"Ya kita liat aja nanti, siapa yang bakalan lebih bahagia."
Melisa membalik ucapannya. Dengan tersenyum pongah, membalikkan tubuh lantas bersiap beranjak pergi setelah lebih dulu memperingati,
"Bersihin tuh pecahan, jangan sampek lo nangis karena kena tusuk."
Arka makin mengetatkan rahangnya, giginya bahkan sudah mulai bergemelutuk, dengan manik mata yang mengikuti punggung kecil yang seakan berstempel jelas, "Pembenci" itu.
Sungguh, Arka tau apa yang harus di lakukannya. Ia yang mengacau, ia juga tau diri untuk memberesi. Tapi kenapa wanita itu seolah selalu ingin ikut campur. Mendektenya seakan ia sangat bodoh dan tak tau apa pun.
Bahkan tanpa di saksikan oleh siapa pun, apakah Melisa sebegitu kerasnya ingin di cap secara mendarah daging jika dirinya begitu sempurna?
Arka kesal bukan main setelah itu. Kali ini sikap pengaturan Melisa sudah terlampau mempengaruhi, seolah mencapnya dengan begitu lancang dengan inti sama sekali tak berguna.