"Lo tau seberapa keren gue, kan? Tapi gue pingin lebih sempurna, Ar..."
"Masih soal motor sport?" tebak Arka dengan malas, sementara Brian yang nampak berpikir keras sebelumnya pun begitu semangat membagi keluh kesahnya. Pria itu bangkit, duduk bersila menghadap Arka yang masih tak berkutik.
"Bokap ngasih penawaran, dia bakal loyal sama gue kalo gue nurutin permintaannya."
"Buat balik pulang dan nggak ngerepotin keluarga gue?" sindir Arka pada Brian yang sesaat lalu berjanji akan pulang. Hampir pukul satu dini hari, Zaki dan Yuda saja sudah di pastikan tidur di rumah mereka masing-masing.
Dan bodohnya Brian yang memang tak peka, malah dengan santainya menggelengkan kepala. "Cuman di suruh pinter kayak abang gue, aja."
"Hahaaa..." Arka tertawa sampai terpingkal-pingkal. Perut kakunya di tekan keras dan sampai menggelindingkan tubuh. Demi apa pun, ini penawaran yang sangat konyol.
"Kok lo ngakak, sih?"
"Beneran? Kalo masalah itu, mendingan lo kubur dalam-dalam mimpi lo, dah! Otak kecil yang isinya cuman porn*, mana bisa bisa berkembang?"
"Ar, lo kok gitu, sih? Seenggaknya kalo nggak mau ngasih solusi, jangan hujat, dong!"
"Lah, gue harus ngomong apa? Semangat Bri, lo pasti bisa! Apa nggak kurang kerjaan gue ngelambungin angan lo tinggi-tinggi?"
"Ya juga, sih. Orang sirkel gue kayak lo pada."
"Isshh... Sebenarnya kalo bener-bener mau usaha, bisa-bisa aja."
"Apa-apaan? Kasih tau gue, Ar?" desak Brian dengan menekan bahu Arka yang terbaring di bawahnya.
"Ya nyoncek sama yang pinter, lah! Ya kali gue nyuruh lo belajar sungguhan."
Tak
Brian menjentikkan jari, lantas menguyel-uyel pipi kenyal Arka, berterimaksih dengan pemikiran cerdas kawannya itu.
"Bener juga, ya? Kenapa gue sampek kebingungan kayak gini? Nilai mah urusan gampang. Sekali ancem, dah dapet poin seratus gue."
"Hmm... Hidup kenapa di bikin sulit?"
"Lah, trus napa sekarang tuh wajah berubah jadi sok mikir?"
"Bri, gimana kalo gue langsung nyatain perasaan ke abang lo?"
.
.
.
Arka itu blak-blakan, tak suka menjalani proses yang lebih seringnya memiliki hasil mengecewakan.
Ia jelas bukan orang yang sabaran. Di setiap detiknya begitu berharga untuknya, momen indah seperti memang haus dalam kejarannya.
Arka memang ingin cepat-cepat merasakan indahnya cinta di masa remaja, dengan Nino yang sejak tiga tahun lalu menjadi incarannya.
Tekadnya sudah sangat bulat, ia bahkan bangun lebih pagi dari biasanya dan mempersiapkan diri sebaik mungkin.
Kalau saja Brian yang tak mencegahnya.
"Apa nggak makin berabe kalo tiba-tiba lo ngomong cinta ke abang gue?"
"Maksudnya? Lo takut gue nangis ngeraung karena bakal di tolak?"
"Itu sih gue nggak peduli, bahu gue siap kapan pun buat jadi sandaran. Lah kalo lo malah dapet salam tempel dari bogemanan tangannya? Apa nggak langsung tamat riwayat lo?"
"Emang abang lo tipe orang yang main tangan, ya?"
"Ya nggak gitu juga. Tapi pake logika aja, siapa yang nggak bakal risih kalo kaum sejenisnya tiba-tiba nyatain cinta? Ar, perasaan punya lo itu beda dari orang lain. Se ekstremnya lo bisa nahan diri dari rasa kesedihan dan kecewa, tapi gue tetap jadi sahabat lo yang nggak bakalan terima kalo satu orang pun ngomong jelek tentang lo."
