilang tante.."
"Whatsapp saja ke Mama.."
"I..iya.."
Anin dengan mudah menurut. Satu hal yang kusimpulkan dari cara menaklukkannya, ternyata meracuni kepolosan seorang gadis kecil sangatlah mudah dan menyenangkan. Aku semakin menikmati alur permainan.
Di sebuah taman kota kami berjalan. Wajah Anin merah dan gugup saat kuselimutkan jaket panjangku ke tubuhnya. Semata agar seragam SMP nya tak tampak khalayak. Malu juga bagiku tampak berkencan dengan anak ingusan.
Anin berjalan di belakangku. Mengapa terasa aneh? Seperti berjalan dengan asisten pribadi. Padahal tujuanku mengajaknya berjalan-jalan adalah untuk melumerkan hubungan kami, sekaligus diselingi bujuk rayu yang hangat untuk hubungan sesi lanjutan.
Kuulurkan tangaku padanya. Namun dia hanya memandangi tanganku yang menggantung di udara. Kepolosan wajahnya yang bertanya-tanya membuatku gemas, tak sabar ingin menyatukan milik kami.
"Pegang Nin.." Perintahku.
"Ehh.. Anin? Pe..pegang?"
Buang-buang waktu jika masih kunanti jawabannya. Segera kusahut tangannya lalu kutarik begitu saja hingga tubuhnya menubrukku.
"Tidak mau gandengan denganku?"
"Ma..mau Kak.." Jawabnya gagap lalu dilanjutkan menggigit bibir bawahnya. Shit! Gigiku ingin menggantikan giginya.
Segera kulangkahkan kaki untuk menyingkirkan pikiran mesum. Anin tampak berusaha menyesuaikan langkah denganku. Di sebuah bangku taman kami berhenti dan duduk layaknya sepasang kekasih yang memadu cinta.
"Bagaimana bimbelnya tadi?"
"Anin bingung sama cara dari tentornya." Wajahnya ditekuk. Cemberut. Namun tanpa sadar telah menjawab pertanyaanku tanpa gugup.
"Sulit?"
"Tidak tahu, bingung.." Jawabnya masih cemberut.
"Hey.." Sergahku lembut sambil mengusap pipinya. Sontak Anin pun kaget dan segera menatapku penuh tanya. "Jangan sedih.. Apa gunanya punya aku?"
"Pu..nya Kakak?"
Aku mengangguk. "Hmm.."
"Tapi dari kemarin Anin belum juga diajari. Malah diajak eng.. Eng.." Anin memotong ujung kalimatnya malu melanjutkan. Refleks tangannya pun menutup bibir seketika.
"Diajak apa Nin? Hmm?" Bisikku menghangatkan telinganya.
"Kak Rama iihh.. Anin malu.."
Kedua tangannya semakin penuh menyembunyikan wajah. Semakin kugoda dengan mengelus halus tengkuknya.
"Enghh.. Kak Ramahh.."
Aku tak tahan lagi menunggu nanti malam. Segera kutarik tangannya lalu kuseret ke mobil. Anin sedikit kesulitan mengimbangi langkahku. Bibirnya pun tak henti melontar protes agar aku memelankan langkah.
Sesampaimya di dalam mobil segera kulumat bibirnya. Kududukkan di atas pangkuanku, menghadapku. Aku sangat bergairah, tak kuat menahan diri jika sudah mendekati Anin.
"Emmcchhh.." Anin berdecak, mendesah di antara ciuman kami yang panas. Dia sudah pandai memainkan lidah, bahkan tak canggung meremas kedua pundakku.
Kulepas ciuman bergairah kami. Anin pun terengah. Dadanya naik turun mengatur nafas. Kubelai pahanya yang mulus kecil itu.
"Kak Ramahh jangan dulu.."
"Hmm?" Aku mengernyit.
"Anin eng.." Dia tampak meragu.
"Kenapa Nin? Aku bisa pelan biar kamu semakin suka."
"Bukan itu Kak.."
"Apalagi Nin?" Aku semakin penasaran. "Semakin sering kita melakukannya, semakin tidak akan terasa sakit.."
"Bu..kaaann.. Bukan itu Kak." Wajah Anin mengerut manja.
Kubelai pipinya. Kukecup bibirnya sekilas. "Katakan apa itu Nin, katakan apa yang kamu inginkan.."
