"Hai... Nino?" sapa Arka yang memotong jalan Nino. Memberi sapaan dengan raut wajah kesenangan yang tak bisa di sembunyikan. Tubuhnya yang tak bisa di kendalikan bahkan berjingkrak kecil. Sementara kedua tangannya yang melambai ke arah Nino, menjatuhkan bola yang lantas memantul dan menggelinding semakin jauh dari posisi kakinya.
Nino yang melihat Arka, sedikit pun tak bereaksi untuk sesaat. Hanya kerutan di dahi dan satu alis terangkat dengan otak mulai bekerja menebak tentang memori mengenai pria pendek dan begitu ceria di hadapannya itu.
"Temennya Brian, ya?"
"Ya-ya...! Lo masih inget gue?"
Ah, benar saja, memangnya ada pria seaneh dia lagi? Suka mengomel dan bicara per kalimatnya yang bisa di hitung hanya sepersekian mili detik. Tapi siapa namanya? pikir Nino.
"Gimana nggak inget, cuman lo doang yang manggil gue tanpa embel-embel kakak tingkat."
Mendapatkan balasan bernada sinis, seketika saja membuat Arka menarik raut gurat bahagianya. Bibirnya mencebik, bola mata berbinarnya seketika berganti sendu. Arka menundukkan kepala merasa bersalah.
"Ehmm... Maaf."
"Nggak masalah."
Sementara Arka yang masih perlu membenahi kesannya. Sekaligus mencari cara untuk bisa berinteraksi lebih lama dengan Nino.
"Gimana kalo sebagai permintaan maaf, gue bantuin lo? Eh? Kak Nino, maksudnya." Arka meralat panggilan tak sopannya dengan mata mengkode tumpukan buku yang di dekap Nino.
"Nggak perlu."
"Issh... Nggak usah takut ngerepotin, gue seneng bisa bantuin lo kok, kak!"
"Ar...!"
Arka masih usaha untuk membujuk, namun sebuah teriakan keras mengganggunya.
"Woy, mana bolanya!"
"Ambil aja sendiri! Masih fungsi kan tuh kaki? Gue ada urusan."
Arka balas meneriaki kawan-kawan sekelasnya, Nino yang seperti sudah muak untuk berhenti lebih lama, lagi-lagi di kejar Arka dengan sekaligus menyabet tiga buku dari kisaran tiga puluhan buku paket yang tertumpuk. Ya, memang tak ada pengaruh dari bantuannya.
Nino berhenti sejenak, menoleh menghadap Arka yang kembali dengan cengirannya.
"Gue juga lagi pengen nyari buku, sekalian bisa bantu kakak, kan?"
Mendengar ucapan sok akrab Arka membuat Nino geleng kepala.
"Lo mau ucapan makasihnya di kasih dp dulu?"
"Hehehe... Nggak usah, nanti aja dulu. Sekalian pas kita keluar perpusnya bareng-bareng lagi."
Arka tak hentinya melebarkan senyum, jantungnya berdebar makin kencang bahkan hanya saat pria incarannya itu mengeruakkan aroma khas maskulin yang di bantu deru angin. Arka tak peduli tentang arah pandang Nino yang sedikit pun tak teralih padanya, bisa melihat garis tulang wajah pria itu dari dekat saja sudah membuat darahnya mendidih.
Langkahnya yang berusaha mengiringi jangka panjang Nino terasa begitu mesra. Sepanjang lorong sepi hanya untuk mereka, bayangan Arka yang saat ini makin kacau. Sorak sorai yang tiba-tiba terdengar, alunan musik romantis yang mengiringi, janji suci untuk mengikat cinta, mereka yang saat ini berjalan di altar pernikahan. Ah... Bisakah berakhir seperti itu?
Tidak, jelas tidak mungkin dalam waktu dekat. Arka yang saat ini baru terhitung melakukan perjuangan, tak mungkin bersikap konyol dengan memprotes langkah Nino yang menjauh darinya tanpa kata, kan?
Tiga buku yang sudah kembali di tarik, tak menghentikan Arka untuk menjadi penguntit lagi.
Berjalan memindik-mindik di lorong perpustakaan yang begitu sepi. Manik matanya tak henti membidik satu sosok yang nampak begitu berkonsentrasi dengan jelajah ribuan buku yang tersusun di rak berjajar tinggi.