Yah, mungkin memang benar yang di katakan Brian, Arka tak bisa begitu saja gegabah mengambil keputusan. Resiko yang akan di hadapkan padanya begitu rawan, jika di terima akan bahagia tak terkira, dan jika kata penolakan terlontar, ia mungkin saja akan benar-benar hancur. Seribu langkah larinya untuk mensejajari Nino akan menjadi sia-sia.
Arka pun hanya bisa menatap Nino dengan raut pemujaan sama, di parkiran sekolah dengan jok motor Brian tempatnya mengintai. Pria itu turun dari tunggangan mahalnya, jelas menyita perhatian seperti biasanya. Lagi-lagi ia harus menahan diri untuk tak membungkam para wanita yang berteriak histeris. Hei, pria itu miliknya! Lihat saja nanti, tak akan Arka biarkan sedikit pun dari mereka menikmati kesempurnaan Nino setelah pria itu menjadi miliknya.
"Woy, nggak mau nongkrong di kantin dulu?" tawar Yuda yang tengah merangkul Zaki.
"Nggak dulu, deh. Gue sama Arka buru-buru ke kelas."
Arka hanya mengikuti langkah Brian yang menarik tangannya, sama-sama melambaikan tangan dengan arah tujuan mereka yang berbeda.
Brian nampaknya begitu bersemangat, tanpa menunggu waktu sedikit pun untuk tujuannya bisa tercapai. Mendatangi bangku milik Fahmi yang ada di deretan paling depan. Menggebrak mejanya, lantas menodong pria itu dengan sebuah pertanyaan. "Mi, menurut lo, siapa siswa paling pinter di kelas kita?"
Sementara Fahmi yang merasa seperti dilabrak pun sontak keringat dingin. Posisinya seperti di kurung, Arka yang dengan santainya duduk di atas meja, sementara Brian yang membungkuk ke arahnya dengan raut wajah menuntut.
"Woy! Malah diem, jawab!"
"B-belum terlalu keliatan, sih. Kan kita baru masuk ajaran di sma."
"Ehm... Lo ngerasa pinter nggak?"
Wah, kalau seperti ini perasaan Fahmi jadi tak enak.
"Eh? Nggak-nggak, yang ada gue bego banget Bri, sumpah!" balas Fahmi dengan panik.
"Masak sih? Kok gue nggak percaya, ya?" Arka pun ikut nimbrung.
"Karena tampilan gue rapi, gitu? Kalian salah, kali! H-ha-haaa..." Sampai Fahmi yang berusaha mencairkan suasana malah tertawa tersendat, Arka dan Brian menatapnya terlalu garang, jelas membuat pria itu menciut. Lekas mencari akal, yang terbaik memang mengumpankan orang lain untuk keselamatannya.
"Noh, si Farhan! Kalo dia udah pasti keliatan pinternya," tunjuk Fahmi pada pria culun yang nampak sibuk dengan buku bacaan tebalnya.
.
.
.
Jam makan siang dengan kantin yang jelasnya di serbu oleh para siswa kelaparan. Suasana yang begitu hiruk pikuk, obrolan antar kelompok yang berebut untuk bisa menyita perhatian semua orang.
Kumpulan Arka yang memang berparas di atas rata-rata banyak mendapat incaran dari setingkat atau bahkan kakak tingkat, tapi mereka berempat memang lebih sering tak peduli sekitar.
"Warningnya bokap lo jauh-jauh hari banget ya, Bri? Jangan sampek lo ketahuan nipu, deh!" ucap Zaki menanggapi cerita Brian.
"Hemm... Jadi malin kundang baru tau rasa." sahut Yuda dengan kalimat tak jelas, mulutnya penuh makanan.
"Lah, malin kundang kan jahat ke mak nya, beda cerita sama gue dong!"Â Brian mulai membela diri atas niat curangnya untuk memuluskan rencana.
"Dah lah, terserah lo."
"Woy, gue cabut duluan, ya!" Arka yang sedari tadi terdiam, langsung menyela pamit setelah makanan di piringnya tandas. Nampak terlihat begitu buru-buru, mulut yang masih menggembung penuh masih saja di desak dengan caranya menegak minuman sambil berdiri.Â
"Mau kemana, Ar?"
"Jalanin misi. Doain berhasil ya, kawan!" teriak Arka sambil berlalu pergi.