"Anin.. Engg.. Anin pengen.."
"Pengen apa hmm? Pengen kayak semalam kan?"
"Bukan Kak.. Engg.."
"Pengen di atas kan? Bergeraklah di atas sesukamu. Aku suka Nin."
"Bukan. Bukan itu.. Anin.. Anin pengen permen kapas yang di taman tadi."
Byarrrr! Seketika kuhentikan cumbuanku di lehernya. Buyar sudah bayangan mesum yang sedari tadi kutawarkan padanya. Malu sendiri.
Hancur sudah semua kemesraan dan kata-kata romantis yang kubangun hanya karena.. permen kapas? Oh damn!
Baiklah Rama, nikmatilah serba serbi bercinta dengan seorang Anindya.
***
Anindya menikmati permen kapasnya sepanjang jalan. Wajahnya tampak bahagia, manis, sebagaimana kembang gula merah muda di genggamannya.
"Kak Rama mau?"
Aku hanya menoleh sebentar. Sedikit kesal sebenarnya karena Jack yang terlanjur tegang harus dipaksa hibernasi sebentar.
Anin menyodorkan secubit permen kapas di dekatku yang sedang menyetir. Lugu, tapi aku suka. Sikap tulusnya yang begini kadang melelehkanku.
"Buat kamu saja."
Diam. Sepertinya dia kecewa karena aku menolak suapannya. Tapi aku memang tidak ingin memakan apapun sekarang.
Permen kapas itu tidak akan lebih manis daripada yang ada di pikiranku sekarang.
"Ingat kan janjinya?"
"Iya kak Rama.."
"Apa?" Ujiku.
"Setelah ini belajar di hotel kan?" Jawabnya polos sekali. Tidak tahu apa yang terkandung di balik kata hotel.
Sesampainya di dalam kamar hotel. Aku sudah sangat tak tahan.
"Segera habiskan Nin. Dari tadi belum habis hmm?"
Anin tidak menggubris sama sekali. Dia masih sibuk mencubiti permen kapasnya. Aku pun tak sabar dan segera merampas permen kapas itu lalu membuang ke sembarang tempat.
"Iiih.. Punya Anin Kak.." Protes Anin saat sudah kutelentangkan di atas ranjang. "Permen Anin masih ada itu Kak.."
Oh seberapa penting permen itu hingga ia pun tak sadar telah kugagahi.
"Nanti kubelikan lagi." Rayuku singkat.
"Janji?" Sahutnya cepat.
"Asal Anin puasin kak Rama."
"Puasin?" Anin salah tingkah.
"Masa masih belum paham?"
"Anin tidak tahu ah!" Jawabnya penuh dengan kepura-puraan.
Kugelitiki perutnya sambil terus kubisiki tepat di telinganya.
"Pura-pura tidak tahu ya?"
"Iihhh geliihhh.." Anin tertawa menahan geli. "Apa sih kakkk.." lagi-lagi wajahnya penuh pura-pura.
Kami pun tertawa. Bak sepasang kekasih yang hendak bercinta. Perlahan redam lalu kami pun saling menatap dalam. Tangan Anin otomatis mengalung di leherku. Semakin kuhapus jarak wajah kami.
"Kamu suka kan yang semalam kita lakukan?"
Bibir Anin bergerak tipis. Dia mengangguk pelan.
"Emm.. Anin bingung. Emm.. Aneh.."
"Yang penting kamu suka. Mau kan?"
"Tidak sakit kan?"
Aku tersenyum tipis. Memberikan ketenangan dan meramu kebahagiaan. Pada akhirnya kami bercinta. Saling rela sampai bertukar desah. Bersahut suara bersama udara.
Hari demi hari berlalu, dinding demi dinding hotel jadi saksi bisu. Tangismu enyah, berubah menjadi tawa renyah. Kita sama-sama rela. Lagi-lagi kukatakan, kita telah rutin bercinta.
Entah sampai kapan Nin. Entah di mana ujung kebejatanku padamu berakhir. Setiap melihat lelapmu oleh ulahku, peri kemanusiaanku tergelitik tapi tetap tak mampu kutampik. Aku bahagia ketika bersamamu, saat memadu kasih dan bercumbu.. Sejujurnya, kamu berhasil mendepak bayangan Riri dari pikiranku..
***
Semoga berkenan like, komentar, dan review 😘
Terima kasih...