Satu di antaranya menyita perhatian, Nino yang memastikan yang di carinya pun nampak serius membaca tulisan yang ada di sampul belakang buku. Menderet cepat lembaran tebal dan nampak berhenti di pertengahan halaman, alis Nino kembali menyatu dengan kedua matanya yang menyipit.
Ya, persis seperti potret yang di kirimkan Brian padanya, hanya saja di sudut pengambilan yang berbeda, dan juga terlalu tertutup dari pada yang bisa ia lihat melalui media dua dimensi.
"Buset, dah... Ganteng banget sih, woy!" pekik Arka sembari tangannya memukul-mukul rak yang terbuat dari kayu dengan begitu gemas. Otaknya yang oleng dan bercampur mesum, lengkap sudah dengan gerak pecicilannya.
Dughh
"Aduh!" Arka mengaduh. Niatnya menyusupkan kepala dan mereplika rak pembatas buku sebagai pujaannya malah berujung petaka. Hidung bangirnya lebih dulu terantuk, terlalu keras sampai-sampai dahinya ikut terantuk.
Nino jelas saja terkesiap, menutup buku dan sontak saja mendatangi Arka yang meringkuk dengan posisi berjongkok.
"Eh, nggak apa?"
Arka mendongak, hanya menggelengkan kepala dengan wajah yang merona. Akibatnya kurang konsentrasi karena Nino seperti sudah menarik seluruh perhatiannya.
"Nggak pusing, kan? Takutnya nanti mimisan," tanya Nino saat melihat puncak hidung adik kelasnya itu sudah sangat merah.
Sial, bagaimana Arka tak makin tergila-gila dengan pertanyaan penuh kekhawatiran padanya itu?
"Gue... Suka sama lo."
"Lo beneran adeknya Melisa?"
"Eh?"
Dengan kasak-kusuk Arka berdiri, sedikit ragu suara pernyataannya itu terucap langsung atau di dalam hati.
"Jadi kebetulan banget, ya?"
Lah, ini yang makin membuat suasana hati Arka merosot, kenapa bibir Nino menyebut kakak jahanamnya itu di depannya?
Lagi pula kebetulan apa yang di maksudkan Nino? Arka yang memang berteman dengan adiknya Nino, dan Melisa yang secara paksa di akuinya sebagai kakak yang notabene nya adalah teman sekelas pria itu? Keterlibatan saling menyambung itukah yang di katakan kebetulan?
"Lo cari bukunya udah?"
"Eh? Udah-udah." Arka yang kali ini terkesiap, lekas bergerak serampangan dan menyabet satu buku sekenanya. "Nih!" tunjuknya pada Nino.
"Cara ampuh menggaet pria incaran?"
"Uh?" Arka terkejut, lantas membalik buku yang merupakan bacaan populer itu.
Mampus, Arka malu dengan tatapan penuntutan Nino sekarang.
"L-lo jangan salah paham, ini... I-ini titipannya nenek lampir. Ah, itu... Maksudnya kakak gue."
.
.
.
Arka melempar buku yang di pinjamnya dengan muka tebal. Bagaimana tidak, petugas perpustakaan sudah jelas-jelas mencapnya sebagai gay terang-terangan lewat tawa cekikan yang terlihat jelas di tahan.
"Semoga sukses dengan kiat-kiatnya, ya..."
Bahkan Arka masih mengingat motivasi semangat yang di ucapkan wanita dewasa tadi siang. Ah, untung saja Arka tak keceplosan dan langsung mengamini. Bisa hilang muka di depan Nino pastinya.
Sebenarnya itu bukan tentang jati dirinya yang berusaha di tutupi, hanya saja Arka ingin Nino tahu jika penyimpangannya hanya untuk pria itu seorang, tak ada yang lainnya.
Melemparkan tubuh ke atas ranjang, sekilas manik matanya menatap ke arah nakas dengan dua buku sama yang tertumpuk, cara mendapatkan pria incaran. Arka bahkan sedikit ragu untuk menyisipkan kemalasannya dan membaca sederet pun kalimat yang tertulis di sana. Pada kenyataannya mental di lapangan adalah yang paling penting, kan?
Arka pun menggelinding, memposisikan tubuhnya miring dengan kepala di sangga satu lengan. Brian di sana, menggelepar dengan mengambil posisi berlawanan darinya.
"Bri, gue boleh tanya serius nggak?" ucap Arka sembari lengannya iseng menepuk pantat Brian yang ada di depan wajahnya.
"Asalkan lo kasih solusi dari permasalahan gue, gimana?" Brian yang menghadap sama seperti Arka pun mulai membuat penawaran.